Peringati Hari Aksi Global, 5 Organisasi Serukan Efisiensi Energi

Peringati Hari Aksi GlobalJakarta (23/09)-Dalam rangka memperingati hari aksi global (Global Day of Action) yang dirayakan di seluruh dunia pada 24 September 2011, lima organisasi yakni WWF-Indonesia, Greenpeace, 350.org, Greeners, dan IESR (Institute for Essential Services Reform) menggelar aksi bersama melawan pemborosan energi melalui “Moving Planet.”

Moving Planet adalah aksi global yang didekasikan untuk membebaskan bumi dari ketergantungan terhadap energi fosil. Ribuan aksi secara bersamaan akan digelar pada 24 September di ratusan negara di seluruh dunia.

Di Indonesia sendiri, beberapa kegiatan “Moving Planet” dipusatkan di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Bali. Salah satunya adalah gerakan 350 jam Indonesia Bersepeda. Mulai 13 hingga 24 September 2011, para pesepeda menggowes sejauh 1000 km melintasi Bali-Yogyakarta-Bandung. Menurut sumber IESR , tiap orang yang melakukan aksi tersebut telah berhasil menghemat 14.764 gram CO2.

Tidak hanya itu, Jumat, 23 September 2011, WWF-Indonesia sebagai salah satu penyelenggara “moving planet” di Indonesia menggekar Diskusi Media dengan tajuk “Hentikan Candu Energi Fosil.” Sementara untuk puncak aksi, akan dipusatkan di depan Gedung Sate, Bandung. Selain masyarakat umum, 28 komunitas sepeda akan bergabung di lokasi tersebut untuk menyambut kedatangan rombongan Indonesia Bersepeda.

Menurut Koordinator Kampanye Moving Planet Wilayah Asia, Rully Prayoga, “Moving Planet” juga digelar di negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, Singapura, Thailand bersama hampir semua negara di Asia Timur dan 192 negara lainnya yang berupaya mengurangi tingkat konsumsi energi fosil menuju penggunaan energi terbarukan.

“Kami berharap Asia bebas energi fosil tahun 2020 dengan perubahan dramatis, progresif, dan revolusioner. Dimulai dari gaya hidup warga negaranya serta aksi kebijakan pemerintahnya,” jelasnya.

Sementara Direktur Program Iklim dan Energi WWF-Indonesia Nyoman Iswarayoga menyatakan, awal tahun 2011, WWF meluncurkan Energy Report yang menyebutkan bahwa di tahun 2050, seluruh kebutuhan energi dunia dapat dipenuhi dari sumber energi terbarukan . Artinya, kebutuhan energi global dapat tercukupi tanpa bahan bakar berdasar minyak bumi, gas alam, batubara, dan nuklir.

“Untuk mencapai target 2050, visi 25% energi terbarukan tanpa nuklir dalam bauran energi nasional hingga 2025 merupakan tahap awal yang harus dilakukan. Pemerintah RI perlu memberikan komitmen yang lebih agresif dan nyata terhadap penyediaan dan pemanfaatan energi terbarukan serta mendorong efisiensi energi dalam kebijakan energi nasional. Kedepan, energi listrik akan menjadi tumpuan untuk pemenuhan kebutuhan energi modern yang lebih bersih di banyak sektor,” imbuhnya.

Pernyataaan serupa juga disampaikan oleh Arif Fiyanto, Team Leader Climate & Energy Campaign dari Greenpeace Southeast Asia – Indonesia, “Solusi mutlak agar Pemerintah RI lepas dari ketergantungan terhadap bahan bakar fosil adalah penghapusan hambatan terhadap pengembangan energi terbarukan, penyusunan regulasi dan legislasi yang mendorong pengembangan energi terbarukan, serta pengalihan subsidi yang selama ini dinikmati oleh bahan bakar fosil kepada energi terbarukan.”

Sementara Syaiful Rochman dari Greeners Indonesia menekankan pentingnya pemerintah RI untuk mengakomodir dan melindungi masyarakat yang telah dan akanmenggunakan energi terbarukan sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari yang lebih ramah lingkungan, contohnya para pesepeda ke tempat mereka beraktifitas.

Seruan untuk pemerintah pun datang dari IESR (Institute for Essential Services Reform), Yesi Maryam. Menurutnya pemerintah harus segera melakukan reformasi subsidi bahan bakar berbasis fosil, mengalihkan anggaran tersebut untuk pengembangan energi yang terbarukan yang lebih bersih serta berkelanjutan, dan harus memastikan agar kelompok masyarakat kurang mampu dan berada di wilayah terpencil memiliki akses mendapatkan bahan bakar.

Siaran Pers : Saatnya Pemerintah Serius Melakukan Reformasi Subsidi Energi

Jakarta, 5 Juli 2011. Kajian Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Global Subsidies Initiative (GSI) menemukan sejumlah fakta yang menunjukkan bahwa subsidi listrik dan BBM dalam lima tahun terakhir di APBN semakin meningkat. Bahkan, jumlahnya lebih besar dari total anggaran yang dialokasikan untuk kesehatan, pendidikan dan jaminan sosial, dan setara dengan kombinasi ketiganya ditambah dengan anggaran untuk pertahanan dan keamanan. Subsidi energi mencapai 15-18 persen dari total realisasi APBN dalam kurun waktu lima tahun terakhir.

Pada tahun 2011, anggaran subsidi BBM, LPG dan listrik mencapai Rp. 137 triliun dan diperkirakan dapat mengalami pembengkakan hingga Rp. 160-170 triliun rupiah, akibat kenaikan harga minyak mentah di pasar internasional yang sudah melebihi asumsi APBN 2011 serta kenaikan volume BBM bersubsidi, ditambah lagi dengan kenaikan konsumsi BBM untuk pembangkit listrik akibat terlambatnya program percepatan PLTU 10 ribu MW. Sedangkan pada tahun 2012, subsidi energi diperkirakan mencapai lebih dari Rp. 180 triliun.

“Pemerintah harus segera melaksanakan upaya reformasi pemberian subsidi energi yang semakin tinggi, seiring dengan kenaikan konsumsi dan harga energi di Indonesia. Reformasi tersebut dapat dilakukan melalui rasionalisasi dan penetapan target penerima manfaat subsidi yang lebih ketat, serta dukungan kebijakan mitigasi untuk mengantisipasi dampak dari reformasi subsidi energi tersebut” kata Fabby Tumiwa dari Institute for Essential Services Reform (IESR).

Selain itu, karena subsidi tidak dibatasi, penerima manfaat subsidi BBM terbesar justru kelompok masyarakat yang mengkonsumsi BBM dalam jumlah banyak, yaitu kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi. Bahkan, kelompok masyarakat dengan penghasilan terendah, tidak menikmati subsidi BBM sama sekali. Fakta ini menyalahi tujuan awal adanya kebijakan subsidi BBM dan listrik.

Kebijakan subsidi BBM dan listrik yang tidak rasional dan salah sasaran mengakibatkan naiknya resiko fiskal APBN.

“Kenaikan subsidi akibat fluktuasi harga minyak dan kenaikan volume bahan bakar mengakibatkan kenaikan defisit anggaran, yang dibarengi dengan kenaikan jumlah utang pemerintah serta biaya utang tersebut. “ kata Fabby Tumiwa.

Dalam jangka panjang, beban fiskal ini harus ditanggung oleh seluruh rakyat Indonesia, termasuk sebagian besar kelompok masyarakat yang hanya menikmati sebagian kecil subsidi BBM.

Kerryn Lang dari GSI menyatakan bahwa reformasi subsidi energi harus disesuaikan dengan kondisi dan situasi di setiap negara. Dalam tahap persiapan maupun implementasinya harus mempertimbangkan sejumlah hal: kajian tentang biaya dan manfaat kebijakan subsidi, dampak penghapusan atau pembatasan subsidi, komunikasi dan konsultasi dengan beragam pemangku kepentingan, serta kebijakan komplementer yang dapat mengurangi dampak negatif dari penghapusan atau pembatasan subsidi.

Menurut Fabby, subsidi energi tetap dibutuhkan di Indonesia untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan energi bagi masyarakat-khususnya masyarakat miskin dan yang hampir miskin. Untuk itu, tambahnya kebijakan reformasi subsidi energi harus dirancang secara hati-hati untuk mengurangi dampaknya terhadap kelompok miskin dan berpendapatan rendah.

Salah satunya dengan melaksanakan kebijakan komplementer seperti bantuan langsung tunai bersyarat (conditional cash transfer), yang didukung dengan data dan informasi yang lebih transparan dan akuntabel, serta melaksanakan program konversi BBM ke LPG, dengan standar keamanan yang tinggi dan distribusi pasokan LPG yang lebih terjamin.

Adapun untuk masyarakat berpendapatan menengah, reformasi subsidi energi perlu disertai dengan pembangunan sarana infrastruktur transportasi publik dan jaminan sosial yang lebih baik.

“Sudah waktunya pemerintah serius membenahi kebijakan subsidi energi di Indonesia. Yang diperlukan saat ini komitmen dan rencana yang jelas untuk membenahi kebijakan subsidi yang carut marut, yang merugikan kepentingan publik secara luas,” kata Fabby.

####

Media Kontak

Yesi Maryam
Telephone: 08159418667
Email: yesi@iesr.or.id
Untuk berbicara dengan Fabby Tumiwa
Telephone: 0811-949-759 atau 021-7992945
Email: fabby@iesr.or.id

Siaran Pers : Tanggungjawab Sosial Perusahaan (CSR) di ASEAN Harus Menekankan Dimensi “Tanggungjawab”, Seru Masyarakat Sipil dan Para Ahli di ASEAN

2 May, 2011: Ribuan komunitas di penjuru ASEAN hidup dalam ancaman yang serius karena perilaku perusahaan yang tidak bertanggungjawab terus berlanjut. Negara turut terlibat baik dalam keikutsertaannya dalam proyek-proyek yang merusak maupun karena sikapnya yang apatis terhadap ancaman ini.

Masyarakat dari komunitas yang terkena dampak di Burma, Cambodia, Indonesia, Malaysia and Thailand membagi pengalaman mereka dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia yang serius seperti pembunuhan, kerja paksa dan penggusuran yang terjadi karena berbagai proyek yang dijalankan oleh perusahaan dalam dan luar negeri. Pengalaman ini diceritakan pada acara Kesaksian Publik tentang Tanggungjawab Sosial Perusahaan dan ASEAN di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Jakarta pada hari ini.

Acara ini diselenggarakan oleh masyarakat sipil dari kawasan Asia Tengggara dalam rangka ASEAN Summit minggu depan. Tanggungjawab Sosial Perusahaan (CSR) adalah salah salah satu studi tematik yang akan dilakukan oleh Komisi Ham ASEAN (The ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights/ AICHR).

Lebih dari 130 orang anggota gerakan masyarakat sipil dari berbagai negara ASEAN terkejut ketika mempelajari berbagai kondisi kesehatan yang serius dan hilangnya sumber kehidipan yang dialami oleh banyak keluarga akibat proyek-proyek yang dilakukan oleh perusahaan dari dalam dan luar wilayah ASEAN. Para peserta pertemuan ini terkesima ketika melihat pengalaman komunitas yang terkena dampak dalam mencari keadilan dan perlindungan melalui pengadilan dan cara lainnya diabaikan.

Saksi yang hadir berasal dari berbagai komunitas terkena dampak dari Xayaburi Dam di Sungai Mekong, Proyek Shwe Gas di Burma, Perkebunan Gula Koh Kong di Cambodia, Proyek Rare Earth di Kuantan dan Pabrik Asahi Kosei di Kuala Lumpur – Malaysia. Saksi dari Indonesia juga menghadirkan seorang remaja yang menceritakan tragedy proyek Lapindo dan kelompok petani yang terkena dampak proyek pertambangan di Maluku dan Sulawesi.

Seorang anggota parlemen Malaysia, Fuziah Salleh berbicara tentang Kuantan Rare Earth Refinary Plan Project (LAMP), menunjukkan bahwa berbagai proyek yang merusak tidak dapat dibenarkan secara ekonomi. Beliau menjelaskan bahwa Proyek Rare Earth yang telah menyebabkan dampak kesehatan dalam jangka panjang, dan juga dampak kerusakan lingkungan, ternyata hanya menciptakan 350 lapangan pekerjaan sementara meningkatkan pendapatan perusahaan hingga berjuta-juta dollar yang juga menikmati “keringanan pajak” selama 12 tahun.

Panel para ahli yang mendengarkan kesaksian ini menekankan bahwa ASEAN memiliki tanggungjawab untuk menghidupkan komitmen yang telah dibuat ASEAN dalam Piagam ASEAN dan perjanjian HAM lainnya untuk melindungi Hak Asasi Manusia dan menjamin pembangunan berkelanjutan.

Para ahli mendesak ASEAN dan Komisi HAM ASEAN (AICHR) untuk secara cepat menyikapi persoalan yang diangkat oleh warga mereka akibat dari ketidakbertanggungjawaban perusaaan, dan menjamin bahwa Asas Hukum ditegakkan dan diutamakan ketika menghadapi kasus-kasus ini. Anggota panel yang hadir adalah Nurkholis (Wakil Ketua Komnasham), Rinno Arna (Pengacara dari Indonesia yang ahli di bidang keadilan sosial dan hak anak), Pengacara Joselito Calivoso (ahli hukum tentang CSR dan masyarakat pedesaan), serta Jerald Joseph (Direktur Eksekutif Dignity Internation).

Acara ini diselenggarakan oleh:

SAPA Task Force on ASEAN and Burma, SAPA Task Force on ASEAN and Human Rights, SAPA Task Force on ASEAN Migrant Worker, SAPA Task Force on Extractive Industry, SAPA Task Force on Freedom of Information, SAPA Working Group on ASEAN, SAPA Working Group on Environment, Altsean-Burma, Asia Indigenous People Pact, Burma Partnership, Focus on the Global South, FORUM-ASIA, IESR, JATAM, KontraS, Migrant Forum in Asia, SEACA, TERRA, Thai-ASEAN Watch, WALHI dan YLBHI.

Kontak lebih lanjut:

Fabby Tumiwa, IESR, +628 1194 9759 (Bahasa & English)
Atnike Sigiro, Forum-Asia, 6281 29 401 766 (Bahasa & English)
Debbie Stothard, Altsean-Burma, +66816861652 and +6285 888610 436 (English)

Siaran Pers : Peluncuran Kampanye Menuju Masyarakat Rendah Karbon : Pengurangan Emisi Karbon Secara Pribadi Membantu Mencegah Memburuknya Perubahan Iklim

Jakarta, 27 Februari 2011-(IESR) Sebagai upaya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dari aktivitas manusia, dalam rangka mencegah meningkatnya pemanasan global yang mengakibatkan memburuknya perubahan iklim, Institute for Essential Services Reform (IESR) pada hari ini memperkenalkan secara perdana Kampanye Menuju Masyarakat Rendah Karbon.

Kampanye ini menitikberatkan kepada penurunan emisi gas rumah kaca dari berbagai aktivitas individu sehari-hari. Gas rumah kaca adalah salah satu emisi Gas Rumah Kaca yang menjadi penyebab meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan iklim.

Untuk membantu setiap individu mengukur emisi gas rumah kaca IESR mengembangkan suatu perangkat bernama Kalkulator Jejak Karbon (KJK), yang telah dikembangkan hingga versi kedua, yang juga diluncurkan pada hari ini.[1]

Dari survey yang dilakukan IESR selama periode April-Desember 2010, berdasarkan data para pengguna Kalkulator Jejak Karbon versi 1 (KJK 1), kelompok mahasiswa dan pekerja domestik merupakan penghasil emisi gas rumah kaca terbesar pertama dan kedua, dibandingkan dengan kelompok pelajar, pegawai, dan ibu/bapak rumah tangga. Adapun penduduk yang berdomisili di propinsi Jawa Barat rata-rata menghasilkan emisi sebesar 12,97 kg CO2ek/orang/hari atau kira-kira 4,57 tonCO2ek/orang/tahun. Hasil ini lebih tinggi dari data yang didapatkan dari pengguna KJK 1 dari Jakarta, Banten, Jawa Barat, Tengah dan Timur.[2]

“Dari hasil survei ini, kami dari IESR berpendapat bahwa emisi gas rumah kaca dari aktivitas individu dapat diturunkan dengan melakukan sejumlah upaya diet karbon yang sederhana, misalnya menggunakan listrik seperlunya, menggunakan sebanyak mungkin kendaraan umum dan kendaraan non-motor, mengurangi konsumsi air minum dalam kemasan, dan lain sebagainya. Masyarakat Indonesia dapat membantu pencapaian masyarakat rendah karbon,” demikian kata Siti Badriyah, Pemangku Program Keadilan Iklim IESR.

Kampanye Masyarakat Rendah Karbon pada dasarnya mengajak para individu untuk melakukan komitmen penurunan emisi gas rumah kaca dari aktivitas sehari-hari. Dengan mengetahui jumlah emisi yang gas rumah kaca yang dihasilkan sehari-hari, diharapkan setiap individu kemudian mau berkomitmen secara sukarela untuk menurunkan emisi gas rumah kacanya.

“Melalui aktivitas ini, kami ingin menunjukkan kepada negara-negara maju, bahwa masyarakat Indonesia juga peduli dan merasa bertanggung jawab untuk memerangi perubahan iklim. Apabila masyarakat Indonesia bersedia melakukan penurunan emisi secara sukarela, maka sudah seharusnya masayarakat di negara-negara maju, yang menjadi penyebab perubahan iklim, melaksanakan komitmen penurunan emisi gas rumah kaca yang lebih besar,” demikian kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Pada akhir 2009, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menyatakan komitmennya kepada dunia bahwa Indonesiaakan melakukan pengurangan emisi sebesar 26% dengan upaya sendiri, dan 41% iika ada bantuan pendanaan internasional, pada tahun 2020. Sebagaimana analisa yang dibuat oleh Bappenas (2010), salah satu sektor yang dapat berkontribusi terhadap penurunan tersebut adalah sektor energi.

Sejumlah provinsi, seperti DKI Jakarta juga mencanangkan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK)-nya sebesar 30%.

“Upaya-upaya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, seperti penggunaan energi secara efisien, mengurangi konsumsi barang secara berlebihan secara positif dapat berkontribusi terhadap target penurunan emisi yang dicanangkan pemerintah baik pusat, maupun Pemda DKI Jakarta, ” tambah Siti Badriyah.

Berbagai komitmen individu yang dibuat dengan bantuan KJK 2 sepanjang Februari hingga November 2011 akan direkam dan dikumpulkan oleh IESR, dan hasilnya akan disampaikan pada saat COP Kerangka Kerja PBB Perubahan Iklim ke-17 di Durban, Afrika Selatan pada Desember 2011.

Jakarta, 28 February 2011

Catatan untuk Editor:

  • Emisi Karbon adalah pengeluaran gas karbon dioksida (CO2) yang menyebabkan efek rumah kaca yang memanaskan bumi karena sifat gas ini yang mengikat panas. Semakin banyak konsentrasinya di atmosfer yang berasal dari aktivitas manusia, maka semahin hangat temperature bumi.
  • Jejak Karbon jumlah gas rumah kaca (CO2) yang dihasilkan individu dari berbagai aktivitas atau kegiatannya. Umumnya dinyatakan dalam satuan ton karbon atau karbon dioksida ekuivalen
  • Kalkulator Jejak Karbon adalah alat bantu bagi seseorang orang untuk mengetahui jumlah jejak karbonnya. Namun, tidak hanya sampai di situ. Setelah mengetahui besaran emisi karbonnya, pengisi juga diminta untuk memberikan komitmen untuk mengurangi besaran emisi yang mereka hasilkan.
  • Kalkulator Jejak Karbon Versi Idiluncurkan pada tahun 2010 yang telah dipakai oleh ribuan orang, dimana dari dari sekitar 1252 pemakainya terekam dan dianalisa oleh IESR.
  • Kalkulator Jejak Karbon Versi II yang diluncurkan pada 2011 menerapkan penghitungan pada aspek aktivitas pengeluaran emisi yang lebih detil dan mengikutsertakan komitmen pengurangan personal bagi pengisi.
  • Kampanye Low Carbon Society/Masyarakat Rendah Karbonadalah kampanye IESR untuk pengurangan emisi gas rumah kaca, khususnya gas rumah kaca(CO2)dari berbagai aktivitas sehari-hari,.

Untuk Informasi lebih lanjut dapat menghubungi:

  1. Cut Rindayu, Staf Komunikasi IESR, Email: rinda@iesr-indonesia.org, No. telepon seluler: +62817823778
  2. Siti Badriyah, Staf Program Perubahan Iklim IESR, E-mail: siti@iesr-indonesia.org, No. telepon seluler: +6281584548966

IESR adalah NGO nirlaba yang yang secara aktif ingin menginspirasi, mendorong dan mendukung perubahan-perubahan kebijakan dan peraturan menuju kearah keadilan pemanfaatan sumber daya alam untuk mendukung pembangunan manusia yang berkelanjutan. Untuk mengetahui profil dan aktivitas IESR dapat berkunjung ke situs IESR: www.iesr.or.id


[1] Alamat Situs Website Kalkulator Jejak Karbon IESR: http://karbonkalkulator.iesr-indonesia.org/

[2] Kategori asal pengguna dibagi dalam provinsi: DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur; dan untuk luar Jawa dikelompokkan dalam kawasan: Sumatra, Kalimantan, dan kawasan lain-lain.

Siaran Pers : Harapan Masih Berlanjut di Cancun

Jakarta, Di saat negosiasi Indonesia dicederai pada Pertemuan Para Pihak (COP-15) dalam Kerangka Kerja PBB atas Konvensi mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) di Copenhagen, ternyata harapan masih berlanjut di COP-16 Cancun, Mexico yang berakhir minggu lalu.

“Setelah Copenhagen, Indonesia masih berdarah pada saat itu karena kegagalan negosiasi. Hilang harapan pada UNFCCC sebagai wadah yang dapat menyelesaikan masalah iklim yang sedang terjadi. Namun, Cancun menjadi titik penting apakah Indonesia akan terus melanjutkan perundingan atau tidak. Ternyata harapan itu masih ada,” ujar Agus Purnomo, Kepala Sekertariat Dewan Nasional Perubahan Iklim, pada Sarasehan Iklim yang diadakan Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) (16/12).

“Bila dibandingkan dengan Copenhagen, COP-16 di Cancun lebih baik. Tentu saja karena mereka menggunakan building blocks dan Bali Road Map yang merupakan langkah-langkah esensial sebagai jalan untuk menghasilkan keputusan yang adil, ambisius, dan mengikat,” ujar Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.

Selain membahas mengenai posisi Indonesia, pada kegiatan ini juga membicarakan poin-poin penting yang dihasilkan di Durban. Masih menurut Agus Purnomo, Cancun menghasilkan keputusan penting. Salah satunya adalah mengenai MRV (Monitoring, Reporting, and Verification) penurunan emisi yang dibedakan dari negara maju dan negara berkembang yang melakukannya secara sukarela.

Keputusan penting yang diambil oleh seluruh pihak pada COP-16 di Cancun adalah mekanisme REDD+ diterima oleh seluruh negara. Sebetulnya Bolivia merupakan satu-satunya negara yang menolak skema REDD+. Namun, melalui permufakatan disepakati bahwa penolakan tersebut dianggap menjadi catatan kaki (footnote) bagi COP-17 yang akan berlangsung di Durban pada tahun 2011.

Pada kegiatan ini, Adianto P. Simamora dari The Jakarta Post juga memberi masukan untuk akses informasi bagi pers yang meliput pertemuan iklim UNFCC, terutama yang baru saja berlangsung di Cancun. Menurutnya, ada perbedaan kemudahan akses informasi dengan COP-15 yang berlangsung tahun lalu di Copenhagen. Di Cancun, mendapatkan informasi dari Delegasi RI cukup sulit. Belum lagi, ada kebijakan satu pintu bagi para delegasi yang akan membuat pernyataan, sehingga cukup sulit bagi wartawan untuk mengetahui siapa saja dari delegasi yang dapat dimintai informasi mengenai isu khusus.

Proses negosiasi yang berlangsung di Cancun, masyarakat juga perlu mengetahui mengenai komitmen pemerintah Indonesia dan kesiapannya dalam merespon perubahan iklim. Terutama di sektor mitigasi dan adaptasi.

Seperti paparan dari Departemen Kelautan dan Perikanan yang menyatakan bahwa sampai pada tahun 2020, terumbu karang di kepulauan Indonesia rentan terhadap pemutihan akibat perubahan iklim. Oleh karena itu, diperlukan adaptasi di sektor kelautan dan perikanan karena merupakan sektor yang rentan.

Perubahan iklim juga dimasukan ke dalam mitigasi bencana di wilayah pesisir dan wilayah laut. Departemen Kelautan dan Perikanan membuat skema Climate Resilient Village (CRV) yang merupakan skema penempatan tempat tinggal warga pesisir yang dapat dengan mudah dipindahkan mengikuti kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim.

Siaran Pers : COP 16 Cancun Harus Menjadi Pijakan untuk Kesepakatan Perubahan Iklim yang Ambisius, Adil, dan Mengikat

Sepertinya tidak realistis untuk berharap COP 16 Cancun menghasilkan kesepakatan kunci untuk mencegah kenaikan suhu permukaan bumi tidak lebih dari 2 derajat Celcius, tetapi cukup realistis untuk berharap agar COP 16 Cancun menjadi momentum untuk membangun kepercayaan negara maju dan berkembang dalam perundingan multilateral perubahan iklim dibawah UNFCCC, serta menjadi pijakan untuk tercapainya kesepakatan yang ambisius, adil dan mengikat pada COP 17 di Afrika Selatan, dengan berdasarkan pada prinsip-prinsip keadilan iklim.

Berbagai kajian ilmiah menunjukkan bahwa kenaikan suhu permukaan bumi sebesar 2 derajat Celcius akan memiliki konsekuensi besar terhadap keseimbangan ekosistem, dan keberlanjutan umat manusia. Selama dua abad lebih, rata-rata permukaan suhu bumi telah naik hingga 1 derajat Celcius, dan apabila tidak ada tindakan drastis dilakukan maka sebelum pertengahan abad ini, kenaikan sebesar 2 derajat Celcius akan tercapai.

Fabby Tumiwa dari IESR menyampaikan, dari hasil analisis atas janji (pledge) penurunan emisi GRK yang disampaikan oleh berbagai negara yang mendukung Copenhagen Accord memberikan indikasi kegagalan untuk mencegah kenaikan suhu permukaan dibawah 2 derajat Celcius.

Sebaliknya diperkirakan kenaikan temperatur sebesar 3,5 derajat Celcius pada akhir abad ini. Adapun negara-negara maju gagal menunjukkan kepemimpinan dan tanggung jawab penurunan emisi. Hanya 2 dari 10 submisi target penurunan negara maju yang dianggap cukup untuk menghindari kenaikan temperatur dibawah 2 derajat Celcius.

Setelah kegagalan COP 15 dalam menghasilkan kesepakatan yang mengikat untuk target penurunan emisi paska Protokol Kyoto, putaran perundingan perubahan iklim dimulai dengan ekspektasi yang relatif rendah. Sebelum COP 16 di Cancun, yang akan berlangsung 29 November – 10 Desember 2010, telah dilakukan sejumlah putaran perundingan persiapan di Bonn (Bonn Climate Conference 1, 2 dan 3), dan Tianjin Climate Talks di China pada bulan Oktober 2010. Hasil Tianjin Climate Talks justru memberikan indikasi bahwa harapan untuk mencapai sebuah kesepakatan yang ambisius, adil, dan mengikat di COP 16 Cancun semakin pudar.

Menurut Fabby Tumiwa, salah satu faktor yang menyebabkan sukarnya perundingan perubahan iklim global memberikan hasil yang diharapkan dan berpihak pada kepentingan negara berkembang adalah posisi Amerika Serikat (AS) dan sejumlah negara maju sekutunya yang mengabaikan nilai-nilai dasar dari UNFCCC, tentang Common but differentiated responsibility (CBDR) dan memaksakan operasionalisasi Copenhagen Accord yang kontroversial.

Pendekatan AS dan sekutunya ini mengabaikan nilai keadilan iklim, karena negara-negara berkembang juga berkewajiban menurunkan emisi nasional mereka, walaupun rata-rata emisi per-kapitanya lebih rendah daripada emisi per kapita di negara-negara maju.

Selain itu, diferensiasi negara maju dan berkembang dalam tanggung jawab penurunan emisi GRK menjadi tidak jelas karena dalam prinsip Copenhagen Accord seluruh negara maju dan berkembang melakukan penurunan emisi secara bersama, padahal dalam konteks UNFCCC, negara maju sebagai penyebab krisis iklim bertanggung jawab melakukan penurunan emisi lebih dulu. Hal ini nantinya akan diikuti oleh negara berkembang setelah mendapatkan bantuan teknologi dan pendanaan.

Menurut IESR, walaupun peluang untuk mencapai kesepakatan yang substansial dalam hal penurunan emisi di COP 16 Cancun, tetapi hasil Cancun tetap penting sebagai dasar untuk membangun kepercayaan antara negara maju dan berkembang untuk mencapai adanya kesepakatan yang ambisius, adil dan mengikat di COP 17 Afrika Selatan tahun 2011.

Salah satu elemen yang penting adalah COP 16 Cancun perlu menyepakati bahwa target 2 derajat Celcius terlalu beresiko untuk keberlanjutan ekosistem, sehingga perlu mengkaji target penurunan emisi global untuk mencapai kenaikan temperatur dibawah 1,5 derajat Celcius. Selain daripada itu, Cancun kiranya dapat menyetujui mandat untuk menyepakati pendekatan pembagian penurunan emisi yang adil antara negara maju dan berkembang, berdasarkan prinsip CBDR, tanggung jawab historis negara maju, dan hak negara berkembang atas pembangunan berkelanjutan.

Dalam konteks posisi Indonesia, IESR mendesak agar posisi Indonesia merefleksikan keadilan iklim, yaitu mendesak negara maju untuk menurunkan emisi GRK sebesar 40% dari tingkat emisi tahun 1990, sebelum 2020; mendesak negara maju agar mewujudkan segera komitmen pendanaan, alih teknologi dan pengembangan kapasitas untuk aksi mitigasi dan adaptasi negara-negara berkembang dalam jangka pendek (fast-track financing, 2012) dan jangka panjang sesuai dengan kewajiban negara maju dalam UNFCCC.

Sebaliknya, Indonesia juga memberikan contoh bagi negara berkembang lainnya untuk menginisiasi terselenggaranya rencana aksi pembangunan rendah emisi (low carbon development action plan), sesuai dengan target penurunan emisi GRK 26% dari business as usual scenario pada tahun 2020, sebagaimana yang telah dicanangkan oleh Presiden SBY, yang dapat diukur, terlaporkan, dan diverifikasi oleh masyarakat sipil dan komunitas internasional.

Untuk Informasi lebih lanjut dapat menghubungi

  1. Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, E-mail: fabby@iesr-indonesia.org, HP: +62811949759
  2. Siti Badriyah, Staf Program Perubahan Iklim IESR, E-mail: siti@iesr-indonesia.org, HP: +6281584548966
  3. Cut Rindayu, Staf Komunikasi, Email: rinda@iesr-indonesia.org, HP: +62817823778

Press Release – Pemerintah dan Perusahaan EI Indonesia diserukan untuk Serius Terapkan EITI

Jakarta, 6 Mei 2010. Pemerintah Indonesia dan Perusahaan EI (Ekstraktif Industri) diserukan untuk serius menerapkan EITI (Extractive Industri Transperency International), menyusul telah ditandatanganinya Peraturan Presiden (PerPres) No 26 Tahun 2010 tentang Transparansi Pendapatan Negara dan Daerah dari Industri Ekstraktif.

Hal ini ditandaskan oleh IESR (Institute for Essential Services Reform) dan PWYP (Publish What You Pay), dalam acara Diskusi Dengan Media: Tantangan PerPres No.26/2010, Kamis, 6 April 2010, di Jakarta, menyusul telah ditandatanganinya PerPres tersebut oleh Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono pada 23 April 2010. Hadir dalam acara Deputi Menko Perekonomian, Ir Muhammad Husen, Priyo Pribadi Sumarno (IMA/ Indonesia Mining Association).

“Ini langkah awal yang baik untuk mendorong transparasi dan akuntabilitas yang lebih luas dalam menegakkan pemberantasan korupsi serta demokratisasi lewat sektor ini. Meski ada keraguan akan implementasinya tapi upaya ini harus dihargai. Kita harapkan segera dikonkretkan,”jelas Direktur IESR, Fabby Tumiwa. Ditambahkannya, diperlukan konsensus serta pembentukan multipihak dari pemerintah, usaha EI, dan masyarakay sipil untuk memastikan keterbukan pelaporan dan pendapatan usaha EI di Indonesia.

Sebagai informasi EITI adalah Inisiatif global yang menuntut keterbukaan usaha Industri Ekstraktif (mineral, gas, minyak, batu bara, dan sejenisnya) untuk melaporkan secara terbuka pendapatan usaha EI-nya kepada publik, begitu juga pemerintah melaporkan pendapatan dari hasil setoran yang terima dari usaha EI. Inisiatif ini telah dilakukan 30 negara di seluruh dunia, dan 10 negara lainnya kini mulai berkomitment mengikuti EITI.

Di Indonesia ditandatanganinya PerPres ini adalah langkah awal Indonesia menerapkan EITI. Artinya, kini perusahaan minyak dan gas bumi atau apa pun yang dihasilkan perut bumi maka harus melaporkan segala hasil pendapatannya yang disetor ke pemerintah secara terbuka kepada publik. Instansi pemerintah yang telah terima pembayaran itu juga mengisi laporan hasil penerimaan tersebut.

Multipihak yang ditunjuk mengawasi proses pelaporan ini terutama dalam me- cross check -an laporan satu dengan lainnya. Sehingga akan jelas di sana baik pendapatan EI dan yang diperoleh (hasil setoran) pemerintah. Hasil cek silang ini kemudian dipublikasikan juga secara terbuka kepada publik.

Sementara Koordinator nasional PWYP Indonesia, Ridaya Laodengkawe menjelaskan, PerPres itu setidaknya bisa mengurai rejim ketertutupan dalam aliran pendapatan Negara dari sektor migas dan tambang. Apalagi 32-35% total penerimaan Negara dalam beberapa tahun terakhir berasal dari sektor strategis ini. Sektor ini juga selalu menjadi sumber polemik antara pemerintah puat dan pemerintah daerah, terutama tentang besaran dana bagi hasil yang merupakan salah satu elemen kunci dalam desentralisasi.

“Terdapat 7000-an kuasa pertambangan telah dikeluarkan pemerintah daerah selama Sembilan tahun masa desentralisasi, tanpa kejelasan beberapa manfaat yang telah diberikan. Kerusakan ekologis lebih menonjol sebagai akibat dari ribuan KP yang dikeluarkan tanpa kesiapan tata kelola yang baik,” jelasna.

Baik IESR dan PWYP meyakini bahwa pelaksanaan EITI secara konsukuen akan memperbaiki tatakelola aliran pendapatan Negara dari EI tetapi juga akan meningkatkan tata kelola EI secara keseluruhan.

Sedangkan Ketua IMA, Priyo Pribadi Sumarno mengatakan bahwa pihaknya telah mencoba mesosialisasikan keberadaan EITI ke perusahaan-perusahaan tambang, gas dan minyak Indonesia. Pihkanya juga menyambut baik PerPres ini.

“Sebenarnya beberapa perusahaan tambang telah melakukan pelaporan ini tiap tahunnya. Usaha EI yang menyatakan siap menjalankan EITI sementara ini hanya dari Medco dan Rio Tinto. Masyarakat akan diberikan informasi seluasnya, apakah mereka akan mendapatkan hal sepadan atau tidak,” jelasnya.

Sementara Ir Muhammad Husen menjelaskan saat ini pihaknya tengah mendorong agar Per-Pres dikonkretkan dalam implementasi yang jelas.

“Prosesnya masih panjang untuk bisa sampai ke UU. Kita fokuskan saja bagaimana menjalankan ini dengan baik. Terutama menyertakan multipihak baik dari pemerintah, usaha EI dan juga masyarakat sipil yang diwakili LSM. Saya masih bingung LSM mana yang mesti disertakan untuk masuk dalam multipihak seperti yang ditentukan EITI,”jelasnya.

Tidak tegas dan tidak ada sanksi

Sedangkan Ridaya menyayangkan Per-Pres yang ada masih dikemas dalam bahasa hukum yang halus atau tidak tegas.

“Kami sebenarnya menginginkan bahasa hukum yang tegas. Misalnya, memerintahkan kepada Pemerintah dan Perusahaan untuk menyerahkan laporan….” Namun dalam pasal 14 PerPres pemerintah memilih meformulasikan dengan tidak tegas.

Demikian juga tentang keterlibatan para pihak (multistakeholder steering group/MSG). PerPres mengatur MSG dengan sistem dua kamar (pasal 4): Tim Pengarah dan Tim Pelaksana. Konsukunesi dari sistem dua kamar ini adalah rantai koordinasi yang lebih panjang daripada yang dibayangkan oleh EITI (satu kamar).

PerPres juga tidak menyatakan benchmark atau jenis data minimal yang harus dilaporkan secara eksplisit. Di satu sisi ketiadaan benchmark dapat sebagai peluang untuk memperluas lingkup pelaporan, namun di sisi lain dapat juga bearti memainkan kekuasaannya.

Kekhawatiiran ini, meskipun diharapkan tidak terjadi, namun tetap ditemukan komposisi Tim Pelaksana (pasal 10) yang tidak seimbang dan dalam PerPres ini tidak diatur tentang voting block mechanism (pengambilan keputusan berdasarkan perwakilan unsur), sehingga kelak ada keputusan yang adil.

PerPres ini juga disayangkan tidak menegaskan adanya sanksi bagi yang tidak membuat pelaporan tegas kepada publik. Hal ini diakui Husen sebagai kelemahan PerPres.

“Tidak ada hitam di atas putihnya. Jadi memang sanksi moral saja. Tapi kunci dari keberhasilan implementasi EITI lewat PerPres ini adalah komitment semua pihak. Jika salah satunya tidak menjalankan, ini jutsru menurunkan citra kesungguhan kita yang ingin terbuka terhadap pelaporan pendapatan dan penerimaan pendapatan EI yang ada,”tandas Husen.

Nomor Kontak:

Ridaya Laodengkowe (Koordinator Nasional): 0812 803 7964
Email- ridaya.lon@gmail.com
Fabby Tumiwa (Direktur IESR): 0811 949 759
Email: fabby@iesr-indonesia.org

Pengentasan Kemiskinan Energi Membutuhkan Perubahan Cara Pandang dan Reformasi Program di Sektor Energi

IESR, Jakarta- Sungguh suatu keadaan yang memprihatinkan, di abad ke-21 ini masih ada jutaan orang yang hidup tanpa akses listrik atau pun bahan bakar untuk kebutuhan memasak sehari-hari. Menurut Biro Pusat Statistik Indonesia, sekitar 22,19 juta warga di pedesaan—yang merupakan 19% dari total penduduk—hidup di bawah garis kemiskinan.

Dengan menggunakan acuan yang berbeda, data Bank Dunia mengungkapkan sekitar 60 persen penduduk Indonesia memiliki pendapatan dibawah US$ 2 per hari. Pendapatan rendah, membuat masyarakat miskin mendapatkan jasa energi yan aman, layak dan berkelanjutan.

Penghapusan kemiskinan jelas tidak akan dapat terlaksana tanpa meningkatkan akses terhadap jasa energi. Kenyataan ini membuat ketersediaan energi bagi si miskin perlu dicapai jika ingin mencapai Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs). Ketersediaan dan akses energy merupakan pra-kondisi dasar untuk membantu tercapainya delapan Tujuan Pembangunan Milenium.

Di Indonesia, kemiskinan energi dapat dilihat dari tingkat rasio elektrifikasi dan ketersediaan dan akses bahan bakar modern untuk memasak. Pada tahun 2008, tingkat elektrifikasi di Indonesia baru mencapai 64% sementara hanya 60% desa-desa di Indonesia yang dialiri listrik (DESDM, 2008). International Energy Agency (IEA) memperkirakan lebih dari 80,1 juta penduduk Indonesia belum memiliki akses tenaga listrik, dan jutaan orang bergantung pada biomassa tradisional untuk memasak, yang mengakibatkan
resiko kesehatan.

“Kemiskinan energi di Indonesia merupakan realita, tetapi seringkali luput dari perhatian dan diabaikan,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR. Kajian IESR yang dilakukan pada tahun 2008 menunjukkan bahwa berbagai kebijakan dan program di bidang energi yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah, tidak secara spesifik ditujukan untuk mengatasi kemiskinan energi, bahkan karena miskin persiapan, program ini alih-alih mengorbankan si miskin,” imbuhnya.

Kebutuhan energi dasar bagi masyarakat desa dan perkotaan membutuhkan portfolio energi yang beragam dan mewakili kondisi ekonomi, sosial, dan sumber daya alam dari suatu daerah. Kajian IESR menunjukkan energi terbarukan seperti energi hidro, matahari, panas bumi, angin, dan bio-energi memiliki peranan penting dalam mengatasi kemiskinan energi di tanah air.

Dalam studinya di tahun 2010, IESR telah melakukan studi tentang model terbaik pengembangan energi berbasis energi setempat. Tujuan studi ini adalah untuk melihat bagaimana pengembangan energy terbarukan di tingkat lokal, dan kontribusi akses kepada energi, dapat meningkatkan sosialekonomi masyarakat setempat.

Kondisi ini nantinya diharapkan dapat memacu tercapainya tujuan pengurangan kemiskinan. Dua lokasi yang menjadi obyek kajian adalah Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di Desa Cipta Gelar dan Desa Cibuluh, Jawa Barat.

Penelitian di kedua desa ini memperlihatkan bagaimana peran energi dalam peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat. Dari kedua desa, akses terhadap penerangan—terutama pada malam hari—telah memudahkan anak-anak belajar setelah matahari terbenam. Kondisi ini tentu saja selaras dengan meningkatnya mutu pendidikan anak usia sekolah.

Pasokan listrik dari PLTMH juga telah sukses meningkatkan akses masyarakat kedua desa pada informasi. Masyarakat sudah dapat menikmati radio dan tayangan televisi. Bahkan, di Desa Ciptagelar, masyarakat sudah dapat mengakses internet. Sukses lain yang mengikuti adalah peningkatan ekonomi yang didapat dari pembangunan pabrik tahu di Desa Cibuluh.

Kondisi di atas membuktikan peran energi listrik yang dihasilkan PLTMH dapat meningkatkan sosial ekonomi masyarakat. Apabila peran listrik ini ditingkatkan, bukan tidak mungkin bahwa peningkatan akses terhadap energi seperti listrik, dapat membantu masyarakat setempat untuk mengentaskan kemiskinan. Pada akhirnya, peranan energi akan dapat mendukung masyarakat setempat untuk memerangi kemiskinan.

Dari beberapa studi pembangunan pembangkit yang bersumber pada energi terbarukan, IESR menyimpulkan beberapa kunci keberhasilan sebuah kegiatan energi terbarukan skala kecil, antara lain:

  1. Keterlibatan dan rasa kepemilikan masyarakat yang tinggi terhadap pembangkit energi terbarukan.
  2. Lewat peran aktif masyarakat, menjadikan kegiatan energi terbarukan berjalan lebih lama dan berkelanjutan.
  3. Adanya pemberdayaan masyarakat lewat peningkatan kapasitas.
  4. Peran pihak lain dalam membina masyarakat dan sumber pendanaan (LSM lokal, Pemerintah lokal, dan Donor).

Studi di atas memberikan gambaran mengenai bagaimana kegiatan penyediaan energi perdesaan seharusnya dikembangkan.

“Proyek pemerintah seringkali gagal menjamin penyediaan energi lokal secara berkelanjutan karena pengembangan institusi lokal, rasa kepemilikan dan peran serta masyarakat diabaikan. Berbagai faktor ini sangat penting untuk menjamin terwujudnya desa mandiri energi,” kata Imelda Rambitan, koordinator studi ini.

Pengentasan kemiskinan energi membutuhkan sejumlah prasyarat: pengakuan terhadap hak energi masyarakat, keinginan politik yang kuat dari pemerintah, target dan rencana strategi penanggulangan yang rinci dan spesifik, dukungan pendanaan jangka panjang dan keterlibatan komunitas lokal dalam implementasinya.

Fabby menyampaikan bahwa seluruh pendekatan penyediaan energi terbarukan dan listrik perdesaan yang berbasis pada system proyek dan anggaran tahunan saat ini harus berubah, sehingga memberikan hasil yang berkelanjutan dan dampak jangka panjang. Selain itu diperlukan integrasi dengan sector-sektor pembangunan lainnya. “Program energi perdesaan harus dilakuan secara tailor made, sesuai dengan kondisi lokal,” kata Fabby Tumiwa.

IESR berharap agar studi ini dapat berkontribusi bagi program-program pengembangan energi terbarukan di perdesaan dan wilayah terpencil yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, swasta, dan organisasi non-pemerintah.

Untuk Informasi lebih lanjut dapat menghubungi:
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR
Tel: 0811949759 Email: fabby@iesr-indonesia.org
Henrietta Imelda
Tel: 021-7992945 Email: ime@iesr-indonesia.org