Listrik Gratis Untuk Orang Miskin?

Oleh: Fabby Tumiwa (Direktur IESR)

Baru-baru ini, Dirut PLN, Dahlan Iskan melontarkan ide: listrik gratis untuk orang miskin. Tulisan ini membahas kebijakan serupa yang diterapkan di Afrika Selatan, dan perhitungan kasar terhadap biaya yang ditimbulkan dari kebijakan ini, serta dampaknya pada opsi kenaikan tarif dasar listrik yang sedang dibahas antara eksekutif dan DPR.

Akhir pekan kemarin, 12 Juni 2010, saya diundang sebagai panelis pada acara media briefing yang diadakan Forum Wartawan Ekonomi dan Moneter (FORKEM) dan Kantor Menko Perekonomian, bertema: Dampak Kenaikan TDL pada Industri dan Ekonomi Indonesia Indonesia 2010. Selain saya dan Deputi Menko bidang Perindustrian, bintang dari acara ini adalah Dahlan Iskan, Direktur Utama PLN.

Sebagai biasa,  Dahlan berbicara secara lugas, tanpa teks dan mengalir. Yang menarik adalah di penghujung sesi diskusi, dalam menjawab pertanyaan seorang wartawan, Dahlan “ngedumel” bahwa saat wacana TDL akan dinaikan muncul, PLN selalu menjadi sasaran tembak dan kemarahan masyarakat, tidak terkecuali dari anggota DPR. Menurut Dahlan, urusan naik atau tidaknya TDL adalah urusan eksekutif dan DPR. Seyogyanya PLN tidak ada urusan dengan itu. Bagi dia tugas PLN adalah memberikan pelayanan listrik, yang terpenting adalah listrik menyala dan untuk itu ongkosnya seyogyanya ditanggung pemerintah. Dahlan menyatakan bahwa dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII anggota DPR menolak kenaikan TDL karena dianggap memberatkan orang miskin. Menanggapi wacana “orang miskin” inilah, Dahlan kemudian melontarkan ide listrik gratis bagi orang miskin, yang selama ini dipakai sebagai jargon oleh komisi VII DPR.

Saya pun agak terkejut dengan lontaran ide yang populis ini. Sudah sejak 2008, IESR (Institute for Essential Services Reform) berkampanye untuk meningkatkan akses masyarakat miskin terhadap pelayanan energi (energy services), salah satunya adalah listrik melalui kampanye Energy Services for All, tetapi tidak sekalipun terlintas untuk mengadvokasi untuk mendorong pemberian listrik gratis bagi orang miskin. Terus terang, ide Dirut PLN ini membuat saya berpikir bagaimana kira-kira ini diimplementasikan.

Saya teringat, bahwa ide ini tidak sepenuhnya orginal dari Dahlan Iskan. Afrika Selatan sudah menjalankan listrik gratis untuk orang miskin lewat kebijakan Free Basic Electricity sejak tahun 2001. Kebijakan ini memberikan listrik gratis sebesar 50 kiloWatt-hour (kWh) setiap bulannya kepada rumah tangga yang masuk dalam kriteria “miskin”. Angka ini didapat dari rata-rata konsumsi listrik bulanan 54 persen sambungan rumah tangga tahun 2000 lalu. Dengan kebijakan ini, rakyat miskin tidak perlu takut bahwa mereka tidak mendapatkan listrik, setidaknya dengan penggunaan listrik untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar yaitu penerangan, dan informasi, serta memasak, akses listriknya dijamin oleh negara. Jika pemakaian listriknya diatas kuota tersebut, maka mereka pun harus membayar sesuai dengan tarif yang ditetapkan secara berundak. Hal ini untuk mencegah terjadinya prilaku boros dalam menggunakan listrik.

Mungkinkah ide listrik gratis diterapkan di Indonesia? Mungkin saja dengan prinsip bahwa biaya yang ditimbulkan harus dibebankan kepada pelanggan lain. Selain itu diperlukah kehati-hatian terhadap beberapa hal: pertama, sasaran masyarakat miskin, kedua, batasan kuota listrik gratis yang terkait dengan skema kenaikan TDL sebagai imbas, dan biaya dan manfaat yang ditimbulkan dari kebijakan populis ini.

Untuk yang pertama, kebijakan ini harus menjangkau masyarakat miskin dan perdesaan yang selama ini tidak terjangkau atau menjangkau akses listrik, tidak hanya terbatas pada mereka yang telah memilki sambungan listrik dari PLN. Untuk golongan ini, pemerintah harus mengalokasikan dana sebagai pengganti dana untuk sambungan baru dan instalasi dalam rumah, sehingga membebaskan masyarakat miskin dari beban membayar biaya sambungan dan instalasi yang berkisar antara 1-1,5 juta per unit pasang.  Selain itu perlu juga disediakan dana tambahan untuk membangun infrastruktur tenaga listrik. Dengan menggunakan data penduduk miskin 2007 dari BPS, sebesar 37 juta, maka diperkirakan rumah tangga miskin sebesar 7,4 juta. Dengan asumsi seluruh rumah tangga ini tidak terjangkau listrik, maka dana untuk penyambungan dan instalasi yang perlu disediakan mencapai 7,4 – 11,1 triliun rupiah, ditambah biaya untuk membangun jaringan. Ini dengan asumsi bahwa seluruh rumah akan terkoneksi ke jaringan distribusi listrik PLN, dan belum memperhitungkan biaya untuk menambah pasokan tenaga listrik.

Adapun mengenai kuota listrik gratis dapat menggunakan informasi dari berbagai studi yang pernah dilakukan. Sejumlah studi yang pernah dilakukan mengindikasikan bahwa rumah tangga miskin mengkonsumsi rata-rata 30-50 kWh per bulan. Saya akan menyarankan agar untuk program listrik gratis diuji cobakan dengan menggunakan kuota 30 kWh per bulan.  Dari perhitungan ini, maka pendapatan PLN akan berkurang kira-kira 0.7 triliun rupiah per bulan atau 8.4 triliun per tahun, dengan asumsi BPP tenaga listrik Rp. 1300/kwh.

Dengan menggunakan prinsip burden sharing dan subsidi silang, jika kemudian rata-rata TDL untuk golongan rumah tangga non R1-450 dinaikkan 50%, sehingga tarif rata-rata-nya  menjadi 880/kWh, maka PLN  akan menerima tambahan pendapatan dari golongan pelanggan rumah tangga sebesar 12-13 triliun rupiah per tahun. Dengan demikian, ada selisih rata-rata sebesar 3.6-4.6 triliun. Simulasi secara kasar menunjukkan bahwa untuk menyeimbangkan biaya yang ditimbulkan dari kebijakan listrik gratis, diperlukan kenaikan TDL untuk golongan rumah tangga non R1-450 diatas 35% dari tarif rata-rata golongan rumah tangga (R1-R3) saat ini.

Wacana listrik gratis untuk orang miskin masih perlu dikaji lebih dalam, dan dipelajari implikasinya hingga benar-benar matang untuk diterapkan. Yang penting untuk saat ini bukanlah wacana populis, tetapi eksekutif dan DPR perlu menyepakati opsi penyesuaian TDL yang terbaik bagi rakyat Indonesia, tetapi tetap melindungi akses listrik masyarakat miskin. Reformasi kebijakan subsidi listrik sesuai dengan prinsip dan kaidah yang wajar, adalah langkah awal untuk memberikan listrik gratis yang berkelanjutan bagi rakyat miskin.

Fabby Tumiwa- penulis adalah Direktur IESR (Institute for Essential Service Reform) dan juga analis dan pemerhati masalah energi dan tata kelola kelistrikan di Indonesia.

Lumpur Lapindo dan Deepwater Horizon : Kecanduan Bahan Bakar Fossil serta Ancaman Ekonomi dan Ekologi

Oleh: Fabby Tumiwa (Direktur Eksekutif IESR)

foto diambil dari kabariindonesia.com

Belum sirna dari ingatan kita akan bencana Lumpur Lapindo yang dimulai 4 tahun lalu dan hingga hari ini masih juga belum teratasi. Dikhawatirkan luapan lumpur yang tidak berhenti akan menyebabkan sebagaian besar kawasan Porong bahkan Sidoarjo bakal amblas. Bencana lumpur lapindo dikuatirkan semakin mengancam kesehatan masyarakat dan pengguna jalan di wilayah Porong yang membuat Pemprov Jatim membentuk Tim Satgas Kesiapsiagaan Bencana Lumpur Sidoardjo minggu lalu.i

Puluhan ribu kilometer dari tanah air Indonesia, ada bencana lain yang serupa. Pada tanggal 20 April lalu, sebuah anjungan eksplorasi minyak lepas pantai (rig) yang berada sekitar 64 km dari Louisiana, milik perusahaan Deepwater Horizon yang dikontrak oleh BP, salah satu perusahaan minyak terbesar dunia dan produsen minyak dan gas terbesar di AS, terbakar dan tenggelam ke dasar laut teluk Mexico (Gulf of Mexico) dua hari sesudahnya. Kecelakaan ini mengakibatkan 11 orang pekerja di anjungan lepas pantai tersebut terenggut nyawanya.

Bukan hanya nyawa pekerja yang hilang, serta rig seharga miliaran dollar terbenam di dasar laut, tetapi juga tumpahan

photo release-deepwater horizon response

minyak yang tidak dapat dicegah. Sudah hampir satu bulan sejak bencana terjadi, berbagai upaya yang dilakukan belum juga berhasil menutup retakan dari pipa bor yang pecah di dasar laut dan menghambat aliran minyak. Awalnya menurut perkiraan US Coast Guard lebih dari 5 ribu barrel minyak setiap harinya tumpah tetapi sejumlah ahli yang mempelajari video tumpahan minyak tersebut memperkirakan sekitar 20 ribu – 70 ribu barrel per hari mencemari lautan teluk Mexico. Jumlah ini bisa lebih besar 15-20% karena terdapat retakan lain pada pipa sekunder. Menurut blog Skytruth.org, hingga hari ke-26 kecelakaan ini diperkirakan sudah hampir 700 ribu barrel minyak tumpah ke laut.ii Jumlah ini jauh lebih besar dari tumpahan minyak oleh kapal tanker Exxon Valdez tahun 1989 di laut Alaska sebesar 260 ribu barrel.

Gambar 1. Peta NOAA yang memperkirakan penyebaran tumpahan minyak per tanggal 17 Mei 2010. Tumpahan minyak meliputi area seluas ratusan mil persegi dan masih akan terus bertambah selama rekahan pipa di dasar laut tidak dapat ditutupi (sumber: http://blog.al.com/live/2010/05/bp_reports_progress_against_gu.html)

Kantor berita Associated Press menulis, laporan terakhir menunjukkan bahwa tumpahan minyak membentuk sejumlah gumpalan kolom minyak raksasa di bawah air. Salah satunya diperkirakan sepanjang 10 mil, lebar 3 mil dan dengan ketebalan 300 kaki.iii Gumpalan minyak ini tidak hanya mengancam fauna laut, tetapi juga ekosistem terumbu karang (coral reef) di sepanjang pantai Florida dan wilayah AS yang berada di sekitar teluk Mexico, dan kehidupan di bawah air. Wilayah Florida Keys di AS menyimpan sumber daya alam bawah laut yang luar biasa kaya, serta merupakan daya tarik bagi wisatawan. Setiap tahunnya, kawasan ini menarik 2 juta wisatawan.iv Bayangkan kerugian ekologi dan ekonomi yang dapat ditimbulkan oleh bencana Deepwater Horizon ini jika tidak cepat ditanggulangi. Diperkirakan BP akan mengeluarkan biaya sebesar lebih dari 30 milyar dollar untuk biaya pembersihan tumpahan minyak serta kompensasi ekonomi akibat bencana ini.

Ironisnya bencana “Deepwater Horizon” ini terjadi tidak lama setelah Presiden Obama mengumumkan untuk mencabut larangan pengeboran minyak dan gas bumi sepanjang pantai timur AS dan perairan sekitar Alaska yang memiki situs ekologis yang ringkih.v Keputusan yang mendapatkan kecaman keras dari aktivis lingkungan ini didasarkan pada tujuan objektif pemerintah Obama untuk mengurangi impor minyak dari negara-negara lain dimana sejumlah negara yang menjadi pemasok minyak AS adalah negara-negara yang saat ini justru dapat menjadi ancaman keamanan dalam negeri AS, yaitu Venezuela (eksportir no. 3) dan Arab Saudi (eksportir no. 5), serta rival AS dalam politik global yaitu Russia (eksportir no. 8). Dalam op-ed, majalah The Economist (8/05/2010) menulis: “jika AS tidak ingin menyerahkan uang dan kekuasaan kepada negara seperti Iran, Rusia dan Venezuela, maka argumentasi yang berlaku adalah bahwa pengeboran lepas pantai tidak boleh dibatasi.”

Ketergantungan dengan minyak

AS memiliki tingkat ketergantungan yang sangat besar terhadap minyak. Sekitar 25% total produksi minyak dunia dikonsumsi oleh masyarakat AS. Data EIA menunjukkan pada tahun 2008 rata-rata konsumsi minyak AS sebesar 19,5 juta barrel per hari, sekitar 11 juta barrel diimpor dari negara-negara lain dan hanya 8 juta barrel diproduksi di dalam negeri.vi Oleh karena itu, untuk memenuhi kecanduan masyarakat AS terhadap minyak dan bahan bakar fosil lainnya, pengeboran minyak dan gas tidak boleh terhenti.

Ekonomi dunia saat ini sudah saat terikat dengan minyak. Pasokan minyak global yang berkurang dapat menyebabkan resesi ekonomi di negara maju, terutama AS. Kalau ekonomi di negara maju sakit, dan efeknya dapat menular ke negara-negara lain, termasuk negara-negara berkembang. Harga minyak yang membumbung tinggi, baik karena permainan dan spekulasi harga di pasar komoditas atau karena memang terjadi defisit produksi minyak mentah, menyebabkan ratusan miliar dollar terbuang untuk membiayai impor minyak untuk memenuhi kebutuhan domestik yang menyebabkan defisit anggaran serta rontoknya cadangan devisa pemerintah.

Situasi ini tidak hanya terjadi di AS, tetapi juga di negara kita Indonesia. Tidak terlalu jelas tetapi ekonomi Indonesia sesungguhnya sangat tergantung pada minyak. Dari sisi pasokan minya, pada tahun 2009, Indonesia mengkonsumsi lebih dari 310 juta barrel per tahun, dimana sekitar sepertiganya atau 114 juta barrel diimpor dari negara lain. Tanpa impor minyak, dipastikan ekonomi Indonesia tidak akan bertumbuh. Kenaikan harga minyak bahkan dapat menyebabkan perubahan pada angka kemiskinan di negara ini. Sedemikian rentannya kita.

Dalam penyusunan APBN setiap tahunnya besaran lifting (produksi) minyak mentah serta harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price, ICP) menjadi dasar perhitungan pendapatan dan pengeluaran negara. Pada penyusunan APBN 2010, APBN adalah instrumen fiskal yang menentukan berhasil tidaknya pembangunan ekonomi dan non-ekonomi dilaksanakan. Walaupun variable lainnya, seperti asumsi makro ekonomi yang terdiri dari: pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, nilai tukar rupiah dan sertifikat BI dipakai sebagai dasar penyusunan APBN, kedua variabel yang berhubungan dengan minyak tersebut sangat menentukan profil penerimaan dalam APBN yang disusun, dan pada akhirnya menentukan defisit anggaran, alokasi pengeluaran dan pada akhirnya nasib perjalanan bangsa ini.

Pada tahun 2008 subsidi BBM (termasuk BBM untuk pembangkitan listrik) dan LPG mencapai 225 triliun rupiah, tertinggi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Pada tahun 2010, subsidi energi diperkirakan mencapai 150 triliun rupiah. Apabila rata-rata harga minyak lebih tinggi dari asumsi ICP yang dipakai pada APBN, jumlahnya subsidi bbm kemungkinan lebih tinggi. Kenaikan harga minyak 5 dollar diatas asumsi APBN akan meningkatkan subsidi sekitar 7-8 triliun rupiah. Sekitar 15 persen APBN 2010 dialokasikan untuk subsidi bbm.

Kecanduan dunia akan minyak dan bahan bakar fosil lainnya melahirkan bencana seperti Lumpur Lapindo dan Deepwater Horizon. Selain itu, ekonomi menjadi rentan, karena ditentukan pasokan dan permintaan, serta harga minyak. Ekonomi sebuah negara yang bergantung pada komoditas minyak dapat ambruk sekonyong-konyong karena perubahan harga minya di pasar dunia. Oil boom and burst merupakan fenomena dalam lima dekade terakhir.

Oleh karenanya sudah waktunya kita memikirkan secara serius decoupling ekonomi dunia dari minyak. Kita harus mempersiapkan diri untuk hidup pasca minyak. Tentunya tidak besok atau lusa, tetapi persiapan tersebut harus dilakukan mulai sekarang karena butuh lebih dari 3-4 dekade, bahkan lebih lama dari itu untuk mengubah struktur ekonomi dan pola adaptasi.

Negara berkembang seperti Indonesia yang tingkat konsumsi minyaknya relatif lebih rendah dibandingkan negara maju, mempunyai keuntungan yaiut lebih mudah untuk “banting setir” meninggalkan ekonomi yang sangat dipengaruhi oleh minyak. Tingkat pertumbuhan konsumsi minyak masih dapat ditekan, melalui penetapan harga energi dan subsidi yang cerdas (smart), serta kampanye konservasi yang tidak kenal lelah. Kita harus menghindar menjadi negara yang “mencandu” (addicted) minyak seperti AS.

Masyarakat pun harus dibuat sadar bahwa energi itu mahal dan proses ekstraksi menyebabkan dampak ekologis yang besar. Padahal bukankah seharusnya kita meninggalkan warisan planet bumi ini kepada anak-cucu, generasi kita yang akan datang?

Hanoi, 17 Mei 2010

ihttp://www.mediaindonesia.com.
iihttp://blog.skytruth.org.
iiihttp://www.huffingtonpost.com.
ivhttp://www.huffingtonpost.com.
vhttp://www.nytimes.com.
vihttp://tonto.eia.doe.gov.

Tulisan II – Menguak “Tabir” Transparansi dan Akuntabilitas Industri Ekstraktif di Kalimantan Selatan

Oleh: Dwitho Frasetiandy (Walhi Kalsel)

Dalam tulisan saya sebelumnya, pembahasan memang lebih ditekankan pada bagaimana kita coba ”membuka” daerah gelap yang selama ini hampir sama sekali tidak terjamah oleh masyarakat awam yaitu transparansi di sektor industri ekstraktif. Untuk bagian ini saya akan coba mengangkat bagaimana transparansi yang ada di sektor industri ekstraktif terkait dengan bagaimana daya rusaknya terutama di sektor pertambangan batubara yang ada di Kalimantan Selatan.

Potret Daya Rusak Tambang Batu bara Kalsel

Tambang batu bara sendiri hingga saat ini masih menjadi ”kutukan” ataupun paradoks bagi daerah yang kaya akan sumber daya alam, empat hal yang selalu menjadi potret daya rusak tambang yang ada di Kalsel saat ini misalnya adalah masalah kerusakan lingkungan, pemiskinan masyarakat sekitar tambang, tidak terjaminnya keselamatan masyarakat sekitar tambang, dan juga konflik dan pelanggaran HAM.

Inilah hal-hal yang terus saja ada dan menjadi ”hantu” yang selalu membayangi adanya industri pertambangan batu bara. Selain hal-hal umum yang disebutkan tersebut banyak hal-hal spesifik lain yang menggambarkan bagaimana masifnya daya rusak tambang batu bara yang ada sekarang ini misalnya,

Pertama, ancaman krisis pangan dan lahan, tambang batu bara adalah industri yang rakus lahan. Meningkatnya pengerukan batubara dalam sepuluh tahun terakhir artinya kebutuhan lahan untuk dikeruk tentunya juga meluas. Lahan-lahan itu, termasuk lahan produktif. Banyak lahan produktif, yang dulunya berupa sawah, ladang, perkebunan sungai bahkan pemukiman beralih menjadi kawasan tambang. Tak sedikit desa yang kemudian hilang dari peta beralih jadi kawasan tambang, seperti di desa Lamida atas yang tergusur akibat adanyanya tambang PT Adaro.

Dalam kurun waktu 8 tahun saja sejak tahun 2000-2008 dengan 23 buah PKP2B dan 380 Kuasa Pertambangan (KP) yang mengkapling sekitar 1,8 Juta Hektare lahan di Kalimantan Selatan atau sepertiga dari luas kalsel yang mencapai 3,7 Juta Hektare. Kedepan, Alih fungsi lahan ini akan menjadi ancaman serius bagi ketahanan pangan warga setempa, mengingat kawasan – tersebut adalah penghasil pangan warga setempat. Tentunya dengan makin banyak lahan-lahan mata pencaharian masyarakat.

Di tahun 2009 saja sudah terjadi 21 kali banjir dan ada sekitar lebih dari 15.000 hektar persawahan yang terendam banjir. Tercatat 11 dari 13 kabupaten/kota di Kalsel merupakan daerah langganan banjir dan tanah longsor setiap tahunnya. Daerah tersebut meliputi Kabupaten Tabalong, Balangan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Tapin, Barito Kuala, Tanah Laut, dan Kotabaru. Kabupaten Hulu Sungai Utara, Banjar, dan Tanah Bumbu merupakan daerah paling rawan terhadap ancaman bencana ini. Untuk Kota Banjarmasin juga tidak aman karena rob atau pasang laut selalu terjadi dan merendami permukiman warga. Menurut catatan Dinas Kessos Kalsel, sepanjang 2009, korban bencana alam ini mencapai 19.366 keluarga dengan taksiran kerugian Rp3 miliar lebih.

Kedua, adalah masalah daya rusak terkait krisis air dan pencemaran. Tak hanya rakus lahan. Pengerukan batubara juga rakus air. Pola penambangan terbuka tidak saja mengganggu sistem hidrologi tanah tetapi juga seluruh kegiatan warga yang bergantung pada sungai. Pengerukan batu bara mengakibatkan sungai menjadi hilang juga meningkatkan pendangkalan badan sungai. Lokasi penimbunan atau stockpile batu bara yang biasanya ada di dekat kawasan sungai berpotensi mencemari air sungai. Krisis air adalah keniscayaan bagi warga sekitar pertambangan batu bara. Warga di sekitar industri pertambangan selalu mengeluhkan sulitnya mendapatkan air bersih saat kegiatan pertambangan berlangsung. Pelajaran ini bisa kita dapat dari beberapa kasus tambang yang ada.

Sebagai gambaran, di daerah Sungai Danau – Kabupaten Tanah Bumbu, tepatnya di kawasan sekitar tambang PT Arutmin. Dulunya warga menggunakan air “guntung”, sebutan untuk sungai-sungai kecil disana untuk kebutuhan air harian. Saat ini warga harus membuat sumur sejak guntungnya rusak. Demikian pula dengan warga desa Sungai Cuka – kecamatan Satui, semenjak air sumur mereka kering. Mereka harus membeli pipa agar bisa mengambil air dari lubang bekas tambang milik Arutmin yang ditelantarkan dan terisi oleh air hujan. Jarak lubang tambang dari pemukiman hanya sekitar 25 hingga 30 meter. Begitu pula dengan masyarakat yang ada di sekitar pertambangan PT Adaro di Kabupaten Tabalong, tong-tong berjejer dirumah di depan rumah menjadi pemandangan biasa Entah apa jadinya dikemudian hari, ketika perusahaan tambang tersebut sudah menutup dan mengakhiri kegiatan pertambangannya. Siapa yang akan mengisi tong-tong air tersebut diatas, sementara tidak ada lagi sumber air yang bagus.

Belum lagi hal yang lebih besar yang dapat berdampak ke masyarakat yang ada di hilir, seperti misalnya, salah satu kasus yang terjadi adalah sistem pembuangan air limbah penambangan oleh perusahaan pertambangan batu bara PT Tanjung Alam Jaya yang menuju Sungai Riam Kiwa, Kabupaten Banjar, Kalsel yang menyebabkan kekeruhan air sangat parah karena banyaknya jumlah sedimen yang terbawa arus dari pertambangan. Tingkat kekeruhan air di sungai itu sudah mencapai 438 miligram per liter. Padahal, toleransinya 400 miligram per liter.

Selain itu yang baru-baru saja terjadi adalah pencemaran sungai balangan yang disebabkan oleh ”meluapnya” limbah PT Adaro. Ribuan warga di 4 Kecamatan Kabupaten Balangan yakni Kecamatan Paringin, Juai, Paringin Utara dan Kecamatan Lampihong saat ini tidak bisa mengakses langsung air sungai Balangan untuk keperluan sehari-hari. Demikian juga yang dialami masyarakat di 4 Kecamatan Kabupaten Hulu Sungai Utara (Kecamatan Amuntai Tengah, Babirik, Sei Pandan dan Banjang). Terganggunya operasional PDAM di Balangan dan Amuntai hingga terhentinya layanan distribusi air bersih ke warga selama 3 hari. Keruhnya sungai Balangan ini juga menyebabkan biaya tinggi bagi PDAM dalam memproduksi air bersihnya.

Dan celakanya sungai-sungai seperti, sungai Martapura, balangan dan barito bukanya hanya menjadi konsumsi warga sekitar tambang saja tapi terus dikonsumsi hingga di warga perkotaan, menurut penelitian BLHD Provinsi Kalsel saja di Banjarmasin hampir seluruh sungainya tercemar oleh logam berat, untuk pencemaran yang disebabkan pertambangan batu bara dan besi (Fe) sebesar 16,209, semestinya batas normalnya hanya 0,3. Timbal (Pb) sudah mencemari sebesar 0,125 untuk batas normalnya hanya 0,3.Sungai Barito dan Sungai Martapura yang menjadi sumber kehidupan masyarakat di Kalsel terbukti telah tercemar berbagai unsur logam berat. Kondisi air sungai mempunyai tingkat kekeruhan tinggi dengan total suspended solid (TSS) mencapai 182-567 mg/l jauh di atas standar 50 mg/l. Kadar DO mencapai 5 mg/l dengan standar -6 mg/l. Jika dibiarkan tanpa ada komitmen serius untuk menanggulanginya, bukan tidak mungkin kasus yang pernah menimpa masyarakat buyat pante akibat pertambangan PT Newont bisa terulang.

Itu belum ditambah dengan masalah lain terkait dengan rusaknya 6 dari 12 DAS di empat kabupaten yang kondisinya sangat kritis karena sebagian besar tidakberhutan lagi dan lingkungan sungai-sungai yang buruk. Enam DAS yang sangat kritis itu adalah DAS Barito pada daerah dua sub- DAS (Riam Kiwa dan Kanan) di Kabupaten Banjar. Di Kabupaten Tanahlaut terjadi pada DAS Tabonio dengan sub-DAS (Asam- asam, Sawangan, dan Sabuhur). Selain itu juga pada DAS Kintap, yakni sub-DAS Kintap dan Kintap Kecil. Yang hulunya terdapat pertambangan batu bara, perkebunan sawit skala besar dan perkebunan monokultur. Aktivitas-aktivitas perusakan lingkungan ini telah menghabiskan tutupan lahan dan mengancam keberadaan daerah aliran sungai (DAS) yang ada di kalsel.

Ketiga, Konflik horizontal dan banyak pelanggaran HAM juga menjadi potret yang menyedihkan dari daya rusak tambang yang ada. Dalam pertambangan batubara konflik adalah hal biasa jika industri tambang masuk yang pertama muncul pada pertambangan skala besar, berijin PKP2B dan Kontrak Karya, biasanya konflik horisontal antar warga yang setuju dengan setuju dan yang menolak tambang, baik itu terkait lahan dan permaslahan lainnya. Konflik juga muncul di tingkat warga dengan pemerintah daerah dan perusahaan tambang. Rasa tidak aman warga menjadi sangat terasa, saat pemerintah dan aparat menjadi pelindung perusahaan tambang.

Salah satu contohnya di Kabupaten Balangan, tepatnya di kawasan pengerukan PT Adaro. Perusahaan telah membuka tambangnya sejak tahun 1991. Tambang skala besar tersebut telah menggusur dua desa, yaitu Lamida Atas di Kecamatan Paringin dan Wonorejo di Kecamatan Juai. Perluasan tambang PT Adaro di tahun 2003 membuat dua desa itu lenyap dari peta. Perusahaan melakukan pembebasan lahan dan memaksa warga pindah ke desa lain setelah diganti rugi. Ironisnya lagi saat ini desa yang direlokasi itu akan kembali direlokasi karena daerah yang mereka tempati sekarang akan dijadikan areal perluasan untuk conveyor batu bara PT Adaro, ibaratnya sudah jatuh tertimpa tangga pula.

Potret-potret kecil daya rusak tambang di atas hanya lah sebagian kecil dari banyak permasalahan-permasalahan yang ditimbulkan oleh dampak buruk pertambangan batubara, dan tidak cukup dituliskan dalam tulisan saya ini, tapi paling tidak dari contoh-contoh diatas menggambarkan betapa industri ekstraktif khususnya pertambangan batu bara tidak berdampak siginifikan terhadap kesejahteraan masyarakat.

Transparansi Sebagai Sebuah Solusi Jawaban?

Banyak pertanyaan memang yang mengemuka apakah transparansi di dalam sektor industri ekstraktif khususnya batubara akan menyelesaikan permasalahan yang timbul akibat daya rusaknya, saya pikir tidak juga menyelesaikan masalah besar terkait dengan daya rusak tambangnya, tapi paling tidak dengan transparansi di sector ini sedikit banyak akan mengurangi potensi kerugian Negara akibat maraknya praktek korupsi yang ada di sektor ini yang sudah sejak lama menjadi “lahan basah” bagi para pelakunya.

Lalu selanjutnya adalah masyarakat umum tahu seberapa banyak sebenarnya manfaat yang mereka dapat dari maraknya pertambangan batubara yang ada di daerahnya sehingga harapan ke depannya adalah masyarakat tahu apa yang paling tidak bisa mereka lakukan untuk terus mendukung ataupun “mengganggu” industri pertambangan yang ada di Kalsel. Namun penting juga kiranya adalah bahwa setransparan apapun industry pertambangan –terkait pendapatan dan dana bagi hasilnya- kita tidak hanya bisa menempatkan pendapatan sebagai satu-satunya indikator untuk “melegalkan” industri tambang batu bara, yang jauh lebih penting adalah bagaimana kita melihat daya rusak tambang yang ada, saya kira seberapa besar pun keuntungannya tidak akan mampu untuk “membayar ongkos” daya rusak tambang yang ada. Jadi mungkin tidak akan ada istilah bahwa “Tambang boleh nambah terus asal transparan”, pendapat yang keliru juga saya kira.

Dan apakah saat ini transparansi dapat dijadikan “alat” untuk “menelanjangi” potret buruk industri  batu bara? Saya pikir itu sangat lah mungkin tapi tidak lantas hanya menempatkan isu transparansi ini tanpa mendudukkan fakta terkait daya rusaknya. Dan jangan pula lantas kita terjebak hanya dalam isu transparansi. Tapi sebagai bagian dari “menelanjangi” bobroknya sistem pengelolaan industri ekstraktif dari sector hulu hingga hilir transparansi menjadi isu yang juga sangat krusial. Jadi di hulunya ada masalah kerusakan dan dihilirnya adalah masalah ketidaktransparanan. Klop lah sudah gambaran buruknya pengelolaan industry ekstraktif kita.

Sudah merusak, tidak transparan, menunggak royalti, korup pula…!!!

Tulisan I- Menguak “Tabir” Transparansi Industri Ekstraktif Kalimantan Selatan

Oleh: Dwitho Frasetiandy (Walhi Kalsel)

“Bumi cukup untuk memenuhi kebutuhan kita semua, namun ia tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan segelintir orang yang tamak”. (Mahatma Gandhi).

Ungkapan diatas kiranya dapat sedikit menggambarkan bagaimana pengelolaan sumber daya alam di negeri ini dan juga Kalimantan Selatan. Kerusakan, kerakusan merupakan sesuatu yang saya kira merupakan kata-kata yang sangat pas bagi mereka yang terus-menerus menggerus sumber daya alam yang ada tanpa memeperhatikan aspek keberlanjutan lingkungan.

Padahal logikanya dengan sumber daya alam yang sangat berlimpah ini akan mampu menjadi penopang perekonomian dan juga sebagai penggerak perekonomian dan juga kesejahteraan masyarakat sekitar tambang, namun harapan itu ternyata berbanding terbalik dengan apa yang terjadi sekarang. Mengambil sebuah kata dari para ekonom dunia “the resource curse atau the paradox of plenty”, yang merupakan gambaran bahwa sebuah negara yang kaya akan sumber daya alam namun ternyata kekayaan itu bukan menjadi sebuah kekayaan bagi kita semua namun makah berubah menjadi bencana lingkungan dan sosial.

Produksi batubara Kalsel yang mencapai 78 juta ton/tahun, jumlah yang sangat lah besar, namun pada kenyataannya saat ini 70% batubara itu diekspor ke luar negeri, 29% dikirim ke pulau jawa, dan yang semakin ironis adalah keuntungannya tidaklah berputar di kalsel namun hanya dinikmati segelintir orang saja di Jakarta dan sebagian di kalsel. Kalau kita hitung secara matematis, dengan harga batubara 100 dollar per metrik ton, batubara kalsel dapat menghasilkan keuntungan mencapai 8 trilyun/tahun atau 4 kali lipat dari APBD yang cuma” 1,8 trilyun/tahun.

Namun ternyata yang didapat daerah tidak lah sebanyak yang kita pikirkan, menurut pemerintah kalsel hasil royalti yang didapat dari batubara “hanya” 85 milyar saja pada tahun 2008 lalu, padahal keuntungan yang didapat dari ekspor batubara kalsel di triwulan awal tahun 2009 ini saja mencapai u mencapai 1,4 trilyun rupiah. Wow, sebuah angka yang sangat fantastis untuk 3 bulan pertama saja, bahkan jauh melampaui APBD Kalsel. Tapi yang didapat daerah hanya lah “seujung kuku” dari yang keuntungan yang dinikmati oleh para pengusaha pertambangan itu.

Kesejahteraan jadi kata yang diucap berulang-ulang oleh pemerintah dan pelaku tambang, saat membicarakan penerukan batubara. Mereka bilang peningkatan produksi batubara akan meningkatkan pemasukan asli daerah (PAD) dari sektor ini. Naiknya PAD seringkali diasumsikan dengan naiknya tingk at kesejahteraan rakyat. Namun apakah klaim ini benar adanya?

Pertambangan, Jauh Kesejahteraan = Kemiskinan

Pendapatan sektor pertambangan diatur dalam UU No. 33/2004, yang menyebutkan penerimaan iuran tetap pertambangan umum untuk pusat sebesar 20% dan 80% untuk daerah (16% propinsi dan 64% kabupaten/kota), penerimaan iuran eksplorasi dan eksploitasi pertambangan umum terdiri dari 20% untuk pusat dan 80% untuk daerah (16% untuk propinsi, 32% untuk kabupaten/kota penghasil, 32% untuk kabupaten lainnya). Namun kebijakan ini tidak cukup memuaskan daerah karena penyerahan cenderung terlambat dan ketidak pastian jumlah yang diterima.

Selain itu, untuk mendapatkan dana iuran ini teranyata tak mudah. PT. Arutmin Indonesia (Bumi Resources) menunggak sampai 3 tahun yang mencapai USD 13 juta atau setara Rp 13 miliar ke Pemprov Kalsel. Tunggakan PT Arutmin itu merupakan akumulasi dari perhitungan royalti tahun 2004 dan tahun 2005. Termasuk denda yang dikenakan atas keterlambatan pembayaran royalti tersebut.

Sebelumnya total tunggakan royalti perusahaan itu mencapai USD 30 juta. Rupanya, tunggakan ini terus berlanjut tahun 2004 mencapai USD 29 juta, hingga dibayar tahun 2005 sebesar USD 23 juta, sehingga tersisa USD 5 juta. Ternyata, tunggakan itu berlanjut lagi tahun 2005 hingga besarannya mencapai USD 16 juta. PT Bahari Cakrawala Sabuku sempat menunggak royalti hingga 2005 mencapai USD 4,5 juta. Kemudian, PT Antang Gunung Meratus sempat ‘ngutang’ USD 714 ribu. Hal serupa juga dilakoni PT Sumber Kurnia Buana sempat menunggak royalti sebesar USD 3,7 juta, PD Baramarta sebesar USD 5,9 juta, PT Tanjung Alam Jaya USD 583 ribu, dan PT Baramulti Sukses Sarana USD 321 ribu.

Kabupaten Tanah Laut yang dikenal sebagai daerah kaya batubara ternyata mendapatkan royalti batubara tahun 2005 adalah Rp. 8,014 milyar, sumbangan Pihak ketiga sebesar Rp.10,321 milyar sehingga total pendapatannya menjadi Rp. 18,336 milyar. Sedangkan tahun 2006 (data sampai dengan Juli) sudah diperoleh Rp. 10,145 milyar. Tanah laut berupaya mencari peluang meningkatkan pendapatannya dari sektor batubara dengan meningkatkan besaran sumbangan pihak ketiga pengusaha batubara, dari Rp 1000 menjadi Rp 2000 untuk setiap ton batubara yang dikeruk. Selain itu, sumbangan diharapkan dari didapat dari pengalihan wewenang pembuatan surat keterangan asal barang (SKAB) dari gubernur kepada bupati. Peluang lainnya dari bidang transportasi dan pelabuhan melalui Perda 7/2003, tentang ragam pungutan (retribusi) atas seluruh kegiatan kepelabuhan. Di antaranya, retribusi jasa tambat, jasa labuh, jasa pemanduan, jasa penumpukan barang, dan jasa sewa perairan. Nominal retribusi jasa alur sesuai Perda nomor 7 yaitu Rp7.500 per ton batubara.

Kondisi diatas tidak jauh beda didapat pada penilaian IPM tahun 2006, dimana Kalsel berada pada peringkat 26 dari 33 propinsi di Indonesia. Bahkan pertumbuhan ekonomi Kalsel tahun 2006, hanya 4,7 persen atau di bawah rata-rata nasional yang mencapai 6 persen. Angka itu juga lebih rendah dibanding pertumbuhan ekonomi Kalsel tahun 2005, yang mencapai 5 persen. Bila dicermati lebih jauh, sejak tahun 1999 hingga 2005, ranking IPM Kalsel secara konstan menurun. Urutan 21 pada tahun 1999, kemudian berada pada urutan 23 di tahun 2002, 24 di tahun 2004 dan urutan 26 di tahun 2005.

Apa yang terjadi di tataran propinsi juga terjadi di tataran kabupaten/kota di Kalimantan Selatan. Kabupaten Tanah Bumbu, yang notabene sumbangan sektor pertambangan selama tiga tahun terakhir PDBR berlaku rata-rata di atas 35% (tertinggi dibandingkan kabupaten/kota lainnya di kalsel) ternyata IPM Kabupatennya berada pada urutan 10 dari 13 Kabupaten/kota lainnya. Bahkan sangat jauh dibandingkan dengan IPM Banjarbaru yang nyaris hanya mengandalkan sektor jasa dan perdagangan dalam PDBRnya.

Sesungguhnya, berdasarkan Ilmu Ekonomi suatu investasi idealnya harus membawa efek penciptaan lapangan kerja dan efek ganda lainnya yang positif, sebagaimana argumentasi yang selalu disampaikan para bupati saat mereka akan mengeksplotasi sumberdaya alam di daerah mereka. Argumentasi itu mereka kemukakan karena mereka tidak pernah tuntas menyelesaikan masalah pengangguran. Padahal agar suatu investasi dapat mencapai keadaan tersebut banyak syarat dan konsekuensi lain yang harus diperhatikan. Hal ini tampaknya tidak terjadi dalam investasi tambang batubara.

Investasi pertambangan batubara tidak akan mensejaterakan masyarakat, kalau hanya ditinjau dari keuntungan penciptaan lapangan kerja dan efek ganda. Karena investasi bisa saja ditanam pada sektor ekonomi lain bukan pertambangan batubara, dan sudah pasti juga akan menciptakan lapangan kerja dan efek ganda lainnya. Dengan demikian argumentasi penciptaan lapangan kerja dan efek ganda tersebut sangat kurang tepat.

Salah satu indikator kesejahteraan masyarakat dapat dilihat dari serapan tenaga kerja. Sebagaimana disebutkan terdahulu, masalah pengangguran belum tuntas di Kalimantan Selatan. Dari 3.250.100 orang penduduk Kalimantan Selatan (Data Tahun 2005), 1.468.590 orang diantaranya bekerja atau sekitar 45%.

Sektor yang paling tinggi menyerap tenaga kerja adalah pertanian, yang menyerap 741.298 orang atau 51 persen tenaga kerja. Sektor pertambangan yang sangat dominan dalam menghasilkan nilai tambah (rangking 2), output (rangking 1), dan investasi (rangking 2), ternyata hanya mampu menyerap tenaga kerja 33.738 orang atau dua persen. Tenaga kerja inipun kebanyakan berasal dari luar desa bahkan banyak dari mereka berasal dari luar provinsi.

Industri Ekstraktif Harus Terbuka Kepada Publik

Rezim ketertutupan informasi atas penerimaan negara dari sektor industri ekstraktif akan terpatahkan. Sejalan dengan terbitnya Peraturan Presiden No. 26 Tahun 2010, kini publik berhak tahu berapa besar penerima negara dari industri ekstraktif. Industri ekstraktif adalah segala kegiatan yang mengambil sumber daya alam yang langsung dari perut bumi berupa mineral, batubara, minyak bumi, dan gas bumi, ditambah dengan sudah berlakunya UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik tentunya semakin menguatkan kita bahwa informasi terkait industry ekstraktif di kalsel harus dibuka selebar-lebarnya.

Perpres No. 26 Tahun 2010 mengatur tentang transparansi pendapatan negara dan pendapatan daerah yang diterima dari industri ekstraktif, kebijakan transparansi ini akan menjadi angin segar dalam rangka memperbaiki tata kelola industri ekstraktif. Selama ini, industri migas dan pertambangan relatif sangat tertutup.

Perpres ini merupakan adopsi sekaligus pertanda keikutsertaan Indonesia dalam Extractive Industry Transparency Initiative (EITI). Perpres 26 bisa dikatakan sebagai langkah strategis untuk menguraikan aliran pendapatan negara dari sektor industri ekstraktif. Pendapatan negara selama ini disumbang 32 sampai 35 persen dari industri ekstraktif. Celakanya, sumber pendapatan dari migas dan tambang telah lama menjadi sumber konflik antara Pusat dan Daerah. Terutama mengenai dana bagi hasil.

Selama sembilan tahun masa desentralisasi sekitar 7.000 Kuasa Pertambangan (KP) diterbitkan Pemerintah. Cuma, tak terdata dengan jelas berapa pendapatan dan berapa manfaat riil yang diperoleh negara dari migas dan tambang. Yang ada justru informasi tentang kerusakan ekologis akibat pengelolaan tambang yang tak tertata dengan baik.

Masyarakat juga akan tahu perusahaan mana saja yang bergerak di industri ekstraktif, sekaligus tercatat data berapa pendapatan yang diperoleh negara dari perusahaan. Masyarakat juga dapat mengetahui berapa banyak volume migas yang diekspor dan berapa yang dipersiapkan untuk kebutuhan dalam negeri. Seperti diketahui, Menko Perekonomian Hatta Radjasa sudah berkali-kali menekankan pentingnya mengedepankan kebutuhan migas domestik ketimbang ekspor.

Namun bagaimanapun juga inisiatif EITI yang diperkuat dengan Keluarnya Perpres No.26 tahun 2010 ini bukan hanya satu-satunya cara untuk meminimalisir praktek-praktek korupsi di sector pertambangan dan industry ekstraktif lainnya, tapi setidaknya mampu menjadi langkah awal di Kalimantan Selatan untuk mencegah adanya praktek korupsi di sector ini dan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas di dalam industry ekstraktif di Kalimatan Selatan.

Kebijakan pemerintah yang lebih transparan dalam industri ekstraktif bukan saja mutlak dibutuhkan guna mengurangi tingkat korupsi dan manipulasi hasil pendapatan yang seharusnya diterima negara, tetapi dapat memperbaiki iklim investasi di bidang ini. Namun, yang lebih penting, masyarakat berhak mengetahui apa yang sudah dibayarkan industri kepada negara, negara menerima berapa, dan untuk apa saja. Pertanyaannya, bisakah Pemerintah melakukan hal ini. Jika tidak, sedih sekali masyarakat kalsel, sudah tidak mendapat kemakmuran secara ekonomi, masih tidak diberi informasi atas pendapatan dari hasil pengelolaan industri berbasis sumber daya alam.

Pertanyaan yang perlu dikemukakan pula dari semua fakta ini adalah “ untuk siapa sebenarnya energy dan indutri ekstraktif tersebut selama ini? Kita melayani siapa?”. Bayangkan 70 % dari 78 Juta Ton produksi batu bara kalsel di ekspor ke luar negeri. hanya sisa dari itu lalu melayani kepentingan domestik, perdebatan kuota-antikuota pemenuhan kebutuhan domestik ternyata hanya menjadi debat kusir, sementara ekspor terus melenggang tanpa halang-rintang. maka terjawablah sudah pertanyaan “untuk siapa energy dan batu bara kita selama ini dan kita melayani siapa”.

Bukan kah seharusnya apa yang terkandung didalam tanah Kalimantan Selatan menjadi kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan bagi kita dan generasi yang akan datang, bukan dengan cara keruk habis seperti ini. Sehingga pertanyaan apakah batubara itu mensejahterakan, bukan lagi sebuah mitos belaka.

Press Release – Pemerintah dan Perusahaan EI Indonesia diserukan untuk Serius Terapkan EITI

Jakarta, 6 Mei 2010. Pemerintah Indonesia dan Perusahaan EI (Ekstraktif Industri) diserukan untuk serius menerapkan EITI (Extractive Industri Transperency International), menyusul telah ditandatanganinya Peraturan Presiden (PerPres) No 26 Tahun 2010 tentang Transparansi Pendapatan Negara dan Daerah dari Industri Ekstraktif.

Hal ini ditandaskan oleh IESR (Institute for Essential Services Reform) dan PWYP (Publish What You Pay), dalam acara Diskusi Dengan Media: Tantangan PerPres No.26/2010, Kamis, 6 April 2010, di Jakarta, menyusul telah ditandatanganinya PerPres tersebut oleh Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono pada 23 April 2010. Hadir dalam acara Deputi Menko Perekonomian, Ir Muhammad Husen, Priyo Pribadi Sumarno (IMA/ Indonesia Mining Association).

“Ini langkah awal yang baik untuk mendorong transparasi dan akuntabilitas yang lebih luas dalam menegakkan pemberantasan korupsi serta demokratisasi lewat sektor ini. Meski ada keraguan akan implementasinya tapi upaya ini harus dihargai. Kita harapkan segera dikonkretkan,”jelas Direktur IESR, Fabby Tumiwa. Ditambahkannya, diperlukan konsensus serta pembentukan multipihak dari pemerintah, usaha EI, dan masyarakay sipil untuk memastikan keterbukan pelaporan dan pendapatan usaha EI di Indonesia.

Sebagai informasi EITI adalah Inisiatif global yang menuntut keterbukaan usaha Industri Ekstraktif (mineral, gas, minyak, batu bara, dan sejenisnya) untuk melaporkan secara terbuka pendapatan usaha EI-nya kepada publik, begitu juga pemerintah melaporkan pendapatan dari hasil setoran yang terima dari usaha EI. Inisiatif ini telah dilakukan 30 negara di seluruh dunia, dan 10 negara lainnya kini mulai berkomitment mengikuti EITI.

Di Indonesia ditandatanganinya PerPres ini adalah langkah awal Indonesia menerapkan EITI. Artinya, kini perusahaan minyak dan gas bumi atau apa pun yang dihasilkan perut bumi maka harus melaporkan segala hasil pendapatannya yang disetor ke pemerintah secara terbuka kepada publik. Instansi pemerintah yang telah terima pembayaran itu juga mengisi laporan hasil penerimaan tersebut.

Multipihak yang ditunjuk mengawasi proses pelaporan ini terutama dalam me- cross check -an laporan satu dengan lainnya. Sehingga akan jelas di sana baik pendapatan EI dan yang diperoleh (hasil setoran) pemerintah. Hasil cek silang ini kemudian dipublikasikan juga secara terbuka kepada publik.

Sementara Koordinator nasional PWYP Indonesia, Ridaya Laodengkawe menjelaskan, PerPres itu setidaknya bisa mengurai rejim ketertutupan dalam aliran pendapatan Negara dari sektor migas dan tambang. Apalagi 32-35% total penerimaan Negara dalam beberapa tahun terakhir berasal dari sektor strategis ini. Sektor ini juga selalu menjadi sumber polemik antara pemerintah puat dan pemerintah daerah, terutama tentang besaran dana bagi hasil yang merupakan salah satu elemen kunci dalam desentralisasi.

“Terdapat 7000-an kuasa pertambangan telah dikeluarkan pemerintah daerah selama Sembilan tahun masa desentralisasi, tanpa kejelasan beberapa manfaat yang telah diberikan. Kerusakan ekologis lebih menonjol sebagai akibat dari ribuan KP yang dikeluarkan tanpa kesiapan tata kelola yang baik,” jelasna.

Baik IESR dan PWYP meyakini bahwa pelaksanaan EITI secara konsukuen akan memperbaiki tatakelola aliran pendapatan Negara dari EI tetapi juga akan meningkatkan tata kelola EI secara keseluruhan.

Sedangkan Ketua IMA, Priyo Pribadi Sumarno mengatakan bahwa pihaknya telah mencoba mesosialisasikan keberadaan EITI ke perusahaan-perusahaan tambang, gas dan minyak Indonesia. Pihkanya juga menyambut baik PerPres ini.

“Sebenarnya beberapa perusahaan tambang telah melakukan pelaporan ini tiap tahunnya. Usaha EI yang menyatakan siap menjalankan EITI sementara ini hanya dari Medco dan Rio Tinto. Masyarakat akan diberikan informasi seluasnya, apakah mereka akan mendapatkan hal sepadan atau tidak,” jelasnya.

Sementara Ir Muhammad Husen menjelaskan saat ini pihaknya tengah mendorong agar Per-Pres dikonkretkan dalam implementasi yang jelas.

“Prosesnya masih panjang untuk bisa sampai ke UU. Kita fokuskan saja bagaimana menjalankan ini dengan baik. Terutama menyertakan multipihak baik dari pemerintah, usaha EI dan juga masyarakat sipil yang diwakili LSM. Saya masih bingung LSM mana yang mesti disertakan untuk masuk dalam multipihak seperti yang ditentukan EITI,”jelasnya.

Tidak tegas dan tidak ada sanksi

Sedangkan Ridaya menyayangkan Per-Pres yang ada masih dikemas dalam bahasa hukum yang halus atau tidak tegas.

“Kami sebenarnya menginginkan bahasa hukum yang tegas. Misalnya, memerintahkan kepada Pemerintah dan Perusahaan untuk menyerahkan laporan….” Namun dalam pasal 14 PerPres pemerintah memilih meformulasikan dengan tidak tegas.

Demikian juga tentang keterlibatan para pihak (multistakeholder steering group/MSG). PerPres mengatur MSG dengan sistem dua kamar (pasal 4): Tim Pengarah dan Tim Pelaksana. Konsukunesi dari sistem dua kamar ini adalah rantai koordinasi yang lebih panjang daripada yang dibayangkan oleh EITI (satu kamar).

PerPres juga tidak menyatakan benchmark atau jenis data minimal yang harus dilaporkan secara eksplisit. Di satu sisi ketiadaan benchmark dapat sebagai peluang untuk memperluas lingkup pelaporan, namun di sisi lain dapat juga bearti memainkan kekuasaannya.

Kekhawatiiran ini, meskipun diharapkan tidak terjadi, namun tetap ditemukan komposisi Tim Pelaksana (pasal 10) yang tidak seimbang dan dalam PerPres ini tidak diatur tentang voting block mechanism (pengambilan keputusan berdasarkan perwakilan unsur), sehingga kelak ada keputusan yang adil.

PerPres ini juga disayangkan tidak menegaskan adanya sanksi bagi yang tidak membuat pelaporan tegas kepada publik. Hal ini diakui Husen sebagai kelemahan PerPres.

“Tidak ada hitam di atas putihnya. Jadi memang sanksi moral saja. Tapi kunci dari keberhasilan implementasi EITI lewat PerPres ini adalah komitment semua pihak. Jika salah satunya tidak menjalankan, ini jutsru menurunkan citra kesungguhan kita yang ingin terbuka terhadap pelaporan pendapatan dan penerimaan pendapatan EI yang ada,”tandas Husen.

Nomor Kontak:

Ridaya Laodengkowe (Koordinator Nasional): 0812 803 7964
Email- ridaya.lon@gmail.com
Fabby Tumiwa (Direktur IESR): 0811 949 759
Email: fabby@iesr-indonesia.org

Press Release- Time for the World Bank to clean its energy investments – or lose relevance

As the World Bank Group (WBG) asks an $86 billion general capital increase from its major shareholders, it appears this lending and knowledge institution is not committed to direct public resources to measures that support sustainable development, poverty reduction and clean energy. Instead, the Bank looks set to mobilize public money to subsidize fossil fuel industry and orient funds for large-scale thermal, hydropower projects and energy-related policy reforms, says joint NGO report.

This critique emerges from the recent study on the energy portfolio of the Bank in Indonesia undertaken by the Jakarta-based Institute for Essential Services Reform (IESR) and Bank Informartion Center (BIC), an IFI watchdog working in Indonesia, Mekong and South Asia. The study looked at the Bank’s influence on Indonesia’s energy sector over the last 40 years through its lending and non-lending services. The report is released in time for the May 6 Jakarta consultation that WBG organizes to solicit external comments on its energy strategy approach paper.

“Since 1969, the WBG has provided over USD 5.4 billion in energy lending in Indonesia which has focused on centralized, large scale, grid based thermal and hydropower projects and on the financial viability and privatization of the Perusahaan Listrik Negara (PLN)”, says Daniel King, one of the researchers for the study. Bank’s appetite for risky, dirty public debt for energy remains high as demonstrated by pending loans for a $500 million geothermal project in Sumatra and North Sulawesi, $530 million Upper Cisokan hydropower in West Java, and $225 million transmission project in Java and Sumatra.

“If these were an indication that Bank wants to keep its business-as-usual model for energy financing, this leaves us with little confidence that the institution can play a relevant role in promoting low-carbon development and wider energy access for the poor,” argues Fabby Tumiwa, Executive Director of IESR. “Apparently, the Bank only pays lip service as an institution concerned with climate change and delivering affordable and reliable energy to off grid, rural communities. It does not walk the walk”, Tumiwa adds.

Delivering energy access for the poor?

“The Bank’s mandate is to reduce poverty, but it is disappointing that the objective for energy access for the poor is not made clearer in the 2009-2012 Country Partnership Strategy, its country support masterplan. Although the Bank’s rural electrification projects of the 1990s brought electricity access to 10 million households, it still has no clear plan to address energy access for over 70 million Indonesians without electricity access”, King reveals.

The study found that the Bank has oriented its energy financing into investments that are considered high in greenhouse gas emissions, environmentally and socially risky and ones that favor privatization of energy utilities. King discovered that in the 1970s, nearly $600 million worth of loans and grants focused on oil and transmission while loans more than tripled ($1.5 billion) in the 1980s but this time, the Bank dedicated public debt to Indonesia’s coal, large hydropower and transmission projects. In the 1990s, the Bank repeated the same lending pattern. Although it can be credited for investing $670 million for rural electrification projects, it has also scaled up its loans geared to privatize State-owned and operated power utilities.

A climate bank?

While the energy sector is the second largest source of CO2 emissions in Indonesia, discharged from power generation, the Bank’s strategy to mitigate climate change is poor, says the report. As the Government of Indonesia (GOI) aims to reduce GHG emissions by 26 percent by 2020 and make a further cut up to 41 percent with international support, it turns out the Bank has no clear cut strategy to progressively shift its funding from fossil fuel.

“It is predictable – as well as disappointing – that the Bank is not ready to abandon its addiction to dinosaur energy sources and technologies,” claims Tumiwa. “Promoting the use of coal had been a specific policy aim of WBG projects in Indonesia until 1995; coal and gas still form a key part of the Bank’s energy strategy in the country and the lending institution has propensity to label its advanced coal technologies as clean energy. This is inaccurate and misleading”, Tumiwa asserts.

Is the Bank promoting alternatives?

“At the conceptual plane, it looks like this post-World War Bank seeks alternatives but how clean and sustainable these offered solutions are is highly suspect”, argues Yaya Nurhidayati dari Bank Dunia. “Large hydropower is back on the agenda. The Bank is set to approve a $530 million loan in October 2010 to develop the Cisokan River Pumped Storage Power Project, reveals Forqon. The Bank champions hydropower as a “clean energy” source due to its low carbon emissions but scientific studies show that in tropical climate, methane emissions from dam reservoir can be high”, he added.

The Bank has recently increased its funding for geothermal projects using clean thecnology fund and regular investment loan but the actual social, environmental and economic impacts are yet to be seen. Meanwhile its public and private sector arms have extended the lending envelope to “new renewables” such as wind, solar, small hydro and modern biomass but volume has been negligible.

What’s new in the country energy agenda?

In the study, King found that the Bank is infusing large chunk of public money for policy-based reforms, called development policy loans (DPL), the successor of structural adjustment programs (SAPs) that were controversial in the 1980s and 1990s. From 2007 to 2010, the Bank prepositioned $467 million for DPLs related to financing energy infrastructures, some of which include regulatory, institutional and administrative reforms.

The Bank acknowledges that the infrastructure sector “continues to be plagued with corruption issues in Bank-financed projects, which has delayed project preparation and implementation and has serious implications for the future project pipeline.” Yet, this has not stopped the Bank from providing infrastructure DPLs plagued with lack of transparency and accountability. In the design of the DPL, large amount of money has been provided over a short period of time with little public consultation. This raises another concern on fiduciary control: with little detail available, the public are left in the dark how the public debt is actually spent. The public hardly knows if energy-related DPLs contribute to low carbon development or simply disbursed without addressing the energy needs of the poor.

Time to clean up the act

“With its dirty, risky energy portfolio, it is long overdue for the Bank to progressively shift from unsustainable and climate damaging investments to one that supports developing economies’ transition to low carbon development”, states Norly Mercado of the Bank Information Center. “As the Bank revises its new energy strategy for the next 10 years, the Bank should set out a clear, limited role – only supporting activities that have maximum impact on its goals of sustainable development and poverty reduction.”

“The Bank’s energy strategy must prioritize support for increased energy access for millions of the poor living rural, off grid, and those dependent on non-electrical energy sources. After all, energy access is a human right”, states Mercado. It must also focus on decentralised sustainable energy solutions that meet the energy needs of the poor in a cost-effective and energy efficient manner.”

“As countries like Indonesia make the transition necessary to prevent dangerous climate change, the Bank must end investments in fossil fuel extraction and use by 2015 and implement full life-cycle risk adjusted cost accounting by 2015.”

“By failing to clean its energy investments, its role as a climate bank makes no relevance”, asserts Tumiwa.

Press Release- Bank Dunia Tidak Menyentuh Masyarakat Miskin dan Perbaikan Iklim

Jakarta, 5 Mei 2010, Sebagai Kelompok Bank Dunia (WBG) dengan peningkatan general capital $ 86 miliar dari pemegang saham utama mereka, tampak jelas Bank dunia dan kelompoknya tetap tidak menunjukkan komitmennya dalam menjalankan mandat terhadap publik guna mendukung langkah-langkah pembangunan berkelanjutan, penanggulangan dan pengurangan kemiskinan serta menegakkan energi bersih. Sebaliknya, Bank Dunia tetap akan memobilisasi uang rakyat untuk mesubsidi industri bahan bakar fosil dalam termal skala besar, proyek-proyek hydropower dan reformasi energi yang terkait.

Kritik ini disampaikan terkait dengan hasil penelitian dari IESR dan BIC (Bank Information Centre) terkait Portfolio Bank Dunia di Sektor energi Indonesa. Penelitian ini mengkaji peran dan pengaruh Bank Dunia di sektor energi Indonesia selama lebih dari 40 tahun dalam memberikan pelayanan kredit dan non pinjaman. Laporan dari hasil penelitian ini akan dibawa oleh IESR dan BIC dalam Konsultasi Publik Bank Dunia di Sektor energi Indonesia pada Kamis ini (6/7), di Jakarta, dimana Bank Dunia akan melakukan sosialisasi kebijakan dan strategi energinya di Indonesia.

“Sejak Tahun 1969, WBG telah memberikan lebih dari USD 5,4 miliar pada pinjaman energi di Indonesia yang memiliki fokus pada sentralisasi, skala besar, grid berbasis termal dan proyek tenaga air juga terhadap viabilitas keuangan dan privatisasi Aktiva pajak tangguhan Listrik Negara (PLN)”, jelas Daniel King salah seorang konsultan dan peneliti IESR.

King juga menjelaskan bahwa Bank telah melakukan kebijakan yang justru mengedepankan hutang publik secara kotor untuk sektor energi secara tinggi dengan menunda pinjaman untuk proyek geothermal (panas bumi) di Sumatera dan Sulawesi Utara sebesar 500 juta US$, 530 juta US$ untuk proyek hydropower di Jawa Barat, dan 225 juta US$ untuk proyek transmisi di Jawa dan Sumatera.

“Jika ini merupakan indikasi bahwa Bank tetap ingin mempertahankan model ini sebagai business-as-usual untuk pembiayaan energi, jelas membuat keyakinan kami semakin berkurang bahwa lembaga ini dapat memainkan peran yang relevan dalam mendorong pembangunan rendah karbon dan akses energi yang lebih luas bagi masyarakat miskin,” tambah Direktur IESR, Fabby Tumiwa.

“Jelas sekali, sebagai lembaga keuangan internasional yang katanya peduli terhadap perubahan iklim dan akan memberikan akses energi terjangkau bagi masyarakat miskin dan pedesaan, ternyata hanyalah sebuah lips-service belaka. Nyatanya di (praktik) di lapangan mandat mereka untuk mengedepankan penanggulangan kemiskinan tidak berjalan sama sekali,” tandas Fabby lagi.

Memberikan energi akses bagi kaum miskin?

Senada juga diungkapkan oleh King, terkait mandat bank dunia yang harusnya mengedepankan pada kepentingan masyarakat miskin dan bukan sebaliknya.

“Mandat Bank adalah untuk mengurangi kemiskinan, tetapi sungguh mengecewakan bahwa tujuan agar masyarakat miskin mendapatkan akses energi justru tidak dibuat secara jelas dan tegas dalam Country Partnership Strategy (Strategi Kemitraan Negara) untuk tahun 2009-2012, dimana Negara mendukung masterplannya. Meskipun proyek kelistrikan di pedesaan Bank Dunia di tahun 1990 telah membuat 10 juta rumah tangga mengakses listrik, namun mereka masih belum memiliki rencana yang jelas untuk menangani akses energi bagi lebih dari 70 juta orang Indonesia yang tidak memiliki akses listrik “, jelas King yang asli Australia ini.

Penelitian ini juga menemukan bahwa Bank dunia telah berorientasi melakukan pendanaan energi ke dalam investasi yang justru mendukung meningkatkan emisi gas rumah kaca, kerusakan lingkungan dan resiko-resiko sosial bahkan mendukung privatisasi utilitas energi. Ditambahkan oleh King bahwa pada tahun 1970-an, sekitar 600 juta US$ senilai pinjaman dan hibah justru difokuskan pada minyak dan transmisi sementara jumlah kredit itu dilebihkan tiga kali lipat (1,5 miliar US$) pada tahun 1980-an. Bank Dunia jelas mendedikasikan hutang publik kepada pembiayaan (investasi untuk asing) batu bara Indonesia, proyek hydropower skala besar serta proyek transmisi. Tahun 1990, Bank Dunia kembali mengulangi pola pinjaman yang sama. Meskipun dapat dikreditkan untuk imvestasi $670 juta untuk proyek kelistrikan di desa, namun juga telah ditingkatkan pinjaman yang ditujukan untuk memprivatisasi BUMN dan dioperasikan utilitas kekuasaan.

Sebuah Bank Iklim?

Sementara pemerintah Indonesia menyatakan akan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26% pada tahun 2020 dan didukung secara internasional hingga 41%, justru bank dunia tidak memiliki strategi jelas dan lebih mengedepankan pendanaan terhadap bahan bakar fosil. Padahal sektor energi adalah terbesar kedua dalam emisi CO2 di Indonesia dari pembangkit listrik.

“Ini bisa diprediksi – dan juga mengecewakan – bahwa Bank tidak siap meninggalkan kecanduan untuk sumber energi dinosaurus dan teknologi,” tandas Tumiwa. “Mempromosikan penggunaan batubara telah menjadi tujuan kebijakan Bank Dunia dan kelompoknya hingga 1995; batubara dan gas masih diangap bagian penting dari strategi energi Bank Dunia di negara dan lembaga pinjaman yang memiliki kecenderungan untuk memberi label bahwa ada teknologi canggih energi bersih batubara. Hal ini jelas menyesatkan dan sangat tidak akurat,” tandas Fabby.

Apakah Bank Dunia mempromosikan Energi Alternative?

“Di konseptual, tampaknya seperti paska-Perang Dunia Bank mencari alternatif tetapi bagaimana bisa bersih dan berkelanjutan sebagai bagian ditawarkan, patut dicurigai”, jelas Koordinator BIC Asia Tenggara, Grace Marcia Mercado

“Banyak proyek hydropower dijadikan sebagai agenda kembali. Bank diatur untuk menyetujui pinjaman sebesar $ 530 juta pada Oktober 2010 untuk mengembangkan Cisokan River Storage Power Project. Bank Dunia selalu mengatakan bahwa ini proyek energi bersih dan rendah karbon, tapi penelitian menemukan bahwa hydropower di daerah tropis seperti Indonesia justru memicu emisi metana dari serapan air bisa tinggi,”jelas Norly.

Bank baru-baru ini meningkatkan pendanaan untuk proyek panas bumi (geothermal) dengan menggunakan dana teknologi bersih dan kredit investasi biasa, tetapi sebenarnya dampak sosial, lingkungan dan ekonomi jelas belum terlihat. Sementara itu pada sektor swasta dan publik telah memperpanjang pinjaman untuk “energi terbarukan” seperti angin, solar, hydro kecil dan biomassa modern tetapi volumenya telah diabaikan.

Apa agenda energi terbaru di Indonesia?

Penelitian King juga menemukan bahwa Bank menanamkan potongan besar uang publik untuk reformasi kebijakan-berbasis pengembangan kebijakan pinjaman (DPL), pengganti program penyesuaian struktural (Sap) yang kontroversial pada 1980-an dan 1990-an. Dari 2007 sampai 2010, Bank prepositioned $ 467.000.000 untuk DPLs terkait dengan energi pembiayaan infrastruktur, beberapa diantaranya termasuk regulasi, kelembagaan dan reformasi administrasi.

Bank mengakui bahwa sektor infrastruktur “terus menjadi terganggu dengan isu korupsi dalam proyek-proyek yang didanai Bank, yang telah menunda persiapan dan pelaksanaan proyek dan memiliki implikasi serius untuk masa depan proyek pipa” Namun, hal itu tidak menghentikan dan mengganggu Bank dari penyediaan infrastruktur DPLs kendati kurangnya transparansi dan akuntabilitas.

Dalam desain DPL, sejumlah besar uang telah diberikan dalam waktu singkat dengan konsultasi publik yang sedikit. Hal ini menimbulkan keprihatinan lain tentang pengendalian fidusia: dengan detail kecil yang tersedia, masyarakat yang tertinggal dalam gelap, bagaimana hutang publik sebenarnya dibelanjakan. Masyarakat tidak tahu jika DPLs yang berhubungan dengan energi berkontribusi pada pengembangan karbon rendah atau hanya disalurkan tanpa mengatasi kebutuhan energi masyarakat miskin

Waktunya Untuk Memperjelas Aksi

Sementara Norly menambahkan bahwa dengan portfolio energi berisiko dan kotorr yang didorong Bank Dunia justru semakin mendorong ketidakberlanjutan, bahkan merusak iklim investasi. Tapi pihak Bank Dunia selalu mengatakan bahwa mereka telah mengembangkan mengembangkan transisi ekonomi untuk pengembangan rendah karbon.

“Bank merevisi strategi energi baru untuk 10 tahun ke depan, Bank harus menetapkan peran yang jelas terbatas – kegiatan yang mendukung hanya yang memiliki dampak maksimum pada tujuan pembangunan berkelanjutan dan pengurangan kemiskinan,” tandas Norly.

Ditambahkan Norly bahwa Strategi Energi Bank Dunia harus memprioritaskan dukungan untuk akses peningkatan energi bagi jutaan orang miskin yang hidup di pedesaan, dan mereka bergantung pada sumber-sumber energi non-listrik. Lagi pula, akses energi merupakan hak asasi manusia.

“Negara seperti Indonesia memang rentan terhadap dampak perubahan iklim, dan Bank harus mengkhiri investasinya pada bahan bakar fosil dan menerapkan siklus akuntansi biaya disesuaikan pada tahun 2015. Bank Dunia telah gagal untuk investasi energi bersih, dan perannya sebagai Bank Iklim, sama sekali tidak membuat iklim bumi lebih baik,” tandas Fabby. (***/Fay).

Contact
Fabby Tumiwa, IESR, fabby@iesr-indonesia.org; +62811949759
Nadia Hadad, BIC, nhadad@bicusa.org; +62811132081

Press Release- Time for the World Bank to clean its energy investments – or lose relevance

5 May 2010/JAKARTA,
As the World Bank Group (WBG) asks an $86 billion general capital increase from its major shareholders, it appears this lending and knowledge institution is not committed to direct public resources to measures that support sustainable development, poverty reduction and clean energy. Instead, the Bank looks set to mobilize public money to subsidize fossil fuel industry and orient funds for large-scale thermal, hydropower projects and energy-related policy reforms, says joint NGO report.

This critique emerges from the recent study on the energy portfolio of the Bank in Indonesia undertaken by the Jakarta-based Institute for Essential Services Reform (IESR) and Bank Informartion Center (BIC), an IFI watchdog working in Indonesia, Mekong and South Asia. The study looked at the Bank’s influence on Indonesia’s energy sector over the last 40 years through its lending and non-lending services. The report is released in time for the May 6 Jakarta consultation that WBG organizes to solicit external comments on its energy strategy approach paper.

“Since 1969, the WBG has provided over USD 5.4 billion in energy lending in Indonesia which has focused on centralized, large scale, grid based thermal and hydropower projects and on the financial viability and privatization of the Perusahaan Listrik Negara (PLN)”, says Daniel King, one of the researchers for the study. Bank’s appetite for risky, dirty public debt for energy remains high as demonstrated by pending loans for a $500 million geothermal project in Sumatra and North Sulawesi, $530 million Upper Cisokan hydropower in West Java, and $225 million transmission project in Java and Sumatra.

“If these were an indication that Bank wants to keep its business-as-usual model for energy financing, this leaves us with little confidence that the institution can play a relevant role in promoting low-carbon development and wider energy access for the poor,” argues Fabby Tumiwa, Executive Director of IESR. “Apparently, the Bank only pays lip service as an institution concerned with climate change and delivering affordable and reliable energy to off grid, rural communities. It does not walk the walk”, Tumiwa adds.

Delivering energy access for the poor?

“The Bank’s mandate is to reduce poverty, but it is disappointing that the objective for energy access for the poor is not made clearer in the 2009-2012 Country Partnership Strategy, its country support masterplan. Although the Bank’s rural electrification projects of the 1990s brought electricity access to 10 million households, it still has no clear plan to address energy access for over 70 million Indonesians without electricity access”, King reveals.

The study found that the Bank has oriented its energy financing into investments that are considered high in greenhouse gas emissions, environmentally and socially risky and ones that favor privatization of energy utilities. King discovered that in the 1970s, nearly $600 million worth of loans and grants focused on oil and transmission while loans more than tripled ($1.5 billion) in the 1980s but this time, the Bank dedicated public debt to Indonesia’s coal, large hydropower and transmission projects. In the 1990s, the Bank repeated the same lending pattern. Although it can be credited for investing $670 million for rural electrification projects, it has also scaled up its loans geared to privatize State-owned and operated power utilities.

A climate bank?

While the energy sector is the second largest source of CO2 emissions in Indonesia, discharged from power generation, the Bank’s strategy to mitigate climate change is poor, says the report. As the Government of Indonesia (GOI) aims to reduce GHG emissions by 26 percent by 2020 and make a further cut up to 41 percent with international support, it turns out the Bank has no clear cut strategy to progressively shift its funding from fossil fuel.

“It is predictable – as well as disappointing – that the Bank is not ready to abandon its addiction to dinosaur energy sources and technologies,” claims Tumiwa. “Promoting the use of coal had been a specific policy aim of WBG projects in Indonesia until 1995; coal and gas still form a key part of the Bank’s energy strategy in the country and the lending institution has propensity to label its advanced coal technologies as clean energy. This is inaccurate and misleading”, Tumiwa asserts.

Is the Bank promoting alternatives?

“At the conceptual plane, it looks like this post-World War Bank seeks alternatives but how clean and sustainable these offered solutions are is highly suspect”, argues Yaya Nurhidayati dari Bank Dunia. “Large hydropower is back on the agenda. The Bank is set to approve a $530 million loan in October 2010 to develop the Cisokan River Pumped Storage Power Project, reveals Forqon. The Bank champions hydropower as a “clean energy” source due to its low carbon emissions but scientific studies show that in tropical climate, methane emissions from dam reservoir can be high”, he added.

The Bank has recently increased its funding for geothermal projects using clean thecnology fund and regular investment loan but the actual social, environmental and economic impacts are yet to be seen. Meanwhile its public and private sector arms have extended the lending envelope to “new renewables” such as wind, solar, small hydro and modern biomass but volume has been negligible.

What’s new in the country energy agenda?

In the study, King found that the Bank is infusing large chunk of public money for policy-based reforms, called development policy loans (DPL), the successor of structural adjustment programs (SAPs) that were controversial in the 1980s and 1990s. From 2007 to 2010, the Bank prepositioned $467 million for DPLs related to financing energy infrastructures, some of which include regulatory, institutional and administrative reforms.

The Bank acknowledges that the infrastructure sector “continues to be plagued with corruption issues in Bank-financed projects, which has delayed project preparation and implementation and has serious implications for the future project pipeline.” Yet, this has not stopped the Bank from providing infrastructure DPLs plagued with lack of transparency and accountability. In the design of the DPL, large amount of money has been provided over a short period of time with little public consultation. This raises another concern on fiduciary control: with little detail available, the public are left in the dark how the public debt is actually spent. The public hardly knows if energy-related DPLs contribute to low carbon development or simply disbursed without addressing the energy needs of the poor.

Time to clean up the act

“With its dirty, risky energy portfolio, it is long overdue for the Bank to progressively shift from unsustainable and climate damaging investments to one that supports developing economies’ transition to low carbon development”, states Norly Mercado of the Bank Information Center. “As the Bank revises its new energy strategy for the next 10 years, the Bank should set out a clear, limited role – only supporting activities that have maximum impact on its goals of sustainable development and poverty reduction.”

“The Bank’s energy strategy must prioritize support for increased energy access for millions of the poor living rural, off grid, and those dependent on non-electrical energy sources. After all, energy access is a human right”, states Mercado. It must also focus on decentralised sustainable energy solutions that meet the energy needs of the poor in a cost-effective and energy efficient manner.”

“As countries like Indonesia make the transition necessary to prevent dangerous climate change, the Bank must end investments in fossil fuel extraction and use by 2015 and implement full life-cycle risk adjusted cost accounting by 2015.”

“By failing to clean its energy investments, its role as a climate bank makes no relevance”, asserts Tumiwa.

Earth Day Series- Press Release – Ayo Kita Diet Karbon, untuk Hidup dan Bumi yang Lebih Baik

Jakarta, 19 April 2010, Setiap kegiatan manusia baik perseorangan maupun kelompok sesungguhnya mempunyai peran bagi bumi yang lebih baik atau lebih buruk. Terutama jika menyangkut gaya hidup penduduk bumi yang jumlahnya semakin tinggi dengan menggunakan daya dukung bumi secara masif yang kemudian mendorong budaya kapitalisme yang lebih besar.

Aktivitas masif ini menimbulkan rangkaian akibat lainnya, yaitu semakin mempertinggi pengurasan sumber daya bumi sehingga pelepasan gas-gas rumah kaca juga semakin melebihi batas, termasuk diantaranya Co2 (karbon dioksida). IESR (Institute for Essential Services Reform) melihat bahwa banyak hal bisa kita lakukan untuk mengurangi semakin buruknya kondisi bumi akibat aktivitas memenuhi gaya hidup masing-masing orang misalnya, dengan memberikan tolak ukur, yaitu dengan menghitung jejak ekologi kita. Dalam hal ini, IESR menawarkan perhitungan dengan menggunakan kalkulator jejak karbon.

Dari daya ukur ini bisa mempermudah perhitungan aktivitas jejak karbon masing-masing individu. Terutama dalam mengukur seberapa banyak mereka melakukan pengurangan (reduksi) karbon Co2 atau sebaliknya, dari dari aktivitas harian mereka.

Jejak karbon itu sendiri adalahJumlah emisi gas rumah kaca yang diproduksi oleh suatu organisasi, peristiwa (event), produk atau individu. Satuan pengukurannya dinyatakan dalam ton Co2 ekuivalen. Aktivitas yang dimaksud hal-hal harian yang tidak asing dilakukan tiap makhluk bumi misalnya: Memakai alat-alat elektronik seperti TV, menyalakan lampu di rumah, menggunakan kendaraan bermotor, makan, menggunakan air kemasan, atau membuang sampah organik tanpa didaur ulang kembali.

“Banyak orang tidak menyadari bahwa semua aktivitas tersebut bisa berpengaruh pada kondisi bumi, terutama iklimnya. Karena aktivitas itu mengeluarkan emisi CO2, yang jika dipakai secara missal secara berlebihan akan memperparah kondisi iklim bumi kita,” jelas Imelda Henriette Rambitan, Koordinator Program IESR, dalam press release yang dikeluarkan IESR, 19 April 2010.

Dia juga menjelaskan bahwa kalkulator jejak karbon yang dibuat oleh ISET merupakan versi yang sederhana yang disebutnya sebagai versi 01. Ime juga menjelaskan bahwa ke depan akan ada pengembangan-pengembangan lebih lanjut yang lebih detil.

“ Kami akan launching sejak rangkaian acara bumi di gelar, yaitu pada tanggal 20 April saat kami menggelar kuliah umum tentang perubahan iklim dan dampak ekonominya di FE Ekonomi UI. Dilanjutkan nanti di arena KNLH Walhi, di TIM Cikini, Jakarta. Kami akan ada di sana pada 22-23 April. Lalu bersama CSF kami ikut dalam bagian HELP Clinic yang akan digelar di Taman Suropati pada Minggu, 25 April 2010,” tambah Siti Badriah, Climate Justice Officer IESR.

Siti juga menjelaskan, Kalkulator jejak karbon versi 01, ini termasuk bagian kampanye IESR tentang keadilan iklim. Dari sini tiap orang diharapkan mengetahui bahwa aktivitas mana dari yang biasa mereka lakukan mengeluarkan karbon yang lebih banyak.

“Dari sanalah kami meminta mereka melakukan diet karbonnya secara bertahap. Misalnya yang tadinya suka menyalakan AC hingga 24 jam bisa menguranginya menjadi beberapa jam saja sesuai dengan kebutuhan, yang suka lupa mematikan lampu atau komputer ketika tidak digunakan lagi, mulailah membiasakan diri mematikannya, yang tadinya makan disisa mulai sekarang harus dihabiskan. Ini hal-hal sederhana saja, tapi penting bagi planet bumi kita,” jelas Imelda atau biasa dipanggil dengan Ime ini. (***/Musfarayani)

Berikut beberapa informasi penting:

  • Mengurangi penggunaan kendaraan bermotor untuk hal-hal yang berjarak pendek. Misalnya, untuk membeli makan siang, tidak perlu menggunakan motor. Mengurangi penggunaan kendaraan bermotor untuk jarak 100 m, akan membuat emisi yang kita keluarkan berkurang sebesar 1,48 g CO2.
  • Mengurangi pembuangan sampah organik. Tahukah anda, bahwa sampah-sampah organik yang kita buang setiap hari (makanan berserat contohnya), juga berkontribusi pada pelepasan gas rumah kaca ke atmosfir. Setiap pengurangan 10 g sampah organik, kita mengurangi emisi sebesar 3,75 g CO2.
  • Mengurangi penggunaan kertas Sebagai mahasiswa, pelajar atau pekerja kantor atau siapa pun, seringkali kita menggunakan media kertas untuk berbagai keperluan dan keseharian kegiatan kita. Padahal, kalau kita bisa menghemat satu lembar kertas 70 g saja, dengan cara printing bolak-balik, maka, kita bisa mengurangi emisi sebesar 226,8 g CO2.
  • Mengurangi penggunaan Lampu. Seringkali, kita menggunakan lampu di saat-saat tidak perlu. Padahal, kalau kita bisa mematikan lampu paling tidak selama 1 jam, maka bola lampu dengan kekuatan 10 watt saja, sudah bisa menghemat sekitar 9,51 g CO2. (***/data ime)