Press Release – Pemerintah dan Perusahaan EI Indonesia diserukan untuk Serius Terapkan EITI

Jakarta, 6 Mei 2010. Pemerintah Indonesia dan Perusahaan EI (Ekstraktif Industri) diserukan untuk serius menerapkan EITI (Extractive Industri Transperency International), menyusul telah ditandatanganinya Peraturan Presiden (PerPres) No 26 Tahun 2010 tentang Transparansi Pendapatan Negara dan Daerah dari Industri Ekstraktif.

Hal ini ditandaskan oleh IESR (Institute for Essential Services Reform) dan PWYP (Publish What You Pay), dalam acara Diskusi Dengan Media: Tantangan PerPres No.26/2010, Kamis, 6 April 2010, di Jakarta, menyusul telah ditandatanganinya PerPres tersebut oleh Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono pada 23 April 2010. Hadir dalam acara Deputi Menko Perekonomian, Ir Muhammad Husen, Priyo Pribadi Sumarno (IMA/ Indonesia Mining Association).

“Ini langkah awal yang baik untuk mendorong transparasi dan akuntabilitas yang lebih luas dalam menegakkan pemberantasan korupsi serta demokratisasi lewat sektor ini. Meski ada keraguan akan implementasinya tapi upaya ini harus dihargai. Kita harapkan segera dikonkretkan,”jelas Direktur IESR, Fabby Tumiwa. Ditambahkannya, diperlukan konsensus serta pembentukan multipihak dari pemerintah, usaha EI, dan masyarakay sipil untuk memastikan keterbukan pelaporan dan pendapatan usaha EI di Indonesia.

Sebagai informasi EITI adalah Inisiatif global yang menuntut keterbukaan usaha Industri Ekstraktif (mineral, gas, minyak, batu bara, dan sejenisnya) untuk melaporkan secara terbuka pendapatan usaha EI-nya kepada publik, begitu juga pemerintah melaporkan pendapatan dari hasil setoran yang terima dari usaha EI. Inisiatif ini telah dilakukan 30 negara di seluruh dunia, dan 10 negara lainnya kini mulai berkomitment mengikuti EITI.

Di Indonesia ditandatanganinya PerPres ini adalah langkah awal Indonesia menerapkan EITI. Artinya, kini perusahaan minyak dan gas bumi atau apa pun yang dihasilkan perut bumi maka harus melaporkan segala hasil pendapatannya yang disetor ke pemerintah secara terbuka kepada publik. Instansi pemerintah yang telah terima pembayaran itu juga mengisi laporan hasil penerimaan tersebut.

Multipihak yang ditunjuk mengawasi proses pelaporan ini terutama dalam me- cross check -an laporan satu dengan lainnya. Sehingga akan jelas di sana baik pendapatan EI dan yang diperoleh (hasil setoran) pemerintah. Hasil cek silang ini kemudian dipublikasikan juga secara terbuka kepada publik.

Sementara Koordinator nasional PWYP Indonesia, Ridaya Laodengkawe menjelaskan, PerPres itu setidaknya bisa mengurai rejim ketertutupan dalam aliran pendapatan Negara dari sektor migas dan tambang. Apalagi 32-35% total penerimaan Negara dalam beberapa tahun terakhir berasal dari sektor strategis ini. Sektor ini juga selalu menjadi sumber polemik antara pemerintah puat dan pemerintah daerah, terutama tentang besaran dana bagi hasil yang merupakan salah satu elemen kunci dalam desentralisasi.

“Terdapat 7000-an kuasa pertambangan telah dikeluarkan pemerintah daerah selama Sembilan tahun masa desentralisasi, tanpa kejelasan beberapa manfaat yang telah diberikan. Kerusakan ekologis lebih menonjol sebagai akibat dari ribuan KP yang dikeluarkan tanpa kesiapan tata kelola yang baik,” jelasna.

Baik IESR dan PWYP meyakini bahwa pelaksanaan EITI secara konsukuen akan memperbaiki tatakelola aliran pendapatan Negara dari EI tetapi juga akan meningkatkan tata kelola EI secara keseluruhan.

Sedangkan Ketua IMA, Priyo Pribadi Sumarno mengatakan bahwa pihaknya telah mencoba mesosialisasikan keberadaan EITI ke perusahaan-perusahaan tambang, gas dan minyak Indonesia. Pihkanya juga menyambut baik PerPres ini.

“Sebenarnya beberapa perusahaan tambang telah melakukan pelaporan ini tiap tahunnya. Usaha EI yang menyatakan siap menjalankan EITI sementara ini hanya dari Medco dan Rio Tinto. Masyarakat akan diberikan informasi seluasnya, apakah mereka akan mendapatkan hal sepadan atau tidak,” jelasnya.

Sementara Ir Muhammad Husen menjelaskan saat ini pihaknya tengah mendorong agar Per-Pres dikonkretkan dalam implementasi yang jelas.

“Prosesnya masih panjang untuk bisa sampai ke UU. Kita fokuskan saja bagaimana menjalankan ini dengan baik. Terutama menyertakan multipihak baik dari pemerintah, usaha EI dan juga masyarakat sipil yang diwakili LSM. Saya masih bingung LSM mana yang mesti disertakan untuk masuk dalam multipihak seperti yang ditentukan EITI,”jelasnya.

Tidak tegas dan tidak ada sanksi

Sedangkan Ridaya menyayangkan Per-Pres yang ada masih dikemas dalam bahasa hukum yang halus atau tidak tegas.

“Kami sebenarnya menginginkan bahasa hukum yang tegas. Misalnya, memerintahkan kepada Pemerintah dan Perusahaan untuk menyerahkan laporan….” Namun dalam pasal 14 PerPres pemerintah memilih meformulasikan dengan tidak tegas.

Demikian juga tentang keterlibatan para pihak (multistakeholder steering group/MSG). PerPres mengatur MSG dengan sistem dua kamar (pasal 4): Tim Pengarah dan Tim Pelaksana. Konsukunesi dari sistem dua kamar ini adalah rantai koordinasi yang lebih panjang daripada yang dibayangkan oleh EITI (satu kamar).

PerPres juga tidak menyatakan benchmark atau jenis data minimal yang harus dilaporkan secara eksplisit. Di satu sisi ketiadaan benchmark dapat sebagai peluang untuk memperluas lingkup pelaporan, namun di sisi lain dapat juga bearti memainkan kekuasaannya.

Kekhawatiiran ini, meskipun diharapkan tidak terjadi, namun tetap ditemukan komposisi Tim Pelaksana (pasal 10) yang tidak seimbang dan dalam PerPres ini tidak diatur tentang voting block mechanism (pengambilan keputusan berdasarkan perwakilan unsur), sehingga kelak ada keputusan yang adil.

PerPres ini juga disayangkan tidak menegaskan adanya sanksi bagi yang tidak membuat pelaporan tegas kepada publik. Hal ini diakui Husen sebagai kelemahan PerPres.

“Tidak ada hitam di atas putihnya. Jadi memang sanksi moral saja. Tapi kunci dari keberhasilan implementasi EITI lewat PerPres ini adalah komitment semua pihak. Jika salah satunya tidak menjalankan, ini jutsru menurunkan citra kesungguhan kita yang ingin terbuka terhadap pelaporan pendapatan dan penerimaan pendapatan EI yang ada,”tandas Husen.

Nomor Kontak:

Ridaya Laodengkowe (Koordinator Nasional): 0812 803 7964
Email- ridaya.lon@gmail.com
Fabby Tumiwa (Direktur IESR): 0811 949 759
Email: fabby@iesr-indonesia.org

Press Release- Time for the World Bank to clean its energy investments – or lose relevance

As the World Bank Group (WBG) asks an $86 billion general capital increase from its major shareholders, it appears this lending and knowledge institution is not committed to direct public resources to measures that support sustainable development, poverty reduction and clean energy. Instead, the Bank looks set to mobilize public money to subsidize fossil fuel industry and orient funds for large-scale thermal, hydropower projects and energy-related policy reforms, says joint NGO report.

This critique emerges from the recent study on the energy portfolio of the Bank in Indonesia undertaken by the Jakarta-based Institute for Essential Services Reform (IESR) and Bank Informartion Center (BIC), an IFI watchdog working in Indonesia, Mekong and South Asia. The study looked at the Bank’s influence on Indonesia’s energy sector over the last 40 years through its lending and non-lending services. The report is released in time for the May 6 Jakarta consultation that WBG organizes to solicit external comments on its energy strategy approach paper.

“Since 1969, the WBG has provided over USD 5.4 billion in energy lending in Indonesia which has focused on centralized, large scale, grid based thermal and hydropower projects and on the financial viability and privatization of the Perusahaan Listrik Negara (PLN)”, says Daniel King, one of the researchers for the study. Bank’s appetite for risky, dirty public debt for energy remains high as demonstrated by pending loans for a $500 million geothermal project in Sumatra and North Sulawesi, $530 million Upper Cisokan hydropower in West Java, and $225 million transmission project in Java and Sumatra.

“If these were an indication that Bank wants to keep its business-as-usual model for energy financing, this leaves us with little confidence that the institution can play a relevant role in promoting low-carbon development and wider energy access for the poor,” argues Fabby Tumiwa, Executive Director of IESR. “Apparently, the Bank only pays lip service as an institution concerned with climate change and delivering affordable and reliable energy to off grid, rural communities. It does not walk the walk”, Tumiwa adds.

Delivering energy access for the poor?

“The Bank’s mandate is to reduce poverty, but it is disappointing that the objective for energy access for the poor is not made clearer in the 2009-2012 Country Partnership Strategy, its country support masterplan. Although the Bank’s rural electrification projects of the 1990s brought electricity access to 10 million households, it still has no clear plan to address energy access for over 70 million Indonesians without electricity access”, King reveals.

The study found that the Bank has oriented its energy financing into investments that are considered high in greenhouse gas emissions, environmentally and socially risky and ones that favor privatization of energy utilities. King discovered that in the 1970s, nearly $600 million worth of loans and grants focused on oil and transmission while loans more than tripled ($1.5 billion) in the 1980s but this time, the Bank dedicated public debt to Indonesia’s coal, large hydropower and transmission projects. In the 1990s, the Bank repeated the same lending pattern. Although it can be credited for investing $670 million for rural electrification projects, it has also scaled up its loans geared to privatize State-owned and operated power utilities.

A climate bank?

While the energy sector is the second largest source of CO2 emissions in Indonesia, discharged from power generation, the Bank’s strategy to mitigate climate change is poor, says the report. As the Government of Indonesia (GOI) aims to reduce GHG emissions by 26 percent by 2020 and make a further cut up to 41 percent with international support, it turns out the Bank has no clear cut strategy to progressively shift its funding from fossil fuel.

“It is predictable – as well as disappointing – that the Bank is not ready to abandon its addiction to dinosaur energy sources and technologies,” claims Tumiwa. “Promoting the use of coal had been a specific policy aim of WBG projects in Indonesia until 1995; coal and gas still form a key part of the Bank’s energy strategy in the country and the lending institution has propensity to label its advanced coal technologies as clean energy. This is inaccurate and misleading”, Tumiwa asserts.

Is the Bank promoting alternatives?

“At the conceptual plane, it looks like this post-World War Bank seeks alternatives but how clean and sustainable these offered solutions are is highly suspect”, argues Yaya Nurhidayati dari Bank Dunia. “Large hydropower is back on the agenda. The Bank is set to approve a $530 million loan in October 2010 to develop the Cisokan River Pumped Storage Power Project, reveals Forqon. The Bank champions hydropower as a “clean energy” source due to its low carbon emissions but scientific studies show that in tropical climate, methane emissions from dam reservoir can be high”, he added.

The Bank has recently increased its funding for geothermal projects using clean thecnology fund and regular investment loan but the actual social, environmental and economic impacts are yet to be seen. Meanwhile its public and private sector arms have extended the lending envelope to “new renewables” such as wind, solar, small hydro and modern biomass but volume has been negligible.

What’s new in the country energy agenda?

In the study, King found that the Bank is infusing large chunk of public money for policy-based reforms, called development policy loans (DPL), the successor of structural adjustment programs (SAPs) that were controversial in the 1980s and 1990s. From 2007 to 2010, the Bank prepositioned $467 million for DPLs related to financing energy infrastructures, some of which include regulatory, institutional and administrative reforms.

The Bank acknowledges that the infrastructure sector “continues to be plagued with corruption issues in Bank-financed projects, which has delayed project preparation and implementation and has serious implications for the future project pipeline.” Yet, this has not stopped the Bank from providing infrastructure DPLs plagued with lack of transparency and accountability. In the design of the DPL, large amount of money has been provided over a short period of time with little public consultation. This raises another concern on fiduciary control: with little detail available, the public are left in the dark how the public debt is actually spent. The public hardly knows if energy-related DPLs contribute to low carbon development or simply disbursed without addressing the energy needs of the poor.

Time to clean up the act

“With its dirty, risky energy portfolio, it is long overdue for the Bank to progressively shift from unsustainable and climate damaging investments to one that supports developing economies’ transition to low carbon development”, states Norly Mercado of the Bank Information Center. “As the Bank revises its new energy strategy for the next 10 years, the Bank should set out a clear, limited role – only supporting activities that have maximum impact on its goals of sustainable development and poverty reduction.”

“The Bank’s energy strategy must prioritize support for increased energy access for millions of the poor living rural, off grid, and those dependent on non-electrical energy sources. After all, energy access is a human right”, states Mercado. It must also focus on decentralised sustainable energy solutions that meet the energy needs of the poor in a cost-effective and energy efficient manner.”

“As countries like Indonesia make the transition necessary to prevent dangerous climate change, the Bank must end investments in fossil fuel extraction and use by 2015 and implement full life-cycle risk adjusted cost accounting by 2015.”

“By failing to clean its energy investments, its role as a climate bank makes no relevance”, asserts Tumiwa.

Press Release- Bank Dunia Tidak Menyentuh Masyarakat Miskin dan Perbaikan Iklim

Jakarta, 5 Mei 2010, Sebagai Kelompok Bank Dunia (WBG) dengan peningkatan general capital $ 86 miliar dari pemegang saham utama mereka, tampak jelas Bank dunia dan kelompoknya tetap tidak menunjukkan komitmennya dalam menjalankan mandat terhadap publik guna mendukung langkah-langkah pembangunan berkelanjutan, penanggulangan dan pengurangan kemiskinan serta menegakkan energi bersih. Sebaliknya, Bank Dunia tetap akan memobilisasi uang rakyat untuk mesubsidi industri bahan bakar fosil dalam termal skala besar, proyek-proyek hydropower dan reformasi energi yang terkait.

Kritik ini disampaikan terkait dengan hasil penelitian dari IESR dan BIC (Bank Information Centre) terkait Portfolio Bank Dunia di Sektor energi Indonesa. Penelitian ini mengkaji peran dan pengaruh Bank Dunia di sektor energi Indonesia selama lebih dari 40 tahun dalam memberikan pelayanan kredit dan non pinjaman. Laporan dari hasil penelitian ini akan dibawa oleh IESR dan BIC dalam Konsultasi Publik Bank Dunia di Sektor energi Indonesia pada Kamis ini (6/7), di Jakarta, dimana Bank Dunia akan melakukan sosialisasi kebijakan dan strategi energinya di Indonesia.

“Sejak Tahun 1969, WBG telah memberikan lebih dari USD 5,4 miliar pada pinjaman energi di Indonesia yang memiliki fokus pada sentralisasi, skala besar, grid berbasis termal dan proyek tenaga air juga terhadap viabilitas keuangan dan privatisasi Aktiva pajak tangguhan Listrik Negara (PLN)”, jelas Daniel King salah seorang konsultan dan peneliti IESR.

King juga menjelaskan bahwa Bank telah melakukan kebijakan yang justru mengedepankan hutang publik secara kotor untuk sektor energi secara tinggi dengan menunda pinjaman untuk proyek geothermal (panas bumi) di Sumatera dan Sulawesi Utara sebesar 500 juta US$, 530 juta US$ untuk proyek hydropower di Jawa Barat, dan 225 juta US$ untuk proyek transmisi di Jawa dan Sumatera.

“Jika ini merupakan indikasi bahwa Bank tetap ingin mempertahankan model ini sebagai business-as-usual untuk pembiayaan energi, jelas membuat keyakinan kami semakin berkurang bahwa lembaga ini dapat memainkan peran yang relevan dalam mendorong pembangunan rendah karbon dan akses energi yang lebih luas bagi masyarakat miskin,” tambah Direktur IESR, Fabby Tumiwa.

“Jelas sekali, sebagai lembaga keuangan internasional yang katanya peduli terhadap perubahan iklim dan akan memberikan akses energi terjangkau bagi masyarakat miskin dan pedesaan, ternyata hanyalah sebuah lips-service belaka. Nyatanya di (praktik) di lapangan mandat mereka untuk mengedepankan penanggulangan kemiskinan tidak berjalan sama sekali,” tandas Fabby lagi.

Memberikan energi akses bagi kaum miskin?

Senada juga diungkapkan oleh King, terkait mandat bank dunia yang harusnya mengedepankan pada kepentingan masyarakat miskin dan bukan sebaliknya.

“Mandat Bank adalah untuk mengurangi kemiskinan, tetapi sungguh mengecewakan bahwa tujuan agar masyarakat miskin mendapatkan akses energi justru tidak dibuat secara jelas dan tegas dalam Country Partnership Strategy (Strategi Kemitraan Negara) untuk tahun 2009-2012, dimana Negara mendukung masterplannya. Meskipun proyek kelistrikan di pedesaan Bank Dunia di tahun 1990 telah membuat 10 juta rumah tangga mengakses listrik, namun mereka masih belum memiliki rencana yang jelas untuk menangani akses energi bagi lebih dari 70 juta orang Indonesia yang tidak memiliki akses listrik “, jelas King yang asli Australia ini.

Penelitian ini juga menemukan bahwa Bank dunia telah berorientasi melakukan pendanaan energi ke dalam investasi yang justru mendukung meningkatkan emisi gas rumah kaca, kerusakan lingkungan dan resiko-resiko sosial bahkan mendukung privatisasi utilitas energi. Ditambahkan oleh King bahwa pada tahun 1970-an, sekitar 600 juta US$ senilai pinjaman dan hibah justru difokuskan pada minyak dan transmisi sementara jumlah kredit itu dilebihkan tiga kali lipat (1,5 miliar US$) pada tahun 1980-an. Bank Dunia jelas mendedikasikan hutang publik kepada pembiayaan (investasi untuk asing) batu bara Indonesia, proyek hydropower skala besar serta proyek transmisi. Tahun 1990, Bank Dunia kembali mengulangi pola pinjaman yang sama. Meskipun dapat dikreditkan untuk imvestasi $670 juta untuk proyek kelistrikan di desa, namun juga telah ditingkatkan pinjaman yang ditujukan untuk memprivatisasi BUMN dan dioperasikan utilitas kekuasaan.

Sebuah Bank Iklim?

Sementara pemerintah Indonesia menyatakan akan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26% pada tahun 2020 dan didukung secara internasional hingga 41%, justru bank dunia tidak memiliki strategi jelas dan lebih mengedepankan pendanaan terhadap bahan bakar fosil. Padahal sektor energi adalah terbesar kedua dalam emisi CO2 di Indonesia dari pembangkit listrik.

“Ini bisa diprediksi – dan juga mengecewakan – bahwa Bank tidak siap meninggalkan kecanduan untuk sumber energi dinosaurus dan teknologi,” tandas Tumiwa. “Mempromosikan penggunaan batubara telah menjadi tujuan kebijakan Bank Dunia dan kelompoknya hingga 1995; batubara dan gas masih diangap bagian penting dari strategi energi Bank Dunia di negara dan lembaga pinjaman yang memiliki kecenderungan untuk memberi label bahwa ada teknologi canggih energi bersih batubara. Hal ini jelas menyesatkan dan sangat tidak akurat,” tandas Fabby.

Apakah Bank Dunia mempromosikan Energi Alternative?

“Di konseptual, tampaknya seperti paska-Perang Dunia Bank mencari alternatif tetapi bagaimana bisa bersih dan berkelanjutan sebagai bagian ditawarkan, patut dicurigai”, jelas Koordinator BIC Asia Tenggara, Grace Marcia Mercado

“Banyak proyek hydropower dijadikan sebagai agenda kembali. Bank diatur untuk menyetujui pinjaman sebesar $ 530 juta pada Oktober 2010 untuk mengembangkan Cisokan River Storage Power Project. Bank Dunia selalu mengatakan bahwa ini proyek energi bersih dan rendah karbon, tapi penelitian menemukan bahwa hydropower di daerah tropis seperti Indonesia justru memicu emisi metana dari serapan air bisa tinggi,”jelas Norly.

Bank baru-baru ini meningkatkan pendanaan untuk proyek panas bumi (geothermal) dengan menggunakan dana teknologi bersih dan kredit investasi biasa, tetapi sebenarnya dampak sosial, lingkungan dan ekonomi jelas belum terlihat. Sementara itu pada sektor swasta dan publik telah memperpanjang pinjaman untuk “energi terbarukan” seperti angin, solar, hydro kecil dan biomassa modern tetapi volumenya telah diabaikan.

Apa agenda energi terbaru di Indonesia?

Penelitian King juga menemukan bahwa Bank menanamkan potongan besar uang publik untuk reformasi kebijakan-berbasis pengembangan kebijakan pinjaman (DPL), pengganti program penyesuaian struktural (Sap) yang kontroversial pada 1980-an dan 1990-an. Dari 2007 sampai 2010, Bank prepositioned $ 467.000.000 untuk DPLs terkait dengan energi pembiayaan infrastruktur, beberapa diantaranya termasuk regulasi, kelembagaan dan reformasi administrasi.

Bank mengakui bahwa sektor infrastruktur “terus menjadi terganggu dengan isu korupsi dalam proyek-proyek yang didanai Bank, yang telah menunda persiapan dan pelaksanaan proyek dan memiliki implikasi serius untuk masa depan proyek pipa” Namun, hal itu tidak menghentikan dan mengganggu Bank dari penyediaan infrastruktur DPLs kendati kurangnya transparansi dan akuntabilitas.

Dalam desain DPL, sejumlah besar uang telah diberikan dalam waktu singkat dengan konsultasi publik yang sedikit. Hal ini menimbulkan keprihatinan lain tentang pengendalian fidusia: dengan detail kecil yang tersedia, masyarakat yang tertinggal dalam gelap, bagaimana hutang publik sebenarnya dibelanjakan. Masyarakat tidak tahu jika DPLs yang berhubungan dengan energi berkontribusi pada pengembangan karbon rendah atau hanya disalurkan tanpa mengatasi kebutuhan energi masyarakat miskin

Waktunya Untuk Memperjelas Aksi

Sementara Norly menambahkan bahwa dengan portfolio energi berisiko dan kotorr yang didorong Bank Dunia justru semakin mendorong ketidakberlanjutan, bahkan merusak iklim investasi. Tapi pihak Bank Dunia selalu mengatakan bahwa mereka telah mengembangkan mengembangkan transisi ekonomi untuk pengembangan rendah karbon.

“Bank merevisi strategi energi baru untuk 10 tahun ke depan, Bank harus menetapkan peran yang jelas terbatas – kegiatan yang mendukung hanya yang memiliki dampak maksimum pada tujuan pembangunan berkelanjutan dan pengurangan kemiskinan,” tandas Norly.

Ditambahkan Norly bahwa Strategi Energi Bank Dunia harus memprioritaskan dukungan untuk akses peningkatan energi bagi jutaan orang miskin yang hidup di pedesaan, dan mereka bergantung pada sumber-sumber energi non-listrik. Lagi pula, akses energi merupakan hak asasi manusia.

“Negara seperti Indonesia memang rentan terhadap dampak perubahan iklim, dan Bank harus mengkhiri investasinya pada bahan bakar fosil dan menerapkan siklus akuntansi biaya disesuaikan pada tahun 2015. Bank Dunia telah gagal untuk investasi energi bersih, dan perannya sebagai Bank Iklim, sama sekali tidak membuat iklim bumi lebih baik,” tandas Fabby. (***/Fay).

Contact
Fabby Tumiwa, IESR, fabby@iesr-indonesia.org; +62811949759
Nadia Hadad, BIC, nhadad@bicusa.org; +62811132081

Press Release- Time for the World Bank to clean its energy investments – or lose relevance

5 May 2010/JAKARTA,
As the World Bank Group (WBG) asks an $86 billion general capital increase from its major shareholders, it appears this lending and knowledge institution is not committed to direct public resources to measures that support sustainable development, poverty reduction and clean energy. Instead, the Bank looks set to mobilize public money to subsidize fossil fuel industry and orient funds for large-scale thermal, hydropower projects and energy-related policy reforms, says joint NGO report.

This critique emerges from the recent study on the energy portfolio of the Bank in Indonesia undertaken by the Jakarta-based Institute for Essential Services Reform (IESR) and Bank Informartion Center (BIC), an IFI watchdog working in Indonesia, Mekong and South Asia. The study looked at the Bank’s influence on Indonesia’s energy sector over the last 40 years through its lending and non-lending services. The report is released in time for the May 6 Jakarta consultation that WBG organizes to solicit external comments on its energy strategy approach paper.

“Since 1969, the WBG has provided over USD 5.4 billion in energy lending in Indonesia which has focused on centralized, large scale, grid based thermal and hydropower projects and on the financial viability and privatization of the Perusahaan Listrik Negara (PLN)”, says Daniel King, one of the researchers for the study. Bank’s appetite for risky, dirty public debt for energy remains high as demonstrated by pending loans for a $500 million geothermal project in Sumatra and North Sulawesi, $530 million Upper Cisokan hydropower in West Java, and $225 million transmission project in Java and Sumatra.

“If these were an indication that Bank wants to keep its business-as-usual model for energy financing, this leaves us with little confidence that the institution can play a relevant role in promoting low-carbon development and wider energy access for the poor,” argues Fabby Tumiwa, Executive Director of IESR. “Apparently, the Bank only pays lip service as an institution concerned with climate change and delivering affordable and reliable energy to off grid, rural communities. It does not walk the walk”, Tumiwa adds.

Delivering energy access for the poor?

“The Bank’s mandate is to reduce poverty, but it is disappointing that the objective for energy access for the poor is not made clearer in the 2009-2012 Country Partnership Strategy, its country support masterplan. Although the Bank’s rural electrification projects of the 1990s brought electricity access to 10 million households, it still has no clear plan to address energy access for over 70 million Indonesians without electricity access”, King reveals.

The study found that the Bank has oriented its energy financing into investments that are considered high in greenhouse gas emissions, environmentally and socially risky and ones that favor privatization of energy utilities. King discovered that in the 1970s, nearly $600 million worth of loans and grants focused on oil and transmission while loans more than tripled ($1.5 billion) in the 1980s but this time, the Bank dedicated public debt to Indonesia’s coal, large hydropower and transmission projects. In the 1990s, the Bank repeated the same lending pattern. Although it can be credited for investing $670 million for rural electrification projects, it has also scaled up its loans geared to privatize State-owned and operated power utilities.

A climate bank?

While the energy sector is the second largest source of CO2 emissions in Indonesia, discharged from power generation, the Bank’s strategy to mitigate climate change is poor, says the report. As the Government of Indonesia (GOI) aims to reduce GHG emissions by 26 percent by 2020 and make a further cut up to 41 percent with international support, it turns out the Bank has no clear cut strategy to progressively shift its funding from fossil fuel.

“It is predictable – as well as disappointing – that the Bank is not ready to abandon its addiction to dinosaur energy sources and technologies,” claims Tumiwa. “Promoting the use of coal had been a specific policy aim of WBG projects in Indonesia until 1995; coal and gas still form a key part of the Bank’s energy strategy in the country and the lending institution has propensity to label its advanced coal technologies as clean energy. This is inaccurate and misleading”, Tumiwa asserts.

Is the Bank promoting alternatives?

“At the conceptual plane, it looks like this post-World War Bank seeks alternatives but how clean and sustainable these offered solutions are is highly suspect”, argues Yaya Nurhidayati dari Bank Dunia. “Large hydropower is back on the agenda. The Bank is set to approve a $530 million loan in October 2010 to develop the Cisokan River Pumped Storage Power Project, reveals Forqon. The Bank champions hydropower as a “clean energy” source due to its low carbon emissions but scientific studies show that in tropical climate, methane emissions from dam reservoir can be high”, he added.

The Bank has recently increased its funding for geothermal projects using clean thecnology fund and regular investment loan but the actual social, environmental and economic impacts are yet to be seen. Meanwhile its public and private sector arms have extended the lending envelope to “new renewables” such as wind, solar, small hydro and modern biomass but volume has been negligible.

What’s new in the country energy agenda?

In the study, King found that the Bank is infusing large chunk of public money for policy-based reforms, called development policy loans (DPL), the successor of structural adjustment programs (SAPs) that were controversial in the 1980s and 1990s. From 2007 to 2010, the Bank prepositioned $467 million for DPLs related to financing energy infrastructures, some of which include regulatory, institutional and administrative reforms.

The Bank acknowledges that the infrastructure sector “continues to be plagued with corruption issues in Bank-financed projects, which has delayed project preparation and implementation and has serious implications for the future project pipeline.” Yet, this has not stopped the Bank from providing infrastructure DPLs plagued with lack of transparency and accountability. In the design of the DPL, large amount of money has been provided over a short period of time with little public consultation. This raises another concern on fiduciary control: with little detail available, the public are left in the dark how the public debt is actually spent. The public hardly knows if energy-related DPLs contribute to low carbon development or simply disbursed without addressing the energy needs of the poor.

Time to clean up the act

“With its dirty, risky energy portfolio, it is long overdue for the Bank to progressively shift from unsustainable and climate damaging investments to one that supports developing economies’ transition to low carbon development”, states Norly Mercado of the Bank Information Center. “As the Bank revises its new energy strategy for the next 10 years, the Bank should set out a clear, limited role – only supporting activities that have maximum impact on its goals of sustainable development and poverty reduction.”

“The Bank’s energy strategy must prioritize support for increased energy access for millions of the poor living rural, off grid, and those dependent on non-electrical energy sources. After all, energy access is a human right”, states Mercado. It must also focus on decentralised sustainable energy solutions that meet the energy needs of the poor in a cost-effective and energy efficient manner.”

“As countries like Indonesia make the transition necessary to prevent dangerous climate change, the Bank must end investments in fossil fuel extraction and use by 2015 and implement full life-cycle risk adjusted cost accounting by 2015.”

“By failing to clean its energy investments, its role as a climate bank makes no relevance”, asserts Tumiwa.

Earth Day Series- Press Release – Ayo Kita Diet Karbon, untuk Hidup dan Bumi yang Lebih Baik

Jakarta, 19 April 2010, Setiap kegiatan manusia baik perseorangan maupun kelompok sesungguhnya mempunyai peran bagi bumi yang lebih baik atau lebih buruk. Terutama jika menyangkut gaya hidup penduduk bumi yang jumlahnya semakin tinggi dengan menggunakan daya dukung bumi secara masif yang kemudian mendorong budaya kapitalisme yang lebih besar.

Aktivitas masif ini menimbulkan rangkaian akibat lainnya, yaitu semakin mempertinggi pengurasan sumber daya bumi sehingga pelepasan gas-gas rumah kaca juga semakin melebihi batas, termasuk diantaranya Co2 (karbon dioksida). IESR (Institute for Essential Services Reform) melihat bahwa banyak hal bisa kita lakukan untuk mengurangi semakin buruknya kondisi bumi akibat aktivitas memenuhi gaya hidup masing-masing orang misalnya, dengan memberikan tolak ukur, yaitu dengan menghitung jejak ekologi kita. Dalam hal ini, IESR menawarkan perhitungan dengan menggunakan kalkulator jejak karbon.

Dari daya ukur ini bisa mempermudah perhitungan aktivitas jejak karbon masing-masing individu. Terutama dalam mengukur seberapa banyak mereka melakukan pengurangan (reduksi) karbon Co2 atau sebaliknya, dari dari aktivitas harian mereka.

Jejak karbon itu sendiri adalahJumlah emisi gas rumah kaca yang diproduksi oleh suatu organisasi, peristiwa (event), produk atau individu. Satuan pengukurannya dinyatakan dalam ton Co2 ekuivalen. Aktivitas yang dimaksud hal-hal harian yang tidak asing dilakukan tiap makhluk bumi misalnya: Memakai alat-alat elektronik seperti TV, menyalakan lampu di rumah, menggunakan kendaraan bermotor, makan, menggunakan air kemasan, atau membuang sampah organik tanpa didaur ulang kembali.

“Banyak orang tidak menyadari bahwa semua aktivitas tersebut bisa berpengaruh pada kondisi bumi, terutama iklimnya. Karena aktivitas itu mengeluarkan emisi CO2, yang jika dipakai secara missal secara berlebihan akan memperparah kondisi iklim bumi kita,” jelas Imelda Henriette Rambitan, Koordinator Program IESR, dalam press release yang dikeluarkan IESR, 19 April 2010.

Dia juga menjelaskan bahwa kalkulator jejak karbon yang dibuat oleh ISET merupakan versi yang sederhana yang disebutnya sebagai versi 01. Ime juga menjelaskan bahwa ke depan akan ada pengembangan-pengembangan lebih lanjut yang lebih detil.

“ Kami akan launching sejak rangkaian acara bumi di gelar, yaitu pada tanggal 20 April saat kami menggelar kuliah umum tentang perubahan iklim dan dampak ekonominya di FE Ekonomi UI. Dilanjutkan nanti di arena KNLH Walhi, di TIM Cikini, Jakarta. Kami akan ada di sana pada 22-23 April. Lalu bersama CSF kami ikut dalam bagian HELP Clinic yang akan digelar di Taman Suropati pada Minggu, 25 April 2010,” tambah Siti Badriah, Climate Justice Officer IESR.

Siti juga menjelaskan, Kalkulator jejak karbon versi 01, ini termasuk bagian kampanye IESR tentang keadilan iklim. Dari sini tiap orang diharapkan mengetahui bahwa aktivitas mana dari yang biasa mereka lakukan mengeluarkan karbon yang lebih banyak.

“Dari sanalah kami meminta mereka melakukan diet karbonnya secara bertahap. Misalnya yang tadinya suka menyalakan AC hingga 24 jam bisa menguranginya menjadi beberapa jam saja sesuai dengan kebutuhan, yang suka lupa mematikan lampu atau komputer ketika tidak digunakan lagi, mulailah membiasakan diri mematikannya, yang tadinya makan disisa mulai sekarang harus dihabiskan. Ini hal-hal sederhana saja, tapi penting bagi planet bumi kita,” jelas Imelda atau biasa dipanggil dengan Ime ini. (***/Musfarayani)

Berikut beberapa informasi penting:

  • Mengurangi penggunaan kendaraan bermotor untuk hal-hal yang berjarak pendek. Misalnya, untuk membeli makan siang, tidak perlu menggunakan motor. Mengurangi penggunaan kendaraan bermotor untuk jarak 100 m, akan membuat emisi yang kita keluarkan berkurang sebesar 1,48 g CO2.
  • Mengurangi pembuangan sampah organik. Tahukah anda, bahwa sampah-sampah organik yang kita buang setiap hari (makanan berserat contohnya), juga berkontribusi pada pelepasan gas rumah kaca ke atmosfir. Setiap pengurangan 10 g sampah organik, kita mengurangi emisi sebesar 3,75 g CO2.
  • Mengurangi penggunaan kertas Sebagai mahasiswa, pelajar atau pekerja kantor atau siapa pun, seringkali kita menggunakan media kertas untuk berbagai keperluan dan keseharian kegiatan kita. Padahal, kalau kita bisa menghemat satu lembar kertas 70 g saja, dengan cara printing bolak-balik, maka, kita bisa mengurangi emisi sebesar 226,8 g CO2.
  • Mengurangi penggunaan Lampu. Seringkali, kita menggunakan lampu di saat-saat tidak perlu. Padahal, kalau kita bisa mematikan lampu paling tidak selama 1 jam, maka bola lampu dengan kekuatan 10 watt saja, sudah bisa menghemat sekitar 9,51 g CO2. (***/data ime)