IESR: Indonesia Butuh Paket Kebijakan Komprehensif untuk Transisi Energi

Jakarta, 27 Juni 2023 – Urgensi untuk mengubah sistem energi menjadi lebih bersih, lebih berkelanjutan menjadi semakin penting, seperti yang digarisbawahi oleh laporan sintesis IPCC, yang menyatakan bahwa suhu global telah meningkat 1,1 derajat Celcius. Energi sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi telah menjadi faktor kunci dalam kegiatan ekonomi sejak awal penambangan mineral fosil. Namun, peralihan ke sistem energi yang lebih bersih membawa konsekuensi penurunan permintaan batu bara, yang menjadi ancaman serius bagi daerah yang sangat bergantung pada ekonomi batu bara.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam diskusi panel ASEAN Sustainable Energy Finance pada Selasa, 27 Juni 2023, menekankan situasi di beberapa provinsi di Indonesia yang perlu mempertimbangkan aliran ekonomi alternatif, sebagai pendapatan asli daerah mereka saat ini berasal dari kegiatan pertambangan batubara.

“Beberapa provinsi perlu kita perhatikan seperti Kalimantan Timur yang memproduksi 40% batubara Indonesia, dan Sumatera Selatan yang memproduksi 15%. Kita perlu membangun kapasitas lokal untuk menghasilkan pendapatan dari sektor selain batu bara,” kata Fabby.

Fabby menambahkan, pemerintah perlu menyiapkan paket pembiayaan transisi yang komprehensif. Pendanaan harus mencakup tidak hanya biaya teknis untuk pensiunnya armada batubara, pengembangan energi terbarukan, peremajaan jaringan, tetapi juga mempersiapkan masyarakat, terutama mereka yang bekerja di industri pertambangan batubara, untuk beradaptasi dengan pasar tenaga kerja baru. Ini termasuk pelatihan ulang untuk menyelaraskan keterampilan mereka dengan kebutuhan pasar.

“Pemerintah pusat harus memberikan bantuan khusus bagi daerah yang sangat bergantung pada ekonomi batubara,” tegas Fabby.

Eunjoo Park-Minc, Penasihat Senior Lembaga Keuangan Asia Tenggara dari Financial Futures Center (FFC), menyetujui peran penting pemerintah selama masa transisi, terutama dalam merancang kerangka kebijakan yang mendukung yang memungkinkan sektor swasta untuk berpartisipasi.

“Peran investor dalam masa transisi ini adalah mengembangkan mekanisme pembiayaan yang inovatif. Untuk membuatnya lebih katalitik, kita membutuhkan kerangka kebijakan yang mendukung untuk membuatnya bekerja,”katanya.

Selain itu, Eunjoo menunjukkan perlunya kerjasama internasional, karena sebagian besar proyek (transisi energi) berlangsung di negara berkembang sedangkan pembiayaan terutama berasal dari negara maju.

Asian Development Bank (ADB) sebagai salah satu bank multilateral yang mendanai transisi energi menekankan pentingnya aspek keadilan. Hal ini dijelaskan oleh Veronica Joffre, Senior Gender and Social Development Specialist di ADB.

“Salah satu aspek ETM (Energy Transition Mechanisms) adalah keadilan. Hal ini berarti potensi dampak sosial harus dikaji mendalam dan dikelola, termasuk ketenagakerjaan, rantai pasok, dan lingkungan,” kata Veronica.

Dia menambahkan bahwa untuk mencapai emisi net-zero adalah jalan untuk masa depan, untuk itu transisi menuju kesana harus dirancang secara sadar.

Akademi.transisienergi.id: Wadah Pembelajaran Isu Transisi Energi dan Perubahan Iklim

press release

Jakarta, 23 Juni 2023 – Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan platform Akademi Transisi Energi yang bisa diakses melalui laman akademi.transisienergi.id. Platform tersebut dapat digunakan sebagai wadah pembelajaran isu transisi energi dan perubahan iklim. Lahirnya platform ini tidak lepas dari perkembangan frasa transisi energi yang semakin populer dan kerap digunakan dalam ruang publik. 

IESR memandang transisi energi sebagai proses peralihan penggunaan energi dari berbasis fosil menjadi sumber energi berbasis rendah karbon dan terbarukan adalah suatu proses yang tak terelakkan. Transisi energi telah menjadi upaya global untuk menurunkan emisi karbon yang dihasilkan dari sistem energi padat fosil yang  menjadi salah satu penyebab utama naiknya rata-rata suhu global mencapai 1,1℃ pada tahun 2011-2020 dibandingkan pada 1850-1900, menurut laporan IPCC. 

Namun, IESR mengamati bahwa tingginya penjangkauan frasa transisi energi kurang dibarengi dengan ketersediaan literatur, informasi, maupun wadah pembelajaran bagi masyarakat. Padahal, ketersediaan akses pengetahuan dan informasi yang luas terhadap transisi energi maupun krisis iklim dapat menjadi kekuatan bagi masyarakat untuk melakukan aksi-aksi yang mendorong lebih banyak kebijakan yang mempercepat pelaksanaan transisi energi dan mendukung pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Berdasarkan survei internal IESR, kesulitan untuk menggali informasi ini khususnya dirasakan kalangan seperti wartawan dan akademisi yang secara reguler harus membuat tulisan mengenai perkembangan transisi energi dan isu-isu ikutannya. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) menyatakan bahwa akademi transisi energi dapat menjadi sarana masyarakat berpartisipasi dalam transisi energi dengan menambah wawasan dan kapasitas. 

“Salah satu alasan kami mengembangkan akademi transisi energi karena kami menginginkan no one left behind dalam proses ini. Bahwa masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke bisa mendapatkan kesempatan untuk membangun, mengisi, dan berpartisipasi aktif dalam proses transisi yang terjadi,” kata Fabby.

Irwan Sarifudin, Koordinator Clean Energy Hub menegaskan, menghadirkan pembelajaran yang dapat diakses dengan mudah, platform Akademi Transisi Energi berusaha menjadi jawaban bagi keterbatasan informasi transisi energi dengan komposisi yang  terdiri dari kelas akademi, forum, dan visualisasi data. 

“Pada peluncuran tahap satu, terdapat tiga kelas pertama yang dirilis, yaitu Dasar-Dasar Transisi Energi, Pengenalan Peta Jalan Transisi Energi di Indonesia, dan Pelatihan PLTS Atap. Ke depannya, akan ada kelas-kelas yang mengulas aspek teknologi, ekonomi, transportasi, industri serta kelas spesifik target pengguna seperti kelas jurnalistik  yang akan dirilis,” terang Irwan.

Irwan memaparkan, peserta dapat memilih tingkat kompetensi, mulai dari kelas pemula, kelas menengah, sampai kelas lanjutan (advanced), dengan video pembelajaran terbaru yang mudah untuk dipelajari. Fasilitas yang akan didapatkan peserta meliputi handbook online dan video pembelajaran. Irwan menambahkan peserta akan mendapatkan sertifikat jika menyelesaikan kelas pembelajarannya. Metode pembelajaran yang diusung bersifat pembelajaran asinkronus (asynchronous learning) yang memungkinkan peserta akademi mengatur waktu belajarnya secara mandiri sehingga kelas bersifat lebih fleksibel dan efisien.

Dalam proses pengembangannya, IESR menggandeng kalangan akademis untuk terlibat dalam penyusunan modul dan review bahan pembelajarannya agar sesuai dengan kaidah pembelajaran yang berlaku di Indonesia. Sebelum Akademi Transisi Energi, IESR telah meluncurkan platform transisienergi.id yang merupakan pusat informasi dan visualisasi data tentang transisi energi pada tahun 2020. Platform transisienergi.id telah diakses oleh  sekitar 32.104 pengunjung dalam sekitar setahun terakhir. ***

Langkah Awal untuk Capai Ketahanan Energi Terbarukan di ASEAN

Jakarta, 13 Juni 2023 – Asia Tenggara merupakan suatu kawasan dengan pertumbuhan ekonomi dan permintaan energi terbesar. Pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan pertubuhan permintaan energi di kawasan ini diproyeksikan akan terus naik di tahun-tahun mendatang. Jika tidak diantisipasi dengan penggunaan sumber energi ramah lingkungan, pertumbuhan ekonomi dan permintaan energi ini akan menjadi pokok masalah naiknya emisi gas rumah kaca (GRK) di kawasan ASEAN.

Dalam webinar bertajuk “Towards a Decarbonized ASEAN: Unlocking the Potential of Renewables to Advance ASEAN Interconnectivity” Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform menyatakan bahwa ASEAN memiliki peluang untuk mendorong penciptaan ekosistem industri energi terbarukan melalui kerjasama jaringan interkoneksi regional ASEAN Power Grid (APG).

ASEAN power grid bisa menjadi salah satu infrastruktur pendukung untuk mempercepat pemanfaatan energi terbarukan di negara ASEAN sembari menunggu pangsa pasarnya tumbuh. Negara ASEAN bisa mendorong kerjasama rantai pasokan teknologi energi terbarukan, khususnya teknologi sel modul surya,” katanya.

Fabby menambahkan bahwa Indonesia sebagai pemegang Keketuaan ASEAN tahun ini memiliki peluang untuk mendorong inisiatif tersebut dan mendorong transisi industri berbasis bahan bakar fosil menuju energi terbarukan. Transformasi industri yang lebih hijau diyakini akan membawa efek ikutan berupa terciptanya lapangan kerja hijau di masa mendatang.

Senada dengan Fabby, Yeni Gusrini, Sub Koordinator Program Gatrik Kementerian ESDM menyatakan bahwa pada pengembangan fase pertama, ASEAN Power Grid telah berhasil mentransfer listrik sebesar 100 MW dari Laos ke Singapura. 

“Pengembangan APG fase pertama telah berhasil menghubungkan Laos – Thailand – Malaysia – Singapura. Ke depannya, APG akan menjadi kontributor pertumbuhan ekonomi yang memastikan kecukupan energi di seluruh wilayah ASEAN,” tambah Yeni.

Indra Overland, Head of Center for Energy Research, Norwegian Institute of International Affairs, mengungkapkan penting bagi negara-negara ASEAN untuk mulai memikirkan strategi peningkatan energi terbarukan di dalam negeri dan di kawasan.

“Kita dapat mencontoh Vietnam yang berhasil menambahkan kapasitas energi terbarukannya secara masif dalam  satu  dekade ke belakang. Strategi seperti adanya kerangka kebijakan yang mendukung pengembangan energi terbarukan termasuk perpajakan dan kemudahan pengurusan perizinan sangat berpengaruh pada minat investor untuk berinvestasi pada pengembangan energi terbarukan di suatu wilayah,” katanya.

Ditambahkan oleh Overland, salah satu indikator suatu negara memiliki implementasi kebijakan yang baik adalah saat sektor energi terbarukan memiliki investor yang berlimpah.

Faktor finansial yang menjadi salah satu faktor penghambat penetrasi energi terbarukan dalam jaringan diakui oleh Zulfikar Yurnaidi, Energy Modelling and Policy Planning Manager, ASEAN Centre for Energy. Dirinya mengatakan bahwa salah satu fokus ASEAN 2021 – 2025 adalah untuk membangun konektivitas dan mengintegrasikan pasar regional. 

“Penetrasi energi terbarukan harus terlihat dari penambahan kapasitas pembangkitannya. Untuk mendukung itu peremajaan jaringan harus dilakukan untuk menjaga stabilitas, fleksibilitas, dan ketangguhan jaringan. Hal ini semua membutuhkan investasi yang tidak kecil, dan anggaran pemerintah saat ini tidak cukup untuk membiayai semua itu, maka diperlukan peran investor swasta disini,” jelas Zulfikar.

Keberadaan ASEAN Power Grid akan membawa dampak sosial ekonomi yang panjang. Harapannya listrik yang diperjualbelikan adalah listrik bersih yang dihasilkan pembangkit energi terbarukan. Maka hal ini jelas berpengaruh pada keberadaan pembangkit fosil yang masih cukup banyak di kawasan ASEAN.

Ahmad Ashov Birry, Direktur Program Trend Asia, mencontohkan Indonesia masih memiliki setumpuk pekerjaan rumah terkait pembangkit listrik ini. Mulai dari rencana pensiun dini pembangkit listrik berbasis fosil seperti PLTU batubara hingga pembangunan pembangkit baru berbasis energi terbarukan. 

“Dalam rangkaian proses ini (penghentian pembangkit energi fosil dan pembangunan pembangkit baru berbasis energi terbarukan, red), masyarakat perlu dilibatkan, supaya dapat mengantisipasi dampak yang timbul dari masing-masing tahapan. Sehingga transisi (energi, red) yang terjadi adalah (transisi, red) yang berkeadilan, membuat kehidupan sejahtera dan makmur,” jelasnya.

Mengenalkan Serba-Serbi PLTS Atap pada Siswa SMK Negeri 7 Semarang

Semarang, 6 Juni 2023 – Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Tengah mengadakan pelatihan teknis pembangunan dan pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia di bidang ketenagalistrikan, energi baru dan terbarukan, konservasi energi, khususnya untuk instalasi pemasangan PLTS atap.  Pelatihan PLTS atap diikuti oleh 30 perwakilan siswa-siswi kelas 12 (dua belas) Program Studi Teknik Ketenagalistrikan, SMK Negeri 7 Semarang.

Kepala SMK Negeri 7 Semarang, Haris Wahyudi, menyambut baik inisiatif Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah ini dan berpendapat bahwa pelatihan PLTS ini merupakan keterampilan yang tepat untuk siswa-siswanya. 

“Pelatihan ini adalah hal yang sangat tepat untuk bekal peserta didik kita, baik yang akan magang kerja maupun menghadapi dunia kerja. Kompetensi ini sangat diperlukan dan tepat sekali dengan tren saat ini. Kami bersyukur dan berterima kasih diberikan kesempatan atas terselenggaranya kegiatan ini di SMK Negeri 7 Semarang,” katanya.

Haris menambahkan bahwa pihaknya berharap pelatihan ini dapat memotivasi dan bermanfaat, sehingga tingginya peluang kerja PLTS atap di masa mendatang bisa diisi oleh anak-anak dengan keahlian dan bekal yang baik.

Kegiatan pelatihan PLTS atap ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah melalui Dinas ESDM untuk meningkatkan pengetahuan dan keahlian generasi muda, agar mampu untuk ikut andil dalam menghadapi transisi energi. 

Boedyo Dharmawan, Plt. Kepala Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah dalam sambutannya mengatakan bahwa Jawa Tengah memiliki potensi energi baru dan terbarukan (EBT) yang cukup banyak dan melimpah, praktik-praktik pemanfaatan EBT sudah banyak dibangun dan dimanfaatkan oleh masyarakat Jawa Tengah. Dia berharap generasi-generasi muda mampu memahami dan siap menghadapi perubahan-perubahan transisi energi yang terus terjadi saat ini.

“Tiga puluh lima kab/kota di Provinsi Jawa Tengah memiliki potensi energi PLTS yang begitu banyak, dan kedepannya kita akan berangsur-angsur meninggalkan energi fosil karena ketersediaannya yang terus berkurang, ini adalah sebuah keniscayaan, kita perlu bersiap diri dan siap menghadapinya,” kata Dharmawan. 

“Harapannya dengan adanya pelatihan PLTS ini, adik-adik bisa membangun dan merawat dengan baik pengelolaan PLTS. Karena jika kita hanya terus mendorong dan masifnya pembangunan energi solar, tetapi pemeliharaan dan perawatannya kurang, kedepannya ini bisa menjadi kesempatan dan peluang kerja bagi adik-adik di masa mendatang,” lanjutnya

Selain itu, Darmawan juga berharap agar program-program EBT dapat didukung dari semua pihak termasuk lingkungan pendidikan di Provinsi Jawa Tengah.

“Kami sangat berharap dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan untuk mendorong program-program pengembangan energi terbarukan, sehingga siswa-siswi SMK Negeri di Jawa Tengah siap menghadapi konversi energi di masa mendatang,” imbuhnya

Rizqi M Prasetyo, staf Program Regional Jawa Tengah, Akses Energi Berkelanjutan, Institute for Essential Services Reform (IESR) berpartisipasi menjadi salah satu pembicara dalam kegiatan pelatihan teknis PLTS atap, dengan tema “The Green Superheroes: Solar Team is Saving the Planet!”. Pemberian materi diawali dengan kuis peluang kerja PLTS di masa mendatang, yang diikuti dengan antusias oleh peserta.  

“Materi yang disampaikan jelas, cara penyampaiannya lebih seru, jadi kita gak bosen mendengarkan, diselingi kuis lewat HP sehingga apa yang diberikan mudah dimengerti, karena cara penyampaiannya yang enak gitu,” kata Aditya Arya Permata, salah satu siswa kelas 12 SMK Negeri 7 Semarang.

Rizqi juga memberikan gambaran-gambaran bagaimana kondisi iklim dan lapangan pekerjaan di masa sekarang dan masa mendatang. Dirinya berharap peserta pelatihan dapat melek dan memiliki kesadaran yang tinggi bahwa pengembangan energi terbarukan, khususnya energi surya, dapat membuka lapangan pekerjaan baru yang ramah lingkungan. 

“Kami berharap dengan adanya pelatihan PLTS di SMK ini dapat mendorong dan memotivasi generasi muda menjadi generasi yang sadar lingkungan dan paham pentingnya transisi energi, sehingga kedepannya mampu berkontribusi, berinovasi, serta memimpin proses transformasi ekonomi rendah karbon melalui energi surya,” ungkap Rizqi.

Selain IESR, materi pelatihan juga disampaikan oleh Dinas ESDM Provinsi dan PPSDM EBTKE. Pelatihan ini berlangsung dari 6 – 8 Juni 2023 dengan materi meliputi Kebijakan dan Pengembangan PLTS atap di Jawa Tengah, Regulasi dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) PLTS, Sistem dan Komponen PLTS dan diakhiri dengan praktik pemasangan instalasi PLTS atap.

Berbagai Opsi Intervensi untuk Kurangi Emisi Sektor Energi

Jakarta, 30 Mei 2023 – Mentransformasi sektor ketenagalistrikan menjadi sistem energi berbasis energi bersih yang rendah karbon menjadi kebutuhan mutlak. Salah satunya untuk mengejar target penurunan emisi demi menjaga kenaikan rata-rata suhu global untuk  berada pada level 1,5. Disebutkan dalam IPCC AR6 Synthesis Report bahwa sejak tahun 2011 – 2020, rata-rata suhu global telah mengalami kenaikan sebesar 1,1, di tengah berbagai aktivitas manusia yang terus menghasilkan emisi. Sektor energi menjadi salah satu kontributor terbesar emisi di Indonesia setelah kehutanan dan penggunaan lahan. Rencana pengembangan pembangkit energi berbasis fosil menjadi ganjalan dalam upaya pengurangan emisi dari sektor ketenagalistrikan.

Indonesia menduduki peringkat tiga besar sebagai negara dengan proyek perencanaan PLTU setelah Cina dan India. Sebanyak 13,8 GW PLTU dengan berbagai status pengerjaan telah masuk dalam dokumen RUPTL (Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik) PLN 2021 – 2030.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam peluncuran laporan dan diskusi publik ‘Delivering Power Sector Transition’ mengatakan bahwa salah satu penyebab naiknya rata-rata temperatur global adalah pembakaran bahan bakar berbasis fosil. 

“Maka, mengurangi kapasitas batubara dalam sistem ketenagalistrikan menjadi salah satu tindakan kunci dalam upaya mencapai target Persetujuan Paris, yakni menjaga kenaikan suhu global pada level 1,5 derajat Celsius,” katanya. 

Dalam konteks Indonesia, isu komersial menjadi salah satu faktor pemberat penghentian operasi PLTU batubara. Disampaikan Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal Energi Baru dan Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian ESDM, bahwa penghentian operasi PLTU batubara masih memerlukan dorongan bersama dari semua pihak.

“Kita masih harus berjuang untuk hal ini (penghentian operasi PLTU batubara dan penambahan kapasitas energi terbarukan). Karena, secara regulasi mereka tidak menjadi satu paket kesatuan (terpisah). Namun saya ingin mendorong bahwa prosesnya harus dilakukan dalam satu tarikan nafas untuk keduanya,” kata Dadan. 

IESR memandang penghentian operasi PLTU batubara di Indonesia merupakan hal yang penting, sebab sebagai salah satu penerima komitmen pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP), Indonesia memiliki kewajiban untuk mencapai puncak emisi sebesar 290 juta ton CO2 pada 2030, dan menaikkan bauran energi terbarukan sebanyak 34% pada 2030. 

“Untuk mengejar target Persetujuan Paris, target yang ditentukan oleh JETP sebenarnya belum cukup. Namun hal ini dapat menjadi titik awal percepatan pengembangan energi terbarukan di Indonesia,” jelas Raditya Wiranegara, Peneliti Senior IESR yang tergabung dalam tim penulis kajian.

Raditya menambahkan dalam laporan Delivering Power Sector Transition, IESR menemukan bahwa dari 13,8 GW PLTU yang direncanakan pembangunannya dalam RUPTL 2021-2030 sebanyak 2,9 GW dapat dibatalkan,  10,6 GW perlu diakhiri operasinya secara dini, dan 220 MW  dipertimbangkan untuk diganti dengan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan seperti biomassa. 

Akbar Bagaskara, peneliti bidang ketenagalistrikan IESR menambahkan bahwa penurunan emisi akan berbanding lurus dengan biaya sistem ketenagalistrikan.

“Pembatalan pembangunan PLTU yang dibarengi dengan pensiun dini untuk PLTU existing akan menjadi skenario terbaik untuk penurunan emisi. Pembatalan PLTU yang berada di dalam pipeline akan mengurangi emisi dengan signifikan. Namun hal ini dirasa masih kurang optimal untuk mengejar target JETP pada tahun 2030,” tambahnya. 

IESR menghitung untuk mengejar target JETP setidaknya sebanyak 8,6 GW PLTU batubara harus dipensiunkan sebelum 2030 diikuti dengan pengakhiran operasi 7,6 GW PLTU sebelum 2040.

Gigih Udi Utomo, Direktur Konservasi Energi Kementerian ESDM, menanggapi bahwa penghentian operasi PLTU dan pembatalan PLTU perlu dilihat sebagai dua hal yang berbeda.

“Jika kita bicara mengenai early retirement road map (peta jalan pengakhiran operasi PLTU secara dini-red), kita mengacu dengan amanat dari Perpres 112/2022. Early retirement itu untuk PLTU yang sudah beroperasi, sementara topik 13,8 GW ini merupakan PLTU yang belum beroperasi dan telah ada di RUPTL sehingga masing-masing opsi dan skenario yang ditawarkan dalam kajian perlu dieksplor lagi dan perlu berdialog dengan stakeholder terkait,” jelasnya.

Pengembang listrik swasta (Independent Power Producers) sebagai tandem PLN dalam memenuhi kebutuhan listrik nasional menyatakan bahwa para pelaku usaha energi pada dasarnya bersedia mendukung pemerintah dalam bertransisi. 

“Namun yang perlu menjadi catatan adalah keikutsertaan proyek yang akan dibatalkan ataupun unit PLTU yang akan dipercepat masa pensiunnya harus berdasarkan prinsip voluntarily (sukarela) bukan mandatory (kewajiban) karena pada dasarnya pemilik proyek telah mengamankan komitmen pembangunan dan memiliki kesepakatan kerjasama dengan PLN,” kata Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI), Arthur Simatupang. 

Kirana Sastrawijaya, Senior Partner Umbra, mengingatkan bahwa penting untuk meninjau dokumen PPA (Power Purchase Agreement) antara IPP dan PLN terutama untuk usulan pembatalan pembangunan PLTU. 

“Perpres 112/2022 dapat dijadikan basis penghentian operasi PLTU batubara namun perlu ada kriteria yang dipenuhi untuk suatu unit PLTU dipercepat pengakhiran operasinya. Perpres ini juga dapat menjadi basis hukum pembatalan PLTU meski tidak secara spesifik berbicara pembatalan PLTU,” katanya.

Dalam konteks legal hukum, Karina menekankan bahwa potensi perselisihan secara hukum dapat terjadi. Maka selain aturan pemerintah yang berlaku, kesepakatan kerjasama (PPA) harus menjadi dokumen referensi karena secara detail mengatur berbagai pembatasan para pihak dan pemilik modal (funders).

Mendorong Peran Organisasi Masyarakat Sipil dalam Transformasi ASEAN

Jakarta, 16 Mei 2023 – Peran Indonesia dalam diplomasi internasional berlanjut setelah sukses menjadi tuan rumah pertemuan G20 pada November 2022. Tahun ini, Indonesia memegang keketuaan ASEAN. ASEAN sendiri merupakan kawasan penting karena menyumbang pertumbuhan ekonomi yang cukup besar. Dalam hal pertumbuhan ekonomi, ASEAN diproyeksikan akan memiliki pertumbuhan ekonomi sebesar 4,3% menurut ADB. Tantangan yang masih ada di sekitar ASEAN saat ini adalah efek dari perubahan iklim dan transisi energi.

Negara-negara ASEAN selain Vietnam masih memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap bahan bakar fosil terutama batubara dalam sistem energinya. Dibutuhkan lebih banyak upaya serta pembiayaan untuk mengubah seluruh sistem energi di ASEAN menjadi rendah karbon dan berkelanjutan.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), saat webinar bertajuk “Making Energy Green and Low Carbon to Support Sustainable Growth” through Advancing the Role of Civil Society in Southeast Asia Energy Transition During Indonesia ASEAN Chairmanship 2023” menyebutkan bahwa semua pemangku kepentingan termasuk pemerintah dan sektor swasta perlu bekerja bahu membahu untuk memastikan transformasi menuju sistem energi bersih terjadi di ASEAN.

“Kami juga membutuhkan kolaborasi lebih lanjut di tingkat akar rumput dan peran CSO ASEAN yang semakin signifikan di kawasan dan bagaimana CSO ASEAN baik sebagai entitas individu maupun kelompok dapat berkontribusi untuk “Membuat Energi Hijau dan Rendah Karbon untuk Mendukung Pertumbuhan Berkelanjutan” melalui Memajukan Peran Masyarakat Sipil dalam Transisi Energi Asia Tenggara Selama Keketuaan Indonesia ASEAN 2023,” ujarnya.

Kemudian, Ridwan Budi Santoso, Koordinator Pokja Kerja Sama Investasi dan Ketenagalistrikan, Ditjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM menjelaskan, keketuaan ASEAN Indonesia akan berupaya mendapatkan kesepakatan kerja sama regional termasuk interkonektivitas ketenagalistrikan yang diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi regional. Dia mengatakan bahwa pihaknya akan memiliki deklarasi bersama Menteri ASEAN ke-41 tentang Pertemuan Energi tentang energi berkelanjutan melalui interkonektivitas, dan pernyataan bersama untuk Proyek Integrasi Listrik Brunei Darussalam – Indonesia – Malaysia – Filipina (BIMP – PIP) sebagai penyampaiannya.

“Kami berharap perusahaan utilitas (di negara-negara tersebut-red) menandatangani MoU untuk interkonektivitas,” kata Ridwan.

Dalam agenda penetapan kebijakan, Indonesia bertujuan untuk memiliki pernyataan bersama terkait dampak perubahan iklim di kawasan.

“Selain pernyataan bersama ASEAN tentang perubahan iklim, kami juga akan memiliki kajian tentang aksi iklim berbasis komunitas ASEAN, yang berisi pembelajaran dan praktik baik untuk diterapkan di tingkat komunitas,” Wisnu Murti, Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Hutan dan Lingkungan dijelaskan.

Menanggapi pemaparan Indonesia sebagai ketua ASEAN tahun ini, Antony Tan, Executive Officer All Party Parliamentary Group Malaysia on Sustainable Development Goals (APPGM-SDGs), menyoroti kehadiran ASEAN di komunitas internasional masih kurang. Sedikit berbeda dengan, misalnya, Uni Eropa yang memiliki kehadiran khusus dalam pertemuan-pertemuan internasional.

“Kita lihat itu misalnya saat COP 27 lalu. Kita (ASEAN) duduk terpisah-pisah dan bersama-sama hanya saat pembahasan loss and damage,” imbuhnya.

Terkait pengembangan energi terbarukan di Malaysia, Antony mengatakan saat ini Malaysia fokus pada PLTS dan hydro power. Malaysia bertujuan untuk meningkatkan pangsa energi terbarukannya, tidak termasuk tenaga air hingga 20% dari bauran energi pada tahun 2025.

“Kami mencabut larangan ekspor energi terbarukan. Langkah ini disambut baik oleh Singapura, karena akan menguntungkan negara tetangga dan mendorong sektor energi terbarukan lokal,” pungkasnya.

Ketua ASEAN sebelumnya, Kamboja menghadapi berbagai tantangan untuk membawa dekarbonisasi ke negara tersebut. Dalam mengatasi tantangan tersebut, lembaga swadaya masyarakat berperan sebagai jembatan untuk memperjelas visi dalam mempercepat transisi energi.

“Ketika kita berbicara tentang dekarbonisasi, itu berarti kita perlu berbicara tentang reformasi pasar energi seperti apa, pendukung apa yang dapat diimplementasikan, dan kita perlu memahami bahwa konteks antara satu tempat dan tempat lain sangat berbeda dan kita perlu mencari jalan keluarnya. pendekatan yang berbeda,” jelas Direktur Eksekutif Energy Lab, Kamboja, Natharoun Ngo Son.

Chariya Senpong, Ketua Tim Transisi Energi, Greenpeace Thailand menyoroti peran menjadi “jembatan” bagi banyak pemangku kepentingan. Organisasi masyarakat sipil harus memberdayakan masyarakat untuk mampu bergerak melampaui tingkat lintas batas.

“Penting untuk mengkomunikasikan isu terkait iklim tidak hanya kepada masyarakat tetapi juga kepada pemerintah, terutama di tingkat ASEAN. Tentang bagaimana kita bisa mendapatkan perubahan kebijakan yang cepat untuk mencapai tingkat emisi nol bersih. OMS juga perlu bekerja di berbagai tingkat advokasi untuk mempengaruhi dan menggerakkan para pemangku kepentingan ke jalur yang lebih berkelanjutan,” jelasnya.

Aryanne De Ocampo, Advocacy, Networking, and Communications Officer, Center for Energy, Ecology and Development menambahkan bahwa ASEAN memiliki kekuatan untuk mendorong dekarbonisasi secara global.

“Sebagai ASEAN, kita harus menjadi yang terdepan dalam menuntut perubahan dari pemerintah dan industri untuk berkomitmen pada target iklim yang ambisius. Agar ASEAN memiliki identitasnya, ia juga perlu mewakili bagian masyarakat yang paling rentan, mulai dari komitmen iklimnya.”

Setiap tahun ASEAN mengeluarkan ratusan pernyataan bersama dan ASEAN perlu memastikan bahwa pernyataan terkait perubahan iklim itu terwujud. Hal ini dikemukakan oleh Esther Tamara, Direktur Unit Iklim, Komunitas Kebijakan Luar Negeri Indonesia.

“ASEAN perlu memastikan bahwa pernyataan bersama terkait perubahan iklim tidak hanya sebatas pernyataan. Visi ASEAN pasca-2025 harus fokus pada iklim untuk menciptakan dunia yang hijau. Ada juga kata-kata dari pemerintah Kamboja khususnya untuk membuat Green Deal, tapi belum banyak gerakan ke arah itu,” ujarnya.

Esther menambahkan, seharusnya ada mekanisme resmi organisasi masyarakat sipil yang memungkinkan terjadinya diskusi dari bawah ke atas di ASEAN.

Memahami Konteks Transisi yang Adil di Daerah Penghasil Batubara

Jakarta, 10 Mei 2023 – Upaya global untuk beralih dari sumber daya listrik berbasis fosil akan mengarah pada peralihan dari batu bara. Transisi ini tidak hanya membawa perubahan drastis pada sektor hulu yaitu produksi batubara, tetapi juga mata pencaharian dan aktivitas ekonomi di daerah penghasil batubara.

Srestha Banerjee, direktur program Just Transition iForest India, selama webinar berjudul “The Just Transition Toolbox for Coal Regions — Knowledge needs in the South-East-Asian context” menekankan bahwa masalah transisi lebih merupakan masalah politik daripada masalah teknis.

“India telah menunjuk gugus tugas untuk merancang solusi yang berpusat pada manusia untuk transisi batubara. Selain menggali kebutuhan masyarakat melalui dialog dan diskusi, kita perlu contoh praktik transisi yang baik untuk meningkatkan kepercayaan diri masyarakat,” jelas Srestha.

Indonesia, negara eksportir batu bara terbesar, mengalami ketidakpastian transisi batu bara yang mendukung agenda transisi energi berkeadilan. Seiring melonjaknya harga batubara dunia tahun lalu, Indonesia menghadapi dilema antara mengurangi produksi batubara atau tetap menjalankan bisnis seperti biasa.

Marlistya Citraningrum, manajer program Akses Energi Berkelanjutan, Institute for Essential Services Reform mengatakan, sejak tahun lalu pemerintah Indonesia mulai lebih mengandalkan energi terbarukan dalam perencanaan ketenagalistrikan PLN yaitu dokumen RUPTL, namun implementasinya masih menghadapi tantangan.

“Meninggalkan batu bara secara total dipandang sebagai pilihan yang jauh lebih sulit karena secara langsung akan berdampak pada situasi ekonomi dan pendapatan daerah,” katanya.

Citra, demikian ia biasa disapa, menambahkan bahwa pada tahap perencanaan, pemerintah perlu memahami konteks transisi dan dampaknya terhadap aspek sosial ekonomi. Mendengarkan secara aktif diperlukan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif.

Chalie Charoenlarpnopparut, associate professor, Sirindhorn International Institute of Technology, Thammasat University Thailand sepakat bahwa dialog akan menjadi kunci untuk menjembatani kesenjangan antara kebutuhan untuk mencapai target pengurangan emisi dan dampak sosial ekonomi dari meninggalkan batubara.

“Kita perlu memberi tahu masyarakat bahwa perubahan ini mutlak akan terjadi, dan kita perlu bersiap atau kita akan mengalami dampak negatif yang lebih besar dari transisi batubara,” kata Charlie.

Menyadari bahwa transisi energi dan transisi batubara khususnya merupakan masalah yang banyak bersifat teknis dan teknokratis, pengarusutamaan gender selama proses tersebut menjadi sangat penting. Chalie menambahkan, di Thailand, keterlibatan perempuan dalam masa transisi sudah mulai terlihat.

“Perempuan lebih memiliki sense of sustainability sehingga mereka lebih bersemangat untuk terlibat dalam suatu aksi. Sedangkan laki-laki lebih banyak terlibat dalam sisi penelitian dan akademik dalam transisi ini,” ujarnya.

Mendefinisikan Adil dan Memastikan Komitmen JETP

Jakarta, 18 April 2023 – Mengatasi masalah perubahan iklim tidak hanya membutuhkan komitmen tetapi juga membutuhkan sumber daya yang sangat besar. Pembiayaan telah menjadi salah satu tantangan terbesar bagi negara-negara seperti Indonesia yang bergantung pada pembangkit batubara dan perlu mengubahnya menjadi pembangkit listrik berbasis terbarukan untuk mengurangi emisi dari sektor ketenagalistrikan. Ini pasti membutuhkan pembiayaan yang sangat besar.

Kelompok negara-negara maju berkomitmen untuk mendistribusikan dana ke beberapa negara untuk mempercepat transisi energi. Pendanaan itu disebut Just Energy Transition Partnership (JETP). Hingga April 2023, dua negara yaitu Afrika Selatan dan Indonesia menerima komitmen pendanaan.

Vietnam, salah satu negara Asia yang berkembang pesat dalam energi terbarukan beberapa tahun terakhir, sedang menjalin komunikasi intensif untuk menerima pendanaan JETP selanjutnya. Minh Ha Duong, ketua Dewan Anggota VIETSE, dalam webinar bertajuk “Between Vision and Reality: Navigating JETP in South Africa, Indonesia, and Vietnam” mengatakan bahwa JETP akan kembali menggeliatkan pengembangan energi terbarukan di Vietnam.

“Selama beberapa tahun, kami dapat mengatakan bahwa pengembangan energi terbarukan di Vietnam sedang booming hingga kami dapat memiliki beberapa gigawatt energi terbarukan, tetapi akhir-akhir ini terhenti. Dengan adanya pendanaan JETP ini akan memanaskan kembali pembangunan energi terbarukan,” ujarnya.

Afrika Selatan, yang menjadi negara pertama penerima JETP, mencatat poin-poin yang patut dipertimbangkan bagi negara lain dan anggota IPG dalam mereplikasi proyek di negara lain.

“Pembiayaan JETP bertindak sebagai katalis selama proses transisi energi. Tentu saja tidak cukup untuk menutupi seluruh dana yang dibutuhkan untuk mengubah sektor listrik dan dampak sosial dan ekonominya, tetapi itu masih dapat mempercepat transisi,” kata Tracy Ledger, pimpinan program transisi energi di Public Affairs Research Institute (PARI). Tracy juga menyoroti bahwa partisipasi publik selama negosiasi JETP sangat terbatas.

Mengamankan komitmen JETP sebesar USD 20 miliar selama pertemuan G20 November lalu, Indonesia telah membentuk sekretariat khusus untuk JETP di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Institute for Essential Services Reform (IESR), yang secara aktif terlibat dan meninjau sektor energi di Indonesia dan terus memberikan masukan kepada pembuat kebijakan tertentu, menunjukkan bahwa komitmen USD 20 miliar, tetapi pencairannya dapat bergantung pada banyak hal. Oleh karena itu Indonesia perlu menyiapkan ekosistem untuk menyambut pendanaan tersebut.

Pemerintah Indonesia setidaknya perlu menangani masalah-masalah berikut: ketersediaan proyek-proyek yang bankable, lelang pembangkit listrik energi terbarukan yang terjadwal, dan lingkungan yang memungkinkan bagi para pengembang untuk memulai proyek mereka di Indonesia.

“Kita juga perlu mendefinisikan apa yang dimaksud dengan ‘adil’ atau ‘just’ dalam konteks JETP. Konteks kami (IESR) yang dimaksud ‘adil’ melibatkan tenaga kerja dan transisi ekonomi terutama mereka yang berada di provinsi penghasil batubara,” jelas Fabby Tumiwa, direktur eksekutif IESR.

JETP Indonesia menangani target pengurangan emisi sebesar 290 juta ton CO2 dan campuran energi terbarukan sebesar 34% pada tahun 2030. Target ini memerlukan penghentian penggunaan batu bara sebagai prasyarat untuk mengurangi emisi dari sektor ketenagalistrikan. Sebagai salah satu dampaknya, produksi batu bara akan turun drastis dan berdampak pada daerah penghasil batu bara seperti Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan.

Kegiatan ekonomi lokal pasti akan bergeser karena provinsi-provinsi tersebut sangat bergantung pada produksi batubara untuk produk domestik brutonya. Kualitas akses energi yang berbeda dari satu tempat ke tempat lain menjadi tantangan implementasi JETP di Indonesia.

“Target 34% energi terbarukan pada 2030 tidak cukup untuk mendekarbonisasi sistem energi Indonesia tetapi ini adalah awal yang baik untuk mempercepat pemanfaatan energi terbarukan, apalagi USD 20 miliar. Namun, itu dapat membuka lebih banyak peluang untuk transisi energi,” kata Fabby.

Fabby menambahkan, pendirian industri energi terbarukan seperti manufaktur baterai dan panel surya menjadi salah satu kunci keberhasilan transisi energi.

Perkuat Peran Indonesia di ASEAN Melalui Transisi Energi

Jakarta, 11 April 2023 – Kepemimpinan Indonesia pada level internasional terus berlanjut. Setelah dinilai sukses menjadi pemimpin negara-negara G20 pada 2022, tahun 2023 ini Indonesia dipercaya untuk menjadi ketua ASEAN. Sebagai negara dengan jumlah penduduk, ekonomi, dan permintaan energi terbesar di kawasan ASEAN, Indonesia memiliki peran penting dalam berbagai aspek perkembangan kawasan ASEAN.

Salah satu isu prioritas yang dibahas selama Indonesia memegang presidensi G20 adalah transisi energi. Salah satu dokumen panduan transisi energi yang dihasilkan adalah Bali Compact yang memuat prinsip dasar percepatan transisi energi yang akan menjadi panduan dan acuan negara-negara G20 dalam melakukan transisi energi. 

Isu transisi energi kembali menjadi isu yang akan dibicarakan selama kepemimpinan Indonesia di ASEAN. Dengan komitmen ini, Indonesia juga harus mengakselerasi proses transisi energinya. Keberhasilan transisi energi Indonesia dalam melakukan transisi energi dapat mempengaruhi status transisi energi di ASEAN terutama penerimaan negara lain terkait isu transisi energi. 

Dalam wawancara untuk program Indonesia Menyapa yang disiarkan oleh RRI Pro 3, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform, Fabby Tumiwa mengatakan bahwa Indonesia memiliki sejumlah instrumen kebijakan yang dapat dijadikan modal untuk komitmen transisi energinya.

“Indonesia merupakan salah satu negara di ASEAN yang memiliki target net zero emission. Selain itu pemerintah juga mengeluarkan Perpres 112/2022 yang mengatur tentang percepatan penghentian masa operasi PLTU batubara,” kata Fabby.

Meski memiliki catatan baik pada tingkat policy setting, namun Fabby mengingatkan bahwa dalam hal pengembangan dan penambahan kapasitas terpasang energi terbarukan, Indonesia tertinggal cukup jauh dengan negara ASEAN lain seperti Vietnam dan Filipina. 

Fabby menyoroti salah satunya proyek energi terbarukan yang sudah masuk dalam RUPTL PLN 2021-2030 yang pelaksanaannya juga mengalami berbagai kendala.

“Dalam RUPTL PLN seharusnya sepanjang 2021 – 2025 terdapat tambahan energi terbarukan sekitar 10,5 GW, namun pelaksanaannya tidak mulus. Ambillah dalam 5 tahun terakhir, penambahan kapasitas energi terbarukan Indonesia kurang bagus dan kita perlu kerja keras untuk memperbaiki ini,” kata Fabby. 

Salah satu penyebab Indonesia belum optimal dalam mengembangkan transisi energinya adalah anggapan bahwa batubara menghasilkan listrik yang murah dan energi terbarukan mahal. Cara pandang ini tersirat saat program 35 GW dicanangkan yang membuat infrastruktur energi fosil menjadi banyak dalam sistem kelistrikan di Indonesia. Ketersediaan infrastruktur energi fosil ini membuat preferensi pemerintah lebih condong ke pemanfaatan energi fosil dalam perencanaan pemenuhan kebutuhan energi di Indonesia. Hal ini semakin didukung dengan kebijakan pemberian subsidi bagi sejumlah komoditas energi fosil seperti harga DMO (Domestic Market Obligation) batubara.

“Hal yang perlu diperhatikan dari pilihan-pilihan ini adalah dengan mendorong pemanfaatan batubara berarti menutup kesempatan energi terbarukan untuk tumbuh dan berkembang karena akan terus dianggap mahal,” jelas Fabby.

Fabby menutup wawancara ini dengan himbauan pada pemerintah dan PLN untuk mengejar target penambahan kapasitas energi terbarukan yang sudah direncanakan dalam RUPTL untuk menjadi game changer dalam mendongkrak pengaruh Indonesia di kawasan Asia Tenggara.