Mendefinisikan Adil dan Memastikan Komitmen JETP

Jakarta, 18 April 2023 – Mengatasi masalah perubahan iklim tidak hanya membutuhkan komitmen tetapi juga membutuhkan sumber daya yang sangat besar. Pembiayaan telah menjadi salah satu tantangan terbesar bagi negara-negara seperti Indonesia yang bergantung pada pembangkit batubara dan perlu mengubahnya menjadi pembangkit listrik berbasis terbarukan untuk mengurangi emisi dari sektor ketenagalistrikan. Ini pasti membutuhkan pembiayaan yang sangat besar.

Kelompok negara-negara maju berkomitmen untuk mendistribusikan dana ke beberapa negara untuk mempercepat transisi energi. Pendanaan itu disebut Just Energy Transition Partnership (JETP). Hingga April 2023, dua negara yaitu Afrika Selatan dan Indonesia menerima komitmen pendanaan.

Vietnam, salah satu negara Asia yang berkembang pesat dalam energi terbarukan beberapa tahun terakhir, sedang menjalin komunikasi intensif untuk menerima pendanaan JETP selanjutnya. Minh Ha Duong, ketua Dewan Anggota VIETSE, dalam webinar bertajuk “Between Vision and Reality: Navigating JETP in South Africa, Indonesia, and Vietnam” mengatakan bahwa JETP akan kembali menggeliatkan pengembangan energi terbarukan di Vietnam.

“Selama beberapa tahun, kami dapat mengatakan bahwa pengembangan energi terbarukan di Vietnam sedang booming hingga kami dapat memiliki beberapa gigawatt energi terbarukan, tetapi akhir-akhir ini terhenti. Dengan adanya pendanaan JETP ini akan memanaskan kembali pembangunan energi terbarukan,” ujarnya.

Afrika Selatan, yang menjadi negara pertama penerima JETP, mencatat poin-poin yang patut dipertimbangkan bagi negara lain dan anggota IPG dalam mereplikasi proyek di negara lain.

“Pembiayaan JETP bertindak sebagai katalis selama proses transisi energi. Tentu saja tidak cukup untuk menutupi seluruh dana yang dibutuhkan untuk mengubah sektor listrik dan dampak sosial dan ekonominya, tetapi itu masih dapat mempercepat transisi,” kata Tracy Ledger, pimpinan program transisi energi di Public Affairs Research Institute (PARI). Tracy juga menyoroti bahwa partisipasi publik selama negosiasi JETP sangat terbatas.

Mengamankan komitmen JETP sebesar USD 20 miliar selama pertemuan G20 November lalu, Indonesia telah membentuk sekretariat khusus untuk JETP di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Institute for Essential Services Reform (IESR), yang secara aktif terlibat dan meninjau sektor energi di Indonesia dan terus memberikan masukan kepada pembuat kebijakan tertentu, menunjukkan bahwa komitmen USD 20 miliar, tetapi pencairannya dapat bergantung pada banyak hal. Oleh karena itu Indonesia perlu menyiapkan ekosistem untuk menyambut pendanaan tersebut.

Pemerintah Indonesia setidaknya perlu menangani masalah-masalah berikut: ketersediaan proyek-proyek yang bankable, lelang pembangkit listrik energi terbarukan yang terjadwal, dan lingkungan yang memungkinkan bagi para pengembang untuk memulai proyek mereka di Indonesia.

“Kita juga perlu mendefinisikan apa yang dimaksud dengan ‘adil’ atau ‘just’ dalam konteks JETP. Konteks kami (IESR) yang dimaksud ‘adil’ melibatkan tenaga kerja dan transisi ekonomi terutama mereka yang berada di provinsi penghasil batubara,” jelas Fabby Tumiwa, direktur eksekutif IESR.

JETP Indonesia menangani target pengurangan emisi sebesar 290 juta ton CO2 dan campuran energi terbarukan sebesar 34% pada tahun 2030. Target ini memerlukan penghentian penggunaan batu bara sebagai prasyarat untuk mengurangi emisi dari sektor ketenagalistrikan. Sebagai salah satu dampaknya, produksi batu bara akan turun drastis dan berdampak pada daerah penghasil batu bara seperti Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan.

Kegiatan ekonomi lokal pasti akan bergeser karena provinsi-provinsi tersebut sangat bergantung pada produksi batubara untuk produk domestik brutonya. Kualitas akses energi yang berbeda dari satu tempat ke tempat lain menjadi tantangan implementasi JETP di Indonesia.

“Target 34% energi terbarukan pada 2030 tidak cukup untuk mendekarbonisasi sistem energi Indonesia tetapi ini adalah awal yang baik untuk mempercepat pemanfaatan energi terbarukan, apalagi USD 20 miliar. Namun, itu dapat membuka lebih banyak peluang untuk transisi energi,” kata Fabby.

Fabby menambahkan, pendirian industri energi terbarukan seperti manufaktur baterai dan panel surya menjadi salah satu kunci keberhasilan transisi energi.

Perkuat Peran Indonesia di ASEAN Melalui Transisi Energi

Jakarta, 11 April 2023 – Kepemimpinan Indonesia pada level internasional terus berlanjut. Setelah dinilai sukses menjadi pemimpin negara-negara G20 pada 2022, tahun 2023 ini Indonesia dipercaya untuk menjadi ketua ASEAN. Sebagai negara dengan jumlah penduduk, ekonomi, dan permintaan energi terbesar di kawasan ASEAN, Indonesia memiliki peran penting dalam berbagai aspek perkembangan kawasan ASEAN.

Salah satu isu prioritas yang dibahas selama Indonesia memegang presidensi G20 adalah transisi energi. Salah satu dokumen panduan transisi energi yang dihasilkan adalah Bali Compact yang memuat prinsip dasar percepatan transisi energi yang akan menjadi panduan dan acuan negara-negara G20 dalam melakukan transisi energi. 

Isu transisi energi kembali menjadi isu yang akan dibicarakan selama kepemimpinan Indonesia di ASEAN. Dengan komitmen ini, Indonesia juga harus mengakselerasi proses transisi energinya. Keberhasilan transisi energi Indonesia dalam melakukan transisi energi dapat mempengaruhi status transisi energi di ASEAN terutama penerimaan negara lain terkait isu transisi energi. 

Dalam wawancara untuk program Indonesia Menyapa yang disiarkan oleh RRI Pro 3, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform, Fabby Tumiwa mengatakan bahwa Indonesia memiliki sejumlah instrumen kebijakan yang dapat dijadikan modal untuk komitmen transisi energinya.

“Indonesia merupakan salah satu negara di ASEAN yang memiliki target net zero emission. Selain itu pemerintah juga mengeluarkan Perpres 112/2022 yang mengatur tentang percepatan penghentian masa operasi PLTU batubara,” kata Fabby.

Meski memiliki catatan baik pada tingkat policy setting, namun Fabby mengingatkan bahwa dalam hal pengembangan dan penambahan kapasitas terpasang energi terbarukan, Indonesia tertinggal cukup jauh dengan negara ASEAN lain seperti Vietnam dan Filipina. 

Fabby menyoroti salah satunya proyek energi terbarukan yang sudah masuk dalam RUPTL PLN 2021-2030 yang pelaksanaannya juga mengalami berbagai kendala.

“Dalam RUPTL PLN seharusnya sepanjang 2021 – 2025 terdapat tambahan energi terbarukan sekitar 10,5 GW, namun pelaksanaannya tidak mulus. Ambillah dalam 5 tahun terakhir, penambahan kapasitas energi terbarukan Indonesia kurang bagus dan kita perlu kerja keras untuk memperbaiki ini,” kata Fabby. 

Salah satu penyebab Indonesia belum optimal dalam mengembangkan transisi energinya adalah anggapan bahwa batubara menghasilkan listrik yang murah dan energi terbarukan mahal. Cara pandang ini tersirat saat program 35 GW dicanangkan yang membuat infrastruktur energi fosil menjadi banyak dalam sistem kelistrikan di Indonesia. Ketersediaan infrastruktur energi fosil ini membuat preferensi pemerintah lebih condong ke pemanfaatan energi fosil dalam perencanaan pemenuhan kebutuhan energi di Indonesia. Hal ini semakin didukung dengan kebijakan pemberian subsidi bagi sejumlah komoditas energi fosil seperti harga DMO (Domestic Market Obligation) batubara.

“Hal yang perlu diperhatikan dari pilihan-pilihan ini adalah dengan mendorong pemanfaatan batubara berarti menutup kesempatan energi terbarukan untuk tumbuh dan berkembang karena akan terus dianggap mahal,” jelas Fabby.

Fabby menutup wawancara ini dengan himbauan pada pemerintah dan PLN untuk mengejar target penambahan kapasitas energi terbarukan yang sudah direncanakan dalam RUPTL untuk menjadi game changer dalam mendongkrak pengaruh Indonesia di kawasan Asia Tenggara.

Membandingkan Teknologi dan Biaya Rata-Rata Pembangkitan dengan Adil

Jakarta, 24 Maret 2023 – Perkembangan berbagai teknologi pembangkitan listrik energi terbarukan terus mengalami perkembangan yang berimbas pada harga listrik yang dihasilkan. Selain teknologi, beberapa jenis pembangkit tenaga listrik juga dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain harga komoditas bahan bakar, juga situasi geopolitik. 

Dalam sambutan pembukaan untuk peluncuran laporan dan alat penghitung rata-rata biaya pembangkitan listrik (levelized cost of electricity, LCOE) dan biaya penyimpanan energi rata-rata (levelized cost of storage, LCOS), Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan bahwa terjadi dua kondisi yang bertolak belakang antara pembangkit energi terbarukan dan pembangkit fosil.

“Hampir semua pembangkit energi terbarukan harganya menurun. PLTS menurun 90% dan PLTB turun sekitar 80%. BBM atau fosil sampai saat ini harganya terus dipengaruhi tidak hanya oleh biaya, namun juga kondisi geopolitik. Pembangkit listrik energi terbarukan tidak akan terpengaruh oleh harga bahan bakar, karena tidak menggunakan bahan bakar,” katanya.

Penulis laporan “A 2023’s Update on The Levelized Cost of Electricity and Levelized Cost of Storage in Indonesia” His Muhammad Bintang memaparkan temuan senada. Menurutnya, di Indonesia listrik dari PLTU batubara dipercaya lebih murah daripada listrik dari pembangkit energi terbarukan padahal banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi. 

“Harga listrik PLTU menjadi murah karena adanya kebijakan Domestic Market Obligation (DMO). Kebijakan ini membuat PLTU memiliki biaya pembangkitan yang relatif murah dan stabil,” jelas Bintang.

Bintang menambahkan bahwa tanpa kebijakan DMO, harga listrik dari PLTU batubara dapat naik hingga tiga kali lipat saat harga batubara global naik. 

Kebijakan lain yang akan mempengaruhi besarnya biaya pembangkitan energi adalah penerapan nilai ekonomi karbon seperti carbon cap, dan pajak karbon. Penerapan nilai ekonomi karbon perlu dipastikan efektif dengan memastikan besaran kuota (cap) ataupun harga pajak karbon kompetitif. Penetapan nilai ekonomi karbon yang sesuai diharapkan akan menurunkan penggunaan energi fosil dan mendorong pengembangan energi terbarukan. 

Pada kesempatan yang sama, Mustaba Ari Suryoko, Koordinator Pelayanan dan Pengawasan Usaha Aneka EBT, Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM menjelaskan bahwa perubahan pergerakan harga energi terbarukan di tingkat global sebenarnya terjadi juga di Indonesia. 

“Kami mengidentifikasi penurunan harga itu relatif berkaitan dengan teknologi. Misal di surya dan angin, PLTB terkait dengan feedstock, dan beberapa stagnan seperti hidro,” kata Mustaba.

Dijelaskan oleh Mustaba, Kementerian ESDM saat ini sedang menyusun aturan setara UU untuk pengembangan energi terbarukan. Sebelumnya dalam Perpres No. 112/2022 diamanatkan untuk mengadakan evaluasi harga. Adanya perangkat penghitung LCOE dan LCOS akan membantu dalam melakukan evaluasi tersebut, tentu dengan menyesuaikan asumsi yang digunakan sebagai parameter. 

Salah satu aktor kunci pengembangan energi terbarukan dan transisi energi pada umumnya adalah PLN yang bertindak sebagai offtaker dari listrik yang dihasilkan pembangkit. Perkembangan teknologi yang berimbas pada harga listrik ini pun tidak luput dari perhatian PLN. 

Disampaikan Cita Dewi, EVP Energi Baru dan Terbarukan PT PLN, tren penurunan harga listrik dari pembangkit energi terbarukan masuk dalam pantauan PLN.

“PLN menyambut baik hal ini, karena kami menyadari untuk melakukan transisi energi kita butuh banyak pembangkit EBT,” jelas Cita.

Selain pembangkit PLN juga memiliki mandat untuk membangun ekosistem energi terbarukan serta memastikan proyek-proyek pengembangan energi terbarukan dalam RUPTL terlaksana dengan baik.

Menilik lebih dalam ke sisi teknologi, penurunan harga energi surya salah satunya dipengaruhi oleh peningkatan efisiensi modul surya.

“Adanya peningkatan efisiensi modul surya ini meningkatkan produksi energi surya tanpa menambah biayanya. Selain itu perkembangan teknologi mekanik seperti nano cell juga bisa menurunkan biaya produksi atau biaya jual. Hal ini nantinya akan menurunkan biaya modul surya secara signifikan,” terang Andhika Prastawa, Peneliti Teknik Utama BRIN.

Evvy Kartini, founder National Battery Research Institute, mengingatkan juga tentang pentingnya peran teknologi penyimpanan atau baterai dalam ekosistem transisi energi. 

“Harga dari transisi energi ini akan bergantung pada baterai. Ambil contoh kendaraan listrik, 45% harga dari kendaraan listrik adalah harga baterai, sehingga jika baterainya murah harganya akan turun.”

Selain perkembangan teknologi, keteraturan jadwal lelang juga menjadi faktor penting dalam memastikan pengembangan energi terbarukan. 

“Terkait risiko pengembangan PLTS di indonesia, di setiap tahap tentu ada resikonya. Di tahap pengembangan, kami mengharapkan adanya certainty, seperti ketersediaan informasi tentang jadwal lelang dan kapasitasnya dalam satu tahun seperti yang dilakukan di negara lain,” kata Refi Kunaefi, Managing Director Akuo Energy Indonesia.

”Jangan Halangi Gotong Royong Masyarakat untuk Energi Bersih”

Jakarta, 21 Maret 2023 – Sebagai salah satu negara yang ikut menandatangani dan meratifikasi Persetujuan Paris pada tahun 2015, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisinya. Pada tahun 2022, menjelang KTT G20, Indonesia memperbarui komitmen penurunan emisinya dalam Enhanced NDC yang menargetkan penurunan emisi Indonesia dengan usaha sendiri  sebesar 31,89% pada 2030 dan target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2030. 

Energi surya dalam berbagai kesempatan disebut akan menjadi tulang punggung sistem kelistrikan Indonesia dalam pencapaian target bauran energ terbarukan dan penurunan emisi. Mengingat potensi teknisnya yang melimpah, kecepatan pemasangan, dan fleksibilitas ukuran yang dapat dengan mudah disesuaikan menjadikan surya sebagai pilihan yang pas untuk kondisi Indonesia saat ini yang harus meningkatkan bauran energi terbarukan dalam waktu sempit. 

Sayangnya, dalam perkembangan satu tahun terakhir, dukungan terhadap PLTS atap kurang baik dari sisi offtaker listrik (PT PLN). Sejak 2022, PT PLN melakukan pembatasan kapasitas memasang PLTS atap yaitu hanya sebesar 10%-15% dari kapasitas terpasang. Pembatasan ini berimbas pada nilai keekonomian dari PLTS atap yang menjadi kurang menarik, baik untuk konsumen maupun pengusaha PLTS atap. 

Dalam konferensi pers yang digelar Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Perkumpulan Pemasang PLTS Atap Seluruh Indonesia (PERPLATSI), Asosiasi PLTS Atap (APSA), Perkumpulan Pengguna Listrik Surya Atap (PPLSA) dan Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia (APAMSI), Fabby Tumiwa, Ketua Umum AESI menyatakan bahwa berbagai tantangan masih menghambat upaya akselerasi energi surya di Indonesia.

“PLTS skala besar di Indonesia sulit berkembang karena tidak adanya perencanaan jangka panjang di sistem ketenagalistrikan sebelum RUPTL 2021 – 2030, proses lelang yang kurang konsisten dan kurang kompetitif, skala keekonomian yang sulit tercapai karena lelang tersebar dan dalam skala kurang dari 20 MW, hingga aturan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang tidak didukung kesiapan industri dalam negeri,” tutur Fabby.

Kementerian ESDM mulai Januari 2023 melakukan revisi Peraturan Menteri ESDM 26/2021 tentang pelanggan PLN yang memasang PLTS atap. Revisi Permen ESDM 26/2021 ini menuai pro kontra salah satunya disampaikan Muhammad Firmansyah, Bendahara Umum PERPLATSI yang menyatakan bahwa poin revisi seperti peniadaan ekspor-impor listrik dari pengguna PLTS akan mengurangi minat calon pelanggan untuk beralih pada energi terbarukan. Perencanaan sistem kuota per sistem jaringan listrik juga dianggap dapat menghambat pengembangan PLTS atap. 

“Dengan diberlakukannya kuota untuk PLTS atap, hal ini seperti menunggu kematian datang. Sebab jika kuota di satu sistem sudah penuh maka pelanggan tidak bisa lagi memasang PLTS atap yang tersambung dengan jaringan tersebut,” jelas Firmansyah.

Yohanes Sumaryo, Ketua Umum PPLSA menyoroti perubahan perilaku pengguna PLTS atap. “Beberapa dari kami mulai mengubah sistem PLTS atap di rumah untuk tidak terkoneksi dengan jaringan PLN (off-grid), terutama untuk menghindari kendala perizinan dan persyaratan lain yang memberatkan. Umumnya calon pengguna juga bingung dengan aturan baru terkait pembatasan dan syarat baru seperti profil beban.” 

Menurut Yohanes, sudah banyak pengguna di kota dengan tarif daya cukup tinggi yang mulai berinvestasi baterai sehingga bisa menggunakan PLTS atap secara maksimal. Meski demikian, Permen ESDM No. 26/2021 perlu terus diperjuangkan untuk menaungi pengguna PLTS atap sebagaimana mestinya.

Tidak dilaksanakannya Permen ESDM No. 26/2021 berimbas pada berbagai sektor pendukung PLTS seperti industri panel surya yang menjadi sulit berkembang. Dikatakan Linus Sijabat, Ketua Umum APAMSI dalam kesempatan yang sama, aturan terkait TKDN masih menjadi tantangan untuk pengembangan industri panel surya dalam negeri. 

“Persoalan TKDN pada industri panel dalam negeri ini membutuhkan regulasi yang konsisten dan implementasi yang serius disertai dengan dukungan pendanaan dari pemerintah, perbankan, maupun lembaga finansial untuk meningkatkan kualitas panel surya dalam negeri dan menjadikan kualitasnya bersaing dengan panel surya impor,” katanya.

Sejak tahun 2013, APAMSI telah mengupayakan investasi dalam jumlah besar untuk memajukan industri modul surya dalam negeri namun belum berhasil karena captive market dan permintaan (demand) dari energi surya di Indonesia belum terlihat jelas.

Imbas pembatasan pemasangan PLTS atap juga dirasakan oleh masyarakat Bali. Beberapa kasus menyatakan bahwa masyarakat telah memasang sistem PLTS sesuai aturan Permen 26/2021 namun tidak dapat digunakan sepenuhnya.

“Di Bali sendiri sangat banyak kendala, contohnya instalasi PLTS yang sudah terpasang namun tidak disetujui sepenuhnya oleh PLN  sehingga sistem PLTS atap yang sudah terpasang menjadi tidak bisa digunakan sepenuhnya, padahal masyarakat memasang sesuai Permen ESDM 26/2021, yaitu 100% daya terpasang bangunan,” jelas Erlangga Bayu mewakili APSA Bali.

Banyak juga masyarakat yang bahkan sudah membayar DP (down payment) untuk pasang PLTS atap namun akhirnya membatalkan karena pembatasan kapasitas tersebut. Padahal masyarakat memasang PLTS atap dengan biaya dan kesadaran sendiri dengan motivasi untuk penghematan biaya listrik dan pelestarian lingkungan. Pembatasan kapasitas PLTS atap seakan mencekal  kontribusi nyata gotong royong masyarakat untuk pencapaian target energi terbarukan dan penurunan emisi gas rumah kaca.

Memperkuat Narasi Energi Surya

Jakarta, 9 Maret 2023 – Energi surya memiliki potensi untuk dikembangkan secara masif di Indonesia. Institute for Essential Services Reform dalam laporan bertajuk “Beyond 207GW” menyebutkan bahwa potensi teknis energi surya di Indonesia mencapai 20.000 GW. Sayangnya, pemanfaatan energi surya masih minim. Tercatat, kapasitas terpasang energi surya baru sekitar 270,3 MW hingga 2022.

Dalam talkshow “Bincang Energi Surya” kolaborasi enam institusi yaitu Institute for Essential Services Reform (IESR), Solar Scholars Indonesia (SSI), Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Australia, Asosiasi Peneliti Indonesia Korea (APIK), Institut Energi Surya Generasi Baru (Insygnia), dan Solarin, Anindita Satria Surya, Vice President Transisi Energi dan Perubahan Iklim PT PLN menyatakan bahwa pengembangan energi surya sangat diperlukan untuk pengembangan energi terbarukan. 

“Gambaran skenario JETP adalah pertama, membangun baseload yang besar seperti PLTA, kedua, membangun jaringan transmisi yang kuat, dan yang ketiga, membangun pembangkit pendukung seperti PLTS,” jelasnya menjelaskan gambaran besar rencana PLN dalam membangun pembangkit energi terbarukan dalam beberapa tahun ke depan. 

Selain rencana investasi komprehensif untuk pelaksanaan program Just Energy Transition Partnership, pembangunan pembangkit energi terbarukan juga berpedoman pada RUPTL. Dalam RUPTL 2021-2030, direncanakan bahwa Indonesia akan memiliki lebih dari 50% energi yang digunakan berasal dari sumber energi terbarukan. Energi surya sendiri direncanakan akan bertambah sebanyak 4,6 GW hingga tahun 2030. 

Widi Nugroho, Sub Koordinator Pengawasan Usaha Aneka EBT, Kementerian ESDM menegaskan untuk mengejar target bauran energi terbarukan 23% pada tahun 2025 akan diutamakan pemenuhannya dengan energi surya. 

“Untuk pembangunan pembangkit EBT diutamakan sesuai RUPTL 2021 – 2030 di mana surya akan bertambah sebesar 4,6 GW di 2030,” jelasnya.

Berdasarkan perencanaan pemerintah, energi surya akan menjadi penopang utama sistem ketenagalistrikan Indonesia dengan kapasitas 461 GW pada tahun 2060. Terpilihnya Indonesia sebagai penerima dana transisi energi Just Energy Transition Partnership (JETP) membuka berbagai peluang pendanaan proyek energi terbarukan dan riset teknologi. 

Dalam kesempatan yang sama, Muhamad Rosyid Jazuli, Peneliti Kebijakan, Paramadina Public Policy Institute, menyatakan bahwa saat ini terdapat satu tantangan utama dari sisi kebijakan yaitu bertumpuknya sejumlah komitmen yang tidak dibarengi dengan regulasi turunan sehingga kemajuan untuk mencapai komitmen yang sudah dijanjikan tidak berjalan mulus.

“Tingginya dominasi batubara pada sistem kelistrikan Indonesia dan harga batubara yang dianggap relatif lebih murah menjadi salah satu tantangan pengembangan energi terbarukan khususnya surya,” jelas Rosyid.

Rosyid juga menambahkan bahwa selain kebijakan persepsi masyarakat perlu dibangun terkait dengan energi terbarukan dan teknologi rendah karbon supaya terjadi perubahan perilaku. Saat ini energi terbarukan ataupun teknologi rendah karbon lain seperti kendaraan listrik ataupun PLTS atap belum menjadi pilihan utama masyarakat. Terbatasnya informasi terkait dengan teknologi dan harga yang masih relatif lebih mahal menjadi beberapa faktor pemberat di masyarakat.

Bincang Energi Surya merupakan serangkaian acara diseminasi publik seputar energi surya. Diseminasi tematik energi surya akan diselenggarakan secara regular, setiap dua minggu hingga Juni 2023 mendatang, yang mencakup topik; lanskap energi surya Indonesia, kebijakan terkini, teknologi, industri, sosio-ekonomi dan kesiapan sumber daya manusia dalam mendukung Just Energy Transition Partnership (JETP) dan target Net Zero Emission (NZE).

Ikut Ber-“Gerilya” Energi Surya

Jakarta, 1 Maret 2023 – Transisi energi membutuhkan peran serta semua pihak untuk mewujudnyatakannya. Sektor pendidikan digadang-gadang menjadi salah satu pilar strategis untuk memastikan adanya tenaga ahli maupun teknisi yang siap berkiprah dalam ranah pengembangan energi terbarukan.

Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Rida Mulyana mengingatkan pentingnya transisi energi dan pemanfaatan energi surya. 

“Saat ini untuk listrik 86% dari energi fosil, dan suatu saat akan habis. Dengan adanya transisi energi, kita ingin agar kualitas akan ketahanan dan kemandirian energi nasional meningkat, tidak lagi tergantung pada energi fosil. Kita punya sumber energi terbarukan, dan itu berlimpah. Artinya kalau kita ingin transisi dari fosil ke non-fosil, sumbernya sudah ada,” kata Rida pada peluncuran program Gerilya, Rabu 1 Maret 2023.

Rida juga menambahkan alasan mendesak yang kedua adalah adanya tekanan global bahwa saat ini perubahan iklim dan cuaca susah diprediksi, bahkan di negara tropis seperti Indonesia. Hal itu, karena adanya pemanasan global, akibat banyaknya GRK yang naik dan kemudian membuat suhu bumi naik, tidak saja tinggi permukaan laut yang naik, tetapi cuaca juga tidak dapat diprediksi, dan itu sudah dirasakan.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral secara khusus membentuk GERILYA (Gerakan Inisiatif Listrik Tenaga Surya) sebagai bagian dari program Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB) hasil kolaborasi Kementerian ESDM dengan Merdeka Belajar Kampus Merdeka, Kemendikbud-Ristek

Dalam program GERILYA, mahasiswa ditempatkan pada berbagai lembaga dan perusahaan yang bergerak dalam berbagai aspek pengembangan energi surya. Dalam sambutannya pada kesempatan yang sama, Direktur Aneka Energi dan EBT, Kementerian ESDM, Andriyah Feby Misna menyatakan bahwa upaya transisi energi di Indonesia perlu diimbangi dengan ketersediaan sumber daya manusia yang kompeten dan mumpuni. 

“Untuk itu program Gerilya terus memperbaiki diri dengan memperbaiki kurikulum energi surya dan kembali bergabung pada MSIB batch keempat ini,” jelas Feby. 

Perbaikan kurikulum yang dimaksud mencakup antara lain latar belakang keilmuan peserta yang awalnya hanya dari jurusan eksakta saat ini sudah dapat diikuti oleh mahasiswa jurusan sosial humaniora. Waktu mahasiswa untuk terlibat dalam proyek juga diperpanjang menjadi empat bulan dan waktu pembekalan dipersingkat menjadi satu bulan. 

Sebanyak 2.456 pendaftar dari 280 Perguruan Tinggi di seluruh Indonesia telah diseleksi, dengan hasil 62 mahasiswa dari 34 Perguruan Tinggi dinyatakan lulus tahap seleksi GERILYA. Dari jumlah mahasiswa yang lulus tahap seleksi, 24 orang atau 38% di antaranya adalah perempuan. Hal ini merupakan wujud komitmen kesetaraan gender (gender equality) dalam pelaksanaan program GERILYA MSIB Batch 4.

 

Institute for Essential Services Reform (IESR) mendukung program Gerilya sejak batch pertama dan menyediakan wadah untuk mahasiswa belajar tentang perubahan kebijakan terkait pengembangan energi surya dari sisi masyarakat sipil melalui kajian ilmiah. Pada batch 4 ini IESR akan menjadi tempat belajar bagi empat mahasiswa Gerilya.

IEVO 2023: Meninjau Ekosistem Kendaraan Listrik Indonesia

Jakarta, 21 Februari 2023 – Sektor transportasi menyumbang hampir seperempat dari emisi sektor energi pada tahun 2021. Emisi sektor transportasi ini sebagian besar datang dari pembakaran bahan bakar yang 52% nya berasal dari impor BBM. Mengingat target pemerintah Indonesia untuk mencapai status net-zero emissions pada 2060 atau lebih cepat, dekarbonisasi sektor transportasi penting untuk dilakukan.

Mengadaptasi pendekatan ASI yaitu Avoid – Shift – Improve, Institute for Essential Services Reform (IESR) menilik salah satu strategi dekarbonisasi sektor transportasi yakni kendaraan listrik. Disampaikan oleh Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam peluncuran laporan Indonesia Electric Vehicle Outlook 2023, bahwa secara jumlah kendaraan listrik di Indonesia terus bertambah dalam 5 tahun terakhir, namun secara pangsa pasar masih rendah.

“Walau demikian, pangsa pasar kendaraan listrik hanya 1% dari penjualan keseluruhan kendaraan di Indonesia per tahunnya. Beberapa faktor masih membuat calon pembeli enggan seperti harga awal yang masih tinggi, dan ekosistem pendukung seperti stasiun pengisian yang masih terbatas jumlahnya,” jelas Fabby.

Sebagai salah satu ekosistem pendukung kendaraan listrik, stasiun pengisian daya baik itu Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) maupun Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU) memiliki peran penting dalam kecepatan adopsi kendaraan listrik. Secara psikologis, jumlah stasiun pengisian ini mempengaruhi keputusan calon konsumen kendaraan listrik.

“Secara angka, jumlah SPKLU terus bertumbuh sebenarnya. Namun saat ini masih terpusat di Jawa dan Bali. Hanya 12% SPKLU yang berada di luar Jawa – Bali,” jelas Faris Adnan, peneliti Sistem Ketenagalistrikan IESR.

Selain jumlah stasiun pengisian daya, Faris mengutarakan sejumlah hal antara lain tipe pengisian daya yang saat ini banyak yang bertipe pengisian lambat (slow charging). Perlu pemetaan lokasi yang komprehensif untuk menentukan tipe pengisian daya yang dipakai. Kawasan perkantoran dan pusat perbelanjaan di mana orang akan beraktivitas di dalamnya dapat menggunakan medium atau slow charging. Namun untuk tempat-tempat seperti pengisian daya di ruas jalan harus memakai tipe pengisian pengisian cepat (fast charging).

Standarisasi porta pengisian daya (port charging) juga menjadi salah satu bahasan dalam laporan ini. Dijelaskan Faris bahwa saat ini terdapat 3 jenis port charging untuk kendaraan listrik roda empat. Hal ini menjadi salah satu kendala bagi calon investor SPKLU karena kewajiban menyediakan tiga jenis porta ini berimbas pada nilai investasi yang harus dikeluarkan. 

“Jika pemerintah berhasil mengatur standarisasi port charging, maka nilai investasi untuk SPKLU akan lebih menarik,” jelas Faris.

Ilham Fahreza Surya, peneliti Kebijakan Lingkungan IESR, yang juga penulis IEVO 2023 menambahkan bahwa wacana pemerintah untuk memberikan insentif harga kendaraan listrik sebaiknya difokuskan pada transportasi umum, kendaraan angkutan logistik, dan kendaraan roda dua.

“Kami merekomendasikan pemerintah untuk mengutamakan kendaraan roda dua untuk mendapatkan insentif pemotongan harga, juga mengkombinasikan rencana insentif ini dengan aturan TKDN. Jadi yang berhak mendapat insentif adalah motor yang berasal dari produsen yang sudah memenuhi aturan TKDN,” jelas Ilham. 

Dari sisi industri, perakitan kendaraan listrik adalah industri yang paling maju dibandingkan dengan industri komponen pendukung kendaraan listrik. Salah satu yang menjadi sorotan adalah rencana Indonesia untuk melakukan hilirisasi nikel hingga menjadi baterai. 

Pintoko Aji, peneliti Energi Terbarukan IESR melihat bahwa rencana pemerintah Indonesia ini dapat dimanfaatkan oleh industri kendaraan listrik yang berniat membuka pabrik di Indonesia.

“Dengan adanya industri baterai dalam negeri, pabrik kendaraan listrik di dalam negeri dapat menggunakan baterai hasil industri dalam negeri pada kendaraannya sebagai strategi pemenuhan komponen TKDN,” jelas Pintoko.

Dalam diskusi panel menyambung pemaparan laporan Indonesia Energy Transition Outlook 2023, Wildan Fujiansah, Koordinator Kelayakan Teknis Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM menjelaskan bahwa untuk menjawab beberapa isu dalam penyediaan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia pemerintah mengeluarkan Permen ESDM No. 1/2023 yang mengatur salah satunya tentang standarisasi port charging, daya dan dimensi baterai.

“Permen No 1/2023 ini juga mengatur tentang investasi SPKLU yang awalnya harus menyediakan 3 port charging, sekarang cukup 1. Salah satu tujuan aturan ini memang untuk mendorong investasi SPKLU,” jelas Wildan.

Riza, Peneliti Senior Infrastruktur Pengisian Kendaraan Listrik, BRIN menyatakan bahwa dari sisi teknis proses pengisian daya kendaraan listrik bukan sekedar perangkat dengan teknologi tertentu.

“Secara perkembangannya, proses pengisian daya harus sesuai dengan karakteristik baterainya sementara kendaraan listrik terus berkembang,” kata Riza.

Dari sisi pengguna, kendaraan listrik roda dua saat ini banyak digunakan oleh perusahaan ride hailing untuk mitra pengemudinya. Namun untuk meningkatkan kepercayaan diri calon pengguna untuk beralih menggunakan kendaraan listrik, infrastruktur pendukung khususnya stasiun penukaran baterai perlu ditambah jumlahnya.

Rivana Mezaya, Direktur Digital and Sustainability Grab Indonesia menekankan bahwa dari sisi industri pengguna kendaraan listrik dapat menjajaki berbagai upaya untuk kepemilikan unit kendaraan listrik, namun perlu dukungan terkait kesediaan infrastruktur pendukung seperti stasiun penukaran baterai. 

“Kolaborasi dengan berbagai pihak ini akan mendorong masyarakat luas untuk dapat ambil bagian dalam transisi energi di Indonesia,” jelas Meza. 

Selain kolaborasi untuk mewujudkan ekosistem pendukung kendaraan listrik baik dari hulu hingga hilir penyebaran informasi yang komprehensif, mudah diakses dan ditemukan menjadi sangat penting untuk mendorong perubahan perilaku masyarakat. Hal ini diutarakan Indira Darmoyono, Ketua Forum Transportasi Lingkungan dan Energi, Masyarakat Transportasi Indonesia. 

“Praktik baik dari penggunaan kendaraan listrik dan informasi-informasi penting seperti di mana bengkel konversi yang bersertifikat, biaya konversi, insentif dalam berbagai bentuk itu harus dipublikasikan secara luas supaya masyarakat memiliki informasi yang cukup dan tergerak untuk beralih ke kendaraan listrik,” tutup Indira.

Laporan Indonesia Electric Vehicle Outlook adalah salah satu dari laporan utama IESR, dan dapat dibaca melalui Indonesia Electric Vehicle Outlook (IEVO) 2023 – IESR

Waktu Terus Berlalu, Sudahkah Transisi Energi Indonesia Bergerak Maju?

Perjalanan transisi energi Indonesia memasuki masa-masa kritis mengingat waktu yang ada semakin pendek. Target terdekat Indonesia adalah untuk mencapai 23% bauran energi terbarukan pada tahun 2025. Sementara, kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JETP) yang dikomitmenkan pada KTT G20 2022  menargetkan 34% energi terbarukan pada tahun 2030.

Dalam rentang waktu yang semakin pendek ini, progres transisi energi di Indonesia sayangnya masih tersendat. Kerangka kesiapan untuk bertransisi (Transition Readiness Framework) yang dikembangkan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) sejak tahun 2020 mencatat di tahun 2022 tidak ada perkembangan signifikan dari berbagai sektor transisi energi di Indonesia. Komitmen politik dan kebijakan bertransisi energi, serta iklim investasi untuk pembangkit energi terbarukan termasuk dalam kategori rendah. Hal ini dapat diartikan sebagai tantangan dalam pengembangan energi terbarukan sekaligus faktor yang perlu diperhatikan agar Indonesia tidak  gagal mencapai target-targetnya.

Tidak dipungkiri terdapat peningkatan kapasitas terpasang energi terbarukan tiap tahunnya. Namun penambahan kapasitas ini tidak cukup cepat untuk memenuhi target-target kapasitas energi terbarukan Indonesia dalam upaya membatasi kenaikan rata-rata suhu bumi di bawah 1,5 derajat celcius. 

Mengapa penting bagi Indonesia mencapai target-target energi terbarukannya? Indonesia masuk dalam sepuluh besar negara penghasil emisi terbesar di dunia. Maka, Indonesia memiliki tanggungjawab untuk mengurangi emisi gas rumah kacanya secara signifikan. Emisi Indonesia didominasi oleh dua sektor yaitu alih guna lahan dan sektor energi.

Dari sektor energi, emisi dapat dikurangi secara drastis dengan berfokus pada sektor ketenagalistrikan dengan menambah porsi pembangkit energi terbarukan, dan beralih pada sistem elektrik (elektrifikasi) bagi kendaraan dan industri.  

Indonesia Energy Transition Outlook 2023 melihat terdapat kesempatan untuk menambah kapasitas energi terbarukan pada tahun 2023. Adanya bantuan internasional untuk mengurangi emisi khususnya dari sektor energi harus menjadi katalis untuk penambahan kapasitas energi terbarukan sekaligus sarana pembuatan portofolio untuk menarik lebih banyak investasi untuk energi terbarukan. Untuk mencapai status bebas emisi pada tahun 2050, Indonesia membutuhkan 25-30 juta dolar Amerika per tahun untuk bertransisi.

Perubahan sistematis untuk memperbaiki iklim investasi diperlukan. Setidaknya terdapat tiga poin yang perlu diperbaiki menurut pengembang energi terbarukan yaitu perlu adanya FiT (Fit in Tariff), insentif fiskal, dan pinjaman berbunga rendah.

Jalan Panjang Perubahan Kebijakan Energi Indonesia

Jakarta, 20 Desember 2022 – Perkembangan energi terbarukan di Indonesia masih sangat lambat. Energi surya misalnya, data kementerian ESDM mencatat bahwa potensi energi surya di Indonesia mencapai 3300 GW. Namun pemanfaatannya masih kurang dari 1% dari besarnya potensi yang ada. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) sekaligus Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) dalam acara Inspirational Talks: Energi Terbarukan, Masa Depan Kita yang diselenggarakan oleh RESD dan Program Mentari (20/12) mengatakan terdapat sejumlah faktor yang saat ini menghambat pengembangan energi terbarukan di Indonesia.

“Mengurangi porsi energi fosil itu tidak mudah sebab sudah ada persepsi bahwa energi fosil lebih reliable dan energi terbarukan seperti surya dan angin tidak selalu tersedia (intermittent). Hal ini menjadikan energi terbarukan bukan pilihan utama ketika membuat perencanaan,” kata Fabby.

Salah satu akibat dari kebijakan ini adalah minat lembaga keuangan untuk membiayai proyek-proyek energi terbarukan rendah. Maka perkembangan energi terbarukan pun sangat lambat saat ini. 

Hal yang perlu dilakukan adalah mengubah dokumen perencanaan dan kebijakan energi berdasarkan bukti atau kajian kredibel (evidence based).  IESR melalui kajian-kajian berbasis buktinya kemudian memberikan rekomendasi pada pembuat kebijakan untuk membuat atau mengubah kebijakan untuk bertransisi menuju sistem energi yang lebih bersih. 

Meski secara kajian dan penelitian telah terbukti bahwa sistem energi yang lebih bersih akan membawa keuntungan yang lebih banyak bagi pemerintah dan masyarakat namun proses perubahan kebijakan seringkali memakan waktu panjang. Untuk itulah kemampuan advokasi dan komunikasi yang mumpuni dibutuhkan untuk mengawal dan mendesak kebijakan energi yang lebih bersih.

Fabby menuturkan bahwa penting untuk memastikan akses energi yang merata, berkualitas, dan bersih di masyarakat sebab dengan memiliki akses pada listrik, orang atau komunitas akan lebih sejahtera. Saat memiliki akses pada listrik yang berkualitas orang cenderung akan memiliki tingkat kehidupan yang lebih baik sebab dia lebih memiliki kemampuan untuk melakukan kegiatan produktif. 

Dalam penutupnya, Fabby menegaskan bahwa energi terbarukan adalah masa depan sistem energi Indonesia bahkan dunia. Maka penting untuk mempersiapkan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan masa depan terutama untuk calon angkatan kerja yang saat ini masih sekolah ataupun kuliah.