Serius Sikapi Transisi Energi Pasca COVID-19 Akan Cegah Guncangan Ekonomi Akibat Perubahan Iklim 

EU Climate Diplomacy Week: Pemulihan Hijau Pasca COVID-19

Jakarta, 2 November 2020 – Pandemi COVID-19 membawa kejutan yang signifikan di bidang ekonomi dan energi di dunia. Pemberlakuan kebijakan penutupan wilayah atau lockdown dan pembatasan sosial berskala besar dalam kurun waktu tertentu telah mengakibatkan banyak industri gulung tikar dan jutaan orang kehilangan pekerjaannya. IMF memprediksikan bahwa ekonomi global berkontraksi 4,4% tahun ini, sebelum diharapkan kembali pulih positif lagi tahun depan.

Guncangan dari pandemi mengarah pada pengurangan emisi secara global. Hasilnya adalah penurunan emisi CO2 global yang tiba-tiba sebesar 8,8% pada paruh pertama tahun 2020. Meski seakan sejalan dengan Kesepakatan Paris dalam mengurangi emisi gas rumah kaca untuk mencegah kenaikan suhu bumi di atas 2 derajat celcius, namun hal ini akan menjadi kasuistik semata jika tidak segera direspon dengan kebijakan yang tepat. Hal ini menjadi kesempatan yang baik bagi tiap negara di dunia untuk segera mengambil kebijakan strategis untuk memulihkan perekonomiannya sekaligus melakukan transisi energi dengan meninggalkan energi fosil menuju energi terbarukan. 

Menjadi bagian dalam rangkaian EU Climate Diplomacy Week, Institute for Services Reform (IESR) melakukan webinar bertajuk Pemulihan Hijau Paska COVID-19. Hadir sebagai narasumber Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Executive Director IESR;, Thomas Capral Henriksen, Kepala Hubungan Kerjasama bidang Energi di Kedutaan Besar Denmark untuk IndonesiaHead of Energy Cooperation at the Embassy of Denmark to Indonesia;, Lidia Wojtal, Pimpinan Proyek, Agora Energiewende;, Catrina Laura Godinho, Koordinator Proyek, Climate Transparency; dan Lourdes Sanchez, Pemimpin dan Penasehat Senior Kebijakan, International Institute For Sustainable Development (IISD) dan sebagai penanggap adalah Ridha Yasser, Deputi Direktur Program dan Investasi Energi, Direktorat Energi, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.

 

“Secara global, data dari International Energy Agency (IEA) mencatat terjadi penurunan permintaan minyak bumi hingga 9%, sementara batubara juga turun sebanyak 6%. Indonesia sendiri mengalami penurunan ekspor batu bara mencapai 11% hingga Agustus tahun ini, dibandingkan tahun lalu. Ini sama dengan kerugian pendapatan sebesar 2,2 miliar dolar. Permintaan batubara di pasar Indonesia turun 20%. Sisi baiknya, penurunan permintaan bahan bakar fosil sebenarnya merupakan peluang untuk berakselerasi transisi energi, jika negara memandang seperti itu,” ungkap Fabby Tumiwa membuka kegiatan tersebut.

Fabby mengurai fakta bahwa sebenarnya di tahun 2018, Indonesia melalui Presiden Joko Widodo sudah menandatangani Solidarity and Just Transition atau Silesia Declaration. Deklarasi ini menjadi desakan bagi Indonesia untuk melakukan transisi energi rendah karbon dan transformasi ekonomi yang bertahan terhadap perubahan iklim  untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan dengan tetap berlandaskan pada “transisi tenaga kerja yang berkeadilan”.

“Semangat dan ciri-ciri deklarasi ini harus diintegrasikan ke dalam perekonomian Indonesia dan strategi pengembangan pasca pandemi. Misalnya, pemerintah perlu memastikan provinsi yang menggantungkan pendapatannya pada batubara memiliki aliran pemasukan baru dan penciptaan lapangan kerja kegiatan ekonomi alternatif yang menggantikan sektor ekstraktif yang kehilangan pesonanya. Sayangnya, kita tidak punya banyak waktu. Transisi energi harus dimulai dari sekarang mengingat ekspor batubara terus mengalami penurunan tajam,” tegas Fabby.

IESR meyakini bahwa sebelum 2030, PLTS akan menjadi penyimpanan daya dan baterai yang lebih murah untuk dibangun dan dijalankan daripada PLTU.

 “IESR percaya bahwa moratorium pembangkit listrik tenaga batubara harus menjadi pertimbangan serius oleh perencana listrik dan utilitas di Indonesia untuk menghindari aset yang terlantar yang akan membebani pembayar pajak di negara ini kedepannya. Keputusan yang kita buat hari ini akan menentukan masa depan kita dan catatan kita dalam sejarah,” jelas Fabby.

Di lain pihak, Thomas mengklaim bahwa Uni Eropa sangat berambisi untuk memenuhi target Kesepakatan Paris. Salah satu mekanisme yang tercantum EU Green Deal ini adalah memastikan terjadinya transisi energi yang berkeadilan dan memobilisasi investasi sebesar 1 triliun euro di bidang energi terbarukan selama 10 tahun mendatang.

“Di Denmark, kita belum memutuskan suatu kebijakan baru yang berkaitan dengan COVID-19 dan energi. Namun, kebijakan energi Denmark sudah disusun dengan cukup ambisius pada tahun 2018. Saat ini 50 persen energi Denmark berasal dari pembangkit listrik tenaga angin. Kami menargetkan di tahun 2030, Denmark sudah menggunakan 100 persen energi terbarukan. Di tahun 2050, Denmark akan bebas dari energi fosil,” papar Thomas.

Meskipun masih 50 persen mengandalkan PLTB, Thomas menjamin bahwa tingkat keamanan pasokan listriknya mendekati seratus persen. Ini dibuktikan dengan rendahnya tingkat gangguan listrik yang kurang dari 20 menit untuk rata-rata konsumsi listrik setiap tahun.

Krisis minyak dan mahalnya harga batubara membuat Denmark mulai melakukan transisi energi sekitar tahun 1979 atau 1980.  Namun perkembangan energi terbarukan berjalan pesat di sepuluh tahun belakangan ini.

“Energi hijau ini sangat bertahan terhadap perubahan keadaan dan fluktuasi harga bahan bakar fosil. Tidak hanya itu, investasi di energi terbarukan akan membuka lebih banyak lapangan pekerjaan, mengingat saat ini sudah banyak investor yang menolak untuk berinvestasi di pertambangan batubara,”tandasnya.

Ia juga menunjukkan bahwa di tahun 1990, semenjak terjadi penurunan emisi 40 persen terjadi lonjakan GDP sebesar 60 persen di perekonomian Denmark.

“Ini membuktikan jika pertumbuhan ekonomi akan naik sejalan tingginya ambisi untuk menurunkan emisi,”simpul Thomas.

Lidia Wotjal menyampaikan bahwa perkembangan positif di bidang energi terbarukan juga sedang terjadi di Polandia.

“Pada 2006, Polandia mengandalkan 90 persen pasokan listriknya dari batubara. Namun di 2018 mengalami penurunan penggunaan batubara menjadi 78 persen dan di 2019 menjadi 73,6 persen saja,” tuturnya.

Ia meyakini bahwa perubahan ini merupakan implikasi dari kebijakan Uni Eropa yang mewajibkan pengurangan emisi karbon. Meski hingga kini masih terdapat kegiatan penambangan batubara, namun industri ini sudah mengurangi efisiensi biaya batubara seiring dengan menuanya fasilitas PLTUnya.

“Kesadaran untuk melakukan transisi energi justru datang dari produsen dan konsumen energi. Kebutuhan akan udara bersih menjadi faktor pemicu peralihan energi. Mungkin ini merupakan fakta yang mengejutkan bagi negara lain, tapi di Polandia, sebanyak 50 persen dari rumah tangga menggunakan batubara yang mengakibatkan polusi udara yang pekat baik di daerah kota maupun pedesaan,”tutur Lidia.

Melihat permasalahan ini, pemerintah Polandia memutuskan untuk mendorong modernisasi energi panas bumi dan mensubsidi pemasangan photovoltaic (PV) di dua tahun lalu. Masyarakat segera meresponi hal ini dengan sangat baik. Hasilnya, terjadi peningkatan pemasangan PV sebanyak dua kali lipat hanya dalam satu tahun saja.

Pemerintah Polandia mengamati bahwa pergerakan investasi akan mendominasi energi terbarukan sehingga di September 2019, Menteri Iklim di Polandia menyerahkan konsep strategi energi dengan menargetkan 11 persen batubara dalam bauran energi di 2040.

Hanya 3 Persen dari Paket Pemulihan Ekonomi Pasca COVID-19 Menyasar Energi Terbarukan

Menyoal pemulihan ekonomi pasca COVID-19, khususnya di negara yang tergabung dalam G20, Catrina Laura Godinho mengamati bahwa paket pemulihan ekonomi masih berfokus pada energi fosil.

“Seharusnya pandemi COVID-19 ini bisa digunakan oleh pemerintah untuk menyesuaikan kebijakannya sehingga pengeluaran pemerintah tidak hanya untuk respon pemulihan sesaat tapi juga pemulihan jangka panjang. Pemulihan dengan memperhatikan energi bersih akan menjadi kesempatan yang baik untuk memastikan ekonomi sehat dan penyerapan tenaga kerja meningkat,”kata Catrina.

Ia kembali melanjutkan, “COVID-19 ini harus menjadi pendorong bagi negara G20 untuk lebih ambisius dengan strategi penurunan emisi rumah kacanya, terutama karena negara G20 inilah yang menghasilkan lebih dari  dua hingga tiga perempat emisi gas rumah kaca di dunia.”

Menurutnya, efek domino dari penetapan target nol emisi di tahun 2050 mulai terasa. Di mulai dari beberapa negara seperti Jepang, Kanada, dan Cina yang sudah menetapkan kebijakannya untuk mencapai target tersebut.

“Merupakan hal yang penting pula bagi negara G20 untuk memperbaharui Nationally Determined Contribution (NDC) agar sesuai dengan kesepakatan Paris sehingga kita bisa melihat targetnya secara sektoral hingga 2030. Sebab ambisi jangka panjang juga akan tidak berarti bila tidak disertai keputusan-keputusan jangka pendek,”tandasnya.

Lourdes Sanchez yang organisasinya berfokus pada pengawasan aliran uang publik di sektor energi, menemukan dari 7 juta dolar dana pemulihan Indonesia hanya 3 persen ditujukan pada energi terbarukan, 97 persennya mengalir ke BUMN.

“Karena ini uang publik, seharusnya pemerintah menyalurkannya dengan memberikan prasyarat. Dengan demikian, pembangunan yang berkelanjutan di bidang energi terbarukan dapat berjalan. Misalnya, pemerintah memberikan bantuan kepada PLN, pemerintah juga harus meminta komitmen PLN untuk mengembangkan PLTS atap,” ujarnya.

Meresponi pemaparan dari para narasumber, Ridha Yasser mengungkapkan bahwa melakukan transisi energi di Indonesia bukanlah hal yang sederhana. Ia melihat banyaknya peraturan yang tumpang tindih di Indonesia membuat investasi di bidang energi terbarukan menjadi sulit. Kebijakan dari pemerintah yang selalu berubah seiring dengan pergantian presiden atau menteri, membuat pihaknya memandang wajar jika perkembangan energi terbarukan di Indonesia tidak sepesat negara lain.

“Indonesia mempunyai potensi bagus di energi terbarukan. Tapi saat ini, banyak masyarakat yang menggunakan energi fosil. Namun ada peluang bagi pengembangan energi terbarukan yang berfungsi untuk mem-back up energi fosil,”ujar Ridha.

Ridha beranggapan bila proyeksi energi terbarukan makin bersinar di negara lain di dunia, terutama di negara Uni Eropa, pihaknya akan mendorong investasi serupa di Indonesia.

“Menurut saya, kita harus mengikuti kemana uang berjalan. Jika sekarang investasi condong ke energi terbarukan, maka pemerintah pun harus memalingkan kepalanya dari energi fosil ke energi hijau, energi terbarukan,” tutur Ridha.

Menanggapi hal tersebut, Thomas mendorong Indonesia untuk menerapkan kebijakan yang menarik, misalnya dengan membuka lelang bagi investor internasional untuk berpartisipasi dalam pembangunan energi terbarukan di Indonesia.


Saksikan kembali rekamannya:

Materi Paparan
CDW_IESR roundtable 2nd november

Unduh

Indonesia Belajar dari India yang Ambisius Capai 200 GW Energi Surya di 2022

Bringing Indonesia to the Gigawatt Club: India Made It, and So Can We


Jakarta 16 September 2020 – Sejak tahun 2000-an, pemerintah India menunjukan keseriusannya dalam mengembangkan  energi terbarukan  untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negerinya. Tidak tanggung-tanggung,  pemerintah India berambisi menargetkan pembangunan pembangkit  energi terbarukan sebesar 200 GW atau 42 persen dari total pembangkit listrik di tahun 2022.

Pemerintah India membangun ekosistem untuk mendukung pencapaian target energi terbarukan dalam kebijakan dan programnya seperti pembangunan solar parks dan kota surya.  Hasilnya, India mulai menunjukkan posisinya sebagai negara yang baru memiliki  10 MW pembangkit listrik tenaga surya di tahun 2010, kini mencapai 88 GW di tahun 2020.

Apa yang dilakukan India dalam mengakselerasi energi terbarukan  menjadi sesuatu yang patut ditiru pemerintah Indonesia. Untuk mengerti lebih lanjut resep sukses pengembangan PLTS di India, Institute for Essential Services Reform (IESR) melaksanakan seminar daring berjudul Bringing Indonesia to the Gigawatt Club: India Made It, and So Can We. Seminar ini menghadirkan para pelaku industri energi surya dari India untuk berbagi  pengalaman dan pelajarannya.  Kanika Chawla, Director Centre for Energy Finance CEEW, India dan Kushagra Nardan, Co-Founder & President SunSource Energy, India menjadi narasumber. Sementara selaku penanggap  hadir pula Harris Yahya, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Cita Dewi, EVP Energi Terbarukan Perusahaan Listrik Negara , Yohanes Bambang Sumaryo, Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) dan Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Kanika memaparkan bahwa salah satu praktik baik pemerintah India adalah membangun pasar energi terbarukan dengan cara menjelaskan secara rinci target jangka panjangnya. Hal ini membuat banyak investor baik domestik maupun internasional tertarik untuk berpartisipasi karena dapat memproyeksikan usaha mereka dalam lima atau sepuluh tahun ke depan. Tidak hanya itu, banyaknya investor yang berminat membuat negosiasi harga menjadi lebih kompetitif dan lebih murah.

“Saat ini di dunia, harga listrik tenaga surya dan angin sedang mengalami penurunan yang agresif. Terlebih di India yang sudah mempunyai pasar besar di energi terbarukan. Jika semula India hanyalah penerima harga, sekarang menjadi pembuat harga,” jelasnya.

Namun, Kanika tidak mengesampingkan bahwa dalam perjalanan India mendorong energi surya, terdapat berbagai risiko yang diidentifikasi oleh pasar, seperti risiko terkait offtake (penundaan pembayaran), curtailment – di mana jumlah energi yang dihasilkan tidak dapat diserap oleh jaringan, fluktuasi mata uang asing, akuisisi lahan dan bangunan, serta kebijakan yang tidak konsisten atau perubahan undang-undang.

Kushagra menambahkan bahwa pemerintah India memitigasi risiko tersebut dengan menerapkan kebijakan yang jelas dan konsisten baik dalam hal skala utilitas hingga net metering. Menyikapi iklim energi terbarukan yang kondusif di India, pihaknya sudah memasang Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap di bangunan komersial seperti 10 MW di pabrik tekstil di India bagian utara, floating solar (PLTS terapung) di perusahaan minyak, dan PLTS Atap di bandara di New Delhi.

Selanjutnya Kushagra menceritakan pula tentang beberapa langkah yang pemerintah India ambil untuk merealisasikan target pengembangan energi terbarukan, misalnya keberadaan badan perangkat di pemerintahan yang khusus membantu pencapaian Misi Surya Nasional dengan Solar Energy Corporation Of India Limited (SECI) di tingkat nasional dan berbagai agensi di tingkat daerah.

Mengulas kembali, Fabby Tumiwa menekankan beberapa catatan penting yang layak menjadi perhatian pemerintah Indonesia dalam rangka mencapai target bauran energi terbarukan sebanyak 23 persen dengan 6,5 GW berasal dari PLTS di tahun 2025.

“Indonesia membutuhkan dukungan legislasi dan regulasi  dalam mengimplementasikan target energi terbarukan ke dalam program dan proyek yang lebih nyata. Seperti di India, dengan ketentuan Renewable Purchase Obligationnya (RPO) yang ditetapkan di Undang-Undang,  setiap negara bagian wajib menetapkan target  energi terbarukan sebagai prioritas yang harus dicapai. Selain itu, pemerintah India menyediakan pendanaan pendukung melalui National Clean Energy and Environmental Fund (NCEEF) dan pendampingan secara finansial kepada pengembang proyek dan optimalisasi pendanaan secara publik.  Juga terciptanya bermacam skema untuk on-grid dan off grid surya. Proses penawaran juga menjadi lebih kompetitif dalam format secara lelang terbalik skala besar yang efektif dan mampu menarik penawaran harga surya yang rendah,” jabarnya.

Proses pengadaan berupa lelang terbalik yang dirancang dengan baik, dilakukan secara efisien dan transparan, dan dalam skala besar merupakan salah satu faktor penting dalam mendorong daya saing pembangkitan listrik energi surya dan menghasilkan harga pembangkitan yang jauh lebih murah dibandingkan dengan energi fosil. Selain itu, Fabby memaparkan bahwa peran pemerintah negara bagian di India menjadi sangat penting dalam akuisisi lahan untuk skema solar park. Pemerintah India bertindak langsung untuk menyediakan lahannya dan membangun infrastruktur pelengkap. Di Indonesia, penyediaan lahan kerap terkendala perizinan dan lokasi yang kurang memadai, yang kemudian menyebabkan akuisisi lahan memakan porsi besar dalam belanja modal pembangunan PLTS.

Menanggapi pembelajaran pengembangan PLTS di India, Harris mengemukakan bahwa memang di Indonesia sendiri, beberapa langkah yang disebutkan belum terjadi.

“Regulasi yang berkaitan dengan energi terbarukan dalam bentuk peraturan presiden sedang diproses. Badan pemerintahan yang khusus menangani energi terbarukan juga belum ada. Tentu saja, kebijakan RPO, belum juga ada di Indonesia. Kebijakan ini menurut saya baik untuk ditiru,” jelasnya.

Terkait masalah pendanaan dan investasi PLTS, pemerintah Indonesia juga sedang menjalin komunikasi dengan organisasi internasional. Ia juga melihat masalah akuisisi lahan menjadi persoalan yang masih berlangsung di Indonesia. Ia berharap ke depannya ia bisa berdiskusi dengan kementerian dan lembaga di Indonesia sehingga lebih memudahkan investor untuk membangun PLTS.

Sementara itu, baik Cita maupun Sumaryo menyatakan kekagumannya atas keberhasilan India dalam mengelola berbagai risiko yang ada dan memberikan jalan keluar yang baik untuk pencapaian target energi terbarukannya.  Cita mengatakan PLN terbuka untuk mengadakan diskusi lebih dalam dengan India dalam mengadopsi langkah pembelajaran untuk kemajuan Indonesia di bidang energi terbarukan.


Government of India Ministry of Power Central Electricity Authority, “National Electricity Plan (Volume 1) Generation”, January 2018, hal. 144 (https://www.cea.nic.in/reports/committee/nep/nep_jan_2018.pdf diakses tanggal 15 Oktober 2020, Pukul 14.00 WIB)

Presentation materials

Presentation materials

KC - India's energy transition IESR -15Sep20

Unduh

Kushagra Nandan- SunSource Energy

Unduh

Transisi Energi Mengancam Industri Batubara : Pemerintah Perlu Tinjau Ulang Kebijakan Energi Batubaranya

 

Jakarta, 13 Oktober 2020 – Meski Indonesia merupakan salah satu produsen batubara terbesar  dengan kuantitas ekspornya 80 persen dari total produksi batubara serta tingkat konsumsi batubara domestik di pembangkit listrik (PLTU) hampir 95 juta ton di 2020, tetap saja, sebagai sumber daya yang tidak dapat diperbaharui, batubara akan segera mengalami masa kesudahannya. Terlebih, saat ini tren dunia mulai beralih ke energi terbarukan. Hal ini membuat batubara akan tersingkir dari kompetisi pemenuhan energi yang ramah lingkungan.

“Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) mengusung batubara sebagai modal pembangunan dengan asumsi batubara sebagai sumber energi yang murah. Faktanya, hal tersebut mulai terbantahkan dengan munculnya pembangkit energi terbarukan yang jauh lebih murah. Lalu apakah kebijakan energi Indonesia saat ini masih relevan?” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam pembukaan peluncuran laporan ketiga dari lima seri studi tematik mengenai peta jalan transisi energi Indonesia berjudul Energy Transition in the Power Sector and Its Implication for the Coal Industry.  Turut hadir pula pada acara yang dilakukan secara daring tersebut Sujatmiko, Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Hendra Sinadia, Direktur Eksekutif  Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia.

Deon Arinaldo, penulis laporan ini telaah Energy Transition in the Power Sector and Its Implication for the Coal Industry menjelaskan secara gamblang posisi batubara yang  sudah mulai tidak populer di beberapa negara.

“Cina sebagai salah satu negara tujuan ekspor batubara Indonesia, mempertimbangkan untuk membatasi penggunaan batubara karena menghasilkan polusi udara. Bahkan, presiden Cina menetapkan net zero emisi di tahun 2060. Selanjutnya, seperti yang sudah terjadi di 2013-2015, ketika harga batubara turun, pemerintah Cina mulai membatasi impor batubara untuk melindungi batubara domestik,” tegasnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan hal sama juga terjadi di beberapa negara pengimpor batubara Indonesia seperti di India yang mulai menetapkan kebijakan yang mengurangi impor dengan mementingkan penggunaan batubara dalam negeri sambil mendorong pengembangan sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan. Jepang dan Korea juga mulai beralih dari impor batubara Indonesia ke batubara yang lebih tinggi kualitasnya seperti dari Australia dan Rusia. Korea sendiri telah menetapkan pajak impor batubara untuk membatasi volume impor kedepannya.  

Tentu saja, untuk mempersiapkan diri menuju transisi energi, Indonesia juga perlu memetakan industri, daerah dan masyarakat yang terdampak sehingga tidak menimbulkan kontraksi ekonomi yang signifikan.

Deon menyarankan agar pemerintah segera memfokuskan diri untuk menuju transisi energi dengan lebih banyak berinvestasi pada sumber energi terbarukan dibandingkan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan baku batubara.

“PLTU dibangun tapi kemudian menjadi aset terdampar karena tidak sesuai dengan perkembangan dunia, tentu hal ini akan menambah kerugian,” urainya.

Deon merekomendasikan pada pemerintah untuk mengadopsi tiga strategi dalam mengurangi dampak transisi energi. Pertama, melakukan moratorium pembangunan PLTU untuk memperkecil potensi aset terbengkalai dan juga memperbesar ruang bagi bauran energi terbarukan. Kedua, PLTU yang masih beroperasi dan ekonomis perlu melakukan retrofit yakni membuat pembangunan lebih relevan,dan lebih fleksibel untuk energi terbarukan. Ketiga, merencanakan percepatan penutupan PLTU (coal-phase out) dengan mempertimbangkan efisiensi dan kesiapan sistem ketenagalistrikan dan teknologi pengganti dari energi terbarukan. Untuk industri batubara, tentu diversifikasi bisnis ke industri yang lebih berkelanjutan dan sunrise diperlukan untuk mempertahankan dan meningkatkan daya saing perusahaan dalam jangka menengah dan panjang.

Menanggapi pemaparan Deon, Sujatmiko beranggapan potensi batubara di Indonesia masih sangat banyak sehingga masih pantas untuk diandalkan sebagai motor penggerak ekonomi. Namun, ia tidak menyangkal jika kedepannya perlu inovasi di dunia bisnis batubara agar tetap sejalan dengan Kesepakatan Paris yakni mengurangi emisi gas rumah kaca.

“Caranya, kita sedang mengembangkan industri hilir batubara di antaranya dengan gasifikasi batubara, pencairan batubara, peningkatan mutu batubara. Pemerintah juga melalui UU Cipta kerja akan memberikan insentif non fiskal untuk pengembangan batu bara seperti pemberian izin tambang, dan fiskal dengan royalti sampai 0 persen untuk meningkatkan keekonomian hilirisasi batubara,” bahasnya.

Sebaliknya, Deon justru memandang langkah ini belum menjawab pokok persoalan sebenarnya.

“Gasifikasi batubara  untuk memproduksi sintetik gas,bukanlah teknologi yang baru bahkan jauh lebih kompleks dan lebih mahal dibandingkan mengolah langsung dari gas bumi. Dalam proses gasifikasinya juga, jumlah emisi gas rumah kaca yang  dihasilkan gas bumi lebih minim dibandingkan batubara. Belum lagi, permintaan hasil gasifikasi batubara ini berupa sintetik gas, apakah dapat bersaing dengan produk sintetik gas dari komoditas lainnya? Lalu apakah ada pasar dalam negeri yang mampu menyerapnya?” jelasnya.

Di lain pihak, Hendra Sinadia melihat pangsa pasar batubara masih cerah di 20 tahun ke depan. Namun, ia setuju jika pemerintah segera memimpin langsung proses menuju transisi energi  terbarukan sehingga kepentingan semua pihak, termasuk pelaku usaha batubara, dapat terakomodasi dengan baik.


Materi paparan kegiatan

Coal Industry_Deon Arinaldo

Unduh

20201013 DBB Bahan IESR Peluncuran Buku

Unduh

IESR Launching Peta Jalan Studi Transisi Energi - Batubara - (Hendra) - 131020

Unduh


Pemerintah Perlu Segera Siapkan Strategi Percepatan Transisi Energi

Menilik Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2017

 Jakarta, Selasa, 28 September 2020 – “Perubahan iklim yang semakin mengancam, diiringi dengan perkembangan teknologi yang pesat, terutama di bidang teknologi energi terbarukan merupakan faktor penting yang membuat banyak negara di dunia melakukan transisi energi,” urai Fabby Tumiwa, Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR) saat membuka kegiatan Peluncuran Laporan Seri Studi Peta Jalan Transisi Energi Indonesia secara daring. Acara ini dihadiri pula oleh Sugeng Mujiyanto, Kepala Biro Fasilitasi Kebijakan Energi dan Persidangan Dewan Energi Nasional (DEN) dan Saleh Abdurrahman Staf Ahli Bidang Lingkungan Hidup dan Tata Ruang Sekretariat Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sebagai penanggap.

 “Pemanfaatan energi terbarukan yang memang sudah menjadi prioritas pengembangan dan pemanfaatan energi nasional dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN), belum terefleksikan dalam pencapaian Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) hingga 2020 ini. Terlepas dari target yang ambisius, beberapa indikator dan asumsi yang digunakan untuk memodelkan supply dan demand energi dalam RUEN pun dibangun berdasarkan basis data dan informasi di tahun 2015. Padahal, dalam lima tahun terakhir ini indikator dan asumsi dari sosio-ekonomi, tekno-ekonomi sudah mengalami perkembangan yang cukup signifikan,”ulasnya.

Hal ini pula yang melatarbelakangi IESR untuk melakukan studi lanjut yang terangkum dalam Laporan Seri Studi Peta Jalan Transisi Energi Indonesia. Tujuannya untuk mendorong Indonesia agar lebih bersiap dan tidak jauh tertinggal sehingga tidak mengalami banyak kerugian di bidang ekonomi, sosial bahkan lingkungan. Laporan ini memuat lima seri studi tematik mengenai peta jalan transisi energi Indonesia, yang diawali dengan laporan pembelajaran berjudul National Energy Plan (RUEN): Existing Plan, Current Policies Implication and Energy Transition Scenario yang ditulis oleh Agus Praditya Tampubolon.

Agus mengkaji RUEN 2017 melalui tiga skenario tambahan (skenario realisasi, kebijakan terkini, dan transisi energi) untuk mengevaluasi dan memproyeksikan capaian dari target RUEN awal.

“RUEN 2017 ini menggunakan data 2000-2015 untuk memproyeksikan data 2016-2050. Temuannya di skenario realisasi ternyata konsumsi energi primer lebih rendah dibanding RUEN. Konsumsi listriknya juga lebih kecil, di RUEN menargetkan 2500 KWh per kapita di 2025, sementara yang akan terjadi hanya 1582 kWh per kapita,”urai Agus.

Agus melanjutkan bahwa dengan pola seperti ini maka target energi terbarukan pada RUEN yakni 45,2 GW di 2025 tidak akan tercapai, melainkan hanya 22, 65 GW saja.

Di skenario kebijakan terkini, ia mengkombinasikan beberapa kebijakan misalnya identifikasi jaringan kota, kendaraan listrik, biodiesel untuk memproyeksikan target RUEN. Hasilnya, bauran energi primernya di RUEN pada 2025 yang semula 15 % meningkat menjadi 18%.

“Dan di tahun 2050,  peningkatannya lebih drastis lagi bukan 23% melainkan 40,3%. Ini jauh dari target skenario RUEN maupun target proyeksi skenario realisasi,” tandasnya.

Lebih jauh, Agus memaparkan di skenario transisi energi, ia menggunakan parameter pembatasan pembangunan PLTU batu bara. Alhasil, porsi energi terbarukan di bauran energi prima yang di RUEN adalah 18%, meningkat menjadi 20% di tahun 2025

“Di 2050 akan semakin meningkat di sekitar 66-69%,”urainya.

Beranjak pada temuan yang ia bedah ini, IESR merekomendasikan tiga poin penting bagi pemerintah. Pertama, meninjau kembali parameter dan asumsi RUEN 2015-2050. Kedua, meningkatkan porsi energi terbarukan yang sejalan dengan pengurangan energi fosil. Salah satu caranya adalah dengan mengurangi pembangkit PLTU batu bara. Ketiga, mengusulkan kajian pengembangan skenario alternatif dalam rencana penyediaan energi nasional yang mengintegrasikan porsi energi terbarukan yang lebih besar.

Menanggapi hasil laporan dan rekomendasi IESR, Sugeng beranggapan meski pihaknya selalu mengulas RUEN setiap tahun, namun pengkaji ulangan RUEN akan dilakukan bila ada kondisi yang mendesak.

“Misalnya seperti kemarin kita lihat di TV, akibat COVID-19,  Dirut Pertamina menyatakan bahwa kebutuhan BBM turun sekitar 25-26%. Ini termasuk cukup signifikan. Jika hal ini terjadi terus menerus maka (RUEN) harus kita kaji juga,” jelasnya.

Sementara, Saleh mengaku tertarik pada rekomendasi IESR terkait skenario alternatif yang berhubungan dengan transisi energi.

“Skenario transisi energi IESR tentu menjadi masukan yang bagus. Kita tidak mau terus menerus tergantung pada energi fosil, Jadi saya pikir masih ada cukup waktu untuk mempersiapkan. Saya ingin IESR terus memperkaya kita bagaimana cara kita agar transisi energi itu bisa juga menghasilkan transisi ekonomi berkelanjutan dengan nilai tambah yang lebih tinggi,” ujarnya.

Laporan lengkap dari studi ini dapat anda unduh di:

Saksikan pula siaran tunda dari diskusi webinar ini:

Resmikan PLTS Atap Terbesar di Jateng: Keniscayaan Transisi Energi

Refleksi Satu Tahun Jateng Solar Province

Klaten, 6 Oktober 2020 — Satu tahun semenjak pencanangan Jawa Tengah (Jateng) sebagai  pionir provinsi surya (Jawa Tengah Solar Province)  pada 17 September 2019 oleh Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Tengah yang bekerja sama dengan Institute Essential Services Reform (IESR) yang juga didukung oleh Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), perkembangan pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap di Jateng semakin meningkat. 

Provinsi Jawa Tengah sendiri memiliki potensi radiasi energi surya 4,05 kWh/kWp per hari, sedikit di atas rata-rata Indonesia (3,75 kWh/kWp). PLTS Atap merupakan solusi utama untuk pemanfaatan potensi tersebut. Pemasangan PLTS dapat membantu Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mencapai target bauran energi terbarukan dalam Rencana Umum Energi Daerah (RUED) tahun 2020 sebesar 11,60%.

Potensi Teknis PLTS Terapung di Jawa Tengah

Inisiasi Jateng Solar Province ini ternyata selaras dengan upaya PT Tirta Investama (Danone- AQUA) menggunakan listrik energi terbarukan. Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) di Jawa Tengah ini pada 6 Oktober 2020 meresmikan instalasi PLTS Atap sebesar 2,9 MWp di pabriknya di Klaten. PLTS Atap yang dipasang di pabrik AQUA di Klaten terdiri dari 8.340 modul panel surya di empat gedung atap seluas 16.550 m2. Pembangkit ini dapat menghasilkan energi untuk 2500 unit rumah dengan daya terpasang 900 VA.

Sebagai bagian dari RE100, grup Danone secara global berkomitmen untuk menggunakan energi terbarukan 100% untuk operasionalnya pada 2030. Instalasi PLTS Atap merupakan bagian untuk memenuhi target tersebut. Dengan peresmian di Klaten, sampai 2020 Danone-AQUA telah mengoperasikan 5,67 MWp PLTS di empat pabriknya.   

Fabby Tumiwa,  Direktur IESR, yang menjadi penanggap di acara peluncuran ini mengapresiasi langkah PT Tirta Investama dengan pemanfaatan energi terbarukan yang dapat berkontribusi pada penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sesuai komitmen Indonesia untuk mencapai target Paris Agreement. PLTS Atap juga memberikan kontribusi penting terhadap komitmen Jawa Tengah mewujudkan Jateng Solar Province

Dia juga menyoroti pula keterlibatan Total Solar selaku perusahaan multinasional yang awalnya berkecimpung di bidang minyak dan gas yang saat ini beralih ke sektor energi terbarukan.

“Investasi PLTS Atap oleh Danone-AQUA adalah fenomena menarik karena mempertemukan dua perusahaan multinasional yang saling bersinergi mendorong transisi energi global untuk memastikan kenaikan suhu global tidak melebihi 2 derajat,” paparnya.

Menurutnya, transisi energi merupakan sebuah keniscayaan melihat banyaknya pelaku industri di dunia yang menetapkan target untuk menggunakan listrik yang bersih melalui pemanfaatan teknologi energi terbarukan. 

Menurut Fabby, investasi PT Tirta Investama menunjukan bahwa teknologi PLTS semakin terjangkau dan kompetitif harga listriknya. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa harga modul surya turun 90 persen dalam 1 dekade terakhir, harga listrik dari PLTS semakin murah dan dapat menandingi pembangkit fosil seperti PLTU. Pemanfaatan PLTS yang meluas juga menunjukan bahwa isu intermitensi energi terbarukan bukanlah kendala yang tidak dapat diatasi. Ini membongkar mitos yang selama ini beredar bahwa PLTS tidak handal dan mahal. 

Menyoal target pemerintah untuk bauran energi terbarukan sebesar 23 persen di tahun 2025, Harris Yahya, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan, Kementerian ESDM  memaparkan bahwa masih ada selisih antara target dan perencanaan yang cukup besar yang harus segera diatasi. 

“Saat ini, proyeksi kita masih ada di 15 persen dari 23 persen,” ungkapnya.

Harris menjelaskan bahwa pemerintah sudah melakukan beberapa tindakan untuk memenuhi target selisih 8 persen tersebut.

“Pemerintah sudah mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) nomor 49 Tahun 2018 yang sudah mengalami perbaikan menjadi Permen nomor 13 Tahun 2019 dan nomor 16 Tahun 2019. Usahanya ini untuk membuat PLTS Atap menjadi lebih menarik tidak hanya di industri rumah tangga tapi tapi juga semua bangunan komersial,” imbuhnya.

Ganjar  Pranowo, Gubernur Jawa Tengah memuji langkah industri untuk penerapan energi ramah lingkungan. Ganjar menegaskan pentingnya transformasi perilaku dalam memasuki era transisi energi ini.

“Ada lampu tenaga surya untuk penerangan jalan yang mati karena tidak dirawat atau aki (baterai) nya hilang. Dana perawatan dari pemerintah pusat tidak tersedia tapi hal seperti ini dapat dilakukan oleh pemerintah daerah. Oleh karena itu perlu payung kerjasama antar lembaga pemerintah, pelatihan untuk merawatnya serta perlu keseriusan dari berbagai pihak sehingga teknologinya dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan” ungkapnya.

Ganjar berpendapat Indonesia bisa bergerak lebih maju di bidang PLTS karena tersedianya bahan dasar pembuatan sel surya. Oleh karena itu Indonesia perlu membangun industri sel surya dan pendukung lainnya. 

“Bekerja sama dengan perguruan tinggi di Indonesia, kita pasti bisa membuat teknologi sel, modul surya, baterai yang bisa diproduksi massal untuk rumah tangga,”simpul Ganjar pula (US, FT).

Jika Pemerintah Serius Dalam Susun Peta Jalan Transportasi Rendah Karbon, Indonesia Berpotensi Dapat Cegah 500 Ton Emisi Karbon di 2050

Liputan Kegiatan – Seri laporan studi tematik peta jalan transisi energi di Indonesia: Transisi Menuju Transportasi Rendah Karbon

Jakarta, Selasa, 6 Oktober 2020 –  Seiring dengan perkembangan ekonomi, transportasi berkembang menjadi kebutuhan yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Hanya saja, limbah karbon yang dihasilkannya, bila tidak ditangani secara serius oleh pemerintah dan berbagai pihak, kelak akan menaikkan suhu bumi yang membahayakan kehidupan manusia. Selain itu, jika lalai, Indonesia sendiri berisiko terkucilkan dari pergaulan internasional karena tak dapat memenuhi janjinya pada Kesepakatan Paris untuk menghasilkan nol emisi di tahun 2050.

Urgensi inilah yang menjadi pembahasan Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam peluncuran laporan seri keduanya dari lima seri laporan studi mengenai Peta Jalan Transisi Energi Indonesia yang berjudul A Transition Towards Low Carbon Transport in Indonesia: A Technological Perspective. Berlangsung secara daring, acara ini turut mengundang Firdaus Komarno, Kepala Pusat Pengelolaan Transportasi Berkelanjutan Kementerian Perhubungan dan Faela Sufa,  Direktur Asia Tenggara dari Institute for Transportation & Development Policy (ITDP) untuk merespon temuan dan rekomendasi dari laporan yang ditulis oleh Julius Christian Adiatma.

Julius memaparkan bahwa sebagai pengguna BBM terbesar, transportasi menyumbang gas rumah kaca (GRK) di tahun 2017 itu sekitar 150 juta ton. Jika pola konsumsi energinya tetap sama maka di tahun 2050 akan menghasilkan sebesar 500 ton emisi karbon.

Ia menawarkan tiga pendekatan untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan memitigasi dampak dari transisi energi di bidang transportasi yaitu Avoid, Shift, dan Improve (ASI).

“Pendekatan Avoid artinya kita sebisa mungkin mengurangi jumlah perjalanan dan jumlah kebutuhan transportasi dengan melalui tata kota yang lebih baik. Sementara Shift itu adalah beralih ke moda transportasi yang lebih hemat energi atau lebih tidak karbon intensif. Improve berarti meningkatkan efisiensi dari kendaraan ataupun intensitas karbon dari kendaraan itu sendiri, “ jelasnya.

Membahas moda transportasi yang hemat energi, Julius menyarankan segera melakukan pengembangan elektrifikasi kendaraan ringan. Namun tentu saja, hal tersebut membutuhkan perencanaan yang matang dengan memperhatikan sistem kelistrikan di Indonesia yang masih menggunakan batu bara serta masih minimnya infrastruktur pendukung seperti pengisi daya kendaraan listrik.

“Intinya, mau tidak mau, transisi energi ini akan terjadi juga. Tentu saja menyebabkan beberapa dampak yang negatif, misalnya ketidaksiapan infrastruktur atau kesalahan pemilihan teknologi. Penurunan aktivitas ekonomi atau terjadinya aset terdampar,” imbuhnya.

Julius juga menyinggung peta jalan yang telah disusun oleh Kementerian Perhubungan. Menurut Julius, cita-citanya belum sesuai dengan Paris Agreement.

“Kalau kita lihat roadmap dari industri otomotif kan itu sampai tahun 2034, kalau tidak salah baru 30% dari produksi kendaraan dalam bentuk kendaraan energi surya atau biofuel. Jika demikian, maka proyeksinya di tahun 2020, hanya 30 persen kendaraan listrik yang ada di jalan,” urainya.

Menurutnya lagi, peta jalan transisi energi di bidang transportasi harus memuat pembangunan infrastruktur yang sesuai perkembangan teknologi, mengantisipasi dampak ekonomi-sosial dari transisi beserta rencana mitigasinya, serta riset dan pengembangan teknologi alternatif transportasi rendah karbon. Selain itu,  pemerintah harus memiliki rencana dan memastikan bahwa proses transisi ini dapat dicapai dengan sukses sekaligus mengurangi risiko-risiko dari proses transisi yang terjadi, utamanya kepada pemangku kepentingan yang terlibat (termasuk didalamnya para pelaku industri, pekerja dan masyarakat yang terdampak).

Menanggapi penjabaran Julius, Faela sepakat agar pemerintah harus lebih proaktif menyikapi kebutuhan transportasi rendah karbon, tidak hanya di tataran nasional bahkan hingga daerah.

“Perlu ada peta jalan dan target di tingkat daerah untuk beralih ke transportasi publik dengan energi terbarukan jadi tidak hanya listrik saja,” tandasnya.

Ia juga menyarankan agar Kementerian Perhubungan bisa mendorong kebijakan insentif non fiskal di pemerintah daerah seperti tiket parkir yang lebih rendah bagi kendaraan yang rendah karbon.

Merespon hal ini, Firdaus Komarno secara umum sepakat akan kebutuhan Indonesia untuk melakukan transisi energi. Melalui presentasinya, Firdaus mengungkapkan bahwa pemerintah sudah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mendorong perubahan energi di bidang transportasi. Namun, ia mengakui kebijakan tersebut belum cukup terintegrasi dengan baik.

“Mudah-mudahan makin kedepan terutama tiga Kementerian yakni Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Perhubungan dan Perindustrian saling bersinergi, berintegrasi dalam rangka mengawal pembangunan rendah karbon ini,” harapnya.

Firdaus mempunyai pandangan yang sama terkait tantangan transisi energi di Indonesia. Selain yang sudah Julius sebutkan, pemerintah juga masih terkendala pada belum adanya penetapan tarif listrik sehingga tidak memberi kepastian bagi produsen kendaraan listrik. Selanjutnya pemerintah juga belum mengeluarkan kebijakan pemberian insentif bagi pengguna kendaraan rendah karbon.

Lebih jauh, Firdaus merasa senang dan terbuka bila ada kesempatan diskusi bagi pihaknya, IESR ataupun organisasi lain yang mempunyai visi sama untuk mewujudkan transportasi rendah karbon di Indonesia.


Saksikan kembali siaran tundanya:

Materi paparan

A Transition Towards Low Carbon Transport in Indonesia_ a technological perspective

Unduh

Bahan Webinar IESR 061020

Unduh

Kerja Keras untuk Ciptakan Ekosistem Ramah PLTS Atap

Sunsational GNSSA: Refleksi Tiga Tahun Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap

Jakarta, 24 September 2020

Di tahun ke tiga setelah peluncuran Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap (GNSSA), para deklarator, pemerhati energi bahkan pengguna Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap, berkumpul secara daring untuk merayakan pencapaian, mengulas tantangannya, dan menegaskan kembali komitmen bersama untuk mendorong penggunaan PLTS atap  di Indonesia.

Sedikit bernostalgia, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reforms (IESR) yang juga merupakan salah satu deklarator GNSSA menuturkan bahwa ide dan target GNSSA ini awalnya tercetus secara spotan namun menjadi sangat berdampak karena melibatkan banyak diskusi dan inisiasi berbagai pakar energi di dalamnya.

Meski, hingga tahun ini, target satu juta pengguna PLTS atap belum tercapai, namun pihaknya mengapresiasi setiap usaha dalam merealisasikannya;  di antaranya total 11,5 MW PLTS terpasang dengan  7,5 MW dari total pelanggan PLN, lahirnya Peraturan Menteri (Permen) No. 49 tahun 2018 serta mulai tersedotnya  perhatian publik akan PLTS atap.

Menyikapi pencapaian ini,  para deklarator yang hadir pun pada umumnya memberikan tanggapan yang senada. Surya Dharma Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) mengakui bahwa sosialisasi PLTS atap relatif berhasil.

“Semangat ini tidak boleh padam. Saya ingin kita menggaungkan ini kembali supaya menjadi gerakan yang membawa keberhasilan,” tegasnya antusias.

Seiring dengan bertambahnya minat masyarakat atau pemerintah daerah untuk memasang  PLTS atap di rumah mereka, beberapa tantangan pun muncul ke permukaan. Tommy salah satu penggunaan PLTS atap mengungkapkan hal ini, “Di Semarang pada akhir 2018 saat Permen No. 49 baru keluar, net meter masih susah, tapi syukurlah untuk saat ini, net meter di Semarang sudah sangat mudah dan lancar.”

Ia pun menuturkan kendala lainnya adalah penerapan peraturan yang belum seragam sehingga harga produk PLTS atap menjadi sangat bervariasi. Ia  berharap kelak ada standarisasi di bidang harga. 

Tidak hanya itu, biaya investasi PLTS atap masih cenderung mahal.  Tommy mengusulkan agar pemerintah daerah melalui bank daerah bisa memberikan bantuan pinjaman sama halnya seperti pemberlakuan kredit pada motor.

Fabby dalam pemaparannya menyoroti tantangan yang serupa.

 “Ada hal yang masih harus ditingkatkan yakni ekosistem untuk mendukung pengembangan PLTS atap,” tukasnya. 

Ia memaparkan bahwa keterlibatan pemerintah sangat penting  dengan  memberikan dukungan kebijakan, pemberian insentif, penguatan institusi dalam melakukan pendampingan, pemberian informasi dan dukungan teknis bagi yang tertarik dengan PLTS atap dan penyediaan pusat pelayanan sehingga menjamin kualitas produk PLTS atap. Diperkirakan, jika rancangan ini berjalan maka dapat menyerap sekitar 30 ribu pekerja di bidang PLTS atap dan berpotensi besar dalam memulihkan perekonomian  Indonesia. 

Lebih lanjut, Andika Prastawa, Direktur Pusat Pengkajian Industri Manufaktur Telematika dan Elektronika (PPIMTE) yang juga merupakan Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), mengatakan bahwa target besar GNSSA bukan berarti ambisius melainkan mendorong segenap pihak untuk bekerja keras. 

Ia sepakat bila ekosistem itu terbentuk maka di tahun 2025 pertumbuhan PLTS atap akan semakin cepat. Ia menghitung jika tercapai 200 MW pertahun, maka sekitar 200 juta US berputar untuk PLTS atap sehingga industrinya semakin kompetitif.

“Industri ini cocok untuk membantu pemulihan ekonomi akibat COVID-19, karena PLTS tidak memerlukan pekerjaan yang massif  dan tidak melanggar social distancing,” ujarnya.

PLTS  Atap Semakin Populer Di Daerah

Hadir pada kesempatan yang sama, Jarwanto dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral  (ESDM) Jawa Tengah menuturkan perkembangan yang menggembirakan mengenai penggunaan PLTS atap di wilayahnya.

“Kita sudah 1 tahun setelah peluncuran revolusi surya di Jateng. Sebenarnya kita terlambat 2 tahun dari GNSSA,” tuturnya seraya tertawa.

Namun, ia menjelaskan bahwa banyak hal positif yang berhasil  pemerintah siasati untuk menyukseskan program revolusi surya.

“Dimulai pemasangan PLTS atap di kantor dinas membuktikan kepada semua bahwa setelah kita deklarasi, dengan berani, kita gebrak untuk bisa menjadi kebijakan  daerah. Responnya luar biasa bagus. Seandainya tidak ada virus corona, lompatannya lebih tinggi yakni sekitar  5.1 MW di Jawa Tengah,” lugasnya.

Sementara Bali, melalui Disnaker ESDM Bali, Setiawan menjelaskan bahwa pemerintah daerahnya masih mengkaji secara komprehensif pembangunan PLTS atap di wilayahnya karena struktur bangunan dan atap yang cenderung berbeda di bandingkan berbagai kota besar di Indonesia. Meskipun demikian, ia berterima kasih akan bantuan dari pemerintah pusat yang telah memberikan fasilitas PLTS atap sebesar 270 KW di 7 lokasi ikonik di  Bali.

Jakarta, di sisi lain, bahkan sudah merekomendasikan penggunaan PLTS atap karena mendukung penurunan pencemaran udara sesuai Instruksi Gubernur nomor 66 tahun 2018. 

“Seandainya panel surya ini sudah ada di katalog nasional, maka tidak perlu birokrasi yang lama, pengguna dapat langsung memasangnya,” ujar Rikki dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jakarta.

Salah seorang penggiat solar energi yang telah berjuang selama 20 tahun dan juga merupakan deklarator GNSSA, Jon Raspati menganggap pencapaian GNSSA merupakan impiannya yang menjadi nyata. Ia pun mengajak semua orang terlibat dalam GNSSA bukan semata untuk menikmati keuntungan dari PLTS atap tapi berpartisipasi pula dalam menyelamatkan bumi dari energi kotor.

“Di seluruh dunia, PLTS atap menjadi lokomotif ekonomi. Karena energi  surya maupun angin ini tidak pernah habis. Energi ini merupakan energi yang tidak diskriminatif sehingga semua orang bisa memanfaatkannya. Sama halnya dengan bumi ini, jutaan orang yang harus bertanggung jawab merawatnya,” tegasnya.

Saksikan siaran tundanya disini: