CASE IESR: Indonesia Perlu Dorong Komitmen Lebih Kuat Negara ASEAN Untuk Penurunan Emisi GRK di Kawasan

press release

Jakarta, 15 Agustus 2023 – Menjadi Ketua ASEAN pada 2023 dan mempunyai kekuatan ekonomi besar di ASEAN, Indonesia dapat mendorong negara anggota ASEAN lainnya agar mempunyai kesepakatan bersama untuk mendorong pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) yang selaras dengan Persetujuan Paris serta memobilisasi dukungan dari negara ASEAN lain untuk mempunyai target pengakhiran operasional PLTU batubara secara bertahap sebelum tahun 2050. Hal ini disampaikan oleh Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) pada media briefing berjudul “Mengukur Ambisi Iklim ASEAN pada Keketuaan Indonesia ASEAN 2023”.

Menurut Fabby, pengurangan bahan bakar fosil dengan pelarangan pembangunan PLTU baru di Indonesia namun tetap mengizinkan pembangunan PLTU baru untuk keperluan industri dapat menghambat pencapaian bauran energi terbarukan yang lebih tinggi. Ia menekankan pemerintah Indonesia dapat mendorong komitmen yang lebih tegas untuk pengakhiran operasional PLTU batubara di negara ASEAN. Selain itu, Indonesia perlu meningkatkan pertumbuhan energi terbarukan di ASEAN, terutama pengembangan energi surya. Ia mendorong pembahasan mengenai penyediaan rantai pasok yang terintegrasi patut disepakati pada ASEAN Ministers on Energy Meeting (AMEM) yang akan berlangsung dalam waktu dekat di Agustus 2023.

“Kami harapkan pada AMEM, Indonesia bisa mengusulkan Indonesia menjadi pusat manufaktur PLTS mulai dari teknologi polisilikon hingga modul surya. Beberapa negara ASEAN sudah mengembangkan manufaktur, namun masih terbatas di sel dan modulnya. Selain itu pengembangan manufaktur ini belum terintegrasi. Sementara di Indonesia, bahan baku untuk pembuatan komponen PLTS tersedia di Indonesia, misalnya pasir silika. Sebagai Ketua ASEAN 2023. Indonesia dapat merekomendasikan ini sebagai kesepakatan bersama untuk membangun rantai pasok yang terintegrasi,” ungkapnya.

Ia menambahkan ancaman iklim menjadi semakin serius bagi negara-negara ASEAN yang berdampak luas terhadap ketahanan pangan, ketahanan energi, dan kemajuan pembangunan di kawasan. Jika tidak ada upaya serius untuk mengurangi emisi global, maka dampak perubahan iklim akan membuat pertumbuhan ekonomi melebihi 6% di kawasan Asia Tenggara akan semakin berat.

Berlianto Pandapotan Hasudungan, Direktur Kerja Sama Ekonomi ASEAN, Kementerian Luar Negeri RI mengakui selain tantangan geopolitik, krisis Myanmar, krisis iklim juga menjadi tantangan tambahan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di ASEAN. Ia memaparkan ketahanan energi melalui transisi energi ke energi terbarukan dan mengurangi ketergantungan pada minyak bumi menjadi agenda penting dalam kepemimpinan Indonesia di ASEAN.

“Selain pengembangan kendaraan listrik, ASEAN sedang mengembangan interkoneksi energi antar negara anggota dan akan dimulai juga studi atas interkoneksi energi di kawasan,” jelasnya.

Shahnaz Nur Firdausi, Peneliti Iklim dan Energi, IESR memaparkan, kebijakan dan komitmen iklim Indonesia tidak konsisten dengan Persetujuan Paris yang ingin menjaga batas suhu 1,5°C, bahkan rawan menyebabkan peningkatan, bukan penurunan emisi. Hal ini bisa dilihat dari laporan Climate Action Tracker (CAT) yang menilai bahwa target dan kebijakan iklim Indonesia secara keseluruhan masih kategori sangat tak mencukupi (highly insufficient). Apabila semua negara mengikuti pendekatan kebijakan Indonesia, maka pemanasan global akan lebih dari 2°C hingga 3°C. 

“Untuk itu, kebijakan dan tindakan iklim Indonesia pada tahun 2030 membutuhkan perbaikan substansial agar konsisten dengan batas suhu 1,5°C. Indonesia perlu menaikkan target NDC menjadi 75% di bawah skenario NDC business as usual (BAU) di luar penggunaan lahan serta alih guna lahan dan kehutanan (bersyarat) dan 62% (tidak bersyarat). Terlebih lagi, emisi Indonesia dari penggunaan lahan dan kehutanan telah mencapai hampir 50% dari total emisi selama 20 tahun terakhir,” papar Shahnaz.

Manajer Program Clean, Affordable and Secure Energy (CASE) for Southeast Asia, Agus Tampubolon dalam kalimat penutup kembali menyatakan pentingnya kerjasama antar negara anggota ASEAN untuk mengakselerasi transisi energi.

“Indonesia bisa memimpin transisi energi di ASEAN dengan leading by example. Negara-negara anggota ASEAN memiliki potensi besar, kita bisa bekerja sama untuk rantai pasok, contohnya adalah pengembangan PLTS. Kita juga perlu memikirkan kebijakan-kebijakan yang mendukung peralihan dari energi fosil menuju energi terbarukan, dan untuk meningkatkan target iklimnya,” ujar Agus.

Neraca | Transisi ke Energi Bersih – Selamatkan Sekitar 180 Ribu Nyawa di Indonesia

Pembatalan proyek-proyek PLTU batubara baru dan penghentian PLTU batubara di Indonesia pada tahun 2040 dapat mencegah 180.000 kematian akibat polusi udara dan menekan biaya kesehatan sebesar US$ 100 miliar atau Rp 1.500 triliun dalam beberapa dekade ke depan, berdasarkan penelitian terbaru dari Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) berjudul Health Benefits of Just Energy Transition and Coal Phase-out in Indonesia.

Baca selengkapnya di Neraca.

Transisi Lebih Cepat ke Energi Bersih Dapat Selamatkan Sekitar 180.000 Nyawa di Indonesia

press release

Jakarta, 18 Juli 2023 – Pembatalan proyek-proyek PLTU batubara baru dan penghentian PLTU batubara di Indonesia pada tahun 2040 dapat mencegah 180.000 kematian akibat polusi udara dan menekan biaya kesehatan sebesar USD 100 miliar atau Rp 1.500 triliun dalam beberapa dekade ke depan, berdasarkan penelitian terbaru dari Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) berjudul Health Benefits of Just Energy Transition and Coal Phase-out in Indonesia.

Penghentian penggunaan PLTU batubara pada tahun 2040 diperlukan untuk memenuhi target Persetujuan Paris, berdasarkan Badan Energi Internasional (IEA). Indonesia saat ini menargetkan penghentian penggunaan PLTU batubara pada tahun 2050, dengan beberapa pengecualian.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, menekankan bahwa pemerintah harus mendesak perusahaan listrik untuk mengevaluasi kembali rencana mereka untuk membangun pembangkit listrik baru dan segera mengambil tindakan untuk beralih ke pembangkit energi terbarukan. Peralihan ini akan menghasilkan manfaat ekonomi, sosial, dan kesehatan yang signifikan.

“Pada pertemuan puncak G20 tahun lalu, Indonesia menandatangani pernyataan bersama Just Energy Transition Partnership (JETP), yang berkomitmen untuk mencapai puncak emisi sektor ketenagalistrikan pada tahun 2030 dengan nilai absolut 290 juta ton CO2e. Untuk mencapai target ini, Indonesia harus menghentikan sekitar 9 GW pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) dalam satu dekade ini. Namun demikian, diperlukan kepastian strategi mitigasi untuk mengurangi dampak negatifnya untuk PLTU batubara yang belum mencapai waktu penonaktifannya. Penerapan strategi ini harus menjadi bagian integral dari solusi untuk transisi energi yang berkeadilan,” ujar Fabby.

Penelitian CREA dan IESR mengembangkan jalur pengakhiran operasional PLTU batubara berbasis kesehatan yang pertama di Indonesia, berdasarkan pemodelan atmosfer yang terperinci dan penilaian dampak kesehatan per pembangkit listrik (health impact assessments, HIA). Jalur ini memaksimalkan manfaat kesehatan dari peralihan PLTU batubara ke energi bersih dengan mengakhiri operasional PLTU batubara yang paling berpolusi terlebih dahulu.

Emisi polutan udara dari PLTU batubara bertanggung jawab atas 10.500 kematian di Indonesia pada tahun 2022 dan biaya kesehatan sebesar USD 7,4 miliar, menurut hasil penelitian tersebut. Dampak kesehatan ini akan terus meningkat dengan beroperasinya PLTU batubara yang baru. Pembangkitan energi dari PLTU batubara akan meningkat selama satu dekade ke depan, kecuali jika pertumbuhan pembangkit listrik bersih dipercepat untuk memenuhi pertumbuhan permintaan.

Penghentian PLTU batubara membutuhkan investasi awal. Biaya kesehatan yang dihindari dari penghentian PLTU batubara yang lebih cepat pada tahun 2040, akan mencapai USD 130 miliar (Rp 1.930 triliun), sementara investasi sebesar USD 32 miliar (Rp 450 triliun) diperlukan untuk merealisasikan penghentian pengoperasian PLTU batubara, sehingga investasi ini akan sangat menguntungkan bagi seluruh masyarakat.

“Penelitian ini memberikan daftar PLTU batubara yang diurutkan berdasarkan dampaknya terhadap biaya kesehatan per unit pembangkit, yang sebenarnya dapat berfungsi sebagai metrik tambahan untuk dipertimbangkan dalam membuat prioritas penghentian pembangkit listrik. Hal ini merupakan masukan yang sangat penting karena sekretariat JETP saat ini sedang menyusun Comprehensive Investment Plan and Policy (CIPP), di mana pemensiunan pembangkit listrik tenaga batubara merupakan salah satu bidang investasi yang termasuk dalam dokumen tersebut,” ujar Raditya Wiranegara, Peneliti Senior IESR, yang juga merupakan salah satu kontributor dalam laporan ini.

Besarnya dampak kesehatan masyarakat terjadi karena seluruh PLTU batubara tidak memiliki alat pengendali emisi polusi udara yang efisien untuk polutan seperti sulfur dioksida, nitrogen oksida, dan merkuri, mengingat standar emisi nasional yang lemah. Standar yang lebih kuat membutuhkan investasi dalam pengendalian polusi udara, dapat mencegah hingga 8.300 kematian akibat polusi udara per tahun pada tahun 2035, dengan biaya kesehatan yang dapat dihindari jauh melebihi biaya yang terkait dengan teknologi tersebut.

“Penelitian kami menunjukkan bahwa mengurangi emisi dari PLTU batubara tidak hanya baik untuk kesehatan dan kesejahteraan, tetapi juga dapat menguntungkan masyarakat Indonesia secara ekonomi. Biaya kesehatan yang dihindari dapat lebih dari sekadar mengkompensasi investasi yang diperlukan untuk menutup pembangkit listrik tenaga batu bara dan membangun pembangkit listrik bersih sebagai penggantinya,” ujar Lauri Myllyvirta, salah satu penulis laporan tersebut dan Analis Utama CREA.

Tentang Penelitian

Analisis dilakukan dengan (1) mengembangkan inventarisasi emisi PLTU batubara di Indonesia yang belum pernah dilakukan sebelumnya; (2) mensimulasikan penyebaran polusi dari PLTU batubara dengan menggunakan pemodelan atmosfer yang terperinci; (3) mengukur dampak kesehatan akibat polusi udara yang dihasilkan dari perubahan konsentrasi polutan di udara; dan (4) menilai dampak kesehatan dalam bentuk uang dengan menggunakan biaya ekonomi per kasus dari hasil kesehatan yang berbeda yang dikumpulkan dari berbagai literatur dan ditransfer ke tingkat pendapatan dan PDB per kapita di Indonesia. Penelitian ini bisa diunduh melalui https://s.id/HealthBenefit-IESR

Tentang IESR

Institute for Essential Service Reform (IESR) adalah sebuah lembaga think tank yang secara aktif mempromosikan dan mengupayakan pemenuhan kebutuhan energi di Indonesia, dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dalam pemanfaatan sumber daya alam dan keberlanjutan ekologi. IESR melakukan berbagai kegiatan seperti melakukan analisis dan penelitian, mengadvokasi kebijakan publik, meluncurkan kampanye dengan topik-topik tertentu, serta berkolaborasi dengan berbagai organisasi dan institusi.

Tentang CREA

Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) adalah sebuah organisasi penelitian independen yang berfokus pada pengungkapan tren, penyebab, dan dampak kesehatan, serta solusinya terhadap polusi udara. CREA menggunakan data ilmiah, penelitian, dan bukti untuk mendukung upaya pemerintah, perusahaan, dan organisasi kampanye di seluruh dunia dalam upaya mereka menuju energi bersih dan udara bersih, dengan keyakinan bahwa penelitian dan komunikasi yang efektif adalah kunci keberhasilan kebijakan, keputusan investasi, dan upaya advokasi. CREA didirikan pada bulan Desember 2019 di Helsinki dan memiliki staf di beberapa negara Asia dan Eropa.

Peluang BRI China untuk Mendorong Percepatan Transisi Energi di Indonesia

FT

Beijing, 27 Maret 2023 – Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menyampaikan keberadaan Inisiatif Sabuk dan Jalur Sutra (Belt and Road Initiative/BRI) memberikan peluang bagi China untuk berperan dalam mendorong percepatan transisi energi di Indonesia. Hal ini diungkapkannya ketika menjadi narasumber di seminar on promoting green and low carbon transition in BRI participating countries and seminar on CCICED special policy study on green BRI pada Senin (27/3/2023).

“Indonesia harus meningkatkan ambisinya untuk membuat pengurangan emisi yang kompatibel dengan Persetujuan Paris. Di bawah rencana saat ini, net zero emission (NZE) sektor energi akan tercapai setelah tahun 2060, tetapi sektor listrik akan mencapai nol bersih pada tahun 2050. Untuk itu, diperlukan lebih banyak upaya untuk dekarbonisasi sektor transportasi dan industri,” jelas Fabby. 

Dalam mendorong dekarbonisasi tersebut, kata Fabby, Indonesia membutuhkan investasi kumulatif sekitar USD 1,3 triliun yang tersebar di berbagai teknologi. Dengan kondisi tersebut, Fabby menjelaskan, China dapat berperan mendukung transisi energi di Indonesia melalui kerjasama teknologi, manufaktur dan investasi, mengingat, terdapat potensi pasar dalam peningkatan permintaan energi terbarukan di Indonesia. 

“Tenaga surya akan berperan penting dalam transisi energi Indonesia. Berdasarkan RUPTL 2021-2030, PLN berencana untuk menambah 3,9 GW energi surya pada 2025. Untuk itu, investasi BRI pada tahun 2023 perlu difokuskan pada proyek-proyek yang layak secara finansial, seperti pembangkit listrik tenaga surya dan energi angin yang dapat diskalakan,” ujar Fabby Tumiwa.

Di lain sisi, keberadaan BRI bisa memungkinkan terjadinya investasi untuk industri komponen energi terbarukan. Hal ini bisa dilakukan dengan mempertimbangkan kompleksitas rantai pasokan. Fabby menegaskan, dorongan untuk transisi energi dibarengi dengan industrialisasi di Asia Tenggara, seperti penyimpanan energi (energy storage), kendaraan listrik dan panel surya.

“Saat ini Indonesia sudah mulai mengembangkan industri baterai dan kendaraan listrik (electric vehicle) karena kandungan nikelnya yang melimpah. Biaya produksi yang rendah dan ketersediaan sumber daya merupakan beberapa peluang untuk mengembangkan industri modul surya lokal di Indonesia,” terang Fabby. 

Dalam kesempatan yang sama, Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, Institute for Essential Services Reform (IESR), memaparkan berbagai rencana dan proyeksi sistem tenaga diperkirakan dapat menghasilkan percepatan penyebaran energi terbarukan di Indonesia. Misalnya saja perencanaan energi sistem tenaga terbaru menetapkan sekitar 20,9 GW terbarukan yang akan dibangun pada tahun 2030. Jumlah ini akan meningkat setidaknya 5-6 GW jika Indonesia mempertimbangkan target JETP dari 34% bauran energi terbarukan pada tahun 2030.

Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, Institute for Essential Services Reform (IESR)
Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, Institute for Essential Services Reform (IESR) menjadi narasumber di seminar on promoting green and low carbon transition in BRI participating countries and seminar on CCICED special policy study on green BRI pada Senin (27/3/2023)

“Untuk mencapai target kebijakan nasional pada tahun 2025, IEA memproyeksikan penambahan kapasitas energi surya sebesar 17,7 GW di atas yang direncanakan dalam RUPTL. Sementara itu, berdasarkan skenario IESR, kapasitas pembangkit listrik berbasis energi terbarukan harus digenjot menjadi 140 GW demi membatasi pemanasan global hingga 1,5°C,” jelas Deon. 

Namun demikian, kata Deon, secara historis, kapasitas terpasang energi terbarukan hanya tumbuh berkisar 500 MW per tahun. Hal ini terjadi karena terdapat beberapa tantangan utama, di antaranya kelebihan kapasitas pada pembangkit listrik Jawa-Bali. Selain itu, dominasi kapasitas PLTU batubara dengan mekanisme take or pay, membuat tidak adanya ruang untuk integrasi energi terbarukan. Tidak hanya itu, tantangan lainnya adalah, terdapat proses pengadaan energi terbarukan dan persyaratan penggunaan konten lokal yang menempatkan risiko yang tidak perlu terhadap pengembangan energi terbarukan. 

Kembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi untuk Transisi Energi

FT

Jakarta, 24 Februari 2023 –  PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) akan menggelar penawaran saham perdana  atau initial public offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia pada Jumat (24/2/2023). PGE akan melepas 25 persen saham dengan target perolehan dana hingga Rp 9,78 triliun. Dengan dana tersebut, PGE bakal mengembangkan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) dengan kapasitas 600 megawatt hingga 2027. Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa memaparkan, terdapat dua urgensi dari proses IPO saham PGE. Pertama, target Indonesia yang akan mengembangkan energi terbarukan dan melakukan transisi energi. Oleh karena itu, Indonesia perlu memanfaatkan semua sumber energi terbarukan yang dimiliki, apalagi Indonesia juga perlu mengurangi secara bertahap pengoperasionalan PLTU batubara sampai tahun 2050. Hal ini diungkapkannya ketika menjadi narasumber di acara Sapa Malam Indonesia, Kompas TV pada Kamis (23/2/2023).

“Urgensi yang kedua yakni mengenai PGE memiliki strategi bisnis dan perusahaan ini akan bertransformasi dari perusahaan minyak dan gas ke perusahaan energi. Salah satunya yang akan didorong pengembangan energi terbarukan, seperti panas bumi,” terang Fabby. 

Fabby mengungkapkan, Pertamina memiliki cadangan panas bumi yang cukup besar dan kualitas cadangannya cukup bagus. Hal ini lantaran Pertamina telah melakukan eksplornya sejak tahun 1980an. Lebih lanjut, Fabby menilai, selama ini cadangan tersebut tidak dapat dikembangkan secara maksimal karena beberapa faktor. Salah satu faktornya yakni pendanaan. Mengingat, pengembangan cadangan panas bumi membutuhkan investasi yang cukup besar karena harus melakukan eksplorasi (ngebor) dan memastikan berapa persen dari cadangan tersebut yang dapat digunakan untuk operasional listrik. 

“Di Indonesia, biaya pengeboran satu sumur saja memerlukan dana sekitar USD3-5 juta. Dengan tingkat rasio keberhasilan 30% dan kira-kira kita melakukan pengeboran tiga sumur maka dapat satu sumur yang berhasil untuk membangkitkan listrik sekitar 30 – 50 megawatt (MW), kita harus menghabiskan USD15 juta untuk pengeborannya. Belum mengenai infrastruktur dan sebagainya. Proses ini memakan waktu yang lama dari pengeboran sampai menjadi pembangkit listrik,” ujar Fabby. 

Menurut Fabby, Pertamina perlu mengoptimalkan potensi cadangan panas bumi yang ada. Untuk itu, Pertamina memerlukan dana. Dana tersebut bisa didapatkan dengan salah satunya melalui IPO saham. IPO menjadi langkah tepat untuk pengembangan Pertamina ke depan. 

“Indonesia memiliki potensi panas bumi terbesar di dunia, totalnya sekitar 28 gigawatt (GW) atau 28 ribu megawatt (MW), yang baru termanfaatkan sampai hari ini kurang 10%. Jika kita bisa mengembangkan ini, maka diharapkan energi  terbarukan semakin kompetitif, terutama listrik dari panas bumi yang bisa lebih murah,” papar Fabby.