Pengentasan Kemiskinan Energi Membutuhkan Perubahan Cara Pandang dan Reformasi Program di Sektor Energi

IESR, Jakarta- Sungguh suatu keadaan yang memprihatinkan, di abad ke-21 ini masih ada jutaan orang yang hidup tanpa akses listrik atau pun bahan bakar untuk kebutuhan memasak sehari-hari. Menurut Biro Pusat Statistik Indonesia, sekitar 22,19 juta warga di pedesaan—yang merupakan 19% dari total penduduk—hidup di bawah garis kemiskinan.

Dengan menggunakan acuan yang berbeda, data Bank Dunia mengungkapkan sekitar 60 persen penduduk Indonesia memiliki pendapatan dibawah US$ 2 per hari. Pendapatan rendah, membuat masyarakat miskin mendapatkan jasa energi yan aman, layak dan berkelanjutan.

Penghapusan kemiskinan jelas tidak akan dapat terlaksana tanpa meningkatkan akses terhadap jasa energi. Kenyataan ini membuat ketersediaan energi bagi si miskin perlu dicapai jika ingin mencapai Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs). Ketersediaan dan akses energy merupakan pra-kondisi dasar untuk membantu tercapainya delapan Tujuan Pembangunan Milenium.

Di Indonesia, kemiskinan energi dapat dilihat dari tingkat rasio elektrifikasi dan ketersediaan dan akses bahan bakar modern untuk memasak. Pada tahun 2008, tingkat elektrifikasi di Indonesia baru mencapai 64% sementara hanya 60% desa-desa di Indonesia yang dialiri listrik (DESDM, 2008). International Energy Agency (IEA) memperkirakan lebih dari 80,1 juta penduduk Indonesia belum memiliki akses tenaga listrik, dan jutaan orang bergantung pada biomassa tradisional untuk memasak, yang mengakibatkan
resiko kesehatan.

“Kemiskinan energi di Indonesia merupakan realita, tetapi seringkali luput dari perhatian dan diabaikan,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR. Kajian IESR yang dilakukan pada tahun 2008 menunjukkan bahwa berbagai kebijakan dan program di bidang energi yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah, tidak secara spesifik ditujukan untuk mengatasi kemiskinan energi, bahkan karena miskin persiapan, program ini alih-alih mengorbankan si miskin,” imbuhnya.

Kebutuhan energi dasar bagi masyarakat desa dan perkotaan membutuhkan portfolio energi yang beragam dan mewakili kondisi ekonomi, sosial, dan sumber daya alam dari suatu daerah. Kajian IESR menunjukkan energi terbarukan seperti energi hidro, matahari, panas bumi, angin, dan bio-energi memiliki peranan penting dalam mengatasi kemiskinan energi di tanah air.

Dalam studinya di tahun 2010, IESR telah melakukan studi tentang model terbaik pengembangan energi berbasis energi setempat. Tujuan studi ini adalah untuk melihat bagaimana pengembangan energy terbarukan di tingkat lokal, dan kontribusi akses kepada energi, dapat meningkatkan sosialekonomi masyarakat setempat.

Kondisi ini nantinya diharapkan dapat memacu tercapainya tujuan pengurangan kemiskinan. Dua lokasi yang menjadi obyek kajian adalah Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di Desa Cipta Gelar dan Desa Cibuluh, Jawa Barat.

Penelitian di kedua desa ini memperlihatkan bagaimana peran energi dalam peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat. Dari kedua desa, akses terhadap penerangan—terutama pada malam hari—telah memudahkan anak-anak belajar setelah matahari terbenam. Kondisi ini tentu saja selaras dengan meningkatnya mutu pendidikan anak usia sekolah.

Pasokan listrik dari PLTMH juga telah sukses meningkatkan akses masyarakat kedua desa pada informasi. Masyarakat sudah dapat menikmati radio dan tayangan televisi. Bahkan, di Desa Ciptagelar, masyarakat sudah dapat mengakses internet. Sukses lain yang mengikuti adalah peningkatan ekonomi yang didapat dari pembangunan pabrik tahu di Desa Cibuluh.

Kondisi di atas membuktikan peran energi listrik yang dihasilkan PLTMH dapat meningkatkan sosial ekonomi masyarakat. Apabila peran listrik ini ditingkatkan, bukan tidak mungkin bahwa peningkatan akses terhadap energi seperti listrik, dapat membantu masyarakat setempat untuk mengentaskan kemiskinan. Pada akhirnya, peranan energi akan dapat mendukung masyarakat setempat untuk memerangi kemiskinan.

Dari beberapa studi pembangunan pembangkit yang bersumber pada energi terbarukan, IESR menyimpulkan beberapa kunci keberhasilan sebuah kegiatan energi terbarukan skala kecil, antara lain:

  1. Keterlibatan dan rasa kepemilikan masyarakat yang tinggi terhadap pembangkit energi terbarukan.
  2. Lewat peran aktif masyarakat, menjadikan kegiatan energi terbarukan berjalan lebih lama dan berkelanjutan.
  3. Adanya pemberdayaan masyarakat lewat peningkatan kapasitas.
  4. Peran pihak lain dalam membina masyarakat dan sumber pendanaan (LSM lokal, Pemerintah lokal, dan Donor).

Studi di atas memberikan gambaran mengenai bagaimana kegiatan penyediaan energi perdesaan seharusnya dikembangkan.

“Proyek pemerintah seringkali gagal menjamin penyediaan energi lokal secara berkelanjutan karena pengembangan institusi lokal, rasa kepemilikan dan peran serta masyarakat diabaikan. Berbagai faktor ini sangat penting untuk menjamin terwujudnya desa mandiri energi,” kata Imelda Rambitan, koordinator studi ini.

Pengentasan kemiskinan energi membutuhkan sejumlah prasyarat: pengakuan terhadap hak energi masyarakat, keinginan politik yang kuat dari pemerintah, target dan rencana strategi penanggulangan yang rinci dan spesifik, dukungan pendanaan jangka panjang dan keterlibatan komunitas lokal dalam implementasinya.

Fabby menyampaikan bahwa seluruh pendekatan penyediaan energi terbarukan dan listrik perdesaan yang berbasis pada system proyek dan anggaran tahunan saat ini harus berubah, sehingga memberikan hasil yang berkelanjutan dan dampak jangka panjang. Selain itu diperlukan integrasi dengan sector-sektor pembangunan lainnya. “Program energi perdesaan harus dilakuan secara tailor made, sesuai dengan kondisi lokal,” kata Fabby Tumiwa.

IESR berharap agar studi ini dapat berkontribusi bagi program-program pengembangan energi terbarukan di perdesaan dan wilayah terpencil yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, swasta, dan organisasi non-pemerintah.

Untuk Informasi lebih lanjut dapat menghubungi:
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR
Tel: 0811949759 Email: fabby@iesr-indonesia.org
Henrietta Imelda
Tel: 021-7992945 Email: ime@iesr-indonesia.org

Catatan Perjalanan III, Habislah Gelap Terbitlah Mikrohidro

Dari Surga Pembalak Liar Menjadi Desa Anti Pembalakan

Sore yang cukup cerah, setelah dua hari perjalanan yang selalu ditemani rintik hujan, akhirnya kami memutuskan untuk langsung berangkat ke Cidaun. Perjalanan kali ini menjadi lebih cepat karena di tengah jalan, kami bertemu seorang pengendara motor yang ternyata memiliki tujuan sama dengan kami, yaitu ke Dusun Cibuluh, Desa Mekarjaya, Kecamatan Cidaun, Kabupaten Cianjur. Dia menunjukkan jalan yang lebih cepat.  Tak disangka, hanya dalam waktu dua jam kami telah sampai di tempat tujuan. Kami pun memutuskan untuk makan malam dahulu lalu mencari penginapan di Cidaun.

Esok harinya, cuaca cukup bersahabat. Kami pun bangun dengan badan yang lebih segar. Ternyata  dari pukul lima kami sudah ditunggu oleh teman-teman dari Cibuluh yang siap untuk mengantarkan kami ke tempat tujuan dengan menggunakan ojek. What??? Ojek again…?? *_^ Kami sempat membayangkan hal-hal yang kami alami sebelumnya, ketika menuju lokasi dengan menggunakan ojek. Hemm, sepertinya kami sudah mulai terbiasa, bahkan menyenangkan. Beneran, kok. Jadi kami tetap antusias dengan perjalanan ini kendati menggunakan ojek.

Pukul 07.00, kami mulai perjalanan ke arah Dusun Cibuluh menggunakan ojek, sebenarnya sih, bukan ojek beneran, karena yang mengantarkan kami dengan sepeda motor adalah beberapa warga Cibuluh yang secara sukarela mau mengantarkan kami melihat kampung mereka tercinta. Hampir dua jam kami melakukan perjalanan ke Cibuluh dengan melalui jalan-jalan yang harus kami tempuh dengan “perjuangan.” Kami  harus “off-road”, lalu melalui jalan tanjakan berbatuan nan licin yang bikin kami was-was. Namun seperti biasa semua itu terasa tidak ada artinya dan mungkin setimpal dengan yang kami dapat. Yup, apalagi kalau bukan pemandangan alam nan indah, termasuk curug alam yang memesona dengan gemericik airnya yang membawa kami seperti berada di negeri damai antah berantah.

Sesampainya di Cibuluh, kami telah ditunggu oleh beberapa warga kampung yang berkumpul untuk bertemu kami. Wow, kejutan yang tidak disangka karena ternyata warga cukup antusias dengan kedatangan kami. Tidak hanya Pak Ridwan dan pengurus mikrohidro saja yang hadir, melainkan beberapa warga masyarakat yang memang tertarik untuk bertukar pikiran dengan kami mengenai banyak hal.

Obrolan kami dengan warga Cibuluh cukup membuat kami terkesan. Terutama cerita mereka tentang perubahan yang terjadi dengan kondisi desa ini sebelum mereka bersatu dalam mendirikan mikrohidro.  Dalam cerita terungkap bahwa desa ini dulunya merupakan surga bagi pembalak hutan.  Warga saat itu tidak ada kepedulian sama sekali dengan kondisi alam desa yang seharusnya bisa dilestarikan. Bahkan, perburuan liar atas satwa langka yang ada di hutan desa pun waktu itu cukup marak.

Adalah Rasman, seorang mantan pembalak dan pemburu liar yang mengungkapkan hal ini. Pada masa itu, dia pun sempat digelandang warga menuju ke pos polisi kecamatan karena aksi pembalakan liar dan sempat merasakan hidup di balik jeruji sel. Kejadian penggelandangan tersebut justru menjadi titik balik kehidupannya. Karena  sejak saat itu. Rasman akhirnya ingin memperbaiki hidupnya dan meningkatkan kehidupan warga disana.

Sejak saat itu, secara bahu-membahu, para warga dari kelima dusun di Desa Mekarjaya, berusaha menggalakkan penyadaran akan pentingnya menjaga alam. Akhirnya mereka pun bersatu dalam satu wadah bernama Raksa Bumi yaitu organisasi warga yang menjadi cikal bakal organisasi sosial masyarakat yang peduli akan kelestarian lingkungan daerah mereka.

Berbeda lagi dengan cerita Ridwan Soleh sendiri. Pada awal kedatangannya di Cibuluh, masyarakat setempat tidak menerima ide-idenya dalam melestarikan alam Cibuluh. Ide-idenya tersebut dianggap berlawanan dengan kebiasaan warga desa di sana.  Namun Pak Ridwan tidak patah arang, dengan kesabaran dan niat baik, akhirnya pada 2004 warga mulai menaruh kepercayaan kepadanya.

Pak Ridwan bahkan berhasil mengajak warga desa untuk berjuang bersama-sama memerangi pembalakan hutan. Dari rasa kebersamaan tersebut Ridwan pun sadar bahwa sesungguhnya warga desa juga membutuhkan kesejahteraan yang secukupnya saja untuk kehidupan keharian mereka. Masalah terisolasinya desa ini dari akses manapun, adalah salah satu sebab desa ini jauh dari kemajuan ekonomi dengan desa lainnya. Bahkan listrik pun mereka tidak mendapatkan aksesnya. Masalah terakhir ini mereka kemudian mencetuskan ide untuk membangun sebuah mikrohidro agar warga dapat menikmati listrik tanpa harus bergantung pada PLN. Setelah menyebarkan proposal ke beberapa lembaga, akhirnya warga Cibuluh mendapatkan bantuan sebesar IDR 300 juta dari GEF untuk pembangunan desa.

 

Dengan menggunakan aliran air dari Sungai Cirompang, mikrohidro di desa Cibuluh dibangun dengan menggunakan turbin propeller dengan ketinggian 7 meter sehingga dapat menghasilkan daya maksimal 23 Kw. Dari listrik yang telah dihasilkan ini, maka masyarakat dapat menikmati fasilitas listrik yang lebih stabil dibandingkan ketika mereka menggunakan kincir untuk menghasilkan listrik.

Walaupun suasana di luar hujan semakin deras, namun tidak mengurangi antusiasme warga bercerita tentang perjalanan proses mereka hingga seperti sekarang. Semangat warga yang ingin mengubah “nasib” keterisolasian desa, juga menggugah Warmin, warga desa yang sempat merantau ke Bandung untuk meneruskan pendidikan hingga Universitas, akhirnya berniat kembali ke desanya untuk ikut bahu membahu membangun desa dan mewujudkan desanya agar bisa hidup lebih baik dari sebelumnya.

Akhir cerita tentu saja telah diketahui kita. Desa Cibuluh kini berbeda dengan Cibuluh bertahun-tahun lalu.  Mereka tidak lagi tinggal dalam kegelapan, sebagian warganya juga tidak lagi membalak kayu liar di hutan. Sebaliknya, mereka memaksimalkan upaya pelestarian alam dan memanfaatkannya dengan bijak bagi kehidupan keharian mereka.

Ketika hujan mulai mereda, kami pun jadi sangat antusias melihat rumah turbin. Sekitar pukul dua kami mulai melakukan perjalanan lagi menuju rumah turbin.  Tak disangka, perjalanan ini lebih menarik dari yang diduga.Ketika saya (Tyas) berpikir bahwa PLTMH Leuwi Mobil memiliki akses yang sulit, ternyata PLTMH Cibuluh ini lebih sulit lagi. Kondisi jalan yang licin, dan kabel yang kadang tidak terlihat membuat kami harus ekstra hati-hati agar tidak tersetrum. Rumah turbin yang ada pun hanya terbuat dari bambu dan berada di persawahan.

Namun, lagi-lagi pemandangan yang begitu indah membungkam keluhan kami yang nyaris mau keluar di ujung lidah.  Sebab di sana sini hamparan sawah nan hijau, serta sungai-sungai yang sisinya menampilkan curug-curug air yang mengalir deras dengan indahnya. Suara air, hembusan angin, suasana damai dan alam yang mengesankan…..Ohhh, jelas jauh sekali dengan pemandangan Jakarta sehari-hari. Setelah puas menjelajah alam liar Cibuluh, akhirnya pukul enam sore kami pun memutuskan untuk turun ke penginapan di Cidaun.

Cukup lama kami di sana, hingga akhirnya pukul 10 malam, kami kembali melanjutkan perjalanan menuju ke Sukabumi. Menuju tujuan kami berikutnya, Ciptagelar. Entah seperti apa, tapi kami sudah tidak sabar melihatnya. Ciptagelar, kami dataaaaaangg!!

***

Catatan Perjalanan II- Habis Gelap Terbitlah Mikrohidro

Arti Gula Aren dan Rumah Turbin Bagi Masyarakat Cimanggu

Cuaca lagi tidak ramah untuk kami yang ingin melanjutkan perjalanan ke Desa Cimanggu, Kecamatan Bungbulang, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Hujan deras tiada hentinya, sehingga membuat kami sempat berpikir, apakah akan melanjutkan perjalanan dalam situasi seperti ini. Akhirnya, kami putuskan untuk beristirahat di Bandung sebentar dan menyusun rencana lebih lanjut, sambil menunggu cuaca yang lebih baik untuk melanjutkan perjalanan berikutnya. Terus terang saja, kami memang sedikit khawatir kalau main nekat melakukan perjalanan di tengah hujan deras seperti itu, apalagi kami memang belum pernah berkunjung ke desa itu. Karena itu kami memutuskan menunggu cuaca lebih baik dahulu sebelum melanjutkan perjalanan.

Waktu menunjukkan pukul 7 malam ketika hujan berhenti, kami pun kemudian melanjutkan perjalanan  menuju Desa Cimanggu. Menurut informasi yang kami terima dari salah satu narasumber kami di desa tersebut, kemungkinan perjalanan dari Bandung-Cimanggu akan memakan waktu 8 jam.

Ternyata kondisi jalan yang kami lalui mendekati Kecamatan Bungbulang  di luar perkiraan kami. Jalanannya cukup buruk dan banyak lobang sana sini. Kami yang ada di dalam mobil terguncang-guncang. Cuaca pun, kadang “ramah”, kadang hanya gerimis, lalu tiba-tiba bisa hujan lebat lagi.  Situasi tersebut cukup membuat kami mengalami kelelahan fisik. Perjalanan pun akhirnya menjadi lebih lama dua jam dari yang kami rencanakan.

Akhirnya Shubuh atau sekitar pukul lima pagi, kami tiba di Kecamatan Bungbulang. Dalam gelap, kabut dan dingin juga sedikit gerimis, kami mencari penginapan untuk beristirahat atau sekadar meluruskan badan kami sebentar, sebelum kami memulai perjalanan yang lebih berat lagi ke desa. Karena untuk ke Cimanggu kami harus melalui tanjakan yang panjang dan kondisi jalan juga tidak begitu baik. Kemungkinan besar kami harus off-road .

Kami tidak punya waktu lama untuk istirahat karena harus segera melanjutkan perjalanan. Pukul delapan pagi kami semuanya sudah bersiap kembali untuk menuju rumah  salah satu penanggung jawab mikrohidro Cimanggu, Pak Rahmat. Pak Rahmat inilah yang akan mengantarkan kami menuju Desa Cimanggu yang berjarak 75 km dari pusat kabupaten Garut.

Setelah berbincang-bincang dan sarapan di rumah Pak Rahmat, kami pun mulai perjalanan off-road kami. Tidak menggunakan mobil, tapi dengan ojekan motor!! Karena menurut Pak Rahmat tidak memungkinkan bagi mobil yang kami bawa, yaitu APV untuk dapat melalui sepanjang jalan menuju Desa Cimanggu. Selain terjal dan licin karena hujan, jalanannya juga belum beraspal, melainkan berbatu tanpa ada susunan yang rapi.

Hal ini membuat kami, terutama Tyas sempat ragu-ragu. Karena ini pengalaman pertama bagi Tyas melewati jalanan buruk, berbatu, ditambah jalanan akan terasa lebih berat dilalui jika musim hujan seperti saat itu. Tapi kami tidak bisa menunda perjalanan kami.  Kami pun memulai perjalanan “off-road” kami dengan ojekan sepeda motor.

Di sepanjang jalan kami harus ekstra hati-hati melewati tanjakan atau jalanan berbatu tanpa susunan yang rapih dan rata namun sangat licin. Perjalanan ini cukuplah membuat jantung kami “olahraga,” sedikit gentar, dan khawatir terpelanting.

Kendati demikian, kami sungguh terpesona dengan pemandangan alam yang tersuguhkan dan terpampang di hadapan kami, terutama ketika melalui  persawahan. Bentangan sawah yang menghijau dan  berbaris dengan rapinya, dengan latar belakang bukit-bukit hijau indah nan berkabut, membuat kami lupa dengan segala kepenatan dan beratnya jalan yang kami lalui. Sungguh keindahan alam yang tidak mungkin kami temui dalam keharian kami di Jakarta.

 

Kami akhirnya bisa melalui jalan off road yang cukup menegangkan karena sempat terpeleset di jalanan tanah yang licin ketika mengendarai ojek. Lalu tibalah kami di rumah Pak Ijan, Ketua Paguyuban PLTMH di Cimanggu. Setelah berbincang-bincang selama kurang lebih 1 jam, kami pun mulai berjalan kaki selama 20 menit dengan medan yang kadang landai dan becek untuk mencapai rumah turbin PLTMh Leuwi Mobil yang letaknya memang kurang strategis, kami pun jadi mahfum, kenapa  perawatan PLTMH menjadi kurang maksimal.

Belum lagi intensif yang rendah (Rp 70.000 untuk ketua pengurus, Rp 50.000 untuk sekretaris dan bendahara serta Rp 200.000 untuk 1 orang operator) dan pasifnya penduduk kampung juga menjadi salah satu faktor mengapa keberadaan mikrohidro ini menjadi tidak maksimal.

Pak Ijan, yang merupakan pengurus Mikrohidro bercerita bahwa sebenarnya dahulu sempat warga di Cimanggu memiliki usaha gula aren bersama sebagai UKM yang dapat mereka buat untuk memanfaatkan listrik dari mikrohidro ini. Namun, dengan jarak rumah yang berjauhan, serta usaha dan semangat yang minim dari para warga menjadikan usaha ini tidak dapat berkelanjutan. Pengurus pun tidak mampu menyatukan warga, sehingga  mereka pun menjalankan apa yang menjadi tanggung jawab mereka saja karena mereka sendiri tidak tahu harus bagaimana lagi dalam mengupayakan agar mikrohidro ini dapat memberikan manfaat yang lebih bagi masyarakatnya.

Dengan pemeliharaan yang seadanya, maka PLTMH yang mulai dibangun pada tahun 2005 dengan jumlah dana kurang lebih sebesar 900 juta dan daya maksimal yang dihasilkan sebesar 20 Kw hanya dapat dimanfaatkan untuk penerangan saja. Hingga saat ini listrik tersebut telah digunakan untuk  penerangan 155 rumah, dan lima mushola dengan masing-masing unit mendapatkan jatah sebesar 110 watt dengan pembatas 0,5 ampere.

Bercerita mengenai awal mula PLTMH di desa tersebut, Pak Ijan menceritakan bahwa sesungguhnya proyek PLTMH ini merupakan pengalihan dari rencana pengadaan fasilitas jaringan listrik dari PLN. Dalam proses tersebut dari 300 KK hanya 42 KK yang siap untuk membayar pemasangan jaringan, oleh karena itu dana yg seharusnya untuk pembangunan jaringan dari Prolisdes PLN kemudian dialokasikan untuk pembuatan PLTMH. Bagi kami cerita ini merupakan sebuah ironi dari buruknya pelayanan tata kelola kelistrikan di daerah terpencil.

Dari cerita yang kami dapat di Desa Cimanggu kami mendapatkan pembelajaran yang sangat berharga. Asumsi bahwa akses energi akan membantu warga dalam meningkatkan kualitas kehidupan mereka ternyata tidaklah cukup. Akses energi memang akan memberikan andil yang cukup besar dalam pencapaian tujuan pembangunan millennium apabila hal itu juga disertai dengan kesadaran masyarakat setempat yang tahu akan pentingnya kebersamaan dan sense of belonging akan sumber energi tersebut. Tapi ketika melihat suatu kenyataan bahwa warga lebih memilih untuk berjalan sendiri-sendiri dalam meningkatkan kualitas hidup mereka maka keberadaan sumber energi tersebut (PLTMH) menjadi kurang berarti lagi.

“Padahal, peralatan untuk pengolahan gula aren masih ada, sudah berkarat sekarang karena tidak pernah dipakai,” tutur Pak Rahmat.

Selain pengolahan gula aren, usaha serut kayu dan pembuatan keripik pun kurang dapat dimaksimalkan oleh masyarakat untuk meningkatkan sosial ekonomi mereka sebab kecenderungan untuk berwirausaha bagi kepentingan sendiri lebih mendominasi daripada kebutuhan untuk mencapai kesejahteraan bersama. Sedih dan miris juga kalau mendengar cerita yang ada. Mikrohidro sudah terbangun tapi tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal.

Tak terasa, sudah hari ketiga perjalanan dari enam hari perjalanan yang sudah direncanakan. Selasa, 11 Mei 2010 yang cukup cerah telah kami habiskan di Cimanggu untuk bereksplorasi disana terkait dengan PLTMh Leuwi Mobil yang telah beroperasi kurang lebih selama 6 tahun. Setelah beristirahat sebentar dan berpamitan dengan Pak Rahmat serta keluarga, kami pun menuju ke penginapan dan kembali bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan ketiga kami yaitu Cibuluh. Let’s go…

bersambung…

Siaran Berita – IESR dan CSF Kampanyekan Seruan Keadilan Iklim Kepada Negara Maju

Jakarta, 26 Juli 2010,

Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim Indonesia mengkhawatirkan bahwa penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) secara global dengan drastis untuk mencegah kenaikan temperatur rata-rata permukaan di atas 2 derajat celcius, dalam negosiasi perubahan iklim di Bonn, pada 2-4 Agustus nanti, tidak dapat tercapai.

Sementara itu guna mempermudah masyarakat Indonesia menyuarakan pesan-pesannya kepada pemimpin dunia agar mereka menegakkan keadilan iklim dan serius dalam menurunkan emisi GRK secara global dan drastis, IESR (Institute for Essential Services Reform) dan Civil Society forum (CSF) meluncurkan kartu: “Dukung Seruan Keadilan Iklim Kepada Pemimpin Dunia,” Kartu ini telah dirancang khusus yang tersedia dalam bentuk cetak dan online (https://iesr.or.id/materi-kampanye/call-fo-climate-justice/). Pesan yang masuk akan dikirimkan kepada para pemimpin negara-negara industri, di antaranya AS, Inggris, Jepang, Australia dan Canada. Kampanye ini akan terus dilakukan hingga menjelang COP-16 di Cancun Mexico, 28 November-11 Desember 2010 mendatang.

Kartu Seruan Keadilan Iklim ini juga bisa diisi secara online melalui: https://iesr.or.id/materi-kampanye/call-fo-climate-justice/

“Kampanye ini memiliki ruang lingkup nasional dan internasional, dimana CSF dan IESR, bersama dengan relawan-relawan mengajak seluruh masyarakat yang peduli untuk menyerukan keadilan iklim dan menuntut negara-negara maju bertanggung jawab menurunkan emisi GRK secara drastis, “ jelas Giorgio Budi Indrarto, dalam press release yang dikeluarkan bersama IESR, dan Walhi.

Sementara itu terkait dengan persiapan negosiasi perubahan iklim 2-4 Agustus, di Bonn, Jerman Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, yang juga akan hadir dalam kegiatan tersebut sebagai negosiator keadilan iklim untuk Indonesia ini mengatakan, setelah COP-15 Copenhagen berakhir dengan segala kegagalan untuk mendapatkan komitmen negara-negara industri menurunkan emisi GRK paska berakhirnya Protokol Kyoto pada tahun 2012, bahkan dengan dua putaran negosiasi UNFCCC pada bulan April dan Juni lalu pun, masih belum menunjukan bahwa negara-negara maju akan memberikan komitmen mereka untuk melakukan penurunan emisi GRK sebagaimana yang disarankan oleh IPCC, yaitu 25-40% tingkat emisi 1990 pada 2020 dan lebih dari 80% pada tahun 2050.

Copenhagen Accord (CA) telah menyatakan adanya target global untuk membatasi kenaikan temperatur di bawah 2 derajat celcius, sayangnya hal ini tidak dinyatakan dalam bentuk komitmen penurunan emisi yang nyata di tingkat negara. Alih-alih membatasi kenaikan temperatur di bawah 2 celcius, komitmen penurunan emisi yang dibuat paska CA justru mengarah pada kenaikan di atas 3 celcius. Komitmen penurunan emisi dari negara-negara industri pengemisi besar seperti US, Jepang, Canada, Australia, justru sangat rendah, dibandingkan dengan penurunan yang seharusnya mereka lakukan.

“Negara maju ini yang jumlahnya hanya 20% dari penduduk dunia telah mengeluarkan gas rumah kaca lebih dari 70% untuk kegiatan industri dan pembangunan negaranya. Sudah sepantasnya negara-negara maju bertanggung jawab dan harus bersedia menurunkan emisi gas rumah kaca mereka untuk memberikan ruang yang cukup bagi negara-negara berkembang untuk memanfaatkan sisa ruang atmosfir (atmospheric space) yang tersedia, yang makin tergerus akibat peningkatan laju emisi negara-negara maju dan sedikit negara berkembang yang lebih maju (advance developing country). Negara-negara industri harus menurunkan emisi mereka secara drastis dari sekarang hingga tahun 2050 mendatang, sehingga memungkinkan negara-negara berkembang untuk tumbuh dengan mengkonsumsi ruang atmosfer yang masih tersisa,” jelas Fabby.

Antusiasme orang-orang yang ikut mendukung Seruan Keadilan Iklim kepada Negara Maju

Sementera itu Koordinator CSF (Civil Society Forum), Giorgio Budi Indrarto menyatakan bahwa keselamatan ekologi dan rakyat tarancam, tidak hanya Indonesia, tapi juga di seluruh dunia. Masyarakat sipil Indonesia juga dihimbaunya untuk tidak tinggal diam dan berpangku tangan menanti kesepakatan negosiasi Internasional yang akan mengancam kehidupan kita saat ini dan generasi yang akan datang.

“Untuk mendorong adanya kesepakatan internasional yang menghasilkan penurunan emisi GRK secara drastis dari negara-negara maju, memastikan agar isu keadilan iklim menjadi basis dalam negosiasi serta memastikan keselamatan manusia dan ekologis, CSF dan IESR meluncurkan kampanye “Dukung Seruan Keadilan Iklim Kepada Pemimpin Dunia, dalam bentuk kartu yang telah saya sebutkan sebelumnya,” tambah Giorgio

Giorgio menambahkan, tuntutan yang diajukan adalah Negara maju sebagai emiter di dunia mengurangi emisi gas rumah kaca dinegerinya masing-masing secara drastis. Termasuk menyediakan dana dan teknologi yang cukup bagi Negara berkembang yang memampukan mereka untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim secara efektif dan melakukan pembangunan rendah emisi serta mengentaskan kemiskinan.

Sebagai catatan emisi yang dikeluarkan oleh negara industri atau Annex1 sejak revolusi industri tahun 1750 telah melemahkan kemampuan bumi untuk menyerap gas-gas tersebut dan menyebabkan krisis iklim global. Hal ini bisa dibandingkan setimpal dengan rata-rata jejak ekologi tertinggi perkapitas penduduk Amerika Serikat (9,5 gha/global hektare), Inggris (5,45 gh). Dan itu artinya dalam kemampuan bumi, maka Amerika membutuhkan 9,5 planet yang setara dengan bumi, dan Inggris, lima planet bumi.

Jika diakumulasi sejak 1750 (revolusi industri) hingga 2006 saja maka tercatat bahwa Amerika ada di peringkat pertama dengan kontribusi karbon 337, 747.80 Cmt (carbon metric ton) CO2e atau 29% dari total emisi dunia. Disusul Jerman 80,377.00 cmt CO2e (6,99%), Inggris 68,235.00 Cmt CO2e, Jepang 44,535,20 Cmt CO2 (3,87%), dan Perancis 32,278.60 (2,81%) – sumber dari Climate Analyse Indicators Tool (CAIT) version 7,0, Washington DC, 2010).

Salah satu aspek yang sangat penting dalam tuntutan masyarakat sipil Indonesia adalah rencana bantuan pendanaan dan teknologi bagi negara-negara miskin dalam upaya mengatasi masalah pemanasan global, sebagaimana yang menjadi kewajiban negara industri sesuai konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC).

Hingga saat ini, komitmen dan realisasi pendanaan dari negara industri untuk adapatasi negara berkembang dalam mengahadapi perubahan iklim sangat rendah. Hasil CA menyebutkan negara-negara maju akan menyediakan bantuan pendanaan 30 miliyar dollar untuk jangka waktu tiga tahun ke depan (2010-20120 untuk membiayai program-program penanggulangan pemanasan global. Bantuan akan ditingkatkan sebesar 100 juta dollar per tahun sampai tahun 2020.

“Dana sebesar itu tidak cukup untuk penanggulangan masalah dampak pemanasan global, khususnya program adaptasi perubahan iklim di negara-negara berkembang, dan tidak bisa mereka membebankan biaya adapatasi perubahan iklim kepada negara berkembang, karena bukan kita yang menyebabkan perubahan iklim,” jelas Fabby Tumiwa, Direktur IESR.

Aspek yang juga menjadi sorotoan CSF dan WALHI adalah cara penurunan emisi GRK dilakukan. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) secara tegas menolak cara-cara yang dilakukan negara emiter industri dengan mengalihkan dua isu tersebut dengan skema perdagangan karbon dan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi. “Kami tetap akan menolak ini di Bonn, karena skema ini telah menjauhkan tanggung jawab Negara Annex 1 untuk mengurangi emisi karbon mereka secara signifikan,” jelas Teguh Surya, Kepala Departemen Kampanye Walhi.

Ditambahkannya, kendati skema yang mengaturnya belum diputuskan, namum sejumlah proyek percobaan (pilot project) sudah dijalankan di Indonesia dengan dikeluarkannya Permenhut No. 68 tahun 2008 tentang penyelenggaraan demonstration activity pengurangan emisi karbon dan dari deforestasi dan degradasi hutan. Saat ini direncanakan terdapat 26,6 juta hektar lahan di Indonesia yang diperdagangkan dalam mekanisme perdagangan karbon. Dengan nilai uang yang beredar sekitar 6,3 milyar US$ (sekitar Rp 63 triliun). Skema ini menjual murah 26,6 juta hektar hutan alam Indonesia mulai dari tegakan pohon, hewan, tumbuhan, tanah, sumber mata air, dan ruang interaksi sosial, dan entitas masyarakat hukum adat di wilayah tersebut, hanya seharga Rp. 12,- per meter perseginya.

Walaupun demikian, dengan tantangan dan ancaman perubahan iklim yang semakin nyata, pembangunan negara berkembang tidak mencontek model pembangunan yang dilakukan negara-negara maju selama 2,5 abad lalu. Negara-negara berkembang seperti Indonesia harus masuk dalam model jalur pembangunan rendah emisi (low carbon emission pathway) yang ditandai dengan salah satunya membatasi konsumsi tetapi meningkatkan intensitas dari sumber daya energi yang tidak terbarukan, serta secara bertahap meningkatkan pemanfaatan sumber energi yang terbarukan.

Di sisi lain, dalam tingkat masyarakat, ketidakadilan iklim juga terjadi dalam lingkup masyarakat Fabby juga mengingatkan bahwa ketidakadilan iklim juga ditimbulkan oleh emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan oleh kelompok masyarakat berpendapatan menengah keatas, yang tinggal di kawasan perkotaan dan semi-perkotaan.

Survei sederhana yang dilakukan oleh IESR melalui perangkat Carbon Footprint Calculator yang dilakukan pada April – Juni 2010, mengindikasikan bahwa pola dan gaya hidup dari kelompok masyarakat berpendapatan menengah di perkotaan menghasilkan emisi GRK rata-rata 4-6 kali dibandingkan dengan rata-rata emisi GRK per-kapita nasional. Artinya, masyarakat perkotaan, kelas menengah (middle class) sesungguhnya merampas ruang atmosfir masyarakat miskin yang pola dan gaya hidupnya hanya menghasilkan emisi yang relatif rendah. “Jadi kami juga menyerukan sikap berkeadilan iklim di kalangan masyarakat kita sendiri melalui kampanye Ayo Kita Diet Karbon,” tandas Fabby.

No. Kontak:

Giorgio Budi Indrarto: 0813 85770196
Teguh Surya: 0811 8204 362
Fabby Tumiwa: 0811949759

Sebuah Cerita Peta Kerentanan Iklim Perkotaan di Gold Coast

Oleh: Febi Dwirahmadi

Saat kegiatan International Climate Change Adaption Conference di Gold Coast, Australia, 29 Juni – 1 Juli 2010, Research Associate IESR, Febi Dwirahmadi, terpilih untuk mengikuti kegiatan tersebut.  Dalam forum itu dia mempresentasikan hasil risetnya tentang: Memahami Kerentanan Perubahan Iklim Pada Masyarakat Urban di Indonesia. Berikut beberapa catatan Febi tentang kegiatannya selama di sana.  Selamat menikmati – salam redaksi

***

Gelisah, cemas, campur antusias rasanya, ketika saya dipastikan lolos untuk mengikuti konferensi International Climate Change Adaption  di Gold Coast, Australia, 29 Juni – 1 Juli 2010.  Kegelisahan dan kecemasan bukan hanya karena masalah setumpuk kerja yang menjadi prioritas saya di kantor semakin banyak, tetapi juga persiapan untuk menghadapi kegiatan itu jadi terasa lebih sempit waktunya.  Pasalnya adalah saya juga diharuskan mempersiapkan “poster” yang menggambarkan hasil penelitian saya. Kelihatannya mungkin simple, karena hanya sebuah poster, tapi nyatanya tidak mudah juga sesungguhnyaitu. Aduuh, puyeng juga memikirkan konsepnya. Sebab saya harus mencari jalan  bagaimana memasukkan hasil riset saya tentang Memahami Kerentanan Perubahan Iklim Pada Masyarakat Perkotaan di Indonesia, yang ditulis dalam 135 lembar lalu dituangkan ke dalam  satu poster ukuran A0!

Yup, urusan poster ini menjadi penting, karena poster ini akan jadi “penghantar” bagi peserta atau pengunjung lain untuk memilih isu menarik yang akan dihadirinya. Jadi enggak bisa asal-asalan juga dalam membuatnya. Apalagi konferensi itu dihadiri lebih dari 1.000 peserta yang terdiri dari ilmuwan profesional, praktisi perubahan iklim, dan mahasiswa yang berasal dari 55 negara, serta menampilkan 500 riset yang berhubungan dengan dampak dan adaptasi perubahan iklim melalui metode presentasi oral maupun poster. Poster-poster tersebut akan dikompetisikan. Jadi bisa dipahami kan, kenapa saya agak sedikit “nervous” dengan urusan poster ini.

Namun akhirnya, masalah terpecahkan setelah beberapa kali saya melakukan pertemuan dengan tim komunikasi dan kreatif IESR dalam membahasakan isi penelitian saya yang berjumlah 135 lembar itu ke dalam sebuah poster ukuran A0 (seukuran poster film di bioskop itu, loh). Hasilnya, walah, cukup memuaskan saya. Itulah enaknya kerja tim, segala sesuatu bisa diselesaikan dengan cepat apalagi jika satu sama lainnya juga memahami isu tersebut. Kami akhirnya membuat poster yang mendeskripsikan hasil penelitian saya tentang: Memahami Kerentanan Perubahan Iklim pada Masyarakat Urban di Indonesia, terutama di kelurahan Muara Baru, Provinsi DKI Jakarta, dalam sebuah peta dua dimensi yang cukup menarik. Lalu kami memberikan beberapa tanda di tempat-tempat yang terkena dampak dan sejumlah informasi lainnya dalam sebuah abjad.  Peta tersebut merefleksikan kondisi  masyarakat perkotaan, khususnya di area yang menjadi tempat penelitian saya tersebut. Dalam peta kami juga menampilkan proyeksi temperature dan curah hujan, kenaikan muka air laut, termasuk studi kerentanan Pulau Jawa. Lebih jelasnya poster peta tersebut bisa dilihat di bawah ini.

peta-feby-kecilCukup puas saya dengan hasil dan tampilan poster tersebut. Saya berharap semoga poster tersebut bisa dipilih sebagai yang terbaik. Maka saya pun bisa melakukan perjalanan dengan tenang ke Australia guna mengikuti konferensi tersebut.

Sampai di Gold Coast tempat dimana konferensi itu dilaksanakan, ternyata cuacanya sangat dingin, yaitu hampir 7 derajat celcius. Payahnya lagi, saya lupa membawa sarung tangan. Sehingga perjalanan dari hotel tempat saya menginap menuju konferensi yang sejatinya bisa ditempuh hanya 20 menit saja, kini terasa lebih lamanya, yaitu mungkin 1 jam-an, dan tangan saya terasa lebih kebas.

Terus terang saya merasa antusias dan cukup merasa bangga mengikuti konferensi ini. Karena ini merupakan forum international pertama yang hanya khusus membahas tentang dampak perubahan iklim serta upaya-upaya mitigasi yang dapat dilakukan di sebuah negara, dimana saya termasuk didalamnya. Konferensi ini sendiri bertujuan mengeksplorasi riset-riset ataupun pengalaman praktis upaya adaptasi dari berbagai negara maupun berbagai sudut pandang analisa untuk memberikan rekomendasi pada proses perencanaan dan pengembangan kebijakan adaptasi perubahan iklim dan juga untuk memahami betapa pentingnya proses adaptasi dalam menghadapi dampak perubahan iklim yang tidak menentu ini.

Konferensi ini juga membahas enam topik yaitu, (1) memahami dan mengkomunikasikan adaptasi, (2) adaptasi pada tiap sektor, (3) upaya adaptasi oleh masyarakat grass root, (4) kerangka kerja adaptasi, (5) adaptasi di tepian, dan (6) kesejahteraan manusia dan adaptasi.

Pembukaan konferensi dibuka langsung oleh Ministry for Climate Change, Energy Efficiency and Water, Australia, Penny Wong. Dalam pidatonya, Wong memaparkan tentang komitmen pemerintah Australia untuk meningkatkan efisiensi energi yang digunakan. Selain Wong, hadir pula Prof.Jean Pascal can Ypersele, Vice Chair IPCC. Dalam sambutannya dia menjelaskan bahwa mitigasi memang sangat dibutuhkan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), namun tetap saja upaya ini tidak mampu secara ceat untuk mencegah dampak negative yang dapat ditimbulkan dari perubahan iklim yang sudah terjadi saat ini. Oleh karena itu, dia menyampakan bahwa upaya adaptasi sangat mendesak untuk dilakukan. (Lebih detil gambaran konferensi bisa dilihat di resume kegiatan, bisa dilihat di bagian cerita kegiatan web utama IESR).

Lalu tibalah giliran saya yang mendapatkan kesempatan melakukan presentasi isi poster di hari ketiga. Jadwal presentasi dilakukan tepat pukul 7.30. Sungguh menyenangkan ternyata presentasi saya berjalan dengan baik. Di arena pameran poster sendiri juga sudah ramai seperti layaknya pasar, dimana masing-masing peserta poster berusaha menarik perhatian pengunjung atau delegasi konferensi lainya.

Namun yang cukup membuat saya senang adalah ternyata poster IESR cukup diminati pengunjung dan peserta konferensi. Mereke menilai poster peta perubahan iklim perkotaan yang ditampilkan IESR cukup informatif dan dikemas dalam metode komunikasi yang mudah dipahami baik oleh orang yang paham dengan perubahan iklim maupun masyarakat awam. Beberapa diantaranya juga mengatakan kepada saya bahwa poster tersebut sangat bermanfaat sebagai media komunikasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan kompleksitas masyarakat perkotaan dan dampak dari perubahan iklim, maupun kepada pengambil kebijakan terkait.

Kabar gembira setelah itu adalah bahwa poster peta perubahan iklim perkotaan IESR juga dinyatakan sebagai salah satu terfavorit oleh panitia konferensi. Well, kerja keras akhirnya ada hasilnya dengan baik. Tapi lebih dari itu konferensi ini telah membawa saya pada pengalaman yang bermanfaat, terutama dalam menambah pengetahuan dan wawasan tentang adaptasi perubahan iklim di berbagai dunia. Saya sendiri senang bisa  membagi hasil penelitian saya dan mereka kemudian juga mengetahui tentang duduk persoalan adaptasi perubahan iklim di daerah perkotaan. Terimakasih kawan-kawan IESR yang telah membantu saya untuk konferensi ini.

Climate Watch Up date Vol. 1 (Juni 2010) : Perkembangan Negosiasi Internasional

Oleh: Siti Badriyah

Pesimisme akan Perundingan di Cancun

Negara-negara di dunia saat ini sedang pesimis dengan tercapainya keputusan yang kuat pada perundingan perubahan iklim antar bangsa-bangsa di Mexico Desember nanti. Dalam pertemuan tingkat tinggi perubahan iklim yang diadakan di China bulan Mei dihadiri 20 menteri lingkungan hidup seluruh dunia dan 600 utusan dari berbagai negara menyerukan dengan mendesak kepada Negara-negara maju untuk melanjutkan pelaksanaan Protokol Kyoto setelah 2012 dan bertanggung jawab secara terikat untuk pengurangan emisi. Pertemuan ini diadakan sebelum pertemuan pertengahan tahun perubahan iklim di Bonn[1].

Meskipun sudah ada perkembangan dalam negosiasi perubahan iklim dunia dengan akord baru untuk mengatasi perubahan iklim, tapi masih butuh langkah panjang sebelum tercapainya kesepakatan yang mengikat. Pelajaran penting harus diambil dari perundingan Kopenhagen tahun lalu adalah untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama dengan meletakkan semua hal perundingan secara bersamaan dan mengharapkan sebuah paket hasil negosiasi yang lengkap dan komprehensif. Yang sesungguhnya hal yang dapat dicapai dalam proses negosiasi adalah peningkatan perkembangan dari negosiasi itu sendiri[2].

Pesimistis terhadap konferensi Cancun karena kegagalan pada Pertemuan Para Pihak ke-15 Kerangka Kerja PBB tentang Konvensi Perubahan Iklim (COP-15 UNFCC) Desember lalu. Namun menurut, Luis Alfonso de Alba, pejabat khusus perubahan iklim Meksiko, di sela-sela pertemuan khusus perubahan iklim PBB di Bonn, Jerman, mengatakan pertemuan Cancun akan menghasilkan keputusan yang lebih jauh serta perjanjian yang mengikat[3].

Oslo Meeting; Konferensi Perubahan Iklim dan Hutan.

Setelah adanya pertemuan tingkat tinggi di Beijing, China, pada bulan Mei juga diselenggarakan Konferensi Perubahan Iklim dan Hutan di Oslo, Norwegia. Dalam konferensi ini Pemerintah Indonesia dan Kerajaan Norwegia menandatangani letter of intent (LoI) atau kesepakatan untuk melakukan sesuatu terkait pengurangan emisi gas rumah kaca dari deforestrasi dan degradasi hutan senilai 1 miliar dollar Amerika serikat pada tanggal 26 Mei 2010. LoI ini akan dilaksanakan dalam tiga tahap yaitu tahap persiapan, implementasi dan penilaian atas pengurangan emisi yang dilakukan. Menurut Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, LoI ini akan dilaksanakan berdasarkan sistem monitoring, reporting dan clarification (MRC).

Pembayaran atas kerjasama ini akan dilakukan setelah pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan sudah dilakukan secara terukur. Dengan penggunaan sistem MRC, pemerintah yakin REDD+ akan berjalan dengan baik[4]. Kerjasama ini akan berlangsung hingga tahun 2016[5]. Berkat kerjasama dalam REDD dengan Norwegia, Indonesia merupakan role model dalam kerjasama program pemulihan hutan dan perubahan iklim antara negara maju dan negara berkembang[6].

Tindak Lanjut Kerjasama Norwegia. Sebagai salah tindak lanjut kerjasama dari pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk melakukan moratorium atau penghentian sementara penerbitan izin pengusahaan hutan. Rencana moratorium izin pengusahaan hutan mendapat tanggapan yang beragam dari kalangan dunia usaha. Dari sektor perdagangan dan industri, moratorium izin hutan ini dinilai akan menghambat tujuan pertumbuhan ekonomi sebesar delapan persen pada 2014.

Moratorium juga akan membuat investor tidak tertarik menanmkan modalnya di Indonesia. Namun ada beberapa kalangan juga setuju dengan moratorium ini namun memberikan beberapa catatan[7]. Menurut pemerintah moratorium ini tidak akan menghambat dunia usaha perkebunan karena masih dapat menggarap lahan selain gambut dan hutan alami. Di luar Jawa terdapat lahan seluas 17 juta hektar yang dapat dimanfaatkan untuk usaha agro industri, kehuatnan, kertas, percetakan, penerbitan[8].

Tanggapan dari masyarakat sipil mengenai moratorium ijin pengusahaan hutan, berbagai LSM menyambut baik dan menyatakan dukungannya. Seperti koalisi LSM yang terdiri dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), HuMa, Forum Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Iklim (CSF), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Konsorsium Pengelola Hutan Kemasyarakatan, Bank Information Center, dan Dewan Kehutanan Nasional (Kamar Masyarakat). Mereka menyambut baik beberapa beberapa butir kesepakatan penting, antara lain dukungan terhadap partisipasi dari masyarakat adat, dan upaya untuk membangun strategi nasional pengurangan emisi yang mengatasi semua penyebab utama emisi karbon dari hutan dan lahan gambut di Indonesia[9]. Meskipun demikian, mereka menilai moratorium izin pengusahaan hutan selama dua tahun ini dirasa masih kurang untuk mengatasi kerusakan yang parah[10].

Hal yang perlu diwaspadai dari program pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD) adalah negara maju sebagai penyebab polusi terbesar dunia, bisa lari dari tanggung jawab, dengan alasan telah menyumbang dana melalui REDD untuk pengurangan emisi di negara berkembang. Artinya, melalui REDD terjadi pengesahan atas polusi, dengan justifikasi peningkatan bantuan melalui REDD. Laporan Population 2009, dengan mengutip wartawan lingkungan hidup Fred Pearce, menyebutkan bahwa 500 juta warga terkaya dunia, atau 10 persen dari total penduduk dunia, menyumbang 50 persen terhadap emisi karbon dioksida dunia. Sedangkan sebanyak tiga setengah miliar penduduk dunia, atau sekitar 50 persen total populasi global, pada umumnya tinggal di negara berkembang, hanya menyumbang 7 persen pada emisi global.[11].

Bonn Climate Change Talk

Indonesia kembali menunjukkan perannya dalam diplomasi internasional di bidang perubahan iklim. Hal yang menjadi perhatian berbagai negara terhadap Indonesia adalah keberhasilan Pemerintah Indonesia mencapai kesepakatan dengan Pemerintah Kerajaan Norwegia dalam Kerjasama Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari deforestasi dan degradasi hutan. Pada Bonn Climate Change Talks berbagai negara ingin mengetahui lebih lanjut langkah-langkah Indonesia sebagai negara yang telah menggagas Jalan Tengah dalam proses mencapai kesepakatan global perubahan iklim. Pertemuan tersebut dimulai pada tanggal 31 Mei – 11 Juni 2010 dihadiri oleh perwakilan dari 182 negara dan merupakan pertemuan untuk membicarakan berbagai permasalahan yang belum disepakati pada Pertemuan Para Pihak di Kopenhagen (COP 15) serta merintis jalan agar berbagai tindakan untuk mengatasi perubahan iklim dapat dilaksanakan di seluruh dunia[12].

Ketua Delegasi Republik Indonesia pada Bonn Climate Change, Rachmat Witoelar, dalam Sidang Pleno Ad-Hoc Working Group on Kyoto Protocol (AWG-KP) mendesak kepada negara-negara maju anggota Badan Dunia untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) untuk membuat komitmen kedua pengurangan emisi gas rumah kaca pasca komitmen pertama dari Protokol Kyoto yang berakhir 2012[13].

DALAM NEGERI

Utusan Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim.

Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Rachmat Witoelar ditunjuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menjadi utusan khusus presiden yang menangani perubahan iklim. Dengan status utusan khusus Presiden RI, mantan menteri lingkungan hidup tersebut memiliki posisi lebih kuat untuk melakukan negosiasi perubahan iklim di even internasional[14].

Indonesia Mempromosikan Indonesia Climate Change Trust Fund dalam ASEM.

Pemerintah Indonesia mempromosikan Indonesia Climate Change Trust Fund, yang diperuntukan bagi pengelolaan dana-dana antisipasi perubahan iklim, kepada Uni Eropa dalam acara Asia-Europe Meeting (Asem) Development Conference ke-2 yang digelar di Yogyakarta 26-17 Mei 2010[15].

Pendanaan Iklim di Indonesia

Bank Dunia Memberikan Hutang Senilai 200 Juta Dollar.

Pada tanggal 25 Mei 2010, Bank Dunia memberikan pinjaman senilai 200 Juta Dollar Amerika Serikat[16].

Indonesia dan Jerman sepakat untuk memperkuat kerjasama dalam mengatasi dampak perubahan iklim.

Kesepahaman ditandatangani pada 11 Mei 2010. Beberapa hal penting dari kesepahaman tersebut, antara lain penguatan kerjasama pengalokasian dana kerjasama keuangan sejumlah EUR 54 juta, untuk pengembangan proses produksi ramah lingkungan bagi usaha kecil dan menengah dalam rangka pengurangan emisi, serta untuk mendukung pembangunan infrastruktur perkotaan, khususnya pengelolaan sampah yang ramah lingkungan. Selain itu juga mendukung usaha pemerintah dalam pengembangan kelistrikan yang memanfaatkan panas bumi (geothermal), serta menyepakati pengalokasian dana hibah bantuan teknik senilai EUR 29,6 juta untuk pengembangan dan dukungan kebijakan perubahan iklim, desentralisasi dan tata kelola, kesehatan, pelatihan kejuruan dan pengembangan sistem jaminan sosial[17].

AS Tawarkan Hibah 100 ribu dolar Antisipasi Perubahan Iklim

Indonesia telah mendapatkan tawaran hibah dari Amerika Serikat senilai 100 ribu dolar AS dalam kaitan program mengatasi perubahan iklim (climate chnage)[18]. Sampai sejauh ini baru Inggris yang telah memberikan komitmennya terhadap Indonesia untuk mengantisiapasi dampak perubahan iklim. Inggris telah menghibahkan sebesar 50 juta poundsterling selama lima tahun. Beberapa negara yang tertarik di antaranya Jepang dan Belanda.

Indonesia Dapat 3 Miliar Dolar untuk Perubahan Iklim

Menurut menteri keuangan dan George Soros, Indonesia dapat memperoleh bantuan dana internasional mencapai tiga miliar dolar AS (sekitar Rp27,6 triliun) untuk menanggulangi perubahan iklim pada 2012 termasuk dana dari Norwegia [19].

George Soros menyetujui pembentukan agen khusus untuk mengelola pendanaan iklim.

Dalam kunjungannya ke Indonesia, penasihat perubahan iklim PBB, George Soros, telah mendukung proposal Indonesia untuk membentuk sebuah agen khusus bertanggung jawab untuk mengelola bantuan internasional dalam rangka mengatasi perubahan iklim[20]. Pendanaan melalui badan khusus ini akan disandingkan dengan pendanaan pemerintah melalui APBN dalam untuk membiayai program penurunan emisi yang difokuskan pada memberantas penebangan pohon ilegal, mengurangi kebakaran hutan, menekan deforestasi, serta pengembangan komunitas sekitar hutan. Dalam pembiayaan melalui badan khusus itu juga akan diterapkan mekanisme pemantauan, pelaporan, dan verifikasi (MRV) untuk memastikan akuntabilitasnya[21].

Kontroversi Dana Hutang atau Hibah Perubahan Iklim

Sekjen Kementerian Kehutanan menyatakan Kemenhut hingga kini tidak menerima dana pinjaman dari manapun untuk pengelolaan hutan. Jika ada dana untuk pengelolaan hutan, terlebih yang terkait dengan perubahan iklim, semuanya adalah dalam skema `grant` atau hibah. Menurut data Kemenhut per 2010, hibah diterima dari Australia dikemas dalam skema “Australia forest carbon partnership” adalah sebesar 70 juta dolar Australia, Jerman dalam pilot project REDD sebanyak 32,4 juta euro, Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) untuk program UN-REDD 5,6 juta dolar AS, dari Jepang (ITTO) sebesar 60,150 dolar AS. Selain itu juga hibah dari Korea (KIPCCF) sebesar 5 juta dolar AS, JICA (Jepang) 720 ribu dolar AS, Bank Dunia sebesar 3,6 juta dolar AS, 1,4 juta dolar AS, dari Australia melalui LSM untuk program ACIAR dan ICRAF adalah 1,123 juta euro. Jika dilihat proporsinya hibah dari negara donor untuk pengelolaan hutan tidak sampai 5% dari total alokasi APBN untuk kehutanan sebesar Rp 3 triliunan. Semua kegiatan kehutanan dibiayai oleh APBN yang sumber pemasukannya dari dana reboisasi dan provisi sumber daya hutan.

Sebelumnya, kelompok masyarakat sipil menilai isu perubahan iklim digunakan pemerintah sebagai alasan untuk menambah utang baru, meski Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan hati-hati menerima bantuan dalam pinjaman untuk mengatasi masalah perubahan iklim. Menurut Koalisi Anti Utang (KAU) pernyataan Presiden bertolak belakang dengan realitas kebijakan pembiayaan iklim pemerintah selama ini. Pada tahun 2008-2009, utang pemerintah terkait perubahan iklim mencapai 1,1 miliar dolar AS. Dana pinjaman yang dimaksudkan untuk mengatasi perubahan iklim tersebut justru digunakan untuk menutup defisit APBN 2009. Jumlah tersebut belum termasuk komitmen “Climate Investment Fund” (CIF) yang dikelola Bank Dunia sebesar 480 juta dolar AS.

Dalam APBN 2010 pemerintah juga mengajukan utang baru yang masih terkait perubahan iklim sebesar 800 juta dolar AS dengan rincian dari Jepang dan Perancis masing-masing 300 juta dolar AS, dan Bank Dunia 200 juta dolar AS. Penetapan regulasi tentang pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD) dijadikan sebagai salah satu syarat dalam pengucuran utang luar negeri, selain kompensasi penggunaan energi dan perdagangan karbon. Saat ini persentase hutang dalam rangka perubahan iklim jauh lebih besar dibandingkan hibah yaitu 68% dibandingkan 32%[22]. Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai pemerintah tidak perlu mengajukan pinjaman untuk perubahan iklim. Seharusnya lebih mengoptimalkan dana dari hibah[23].

Issue Dalam Negeri Lainnya

Kajian Penelitian Sejarah Iklim di Puncak Jaya[24]

Para peneliti iklim dari BMKG bekerjasama dengan peneliti dari Byrd Polar Research Center (BPRC), Columbia University, dan The Ohio State university Columbus akan melakukan kajian gumpalan es abadi di Puncak Jaya untuk memperloleh informasi valiabilitas dan perubahan iklim yang terjadi. Ekspedisi ilmiah puncak jaya ini adalah satu-satunya ekspedisi pengkajian es di wilayah Indonesia. Di daerah tropis terdapat tiga gunung yang dilapisi es, yaitu: Kilimanjaro, Tazania (5895 m dpl); Puncak Jaya, Indonesia (4884 m dpl); dan Andes, Peru (6962 m dpl). BMG 5 Mei 2010.

Pemerintah Tingkatkan Anggaran Hutan Bakau

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyerukan kepada para pemimpin pemerintah daerah di seluruh Indonesia, terutama di Jawa, Sumatera, dan daerah-daerah lain yang punya kawasan hutan bakau, untuk menghutankan kembali atau merehabilitasi hutan bakau secara serius [25].


[1]China Daily: Climate forum paves way to Cancun meet. 07-05-2010. http://www.chinadaily.com.cn.

[2]David Stanway. China Says New Global Climate Deal Still Far Away. 10 Mei 2010. http://www.reuters.com.

[3]Kompas. Meksiko Optimistis pada Hasil Cancun. Kamis, 3 Juni 2010. http://cetak.kompas.com.

[4]Kompas. Pengurangan Emisi, RI-Norwegia Teken LoI. Kamis, 27 Mei 2010. http://nasional.kompas.com.

[5]Antara News. http://www.antaranews.com.

[6]Kontan online. Rabu 26-05-2010. http://www.kontan.co.id.

[7]Antara News. 6 Juni 2010. http://www.antaranews.com.

[8]MORATORIUM IZIN PENGELOLAAN HUTAN. Senin, 07 Juni 2010. http://www.kontan.co.id.

[9]Antara News. http://www.antaranews.com.

[10]Two-Year Moratorium Signed in Oslo Not Enough, Green Groups Complain. Jakarta Globe http://www.thejakartaglobe.com.

[11]Kompas. Selasa, 8 Juni 2010. http://cetak.kompas.com.

[12]Press Release DELRI. Bonn, 1 Juni 2010.

[13]Antara. http://www.antaranews.com.

[14]Kompas. Rachmat Utusan Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim. Jumat, 21 Mei 2010. http://sains.kompas.com.

[15]http://www.menlh.go.id.

[16]World Bank. http://web.worldbank.org.

[17]Jawa Pos Nasional. http://www.jpnn.com.

[18]Antara News. http://www.antaranews.com.

[19]Republika. http://www.republika.co.id.

[20]Jakarta Post. http://www.thejakartapost.com.

[21]Kompas. http://cetak.kompas.com.

[22]Antara News. Rabu, 2 Juni 2010. http://www.antaranews.com.

[23] Suara Karya. http://www.suarakarya-online.com.

[24]BMG. http://www.bmg.go.id.

[25]Kompas. http://cetak.kompas.com.

Bendungan Sampah Anti Rob, Upaya Mitigasi Warga Kali Baru Atasi Perubahan iklim?

Oleh: Siti Badriyah

Jika Anda pernah mengunjungi perkampungan nelayan di pesisir utara terutama di wilayah Kali Baru, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, maka Anda akan melihat rumah-rumah semi permanen nelayan setempat yang kumuh berjajar dekat bibir pantai. Di batas paling luar bibir pantai tersebut juga terdapat beberapa rumah panggung kayu yang dibuat untuk mengantisipasi banjir rob. Banjir rob adalah banjir yang disebabkan meluap atau naiknya permukaan laut yang tidak terbendung hingga akhirnya memasuki kawasan pemukiman penduduk yang tinggal di dekat laut.

Kekumuhan perkampungan tersebut semakin kental ketika kebanyakan dari rumah tersebut dikelilingi bambu yang terjejali sampah padat aneka rupa yang kebanyakan adalah sampah plastik. Bambu-bambu setinggi 2-3 meter ini terpancang kuat dan terjalin rapat dan difungsikan sebagai dam atau bendungan.

“Kami membuat jalinan bambu-bambu berjajar disepanjang bibir pantai di belakang rumah dan menjejalkan sampah-sampah buangan dari para tetangga sekitar guna mencegah air laut pasang menghantam rumah kami secara langsung,”jelas Daeng, 50,  warga di RT 3, RW 3 Kalibaru, Jakarta utara ini.,

Daeng menceritakan bahwa pada  saat musim angin barat datang, biasanya di akhir tahun, air laut pasang bisa mencapai 3-4 meter. Situasi tersebut membuat keberadaan rumah dan juga keselamatan penghuninya bisa terancam. Mereka tidak bisa meninggalkan tempat yang mereka huni sejak puluhan tahun lalu, apalagi profesi penghidupan mereka adalah nelayan yang tidak boleh jauh dari laut. Jadi mereka tidak mempunyai pilihan lain kecuali bertahan dan mencari akal bagaimana caranya mengatasi hantaman ombak  dan kadang banjir rob yang menghampiri kediaman mereka. Karena itulah mereka membuat  pagar bendungan sampah dari bambu tersebut sebagai penahan rob dan gelombang pasang. Bendungan ini sudah mereka buat dari tahun 2004 dan hingga kini mereka masih bisa bertahan di tempat tersebut.

Kenapa mereka memilih bambu dan sampah? Karena menurut  Daeng, bambu itu mudah di dapat dan lebih murah. Sampah-sampah yang dijejalkan  dipagari bambu tersebut gunanya menguatkan bambu tidak terlepas jika ada hantaman ombak atau banjir rob datang. Adapun untuk mendapatkan sampah padat dan plastik dalam jumlah banyak warga nelayan mendapatkannya dari warga sekitar.

“Kami meminta para tetangga untuk membuang sampahnya pada area bendungan bambu ini dan sekitar rumah kami. Di saat gelombang pasang menghantam, sampah-sampah itu terbawa bersama air laut. Kemudian kami meminta tetangga-tetangga kami untuk membuang sampah lagi di sekitar rumah kami untuk menjejali kembali bendungan bambu ini,” jelas Daeng.

Mungkin akan lebih mudah bagi  Daeng dan masyarakat nelayan yang tinggal di sana menghadapi banjir rob atau air laut pasang jika kawasan tersebut masih dikelilingi hutan bakau. Keberadaan hutan bakau jelas berguna dalam mencegah abrasi dan menjadi pemecah gelombang laut pasang. Tapi nyatanya kini, setidaknya 831 ha hutan bakau di pantai utara Jakarta telah direklamasi menjadi kawasan perumahan elit, apartemen dan tempat wisata. Saat ini hutan bakau tersisa di Jakarta hanya 430 Ha yang tersebar dalam kawasan hutan-hutan  bakau di kepulauan Seribu. Kawasan tersebut yaitu Hutan Lindung Muara Angke, hutan wisata Kamal Muara, Suaka margasatwa Pulau Rambut, Cagar Alam Pulau Bokor, Cagar Alam Pulau Panjalaran Barat, Cagar Alam Pulau Panjalaran Timur.

Seorang nelayan tua setempat, Ceracas, 70,  menceritakan betapa aman dan nyamannya kehidupan mereka  ketika  hutan bakau masih ada di sekitar sana. Ketika musim gelombang pasang naik, mereka tidak perlu melaut karena ikan telah tersedia di sekitar sulur-sulur akar bakau, dan juga tidak perlu merasa khawatir gelombang pasang atau rob menghantam rumah mereka karena hutan bakau membantu memecah gelombang laut dan banjir rob. Mereka juga mempunyai rumah yang layak,  hingga pada suatu masa di Orde Baru proyek reklamasi dimulai dan pembabatan hutan mangrove atau bakau menggila, saat itulah kehidupan mereka sebagai nelayan sejati  harus tersingkir, seiring punahnya hutan-hutan bakau di semua pesisir Jakarta.

Kini mereka menempati rumah semi permanen dan harus menghadapi dampak perubahan iklim sendirian yang diakibatkan kebijakan salah urus dari penguasa. Bahkan hingga saat ini, menurut Caracas dan sejumlah warga nelayan lainnya di sana, belum terlihat adanya upaya dan inisiatif pemerintah guna mencegah masuknya gelombang pasang dan banjir rob ke pemukiman mereka, misalnya dengan membangun pagar batu pemecah ombak sebagai pengganti hutan bakau.

Akhirnya warga nelayan di sana berinisiatif membuat bendungan bambu anti gelombang pasang dan banjir rob yang dibuat dengan menjejalkan sampah-sampah plastik. Mereka tidak peduli lagi tentang dampak kesehatan, estetika dan sanitasi buat keluarga. Apalagi memikirkan apa jadinya lautan jika dipenuhi sampah-sampah yang kebanyakan plastik itu. Tapi menyelamatkan jiwa dan hidup mereka jauh lebih utama. Karena hanya itu yang mereka anggap sebagai pilihan yang lebih baik dari yang terburuk hidup sebagai nelayan di kawasan pesisir utara Jakarta.