Permen ESDM No. 2/2024 Membatasi Partisipasi Publik untuk mendukung Transisi Energi lewat PLTS Atap

press release

Jakarta, 23 Februari 2024 – Pemerintah Indonesia telah resmi mengeluarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 2 Tahun 2024 Tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum, yang merupakan revisi dari Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021. 

Dalam peraturan baru ini, skema net-metering dihapuskan sehingga kelebihan energi listrik atau ekspor tenaga listrik dari pengguna ke PT PLN (Persero) tidak dapat dihitung sebagai bagian pengurangan tagihan listrik.  Permen ini juga menetapkan mekanisme kuota sistem PLTS atap pada sistem kelistrikan pemilik Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum (IUPTLU) untuk lima tahun. Selain itu, dalam peraturan ini ditetapkan periode pendaftaran setahun 2 kali dan kompensasi yang diberikan oleh negara pada PLN jika biaya pokok penyediaan tenaga listrik terdampak karena penetrasi PLTS atap. 

Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai, peniadaan skema net-metering akan mempersulit pencapaian target Proyek Strategis Nasional (PSN) berupa 3,6 GW PLTS atap pada 2025 dan target energi terbarukan 23% pada tahun yang sama. Dampak dari peniadaan skema ini adalah menurunnya tingkat keekonomian PLTS atap khususnya di segmen rumah tangga yang umumnya mengalami beban puncak di malam hari. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR mengatakan bahwa pelanggan rumah tangga atau bisnis kecil akan cenderung menunda adopsi PLTS atap karena permintaan puncak listrik mereka terjadi di malam hari, sedangkan PLTS menghasilkan puncak energi di siang hari. Tanpa net-metering,  investasi PLTS atap menjadi lebih mahal, terutama jika pengguna harus mengeluarkan  dana tambahan untuk penyimpanan energi (battery energy storage). 

Net-metering sebenarnya sebuah insentif bagi pelanggan rumah tangga untuk menggunakan PLTS Atap. Dengan tarif listrik PLN yang dikendalikan, net-metering membantu meningkatkan kelayakan ekonomi sistem PLTS atap yang dipasang pada kapasitas minimum, sebesar 2 – 3 kWp untuk konsumen kategori R1. Tanpa net-metering dan biaya baterai yang masih relatif mahal, kapasitas minimum ini tidak dapat dipenuhi sehingga biaya investasi per satuan kilowatt-peak pun menjadi lebih tinggi. Inilah yang akan menurunkan keekonomian sistem PLTS atap,” ungkap Fabby Tumiwa

Untuk PLTS atap kapasitas lebih besar dari 3 MW (tiga megawatt), Permen ini mewajibkan pengguna untuk menyediakan pengaturan basis data prakiraan cuaca yang terintegrasi dengan sistem Supervisory Control and Data Acquisition (SCADA) atau smart grid distribusi milik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum (IUPTLU).

“Peraturan ini menghilangkan kewajiban membayar biaya paralel pembangkitan listrik, yaitu biaya kapasitas dan biaya layanan darurat yang sebelumnya diterapkan ke industri – setara 5 jam per bulan. Penghapusan biaya paralel ini menambah daya tarik bagi pelanggan industri, namun kewajiban penyediaan weather forecast untuk sistem lebih dari 3 MW juga akan menambah komponen biaya pemasangan,” ungkap Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan, IESR.

Marlistya juga menyoroti pengaturan termin pengajuan permohonan oleh calon pelanggan, yang dilakukan menjadi dua kali per tahun, yakni tiap bulan Januari dan Juli.  

“Pengaturan ini serta penetapan kuota per sistem jaringan memunculkan pertanyaan terkait transparansi penetapan dan persetujuan kuota, terutama untuk pelanggan industri yang ingin memasang PLTS atap dalam skala besar, sementara mekanisme IUPTLU untuk menambah kuota ketika kuota sistem sudah habis tidak diatur jelas dalam peraturan ini,” lanjutnya.

Permen ini memberikan jaminan bagi para pelanggan yang sudah memanfaatkan sistem PLTS atap sebelum peraturan ini diundangkan, tetap terikat pada peraturan sebelumnya, hingga 10 tahun berikutnya. Termasuk masih mendapat manfaat dari sistem ekspor listrik PLTS atap.

“Sebagai pengguna PLTS atap on-grid, sebenarnya saya justru memiliki pertanyaan tentang aturan peralihan ini – mengingat selama pemasangan, ekspor PLTS atap masih dihitung setara 0,65 tarif tenaga listrik berdasar Permen ESDM No. 49/2018, tidak 1:1 seperti Permen ESDM No. 26/2021. Aturan peralihan ini perlu diinformasikan secara jelas pada pengguna PLTS atap saat ini,” kata Marlistya.

IESR menyayangkan Permen ini terlalu berpihak pada kepentingan PLN yang dapat berdampak pada terhambatnya partisipasi konsumen listrik mendukung tujuan pemerintah mengakselerasi transisi energi di Indonesia, upaya penurunan emisi GRK yang berbiaya rendah dan tidak membebani negara karena investasi energi terbarukan dilakukan oleh konsumen listrik tanpa perlu subsidi negara.. 

Fabby Tumiwa berharap agar aturan baru ini dapat diimplementasikan dengan memperhatikan manfaat yang didapatkan negara jika PLTS atap dibiarkan tumbuh pesat, yaitu peningkatan investasi energi terbarukan, tumbuhnya industri PLTS, penciptaan lapangan kerja, dan penurunan emisi GRK. Untuk itu, IESR mendesak agar dilakukan evaluasi setelah satu tahun pelaksanaan Permen untuk mengetahui efektivitasnya dalam mendorong pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia. Pemerintah perlu secara terbuka untuk merevisinya pada tahun 2025 seiring dengan menurunnya ancaman overcapacity listrik yang dihadapi PLN di Jawa-Bali. 

Dekarbonisasi Industri: Strategi Indonesia untuk Mengurangi Emisi dalam 5 Sektor Utama

Jakarta, 15 Februari 2024 –  Indonesia, sebagai kekuatan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan salah satu negara terpadat di dunia, memiliki tantangan besar dalam mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor industri. Dengan perekonomian yang terus berkembang pesat, terutama didorong oleh angkatan kerja muda, sumber daya alam yang melimpah, dan kemajuan teknologi yang cepat, langkah-langkah untuk dekarbonisasi industri menjadi krusial dalam menjaga keseimbangan lingkungan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, Institute for Essential Services Reform (IESR) memaparkan, berdasarkan laporan Climate Action Tracker (CAT), peringkat Indonesia saat ini yakni sama sekali tidak memadai (critically insufficient) untuk membatasi suhu bumi di bawah 1,5°Celcius. Posisi ini turun dibandingkan 2022, yang menempatkan Indonesia pada ranking sangat tidak memadai (highly insufficient). 

“Padahal, Indonesia telah menetapkan Enhanced-Nationally Determined Contribution (ENDC) berisikan peningkatan target pengurangan emisi karbon dari 29% atau 835 juta ton CO2 menjadi 32% atau 912 juta ton CO2 pada 2030. Berkaca dengan target ENDC dan status CAT, Indonesia perlu mendorong penguatan komitmen agar mencapai  net-zero emission (NZE) 2060 atau lebih cepat,” jelas Deon dalam acara peluncuran studi IESR kolaborasi dengan Lawrence Berkeley National Laboratory (LBNL), berjudul “Industry Decarbonization Roadmap for Indonesia: Opportunities and Challenges to Net-Zero Emissions”. 

Analis Senior, Farid Wijaya menjelaskan, total kontribusi emisi GRK dari sektor industri diperkirakan meningkat dua kali lipat dari tahun 2011 hingga 2022, mencapai lebih dari 400 juta ton CO2e. Sekitar 60-70% dari emisi tersebut berasal dari penggunaan energi di sektor industri (baik panas maupun listrik), terutama karena konsumsi bahan bakar fosil. 

“Berdasarkan studi IETO 2024, emisi GRK dari sektor industri diperkirakan akan mencapai 430 MtCO2e pada tahun 2022, meningkat 30% dari tahun sebelumnya. Peningkatan pangsa pembakaran energi ini mengindikasikan pertumbuhan proses industri yang membutuhkan energi panas yang tinggi. Sayangnya, kebutuhan proses tersebut menyebabkan peningkatan konsumsi batubara yang berkontribusi terhadap emisi sebesar 174 MtCO2e,” papar Farid. 

Farid menuturkan, industri berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, untuk itu, upaya dekarbonisasi perlu dilakukan agar mengakomodasi pertumbuhan ini. Studi ini mengambil lima sektor industri besar yang perlu difokuskan dalam dekarbonisasi pada parameter sosial, ekonomi, dan emisi yakni semen, besi dan baja, tekstil, pulp dan kertas, serta ammonia. 

“Upaya dekarbonisasi industri sebenarnya dapat didorong di Indonesia berdasarkan kerangka regulasi yang telah ada. Meski demikian, pemerintah perlu didorong untuk memasukkan peraturan yang lebih kuat dan mengikat di masa depan, termasuk dukungan dan insentif untuk industri dan memastikan bahwa produsen, konsumen, dan pasar dilindungi oleh kontrol produk yang mendukung dekarbonisasi industri,” tegas Farid. 

Menurut Farid, agar dekarbonisasi industri dapat tercapai di Indonesia, banyak pemangku kepentingan yang perlu bekerja sama, khususnya untuk membangun ekosistem industri hijau yang mendukung konsep NZE. Selain itu, beberapa strategi secara umum perlu diterapkan untuk mencapai dekarbonisasi industri. Pertama, menerapkan sistem manajemen energi ISO 50001:2018. Kedua, pemanfaatan bahan bakar alternatif, seperti biomassa dan hidrogen. Ketiga, pemanfaatan energi terbarukan seperti tenaga surya dan tenaga air.

“Keempat, memaksimalkan efisiensi energi, bahan, dan optimasi proses serta menggunakan peralatan yang sangat efisien. Kelima, pemantauan dan pengukuran kontrol proses emisi secara berkala. Keenam, pemanfaatan  teknologi penangkapan dan penyimpanan emisi karbon (CCS/CCUS) untuk industri semen, besi dan baja, dan amonia,” tegas Farid. 

Tak hanya strategi umum, Indonesia juga perlu menerapkan strategi secara khusus berdasarkan kelima industri besar tersebut. Misalnya saja untuk industri semen, di antaranya perlu mengganti klinker dan menggunakan bahan baku alternatif, mempromosikan standar semen hidraulik dengan faktor klinker yang lebih rendah, mendistribusikan semen menggunakan kereta api sebagai alternatif truk. 

“Berdasarkan hasil survei kami, kelima industri besar di sektor semen, besi dan baja, tekstil, pulp dan kertas, serta amonia memiliki motivasi yang tinggi untuk melakukan dekarbonisasi.  Namun demikian, biaya, nilai kompetitif, dan kewajiban regulasi bagi pelaku usaha dan konsumen masih menghadapi tantangan dan hambatan yang harus diselesaikan bersama,” terang Farid. 

Jurnalis Sumsel Bentuk Jejaring Jurnalis Transisi Energi

press release

Palembang, 20 Februari 2024 – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palembang bersama dengan Institute for Essential Services Reform (IESR), lembaga pemikir (think tank) terkemuka di Indonesia yang berfokus pada energi dan lingkungan dan Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) berinisiatif membentuk “Jejaring Just Journalist (Jurnalis Berkeadilan) Sumatera Selatan (Sumsel)” demi membangun kesadaran publik tentang transisi energi lewat karya jurnalistik berkualitas.  Melalui jaringan Just Journalist ini, diharapkan semakin banyak pemberitaan yang bermutu terkait isu transisi energi sehingga dapat meningkatkan pemahaman masyarakat dan memicu percepatan peralihan dari energi fosil ke energi terbarukan di tingkat daerah. 

Berdasarkan data dalam laporan “Insights on energy transition news in the electricity sector in Indonesia from 2020-2022” yang diterbitkan oleh CASE Indonesia pada tahun 2023, media nasional lebih banyak mendominasi pemberitaan mengenai transisi energi di sektor ketenagalistrikan. Sementara, media daerah masih belum mencatatkan kontribusi yang signifikan. IESR memandang optimalisasi peran media di daerah menjadi krusial untuk menjangkau partisipasi publik dalam mendukung proses transisi energi dan pemanfaatan energi terbarukan yang lebih besar.

Ketua AJI Palembang, M. Fajar Wiko mengatakan jurnalis yang tergabung dalam  Jejaring Just Journalist Sumsel dapat membentuk opini publik mengenai transisi energi, mengidentifikasi tantangan dan peluang dalam meliput isu-isu kompleks terkait energi terbarukan, serta mengidentifikasi dampak ekonomi, sosial dan lingkungan dari program transisi energi secara efektif untuk mengkomunikasikan kepada masyarakat. 

“Adanya pembentukan Jejaring ini diharapkan memperjelas peran media dalam memberikan penjelasan tentang teknologi terbarukan, kebijakan pemerintah, dan inisiatif sektor swasta dalam transisi energi, serta mendorong pemahaman masyarakat lebih baik untuk berpartisipasi aktif mendukung transisi energi, dan mendorong peran pemangku kepentingan untuk menciptakan lingkungan yang lebih mendukung energi terbarukan , hingga memotivasi adanya kolaborasi antara media, pemerintah, sektor swasta dan masyarakat untuk merancang solusi terbaik,” papar Wiko. 

Forum Jurnalis Sumsel

Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR mengungkapkan – transisi energi yang terjadi di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia, memiliki kontekstualitas yang beragam di tingkat daerah atau subnasional. Peralihan dari sistem energi fosil ke sistem energi terbarukan dan lebih berkelanjutan ditunjukkan dengan tren penghentian dan pensiun dini PLTU di seluruh dunia – begitu pula di Indonesia dalam rencana Just Energy Transition Partnership (JETP). Hal ini akan berdampak langsung pada provinsi dan kabupaten penghasil batubara di Indonesia, terutama di sektor perekonomian dan pembangunan. Pemerintah subnasional perlu mengantisipasi tren ini jauh-jauh hari, termasuk untuk menggenjot sektor ekonomi alternatif dan mengoptimalkan pemanfaatan energi terbarukan. Media dapat memainkan peranannya untuk melakukan edukasi kepada masyarakat untuk segera beralih ke energi yang minim emisi.

“Kajian IESR di beberapa daerah penghasil batubara menunjukkan bahwa meskipun pendapatan daerah bergantung pada ekonomi batubara, namun dampak pengganda ekonominya tidak langsung dinikmati oleh masyarakat sekitar dalam bentuk infrastruktur, peningkatan ekonomi, atau layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan. Di Muara Enim,  sekitar 78% keuntungan diserap oleh perusahaan tambang, selain itu tenaga kerja lokal lebih banyak bekerja lepas untuk kontraktor atau vendor perusahaan tambang alih-alih pekerja profesional di perusahaan,” ujar Marlistya.

Kepala Bidang Energi, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Sumatera Selatan, Aryansyah mengatakan, provinsinya memiliki potensi energi terbarukan sekitar 21.032 MW dengan kapasitas terpasang energi terbarukan sekitar 989,12 MW atau sekitar 4,70%. 

“Ke depannya pemanfaatan energi bersih yang berbasis energi terbarukan di Sumatera Selatan dapat lebih berkembang ke seluruh lapisan masyarakat. Beberapa strategi yang kami lakukan untuk  mendorong pemanfaatan energi terbarukan, di antaranya penyediaan energi kebutuhan daerah dengan meningkatkan eksplorasi potensi energi baru terbarukan, pemanfaatan energi baru terbarukan seperti energi surya, air, panas bumi dan lainnya, serta melakukan konservasi dan diversifikasi energi,” ujar Aryansyah.