EITI, Keterbukaan untuk Demokrasi dan Anti Korupsi

Oleh: Musfarayani

Tidak banyak yang tahu bahwa masalah keterbukaan pelaporan pendapatan kegiatan tambang oleh perusahaan tambang dan penerimaan negara atas usaha itu, telah menimbulkan celah praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang sangat tinggi. Belum lagi menyebut dampak ekologisnya bagi alam dan berbagai konflik horizontal yang telah menimbulkan masalah sosial, politik dan ekonomi bagi masyarakat asli yang lahan dan hutannya dijadikan areal kegiatan usaha tambang atau dikenal sebagai usaha ektraktif industri.

Hal ini terungkap dalam pertemuan Organisasi Masyarakat Sipil (Civil Social Organization/CSO) Internasional, se-ASEAN yang membahas tentang Inisiatif Keterbukaan Ekstraktif Industri (The Extractive Industry Transparency Imitative (EITI), di Inter Continental, Jakarta (28/2). Acara ini dihadiri CSO dari Timor Leste, Kamboja, Vietnam, Philipina, dan Indonesia sebagai tuan rumah, yang dipandu langsung oleh Oxfam Amerika dan RWI (Revenue Watch Institute). Pertemuan ini sendiri dimaksudkan sebagai persiapan  CSO se-ASEAN dalam menghadapi  Konfrensi EITI se-Asia yang akan (telah berlangsung) di Shangrila, Indonesia, awal Maret 2010.

Kendati tidak semua CSO sepaham dalam melihat persoalan EI bisa terselesaikan lewat EITI, namun sejumlah CSO sudah mendorong upaya hal ini untuk terus dilakukan seiring dengan berbagai advokasi persoalan EI lainnya. Para CSO juga melihat bahwa  ketiadaan tatakelola yang baik dalam hal mengatur keterbukaan usaha EI telah melemahkan tanggungjawab pemerintah yang harusnya secara terbuka memperlihatkan kepada publik pendapatan yang diterima dalam usaha EI ini. Termasuk kekhawatiran semakin tidak terkontrolnya eksplorasi sumber daya alam yang berakibat pada rusaknya ekologis, dan penderitaan rakyatnya.

“Sebagai contoh saja di Indonesia. Di kawasan Asia Tenggara, produksi batu bara Indonesia adalah terbesar kedua.  Ironisnya daerah-daerah yang menghasilkan batu bara ini justru adalah daerah yang dikenal paling miskin dan tertinggal untuk seluruh wilayah Indonesia. Hal ini erat kaitannya dengan isu aktivitas korupsi yang tinggi, isu lingkungan, HAM dan juga kemiskinan,” jelas Fabby Tumiwa, Executive Director of Institute for Essential Services Reform (IeSR), Indonesia yang mempresentasikan gambaran umum tentang peta masalah EITI di kawasan ASEAN.

Ironis lagi, negara ASEAN yang kaya akan sumber daya alam tambang dan mineralnya seperti Indonesia, Laos, dan Philipina yang pengelolaannya sebagain besar “dikuasai” perusahaan asing  seperti  Petronas, Chevron dan Pertamina ini justru mendapatkan pendapatan GDP di sektor EI lebih kecil dibandingkan sektor lainnya.

“Sebagai contoh di Indonesia pendapatan dari sumber mineral sangatlah kecil jika dibandingkan dengan sektor lainnya. Di sektor tambang, bahkan, pemerintah hanya dapat royaltinya saja dan bukan pendapatannya,” jelas Fabby lagi.

CSO Asean menyebut situasi yang disebut Fabby sebagai ”Resource Curse”. Di Philipina misalnya yang dikenal sebagi penghasil  mineral metalik (kromit, tembaga, emas, besi dan nikel) nomor satu dunia, juga penghasil bauksit terbesar, hanya mendapatkan kontribusi di sektor ini sebesar 1,1% dan 1,2% (1997 dan 2007) untuk GDP mereka. Saat ini ada 24 proyek tambang yang beroperasi di Philipina (2006).

“Itu hanya 2% dari total eksportnya Philipina,” jelas Lord Byron Abadeza, Koordinator Project Transparency and Accountability Network, Philipina.

Senada juga ditambahkan oleh Ridaya Laodengkowe, Koordinator Koalisi Nasional  Publish What You Pay, Indonesia. Dalam kasus di Riau misalnya, provinsi yang dikenal kaya sumber minyak ini, 25% penduduknya justru tidak bisa menyelesaikan Sekolah Dasar.

Fenomena semacam ini menurut peserta CSO Meeting disebabkan sangat minimnya  kesadaran perusahaan EI dan pemerintah masing-masing Negara dalam melakukan keterbukaan pelaporan pendapatan dan penerimaan hasil usaha EI. Sehingga rentan akan praktek korupsi, dan keuntungan dari hal itu ternyata memang tidak membawa kesejahteraan bagi rakyatnya.

Salah satu kasus nyata di Indonesia adalah ketika ICW (Indonesia Corruption Watch),  telah menemukan pelanggaran tentang kasus penggelapan pajak yang dilakukan perusahaan batu bara milik anak perusahaan tokoh politik dan penguasa berpengaruh di Indonesia (media advisory – bisa dilihat di “ICW Ungkap Manipulasi Penjualan Batu Bara Grup Bakrie” diakses dari http://www.tempointeraktif.com/hg/perbankan_keuangan/2010/02/15/brk,20100215-225895,id.html).

Di antara Negara Asean lainnya, hanya Timor Leste yang memastikan bahwa 80% hasil minyak buminya merupakan pendapatan utama Negara setelah kopi (20%) dengan pertanggungjawaban yang cukup terbuka. Mericio Akara, Direktur dari NGO Luta Hamutuk (semacam ICW-nya Indonesia-red), Timor Leste menyebutkan bahwa pengelolaan sumber daya minyak Timor memang dikelola JPDA (Joint Petroleum Development Area) dengan pembagian yang cukup adil, Timor mendapatkan 90% sementara Australia 10%, termasuk 5% pembayaran royaltinya.

Rentan Konflik

Ketidakterbukaan pertanggungjawaban laporan pendapatan perusahaan EI dan penerimaan yang diperoleh pemerintah ini pula yang dianggap CSO Meeting sebagai salah satu matarantai penting yang menyebabkan timbulnya berbagai masalah konflik sosial dan ekonomi yang cukup tinggi.

Di Indonesia, dalam catatan Koalisi Nasional  Publish What You Pay, Indonesia, konflik vertikal selalu terjadi di wilayah yang dikenal sebagai penghasil EI tertinggi seperti di Papua, Kalimantan dan NAD. Seperti disebut di atas, wilayah ini justru menjadi provinsi yang tertinggal dan miskin di antara provinsi lainnya.

Dalam cerita di Kamboja terungkap berbagai usaha EI di area sekitar Danau Tonle Sap telah menimbulkan berbagai konflik yang cukup tinggi. Area itu kini telah “diramaikan” blok-blok  izin usaha  berbagai kegiatan EI. Salah satu areanya yang disebut area Blok A dikuasai oleh Chevron.

“Telah banyak di area lahan-lahan di Kamboja semakin menunjukkan peningkatan eksplorasi sumberdaya alam yang semakin meningkat. Kebanyakan perusahaannya adalah dari Barat dan ini juga sarat dengan korupsi,” jelas Chhith Sam Ath, Direktur Ekesekutif dari The NGO Forum on Cambodia, Kamboja.

Ath juga menjelaskan bahwa saat ini ada 20 perusahaan minyak yang telah mendapatkan konsensi dari pemerintah. Emas merupakan pendapatan terbesar dibanding usaha EI lainnya di Kamboja. Kamboja berharap banyak pendapatan atas gas dan minyak bisa membuat mereka lebih independent dari ketergantungan donor. Namun demikian di sekitar wilayah tempat beroperasinya EI, selalu terjadi pelanggaran HAM, dan rusaknya ekologi yang sangat parah.

CSO dan EITI

Terkait dengan persoalan di atas para peserta CSO meeting menyadari benar bahwa kondisi tersebut akan jauh lebih baik jika perusahaan EI dan pemerintah bersungguh-sungguh mengimplementasikan apa yang mereka sebut dengan EITI (The Extractive Industries Transparency Initiative) secara sukarela. Di beberapa Negara, EITI telah diusung dan diterapkan seperti yang terjadi di Timor-Timor, sementara yang lainnya sudah pada upaya “memaksa” pemerintah dan pelaku usaha EI untuk memasukkan EITI sebagai salah satu standard yang harus dikuatkan secara hukum seperti yang terjadi di Indonesia. Sementara di beberapa negara lainnya masih berjuang untuk memperkenalkan EITI ini untuk tidak hanya dilihat sebagai wacana.

Di Kamboja seperti diungkapkan Chhith Sam Ath, Direktur Ekesekutif dari The NGO Forum on Cambodia, Kamboja, ketersediaan informasi terkait keterbukaan pertanggungjawaban usaha EI itu tidak ada. Baik itu berupa informasi kontrak, dan daftar pendapatan perusahaan EI. Lebih parah lagi belum ada legal aspek atau regulasi yang bisa dijadikan “pemaksa” untuk menjalani EITI.

Sementara di Indonesia kendati EITI telah dikenal baik oleh pemerintah dan pelaku usaha EI, menurut Koalisi Nasional  Publish What You Pay, Indonesia, keterbukaan masih sangatlah kurang. Mereka juga mengalami kesulitan mendapatkan data yang update di anggaran Nasional terkait dengan EI. Sementara informasi terkait kontrak usaha EI bisa disediakan namun atas dasar permintaan itu pun tanpa disertai  dokumen PSC termasuk POD, WP dan anggaran.

“Yang menyulitkan lagi adalah masih adanya perbedaan pandangan antara menteri Sumber Daya dan Energi vs Menteri Keuangan serta Menteri Lingkungan,”jelas Ridaya Laodengkowe, Koordinator Koalisi Nasional  Publish What You Pay, Indonesia.

Sementara di Philipina menurut Lord Byron Abadeza, Koordinator Project Transparency and Accountability Network, Philipina mengakui bahwa masih belum banyak organisasi masyarakat atau ngo yang mendorong upaya EITI. Hanya NGO local bernama Bantay Kita yang cukup eksis memperjuangkan hal ini. Byron juga menyebutkan regulasi yang mengatur EI juga sangat lemah dan payah. Transparansi hanya difokuskan pada lisensi berupa kontrak berjangka yan klausanya bersifat rahasia, operasional dan kepatuhan, pendapatan, serta endapatan belanja publik dari industri. Ini merupakan kegagalan pemerintah yang harusnya bisa menyampaikan informasi tersebut secara terbuka kepada publik.  Termasuk dalam hal merasionalisasi insentif fiskal.

Sedangkan di Vietnam, menurut Pham Quang Tu, Deputi Direktur Kosultasi dan Development (CODE), Vietnam,  EITI masih jauh dari yang diharapkan. Bahkan sejumlah pelaku usaha EI sangat rendah partisipasinya dalam melakukan CSR. Tu juga menjelaskan bahwa memang sudah ada penigkatan kesadaran CSO dan masyarakat dalam mendorong keterbukaan akan hal ini, namun mereka selalu kesulitan dalam melakukan cek akurasinya. Kelompok CSO juga mulai mengalami kesulitan untuk mendorong isu ini ketika pemerintah justru terus membatasi ruang gerak mereka karena dianggap akan membawa pengaruh keamanan dan sektor politik.

Sementara di Timor Leste,  kendati EITI telah berjalan cukup bagus diantara Negara Asean lainnya, namun diakui oleh Mericio Akara, Direktur  Luta Hamutuk, Timor Leste, isu EITI masih merupakan isu yang baru. Hanya beberapa orang saja yang paham arti EITI.

“Sementara perusahaan minyak  besar seperti Canoco, ENI dan Woodside sebagai operator utama tidak begitu kooperatif  ketika EITI ini akan dijalankan,”jelas Akara.

Pemerintah Timor Leste dinilai juga masih lemah posisinya dihadapan perusahaan minyak ketika harus membahas untuk memisahkan atau tidak laporan pertama mereka. Sementara CSO menghadapi kendala dalam memberikan umpan balik tentang laporan akhir serta proses diseminasi. Kekurangan dalam hal melakukan proses diseminasi yaitu seperti terbatasnya akses telekomunukasi di Timor Leste.

Lesson and Learn Timor Timur

Dalam pertemuan ini, Akara juga menjelaskan bagaimana Timor Leste mempunyai sistem pengawasan ketat terhadap EI mereka terutama minyak dan gas. Sistem itu dikenal sebagai Petroleum Fund System. Keanggotaanya akan dipastikan melalui Central Bank Government yang juga memutuskan formatnya, sebagai bagian dari National Conservative Council. Peran council inilah yang disebut Akara mempunyai peran penting tidak hanya sekadar memilih keanggotaannya tetapi juga dalan pengawasan proses EITI.

Keanggotaan council ini bisa saja dilakukan mantan perdana menteri yang memilih wakilnya atau dia sendiri menjadi anggota council. Mantan presiden juga bisa memilih perwakilannya dan dia juga bisa memilih lainnya jika dia tidak bisa. Sementara 400 CSO akan memilih dua perwakilan mereka untuk menjadi anggota council di Dili.

“Peran council ini sangat penting karena merekalah yang akan menentukan dan menjamin apakah proposal pemerintah menyangkut petroleum fund itu masuk akal atau tidak, berkesinambungan atau tidak, sudah sesuai atau belum dengan peraturan yang ada,” jelasnya.

Salah satu ayat dalam peraturan petroleum fund juga menyebutkan bahwa pemerintah hanya bisa mengajukan proposal tidak lebih  2% dari total. Proposal juga harus jelas bahwa dana itu hanya untuk infrastruktur bukan diperuntukkan hal lain dan mesti dipastikan kesinambungannya. Bisa saja pemerintah melakukan investasi namun hanya untuk sektor  sekolah dan kesehatan. Itu pun harus jelas dan dipastikan pengembalian dana tersebut. Proses ini akan diawasi ketat oleh parlemen.

“Kendati demikian tetap saja masih ada masalah dalam implementasinya.  Sebab pemerintah dapat fund dari annual budget yang dimasukkan dalam national budget. Di level inilah korupsi, nepotisme biasanya sering terjadi. Karena institusi kami ketat mengawasi di level ini.”

Dalam hal lain juga diakui selalu ada ketegangan antara Australia dan Timor menyangkut kegiatan operasional EI di offshore area. Kadang Australia mengakui area EI sebagai miliknya begitu juga Timor. Namun demikian mereka juga tidak memberlakukan tapal batas untuk 50 tahun ke depan di area ini. Namun setelah 50 tahun ke depan baru mereka bisa  bicarakan perbatasan. Ini hanya untuk JPDA.

Cina dan Petronas juga mulai tertarik, namun Timor masih mempertimbangkannya mengingat resikonya sangat tinggi.

Hal lain (yang masih dipertimbangkan) yaitu tentang gas field yang disebut IOA dengan “The greater sunrise”. Namun ini pun masih dalam pembahasan dan pengkajian yang ketat. Dalam masalah ini mereka juga sering mengalami ketegangan dengan Australia tentang masalah kuantiti yang dihasilkan. Tapi dalam kontrak disebutkan baik pemerintah Timor dan Australia akan mendapatkan 50 : 50. Ketegangan lainnya dengan Australia yaitu juga menyangkut pemasangan pipa gas.  Pemerintah Timor perlu pipa ke Timur, dan Australia butuh pipa untuk bawa gas ke Darwin.

“Namun di East Timor tidak ada yang datang beli gas, sehingga tidak realible untuk komersil, hingga pemerintah melakukan kesepakatan dengan Petronas. Sekarang tengah mempelajarinya. Secara komersial banyak yang berminat seperti Korea, Spanyol, Thailand, Osaka Gas Jepang, yang akan jadi konsumen kita. bahkan Cina tertarik,” jelasnya Akara.

Dalam EITI, CSO, pemerintah dan rakyat sama pandanganya dan tidak ada oposisi untuk hal ini.

“Mungkin karena kami masih Negara baru, dimana kami semua mempunyai latar belakang yang sama, pemerintah dan rakyat masih ada mantan aktivis. Tidak ada oposisi dan posisi untuk masalah gas dan minyak ini,” jelas Akara lagi.

Masalah terbaru soal EITI di Timor,  tambahnya lagi, adalah  laporan yang telah dilakukan menurut pengamatan CSO setempat, masih di bawah level yang detil, dan hanya umum saja.

“Kami menyerukan agar laporan harus detil. Pemerintah setuju tentang hal ini. Mereka harus konsisten melakukan komitmen keterbukaan. Namun perusahaan terkadang keberatan untuk memberikan laporan detil. Tapi kita berhasil menekan mereka untuk setidaknya melaporkan jumlah pajak mereka,”tambahnya.

Pemerintah Timor pun selalu mengumumkan ke publik tentang proses yang dilakukan termasuk aktif melakukan workshop dan diskusi kelompok setiap kali ada proyek EI datang. Sehingga publik mengetahui proses yang tengah berlangsung.

Upaya CSO untuk EITI ASEAN

Melihat kondisi tersebut CSO Asean juga telah melakukan berbagai upaya guna mendorong pelaksanaan EITI di negaranya masing-masing. Tentu saja bukan hal mudah mengingat berbagai hambatan yang telah mereka ungkapkan di atas. Legal aspek yang diinginkan pun terkadang belum tersedia dengan baik.

Contoh saja di Kamboja,  peraturan hukum terkait dengan petroleum sudah tidak berlaku lagi. Hukum baru menyangkut petroleum masih sebatas draft dan itu pun belum sempat diinformasikan kepada publik. CSO Kamboja mendesak agar hal itu segera di masukkan ke Konsul Menteri sesegera mungkin.

CSO Kamboja berharap rencana keterbukaan manajemen pendapatan bisa dipublish dan melibatkan publik dalam topik yang penting seperti itu. Mereka juga akan mendorong dipublikasikannya daftar perusahaan baik yang telah diberikan jaminan izin atau masih ditunda eksplorasinya kepada publik  terutama menyangkut minyak, gas, dan sumber mineral lainnya.

Di Indonesia upaya mendorong diterapkannya EITI sudah dilakukan Publish What You Pay dalam sebuah koalisai NGO Indonesia yang berfokus pada isu EI. Kini ada 35 NGO aktif yang mendorong upaya ini. Sejak 2007, mereka juga memimpun upaya lobi kepada stakeholder dari pemerintah dan perusahaan di Indonesia untuk membuka diskusi terbuka tentang EITI.

Mereka juga memberikan usulan draft tentang EITI Indonesia ke lembaga kepresidenan tentang keterbukaan pendapatan EI yang didukung pula oleh ICW. Hasilnya,  pemerintah Indonesia telah “dipaksa” untuk segera mendatangani EITI.

“Sayangnya, hingga sekarang masih tertahan di meja presiden,” jelas Radaya.

Selebihnya, mereka juga ingin mendorong yang mereka sebut dengan “Beyond EITI” atau dari Vietnam meyebutnya sebagai upaya “EITI plus-plus” yang juga bisa memberikan fokus pada tanggung jawab pemerintah dan pelaku EI kepada publik tentang isu lingkungan dan masalah HAM (Hak Azasi Manusia).

Di Timor Leste, sistem EITI yang diusung harus menyertakan tiga “aktor”-nya yaitu  masyarakat sipil, pemerinta juga perusahaan EI.

Sedangkan di Philipina, CSO Bantay Kita terus mendorong pelaksanaan keterbukaan yang harus dilakukan pemerintah dan sektor swasta. Namun mereka belum menemukan indikasi kuat EITI bisa diterapkan secara cepat. Tapi mereka akan memakai momentum pemilihan umum untuk memastikan orang yang terpilih sebagai presiden Philipina nanti punya perhatian terhadap masalah ini. Di Vietnam EITI akan didorong untuk dibahas di parlemen dalam waktu dekat ini.

Semua hasil yang terungkap di meeting ini rencananya akan di publish dan dishare-kan dalam Konfrensi EITI se-Asia yang akan (telah berlangsung) di Shangrila, Indonesia awal Maret ini.

Dari Oxfam Amerika dan juga RWI Internasional mengusulkan agar CSO Asean menyatukan visi dan bisa berkompromi membuka dialog dengan pihak-pihak yang selama ini dikategorikan sebagai aktor utama yang sulit menjalankan EITI, yaitu pemerintah dan  perusahan EI. Kendati ada perbedaan pendapat terkait “bisa duduk dalam satu meja dan bertemu dalam satu ruang” menurut Akara dari Timor Leste, bukan berarti harus mengikuti apa kata mereka.

Namun beberapa peserta CSO meeting menandaskan bahwa hal tersebut bisa saja dimungkinkan, asalkan ada sikap yang jelas dari CSO bahwa tidak ada alasan bagi pemerintah dan perusahaan untuk menghindari dan melaksanakan EITI secara baik dan benar. Mereka sepakat tidak akan bicara dalam satu meja jika masalah itu tidak disepakati.

Mereka juga sepakat bahwa sebaiknya CSO diberikan kapasitas lebih tinggi lagi sehingga mereka mempunyai posisi tawar yang baik dalam hal mendorong upaya EITI baik secara internasional maupun di negaranya masing-masing. Mereka juga menyadari benar isu ini belum dikenal secara meluas di publik bahkan di media. Karena itu mereka ingin agar media disertakan sebagai bagian penting untuk menjadi ujung tombak daya tekan mereka terhadap pelaku EI.

Terlepas dari pembahasan ini, ada hal menarik yang dilontarkan Koordinator Jatam Indonesia, Siti Maimunah.

“Ada perbedaan cara pandang kami terhadap EITI yang diusung CSO ini, dan itu sangat prinsip. Apakah jika mereka (perusahaan tambang) sudah mengeluarkan laporannya secara terbuka dan sedetil-detilnya, lalu itu bisa menjadi pengesahan  bagi mereka untuk bisa mengeksplore tambang yang ada sebesar-besarnya? Padahal kita tahu bagaimana perusahaan tambang yang ada di Indonesia telah menimbulkan kerusakan bahkan bencana yang parah bagi manusia dan alam,” tandasnya. (Musfarayani).

CSO Serukan Pemerintah se-ASEAN Adopsi EITI

Jakarta, 28 Februari 2010

Enam koalisi organisasai masyarakat sipil (Civil Society Forum/CSO)  yang mengkampanyekan keterbukaan dan akuntabilitas ekstaktif Industri di region Asia Tenggara menyerukan kepada pemerintah negaranya masing-masing agar serius mempertimbangkan mengadopsi EITI (Extractive Industry Transparency Initiative/EITI).

Hal ini terungkap dalam pertemuan Organisasi Masyarakat Sipil (Civil Social Organization/CSO) Internasional, se-ASEAN yang membahas tentang Inisiatif Keterbukaan Ekstraktif Industri (The Extractive Industry Transparency Imitative (EITI), di Inter Continental, Jakarta (28/2). Acara ini dihadiri CSO dari Timor Leste, Kamboja, Vietnam, Philipina, dan Indonesia sebagai tuan rumah, yang dipandu langsung oleh Oxfam Amerika dan RWI (Revenue Watch Institute). Pertemuan ini sendiri dimaksudkan sebagai persiapan  CSO se-ASEAN dalam menghadapi  Konfrensi EITI se-Asia yang akan (telah berlangsung) di Shangrila, Indonesia, awal Maret 2010.

EITI itu sendiri adalah adalah standard global yang menyediakan mekanisme dimana sebuah perusahaan EI harus secara terbuka menginformasikan pendapatan dan pembayarannya kepada Negara (pemerintah), dan pemerintah juga harus mengumumkan kepada publik tentang hasil penerimaaan yang diterima. Semua itu harus dilakukan di bawah pengawasan multipihak termasuk masyarakat sipil.

Ketidakterbukaan pelaporan pendapatan kegiatan tambang oleh perusahaan EI dan penerimaan negara atas usaha itu, telah menimbulkan celah praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang sangat tinggi. Belum lagi menyebut dampak ekologisnya bagi alam dan berbagai konflik horizontal yang telah menimbulkan masalah sosial, politik dan ekonomi bagi masyarakat asli yang lahan dan hutannya dijadikan areal kegiatan usaha tambang atau dikenal sebagai ektraktif industri.

“Sementara itu Indonesia, Philipina, Kamboja, Vietnam, Timor-Leste, dan Papua Nugini  adalah negara kaya di sektor tambang ini, dan sejumlah perusahaan EI besar dalam puluhan tahun telah dipastikan akan terus beroperasi di sana. EITI akan ‘memaksa’ mereka baik perusahaan dan pemerintah melakukan tanggungjawab dan transparansi  yang  jelas serta memberikan ruang bagi pengawasannya, yang juga dilakukan masyarakat sipil,” jelas Direktur IESR (Institute for Essential Services Reform), Fabby Tumiwa dalam acara tersebut.

Kendati tidak semua CSO sepaham dalam melihat persoalan EI bisa terselesaikan lewat EITI, namun sejumlah CSO sudah mendorong upaya hal ini untuk terus dilakukan seiring dengan berbagai advokasi persoalan EI lainnya.  Para CSO juga melihat bahwa  ketiadaan tatakelola yang baik dalam hal mengatur keterbukaan usaha EI telah melemahkan tanggungjawab pemerintah yang harusnya secara terbuka memperlihatkan kepada publik pendapatan yang diterima dalam usaha EI ini. Termasuk kekhawatiran semakin tidak terkontrolnya eksplorasi sumber daya alam yang berakibat pada rusaknya ekologis, dan penderitaan rakyatnya.

“Sebagai contoh saja di Indonesia. Di kawasan Asia Tenggara, produksi batu bara Indonesia adalah terbesar kedua.  Ironisnya daerah-daerah yang menghasilkan batu bara ini justru adalah daerah yang dikenal paling miskin dan tertinggal untuk seluruh wilayah Indonesia. Hal ini erat kaitannya dengan isu aktivitas korupsi yang tinggi, isu lingkungan, HAM dan juga kemiskinan,” jelas Fabby Tumiwa, Executive Director of Institute for Essential Services Reform (IeSR), Indonesia yang mempresentasikan gambaran umum tentang peta masalah EITI di kawasan ASEAN.

Ironis lagi, negara ASEAN yang kaya akan sumber daya alam tambang dan mineralnya seperti Indonesia, Laos, dan Philipina yang pengelolaannya sebagain besar “dikuasai” perusahaan asing  seperti  Petronas, Chevron dan Pertamina ini justru mendapatkan pendapatan GDP di sektor EI lebih kecil dibandingkan sektor lainnya.

“Sebagai contoh di Indonesia pendapatan dari sumber mineral sangatlah kecil jika dibandingkan dengan sektor lainnya. Di sektor tambang, bahkan, pemerintah hanya dapat royaltinya saja dan bukan pendapatannya,” jelas Fabby lagi.

Karena itu menurut Fabby, mekanisme EITI itu sangat diperlukan di setiap Negara yang diberkati dengan berlimpahnya sumber daya tambang mineral ini, mengingat di setiap daerah opersinya EI kebanyakan merupakan daerah miskin, indeks pembangunannya rendah dan begitu banyak konflik dan kerusakan lingkungan yang terjadi karena kegiatan EI yang tidak bertanggungjawab.

“Meskipun EITI hanya terbatas untuk menyediakan platform untuk transparansi aliran pendapatan di sektor ini, kami percaya bahwa mekanisme semacam itu tetap diperlukan untuk memperbaiki negara dalam mengelola pemerintahan demokrasi ekonomi,” jelas Ridaya Laodengkowe, Koordinator Koalisi Nasional  Publish What You Pay, Indonesia.

Ketidakterbukaan pertanggungjawaban laporan pendapatan perusahaan EI dan penerimaan yang diperoleh pemerintah ini pula yang dianggap CSO Meeting sebagai salah satu matarantai penting yang menyebabkan timbulnya berbagai masalah konflik sosial dan ekonomi yang cukup tinggi.

Di Indonesia, dalam catatan Koalisi Nasional  Publish What You Pay, Indonesia, konflik vertikal selalu terjadi di wilayah yang dikenal sebagai penghasil EI tertinggi seperti di Papua, Kalimantan dan NAD. Seperti disebut di atas, wilayah ini justru menjadi provinsi yang tertinggal dan miskin di antara provinsi lainnya.

Dalam cerita di Kamboja terungkap berbagai usaha EI di area sekitar Danau Tonle Sap telah menimbulkan berbagai konflik yang cukup tinggi. Area itu kini telah “diramaikan” blok-blok  izin usaha  berbagai kegiatan EI. Salah satu areanya yang disebut area Blok A  dikuasai oleh Chevron.

“Telah banyak di area lahan-lahan di Kamboja semakin menunjukkan peningkatan eksplorasi sumberdaya alam yang semakin meningkat. Kebanyakan perusahaannya adalah dari Barat dan ini juga sarat dengan korupsi,” jelas Chhith Sam Ath, Direktur Ekesekutif dari  The NGO Forum on Cambodia, Kamboja.

Ath juga menjelaskan bahwa saat ini ada 20 perusahaan minyak yang telah mendapatkan konsensi dari pemerintah. Emas merupakan pendapatan terbesar dibanding usaha EI lainnya di Kamboja.  Kamboja berharap banyak pendapatan atas gas dan minyak bisa membuat mereka lebih independent dari ketergantungan donor.  Namun demikian di sekitar wilayah tempat beroperasinya EI, selalu terjadi pelanggaran HAM, dan rusaknya ekologi yang sangat parah.

CSO dan EITI

Terkait dengan persoalan di atas para peserta CSO meeting menyadari benar bahwa kondisi tersebut akan jauh lebih baik jika perusahaan EI dan pemerintah bersungguh-sungguh mengimplementasikan apa yang mereka sebut dengan EITI (The Extractive Industries Transparency Initiative) secara sukarela. Di beberapa Negara, EITI telah diusung dan diterapkan seperti yang terjadi di Timor-Timor, sementara yang lainnya sudah pada upaya “memaksa” pemerintah dan pelaku usaha EI untuk memasukkan EITI sebagai salah satu standard yang harus dikuatkan secara hukum seperti yang terjadi di Indonesia. Sementara di beberapa negara lainnya masih berjuang untuk memperkenalkan EITI ini untuk tidak hanya dilihat sebagai wacana.

Di Kamboja seperti diungkapkan Chhith Sam Ath, Direktur Ekesekutif dari  The NGO Forum on Cambodia, Kamboja, ketersediaan informasi terkait keterbukaan pertanggungjawaban usaha EI itu tidak ada. Baik itu berupa informasi kontrak, dan daftar pendapatan perusahaan EI. Lebih parah lagi belum ada legal aspek atau regulasi yang bisa dijadikan “pemaksa” untuk menjalani EITI.

Sementara di Indonesia kendati EITI telah dikenal baik oleh pemerintah dan pelaku usaha EI, menurut Koalisi Nasional  Publish What You Pay, Indonesia, keterbukaan masih sangatlah kurang. Mereka juga mengalami kesulitan mendapatkan data yang update di anggaran Nasional terkait dengan EI. Sementara informasi terkait kontrak usaha EI bisa disediakan namun atas dasar permintaan itu pun tanpa disertai  dokumen  PSC  termasuk  POD, WP dan anggaran.

“Yang menyulitkan lagi adalah masih adanya perbedaan pandangan antara menteri Sumber Daya dan Energi vs Menteri Keuangan serta Menteri Lingkungan,”jelas Ridaya Laodengkowe, Koordinator Koalisi Nasional  Publish What You Pay, Indonesia. (Musfarayani/IESR)

Avatar dan Nasib Indigenous People Dunia

Saya rasa sudah banyak orang membahas betapa kerennya film Avatar karya James Cameron yang memakan budget hingga 400 juta US$ lebih ini. Film yang bercerita tentang perjuangan suku-suku asli bernama Navi di planet Pandora tahun 2154 yang melawan kekuatan korporasi dari planet bumi ini memang sangat lengkap. Cameron menggabungkan kecanggihan efek visual animasi, dengan cerita drama, dan aksi yang heroik ini dengan memikat. Memuaskan dahaga mata penontonnya.

Untuk mendapatkan hasil seperti yang terlihat di film ini, Cameron telah menyiapkannya sejak 1995, setelah dia meluncurkan film Titanic yang sukses besar itu. Namun dia menahan diri untuk menanti teknologi film yang mutakhir guna memberikan efek visualisasi yang tepat bagi film Avatar. Sambil menanti waktu yang tepat, Cameron telah memikirkan bagaimana bentuk planet dan isinya, menciptakan bahasa dan budaya bagi penghuninya, bahkan bentuk semua makhluknya, termasuk bangsa Navi “manusia” planet Pandora.

Karena alamnya masih begitu murni maka penghuninya pun berukuran “raksasa”. Bangsa Navi yang diciptakan Cameron dalam film ini berkulit biru, bertubuh manusia namun mempunyai hidung dan mata seperti Singa. Secara fisik mereka berukuran lebih tinggi dan lebih kuat dari manusia. Mereka juga mempunyai ekor dan rambut panjang yang pada bagian ujungnya ada selusuran rambut lainnya yang selalu digunakan ketika mereka ingin berinteraksi dengan makhluk lainnya di planet tersebut. Selusuran bagian rambut ujung ini seperti alat komunikasi mereka dengan alam. Secara sosial mereka sama seperti manusia namun lebih mengedepankan nilai-nilai kearifan dalam hidup harmoni bersama alam dan lingkungannya. Mereka juga cukup relegius dan mempercayai kekuatan dewa yang mereka sebut sebagai Eywa.

Tapi di sini saya tidak membahas tentang bagaimana hebatnya kecanggihan dan menariknya cerita di film tersebut.  Tulisan ini hanya ingin menjelaskan bahwa  gambaran perjuangan bangsa Navi, Suku Omitacaya, Planet Pandora, dalam film Avatar tersebut sesungguhnya hingga kini dalam kehidupan nyatanya masih terjadi di beberapa belahan planet bumi ini.

Dalam catatan yang ditulis news.mongabay.com menyebutkan bahwa selama beberapa dekade ini, suku-suku asli di seluruh dunia telah berhadapan dengan perusahaan pertambangan, penebangan kayu, perkebunan monokultur dan kelapa sawit, yang semuanya bertekad mengeksploitasi tanah tempat suku-suku asli itu berdiam sejak ribuan tahun lalu. Perusahaan-perusahaan ini, seperti halnya dalam film Avatar, biasanya didukung penuh oleh kekuatan pemerintah dan akses mendapatkan ‘pasukan keamanan’. Biasanya mantan-mantan militer dan polisi diikutsertakan dalam sektor pengamanan ini.

Namun tidak seperti film, di mana kelompok pribumi menang atas perusahaan dan penjajahan atas alam mereka, dalam kisah nyata suku-suku asli di planet bumi justru jarang berakhir dengan adil apalagi bahagia: dari Peru, Brasil, Ekuador, Malaysia, hingga Indonesia.

Kasus Papua

Di Papua misalnya. Sejak kedatangan PT. Freeport Indonesia tahun 1971, kehidupan suku Amugme kini tidak sama lagi seperti sebelumnya. Sebagai informasi PT Freeport adalah sebuah perusahaan pertambangan yang mayoritas sahamnya dimiliki Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. Perusahaan ini merupakan perusahaan penghasil emas terbesar di dunia melalui tambang Grasberg. Freeport Indonesia telah melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Erstberg (dari 1967) dan tambang Grasberg (sejak 1988), di kawasan Tembaga Pura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.

Seperti dalam film Avatar, perusahaan RDA Pandora menyerang tempat keramat bangsa Navi, dalam kasus Suku Amugme, Papua, PT Freeport menambang area tempat yang selama ini dikeramatkan suku tersebut, sejak Freeport datang ke sana di tahun 1971. Sejatinya tempat itu secara adat tidak diijinkan untuk dimasuki apalagi dieksplorasi. Tempat tersebut kemudian dikenal sebagi lokasi tambang Erstberg, dan suku Amugme pun dipindahkan ke luar dari wilayah mereka ke wilayah kaki pegunungan.

Kontrak tambang Erstberg Freeport ini kembali diperpanjang ijin produksinya oleh Mentamben Ginandjar Kartasasmita pada 1996. Dalam ijin ini, tercantum pada AMDAL produksi yang diijinkan adalah 300 ribu /ton/hari.

Kejamnya perusahaan ini terhadap martabat orang Papua- bahkan Indonesia- bisa dilihat di berbagai situs dan berita-berita di media. Dalam situs http://id.wikipedia.org/wiki/Freeport_Indonesia diceritakan, bekas karyawan Freeport, James R Moffet, seorang ahli geologi kelahiran Louisiana, yang juga adalah pimpinan perusahaan ini, menceritakan bahwa bertahun-tahun mereka dengan tekun membina persahabatan dengan Presiden Soeharto waktu itu, dan kroni-kroninya. Ini dilakukannya untuk mengamankan usaha Freeport. Freeport membayar ongkos-ongkos mereka berlibur, bahkan biaya kuliah anak-anak mereka, termasuk membuat kesepakatan-kesepakatan yang memberikan manfaat bagi kedua belah pihak. Informasi ini diterima oleh New York Times.

Disebutkan pula dalam sumber tersebut, bahwa Freeport sendiri mengakui bahwa penambangan mereka dapat menghasilkan limbah/bahan buangan sebesar kira-kira 6 miliar ton (lebih dari dua kali bahan-bahan bumi yang digali untuk membuat Terusan Panama). Kebanyakan dari limbah itu dibuang di pegunungan di sekitar lokasi pertambangan, atau ke sistem sungai-sungai yang mengalir turun ke dataran rendah basah, yang dekat dengan Taman Nasional Lorentz, sebuah hutan hujan tropis yang telah diberikan status khusus oleh PBB.

Sebuah studi bernilai jutaan dolar tahun 2002 yang dilakukan Parametrix, perusahaan konsultan Amerika, dibayar oleh Freeport dan Rio Tinto, mitra bisnisnya, yang hasilnya tidak pernah diumumkan mencatat, bagian hulu sungai dan daerah dataran rendah basah yang dibanjiri dengan limbah tambang itu sekarang tidak cocok untuk kehidupan makhluk hidup akuatik. Laporan itu diserahkan ke New York Times oleh Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. New York Times berkali-kali meminta izin kepada Freeport dan pemerintah Indonesia untuk mengunjungi tambang dan daerah di sekitarnya karena untuk itu diperlukan izin khusus bagi wartawan. Semua permintaan itu ditolak. Freeport hanya memberikan respon secara tertulis. Sebuah surat yang ditandatangani oleh Stanley S Arkin, penasihat hukum perusahaan ini menyatakan, Grasberg adalah tambang tembaga, dengan emas sebagai produk sampingan, dan bahwa banyak wartawan telah mengunjungi pertambangan itu sebelum pemerintah Indonesia memperketat aturan pada tahun 1990-an.

Kini, perjuangan suku Amugme masih terus berlangsung. Terakhi mereka melakukan gugatan class action atas kasus ganti kerugian pertambangan, kerugian kerusakan lingkungan, dan penggantian hak ulayat (Kontan, 12/12). Suku Amugme menggugat PT Freeport Indonesia dan Freeport McMoRan Cooper & Gold Inc. Keberadaan pertambangan Freeport telah menghancurkan hak ulayat milik suku Amugme. Karena itu, masyarakat adat suku Amugme menuntut ganti rugi sebesar US$ 30 miliar. Angkanya dihitung dari awal Freeport beroperasi di tanah ulayat suku Amungme di Tembagapura. Tapi ganti rugi ini jika pun dikembalikan tidak akan bisa memulihkan apalagi mengembalikan kawasan itu seperti sedia kala, atau menaikkan derajat hidup suku-suku Papua yang ada di sekitarnya.

Di Kalimantan

Sementara di kalimantan dalam laporan yang ditulis Tim Dodd dari Australian Financial Review, June 30, 2000 menyebutkan perusahaan tambang raksasa Rio Tinto pernah dituntut karena pekerjanya telah melakukan pelecehan seksual dan memperkosa perempuan lokal di daerah tambang emas Kalimantan yang mana perusahaan berselisih dengan indigenous people dalam penuntutan tanah dan pelanggaran HAM.

Sebuah penyelidikan independent tentang pelanggaran HAM, yang disetujui oleh perusahaan PT.KEM (90% sahamnya dimiliki Rio Tinto), Kaltim, menemukan sejumlah kasus dimana perempuan dan gadis Dayak telah diperkosa atau dipaksa untuk melakukan seks.

Ketua tim penyelidik atas kasus ini, Benjamin Mangkoedilaga, seperti disebut The Australian Financial Review menyebutkan bahwa sejumlah pekerja tambang bertanggungjawab untuk 16 kasus pelecehan seksual – kebanyakan melibatkan gadis-gadis dibawah umur 16 tahun – Selama 10 tahun dari 1987 sampai 1997. Dari enam kasus hanya melibatkan satu orang laki-laki. Keberadaan Rio Tinto di sana telah menciptakan kepiluan masyarakat Dayak lokal, karena dampak yang telah ditimbulkannya sejak perusahaan tambang itu datang, baik sosial, dan nilai-nilai kemanusiaan. Termasuk rusaknya lingkungan tempat mereka tinggal kini.

Dalam kasus pelecehan seksual, Mangkoedilaga yang juga seorang mantan hakim yang dihormati mengatakan bahwa temuan lain dalam penyelidikan tersebut termasuk: Para korban diberi uang dan dijanjikan untuk mendapatkan kerja oleh beberapa pekerja tambang dengan ditukar oleh hubungan seks. Seorang korban menjadi hamil dan melahirkan bayi, tapi tidak mau melaporkan hal ini karena dia bisa kehilangan janji untuk mendapatkan pekerjaan. Satu kasus pemerkosaan telah dilaporkan pada bagian keamanan tapi tidak ada tindakan yang diambil. Korban yang bekerja pada perusahaan yang melaporkan pelecehan seksual diancam akan di PHK. Para pekerja perusahaan tidak perduli dengan komplain korban tentang pelecehan seks. Hanya satu kasus yang pernah ditangani. Kebijakan perusahaan tentang anti pelecehan seksual yang diperkenalkan pada tahun 1994 tidak efektif. Disebutkan juga bahwa 2 orang yang melawan perusahaan mati secara misterius, satu sedang menjalani penahanan.

Kasus ini memang sering terjadi di setiap usaha-usaha tambang yang tersebar di hutan-hutan Indonesia. Tidak pernah ada kasus yang menyebutkan bahwa keberadaan kegiatan tambang telah mendatangkan kemaslahatan bagi suku-suku asli di sekitar. Justru sebaliknya, bahkan di luar bayangan kita sebagai manusia dan alam sekalipun.

Kasus Di Peru dan Amazon

Dalam film Avatar suku pribumi yang disebut Navi, menggunakan racun panah untuk membela diri terhadap senjata, gas, dan ledakan yang digunakan oleh penyerang mereka, manusia. Hal yang sama ditunjukkan suku-suku asli di Peru pada bulan Juni tahu lalu. Suku-suku asli ini membawa tombak. Mereka dihadapkan pada tentara yang dilengkapi senjata berat. Suku-suku asli Peru ini memprotes peraturan baru pemerintah Peru yang dipimpin oleh Presiden Alan Garcia-yang memudahkan perusahaan asing untuk mengeksploitasi minyak, gas, kayu, dan mineral pada tanah adat mereka

Demo protes ini berakhir bentrok dengan pihak kepolisian setempat dan menewaskan beberapa orang di kedua belah pihak. Korban tewas dari suku-suku asli ditenggarai disembunyikan dan dibuang ke sungai. Apa yang diketahui adalah bahwa 82 pemrotes menderita luka tembak dan 120 total luka-luka dalam perkelahian. Pengunjuk rasa mengatakan gas air mata digunakan; di samping beberapa orang mengatakan tentara telah menggunakan senapan mesin.

Hanya beberapa minggu setelah peristiwa berdarah di Peru, Perusahaan Hunt Oil berbasis di Texas didukung penuh oleh pemerintah Peru, pindah ke Komunal Amarakaeri Reserve dengan helikopter dan mesin besar untuk pengujian seismik.

Perusahaan itu datang memasuki wilayah masyarakat adat dengan kapal-kapal perang bersenjata canggih guna melakukan tes uji coba seismic yang menggunakan 12.000 bahan peledak di area sepanjang 300 mil. Mereka juga menggunakan 100 helikopter yang mendarat di tengah hutan hujan Amazon yang belum terjamah. Area yang merupakan tempat yang dilindungi bagi suku asli ini dalam waktu ke depan akan dijadikan area tambang minyak yang membuka hutan perawan di sana. Suku asli di sana mengatakan mereka tidak pernah di ajak Hunt Oil membahas atas penggunaan lahan mereka.

Presiden Gracia bahkan menyangkal keberadaan suku asli yang ada di tengah hutan kendati dalam foto terbaru diperlihatkan adanya suku asli yang hidup di tengah belantara hutan Amazon. Suku-suku asli yang tidak tersentuh ini tampak kaget dengan adanya pesawat yang melayang di area mereka dan berusaha mengusir dengan busur.

Dalam film Avatar, bangsa Navi disebut sebagai monyet biru, Presiden Gracia tanpa rasa kemanusiaan juga menyebut suku-suku asli sebagai, “kriminal,”orang biadab membingungkan”, “barbar”, “masyarakat kelas kedua. (baca- http://musfarayani.multiply.com/reviews/item/9 – sebutan itu sangat menyakitkan).

Aktifitas perusahaan tambang dari negara-negara yang disebut maju ini, juga didukung kekuasaan pemerintahnya dalam mengeksplorasi sumber daya alam demi sebuah kapitalisme dan gaya hidup yang tidak berlangsung lama. Kegiatan mereka ini akan semakin memicu meningkatnya zat karbon yang dapat merusak lapisan ozon bumi kita. Negara-negara maju sesungguhnya mempunyai hutang ekologis yang besar terhadap planet bumi. Skema karbon trading yang ditawarkan negara industry guna mengurangi pemanasan global, juga mencerminkan ketidaksungguhan mereka dalam mengurangi emisi karbonnya (kegiatan industri dan menambang).

Jikapun diterapkan, maka seperti halnya kasus-kasus carbon trading di Negara lain, justru memberikan keterbatasan bagi masyarakat adat sekitar atau dalam hutan dalam mengakses hutan. Padahal selama ini, mereka tidak pernah menggunakan sumber daya hutan dan yang terkandung di dalamnya untuk kepentingan kapitalisme dan keserakahan. Carbon trading juga memancing para “broker-broker” dalam mekanisme korporasi dan hutang yang jatuhnya jutsru akan membebani rakyat.

Semoga, pesan dalam film itu juga bisa mengena kepada semua manusia yang mempunyai gaya hidup mewah sehingga memicu terksplorasinya alam bumi kita. Selamatkan bumi kita, bumi kita hanya satu. (Musfarayani/ berbagai sumber)

(Resources picture © Gleison Miranda/FUNAI:  Photos describing of an uncontacted tribe in the Terra Indigena Kampa e Isolados do Envira, Acre state, Brazil, near the border with Peru, caused a stir when they were released by Survival International, an NGO, in May 2008. The indigenous group is said to be threatened by oil exploration in the area.).

Related link:
http://news.mongabay.com/2008/0530-amazon_tribe.html
http://news.mongabay.com/2009/1222-hance_avatar.html
http://www.jatam.org/content/view/918/21/
http://globalclimatechangeaction.org/node/221
http://musfarayani.multiply.com/reviews/item/9
http://musfarayani.multiply.com/reviews/item/8
http://musfarayani.multiply.com/reviews/item/10

Listrik dan Tanah, PR Besar Pemerintah

SALAH satu pesan penting dari kalangan pengusaha kepada pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono yaitu infrastruktur. Dalam perhelatan nasional yang di-juduli National Summit di awal pemerintahan Yudhoyono Boediono, pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang Industri (Kadin) Indonesia menegaskan kembali pesan itu sebagai agenda utama dalam program 100 hari pemerintah baru.

Demi kelangsungan industri dalam negeri, infrastruktur adalah syarat mutlak Dari mazhab ekonomi neoklasik, pemerintah bertugas menyediakan infrastruktur untuk menjamin terlaksananya industri dari mulai produksi, distribusi, hingga pasar untuk menjamin mekanisme pasar berjalan dengan baik.Bagi negara berkembang seperti Indonesia, pembangunan infrastruktur diterjemahkan dengan membangun sarana jalan, jalan tol, ketersediaan energi beserta saluran distribusinya terutama listrik, saluran irigasi, pelabuhan yang representatif, pipanisasi, dan sebagainya. Masalah utama pemerintah adalah ketiadaan dana investasi untuk membangun infrastruktur. Sementara, dana APBN tidak mampu menutupi semua kebutuhan.

Tulisan ini akan mengulas program 100 hari di bidang infrastruktur tetapi terbatas di sektor energi listrik dan upaya legal pemerintah membuka kran liberalisasi dengan maksud menarik investor yang hingga kini masih menemui kendala. Upaya legal yang akan dibahas di sini yaitu terkait liberalisasi energi listrik melalui UU No. 31 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan dan revisi Perpres No. 67 Tahun 2005 tentang Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.

Energi listrik

Untuk menggambarkan proses terjadinya ketimpangan pembangunan di Indonesia, bisa kita ketahui dengan melihat ketersediaan energi listrik di daerah. listrik menjadi variabel penentu terciptanya kelas menengah di suatu daerah. Harus diakui, kelas menengah adalah sumbu kreativitas sekaligus pelaku industri dan jalannya roda ekonomi.Listrik adalah syarat mutlak industrialisasi dan distribusinya. Jika tidak ada pasokan listrik, tidak akan ada industrialisasi, tidak pula akan ada pendidikan yang baik, dan tidak akan terbentuk kelas menengah yang kuat dan stabil. Bahkan, menurut Fabby Tumiwa dari Institute for Essential Services Reform (IESR), ketersediaan listrik berkorelasi positif dengan tingkat kemiskinan di suatu daerah.

Rasio elektrifikasi atau rasio cakupan listrik di Indonesia kini baru mencapai 63%. Artinya, masih ada 37% wilayah Indonesia yang tidak terjangkau listrik. Sebaran energi listrik yang ada pun masih timpang antar-wilayah.Hal itu diakui Direktur Perencanaan PT PLN, Nasri Sebayang. Menurut dia, PLN sekarang sedang kesulitan memperoleh dana investasi untuk membangun projek 10.000 mw listrik. Meski UU No. 31 Tahun 2009 tentang Kelistrikan menjadi penanda liberalisasi sektor kelistrikan, investor swasta (independent power producer/IP?) tidak serta-merta berinvestasi di Indonesia. Mereka tetap membutuhkan jaminan pemerintah.Berdasarkan UU No. 31 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, 40% projek 10.000 mw listrik tahap kedua akan dipenuhi IPP, sementara 60% oleh PT PLN. Nasri menjelaskan, pinjaman untuk membangun listrik 10.000 mw dari Cina itu tetap minta jaminan dari pemerintah. “Seratus persen pendanaan untuk projek 10.000 mw oleh IPP adalah Cina,” katanya.

Ia menambahkan, tahun 2010 butuh anggaran untuk membangun investasi RP 70 triliun untuk membangun listrik 10.000 mw dan memperkuat transmisi serta distribusi. “Sekarang masih gap Rp 18 triliun,” ujarnya.Selain kesulitan dana investasi, PLN juga kesulitan memperoleh kepastian bahan bakar dasar pembangkit, di antaranya batu bara dan gas. Selama ini, pasokan batu bara dan gas kerap tersendat karena ketiadaan infrastruktur distribusi. Ia mencontohkan kesulitan pada saat membutuhkan pasokan gas untuk pembangkit Muara Karang dan Priok.Ternyata masalah gas ini misterius karena pembangkit sudah ada, tetapi tidak ada gasnya. Akhirnya kita bakar tetap dengan BBM. Masalahnya bukan karena gas tidak ada, tetapi infrastruktur ke Muara Karang dan Priok tidak ada. Akhirnya diangkut dengan cara LNG,” ujarnya.

Rencana pemerintah dan PLN membangun projek 10.000 mw tahap kedua itu menuai reaksi. Berdasarkan evaluasi IESR, program percepatan pembangunan PLTU 10.000 mw yang pertama telah gagal. Indikasinya adalah, pertama, tidak ada pembangkit listrik masuk daftar PLTU yang akan dibangun dan siap beroperasi pada tahun 2009, sebagaimana dijanjikan tim percepatan pembangunan PLTU dan PLN.PLTU Suralaya (600 mw) dan Paiton (600 mw) baru akan berproduksi pada tahun 2010 tetapi masih dibayangi tingkat keandalan; kedua, dari total kebutuhan pembiayaan lo miliar dolar AS, hanya sekitar 25-30 persen yang didapatkan. Itu pun setelah pemerintah memberikan penjaminan (government guarantee).

Menurut IESR, penetapan rencana ini lebih kental dengan nuansa politisnya dan mengabaikan aspek teknis ekonomis serta perencanaan yang diperlukan untuk menjamin pasokan tenaga listrik yang andal untuk jangka panjang. Pendekatan pembuatan keputusan yang dipakai mirip dengan program percepatan pertama, tanpa mempertimbangkan faktor teknis-ekonomis.”Kami percaya karena sifatnya yang sangat politis dan tingginya risiko projek, program percepatan kedua ini akan menghadapi masalah yang sama dengan yang pertama, di antaranya investor yang berkualitas rendah, kesulitan mendapatkan pembiayaan dari institusi keuangan, risiko investasi yang besar, kesulitan lahan dan rendahnya infrastruktur pendukung, serta permintaan untuk jaminan pemerintah yang meningkatkan risiko pengelolaan keuangan negara,” kata Direktur IESR, Fabby Tumiwa.

Pengadaan tanah

Selain masalah listrik sebagai sumber energi industri, pembangunan infrastruktur lainnya kerap tertunda dan tidak investor./hend/t/ karena problem tanah. Kementerian Pekerjaan Umum memprioritaskan revisi aturan pengadaan tanah untuk mencapai pembangunan infrastruktur dalam masa 100 hari pertama Kabinet Indonesia Bersatu II. Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto mengatakan, penyelesaian program 100 hari di Kementerian Pekerjaan Umum menjadi modal awal yang baik bagi Kementerian ini untuk mencapai target program pembangunan tahun 2014. Demikian disampaikannya dalam Jumpa Pers di Gedung Pekerjaan Umum yang juga dihadiri pejabat di lingkungan Kementerian PU, Jln. Pattimura, Jakarta Selatan (21/1).”Selesaikan debottle neck (sumbatan). Selama lima tahun ini banyak program yang tidak jalan. Soal pengadaan tanah itu dianggap bottle neck. Perundang-undangan tentang pengadaan tanah dalam 100 hari ini setidaknya bisa selesai,” tutur Djoko.

Ia mengatakan, revisi berbagai regulasi seputar pengadaan tanah harus diprioritaskan penyelesaiannya agar dapat mempermudah pelaksanaan rencana pemerintah dalam bidang infrastruktur. Saat ini, draf revisi Perpres No. 67 Tahun 2005 tentang kerja sama pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur telah dibahas di tingkat Menko Perekonomian. “Sudah dirapatkan para menteri tinggal ditandatangani presiden,” ujarnya.Berdasarkan revisi Perpres No. 67 itu, proses pengadaan tanah akan semakin cepat. Ia berharap, pembangunan jalan tol yang selama ini terhambat pembebasan lahan dapat segera diwujudkan. “Soal pembebasan tanah untuk kepentingan umum, ada revisi UU. Proses biasa, tetapi cepat,” ucapnya. (lina Nur-santy/”PR”) ***

sumber: bataviase.co.id.

Pemerintah dan PLN Gagal Jamin Pasokan Energi (Terkait pemadaman listrik)

Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai pemerintah dan PT PLN (Persero) telah gagal menjamin pasokan energi, menyusul pemadaman listrik yang berlangsung untuk kesekian kalinya pada saat ini.

Direktur IESR, Fabby Tumiwa, di Jakarta, Kamis, mengatakan kejadian pemadaman listrik ini telah merugikan seluruh masyarakat dan mengurangi daya saing ekonomi Indonesia. Kejadian ini merupakan kegagalan pemerintah mengatur dan mengelola sektor energi dan juga PLN menjamin penyediaan tenaga listrik kepada seluruh pelanggannya,” katanya.

IESR juga memperingatkan peluang pemadaman listrik karena kekurangan pasokan akan semakin besar di tahun 2008 dan tahun 2009. Lebih lanjut Fabby menambahkan, defisit pasokan listrik ini merupakan kesalahan akut dalam pengelolaan energi di Indonesia.

“Kejadian ini menunjukkan carut marutnya pengelolaan energi nasional. Seluruh regulasi gagal mengantisipasi masalah ini dan seharusnya ini menjadi evaluasi pemerintah untuk meninjau ulang seluruh kebijakan dan ketersediaan infrastruktur energi dan kelistrikan,” katanya.

Akibat pemadaman adalah kerugian ekonomi dan non-ekonomi bagi seluruh pelanggan listrik. Kerugian ekonomi yang secara langsung berdampak pada penurunan pertumbuhan ekonomi nasional.

Pemadaman listrik juga akan menurunkan tingkat daya saing produk barang dan jasa Indonesia, sehingga semakin sukar bagi Indonesia untuk mencapai tingkat ekonomi yang diharapkan terjadi.

IESR juga menilai, kondisi alam, misalnya cuaca buruk seharusnya tidak dijadikan alasan sebagai biang penyebab terjadinya defisit, karena seharusnya telah menjadi pertimbangan ketika merancang dan membangun pembangkit listrik.

Menurut dia, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagai pengawas sektor dan PLN memiliki kesempatan memperpanjang stok bahan bakar di sejumlah pembangkit, serta meningkatkan ketersediaan pembangkit melalui upaya-upaya perencanaan yang benar dan peningkatan kinerja operasi dan perawatan pembangkit.

IESR juga mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan DPR agar segera mengevaluasi kinerja Menteri ESDM serta memerintahkan departemen terkait melaksanakan investigasi terhadap kejadian ini dalam rangka memperbaiki pengelolaan energi nasional.

“Perlu dilakukan langkah-langkah yang komprehensif dalam kebijakan, pengaturan dan strategi untuk menjamin keamanan pasokan energi di Indonesia,” katanya.

IESR juga mendesak agar pemerintah segera melaksanakan restrukturisasi manajemen PLN, dengan mempertimbangkan memburuknya penyediaan tenaga listrik dalam lima tahun terakhir.

“Tanpa adanya tindakan korektif terhadap kebijakan dan strategi penyediaan energi nasional dan reformasi di dalam PLN, termasuk penetapan kebijakan harga energi yang rasional, maka frekuensi pemadaman listrik akan semakin besar pada tahun 2008 hingga 2009 mendatang,” kata Fabby.

http://www.alpensteel.com.

Public Lecture Series : The Road to Climate Justice

IESR, The Climate Project Indonesia (TCP), and School of Public Health of University of Indonesia organized a half-day event: “Public Lecture on Climate Change,” in conjunction with the “United Nations Day” and “The International Day of Climate Action,” organized internationally by 350.org (www.350.org). This activity is part of TCP Indonesia activity on the public lecture on Climate Change in 34 universities across Indonesia. IESR has been trying to engage wider public on climate change awareness, and this event is a part of IESR’s Climate Justice Program. This event is taken place in the auditorium of the School of Public Health, University of Indonesia on 23 October 2009.

Nadia Hadad from TCP Indonesia presented the climate change evidences and humanity challenges. Nadia, who is Indonesia Project Coordinator of Bank Information Center (BIC), is alumni of The Climate Project training. Prof. Dr. I Made Jaya, SKM from the School of Public Health of University of Indonesia made presentation on Adaptation and Mitigation of Climate Change, while Febi Dwirahmadi, an alumni of the school and associate researcher of IESR who is working on climate adaptation project for urban, presented the impact of climate change to the public health. The lecture is moderated by Dr. dr. Rahmadi Purwana, SKM, from the School of Public Health.

One of messages conveyed in this lecture, that the current carbon dioxide level in the atmosphere has reached 386 part per million (ppm) based on findings from NASA’s climate scientist (NASA 2008). This level exceeds the 350 ppm level that some scientists said about the safe upper limit to avoid catastrophic impact to the ecosystem. So far the impacts of climate change have occurred in many part of the world and are projected to worsen in the future. It contributes to the reducing number of glacier in Alaska, Argentina and also New Zealand; inducing forest fire in Riau, Indonesia and Australia, sea level rise due to ice melting, flood and drought, and other extreme weather and the extinction of wildlife.

From public health aspect, climate change has the potential to affect population health either directly or indirectly. The examples of direct impact of climate change are : climate change will increase the frequency and the intensity of climate extreme events such as heat wave or cold wave in which may result in deaths or injuries. It also has been reported that climate change will intensify the climate related natural hazards such as storms, high tidal wave, and hurricane in which may not only impact human health but also building and infrastructure. Indirectly, climate change can also impact human health.

This may happen because climate change will disturb the ecological system. This will include disease transmission and distribution, hydro-agronomical system, air pollution, water availability, and others. This for example, the global dengue fever which will increase during the La Nina phenomenon. In Indonesia dengue fever has significantly increased doubled during La Nina year in 1973, 1988, and 1998 (UNDP, 2007). Since Indonesia already experienced the impact of Climate Change, the government should design a mitigation and adaptation strategy including energy sector, land use, forest, and also ocean to reduce green house gases in atmosphere.

Further, it was explained also about the climate debt concept. Based on the historical emission, industrial countries that represent only ¼ of world population already occupied ¾ of atmosphere with their carbon emission. Meanwhile developing countries who are the majority of the world population only produce ¼ of the historical emission. Further it constitutes a term that called as “climate debt”. Industrial countries ran up debts to developing countries due to their over-using the right to emit.

IESR now is working on a campaign on climate debt and preparing to release a post card campaign to ask developed countries leader to take serious and meaningful action to cut their emission. The post-card targeted the top 5 largest emitter countries and will be sent through the embassy or representative offices in Indonesia. This is part of our effort to make industrial countries responsible to their debt. IESR has asked student to participate in this campaign and raising their voice to demand the climate justice.

Kunci Sukses Kopenhagen : Pastikan Annex I Kurangi Emisi Cukup Besar

Ani Purwati – Elemen kunci kesuksesan perundingan iklim di Kopenhagen Desember nanti adalah kesepakatan-kesepakatan mengenai bagaimana memastikan negara-negara Annex I melakukan pengurangan emisi yang cukup besar untuk memberikan ruang atmosfir fisik bagi negara-negara berkembang.

Kedua bahwa alokasi negara-negara Annex I, “jumlah yang ditetapkan” atau “hak emisi” mencerminkan baik tingkat emesi histories dan kebutuhan dari negara-negara berkembang. Ketiga bahwa negara-negara Annex I memberikan paket keuangan dan teknologi yang ambisius untuk ditransfer kepada negara-negara berkembang untuk memungkinkan mereka mengurangi dan mengadaptasi perubahan iklim.

Demikian pernyataan Institut for Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam position paper yang disampaikan saat diskusi bersama organisasi non pemerintah (ornop) di Gedung YTKI, Jakarta, Kamis (6/8).

Negara-negara maju harus memenuhi tanggungjawab histories dan terkini mereka baik untuk penyebab-penyebab dan konsekuensi-konsekuensi perubahan iklim. IESR menilai. penyebab utama dari perubahan iklim adalah emisi oleh dan untuk negara-negara maju.

Menurut Fabby Tumiwa, Direktur IESR, dari total 1 triliun ton CO2 untuk emisi 450 ppm, lebih dari separuh atau sekitar 500 milyat ton sudah digunakan sejak berlangsungnya revolusi industri pada abad 18.

“Saat ini masih tersisa separuh lagi. Tapi perlu diingat, siapa yang menghabiskan budget emisi itu? 80 persennya adalah negara maju yang jumlahnya 15 persen dari total negara di dunia,” jelas Tumiwa.

Bila tidak ada pembatasan, penambahan jumlah emisi akan meningkatkan suhu mencapai 2o C, bahkan bisa mencapai 6-8o C. Dampaknya adalah kerusakan ekosistem bumi. Saat ini kenaikan suhu telah mencapai 0,8-0,9o C. Kalau tidak ada penurunan emisi maka tahun 2050 bisa dikatakan terjadi kiamat.

Data IESR menyebutkan, negara-negara maju yang mewakili kurang dari seperlima populasi dunia bertanggungjawab atas hampir tiga perempat dari seluruh emisi histories. Perorangan emisi histories mereka lebih dari 10 kali orang-orang di negara berkembang. Emisi per orang mereka saat ini lebih dari 4 kali orang-orang di negara-negara berkembang.

Emisi histories dari negara maju inilah yang pada dasarnya bertanggungjawab terhadap pemanasan yang terjadi sekarang dan pemanasan yang terjadi di masa yang akan datang.

Korban-korban utama dari perubahan iklim adalah orang-orang dan komunitas-komunitas di negara-negara berkembang. Negara berkembang yang tidak berperan banyak dalam menyebabkan perubahan iklim, menjadi korban pertama dan terburuk. Sekarang mereka harus membangun di bawah beban berlipat ganda yang tidak dihadapi oleh negara-negara maju dan beban itu bukan disebabkan oleh mereka- beban dari pengurangan dan adaptasi terhadap perubahan iklim.

Negara-negara berkembang yang telah didorong untuk “mengembangkan cara mereka untuk keluar dari kemiskinan”, sekarang diminta untuk tumbuh tanpa meningkatkan emisi mereka, dan untuk melakukannya dalam sebuah iklim semakin tidak ramah.

Kenyataan-kenyataan ini harus secara penuh dan adil direfleksikan dalam setiap hasil yang disepakati di Kopenhagen. Melakukan hal tersebut diwajibkan oleh prinsip-prinsip dan syarat-syarat dasar dari Konvensi Perubahan Iklim dan Rencana Aksi Bali (Bali Action Plan) yang menyerukan untuk pelaksanaan penuh, efektif dan berkelanjutan dari Konvensi itu.

Hutang Ekologis

Lebih dari itu, menurut Arimbi Heroepoetri dari DebtWatch Indonesia dalam position papernya bahwa pengabaian atas pelaksanaan hutang ekologis adalah sama dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam hal ini titik beratnya terletak pada pemanfaatan ruang hidup setidaknya ada dua hak yang harus dilihat, yaitu pertama hak untuk menentukan nasib sendiri dalam menikmati sumber daya alam dan kedua hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat serta terbebas dari kerusakan dan pencemaran lingkungan.

Hutang ekologis adalah utang yang diakumulasikan oleh negara-negara industri terhadap negara-negara Selatan atau berkembang karena perampasan sumber daya alam, timbulnya kerusakan lingkungan, dan pemakaian ruang lingkungan secara bebas untuk menimbun limbah berbahaya, seperti gas-gas efek rumah kaca, oleh negara-negara industri.

Menurut Lidy Nacpil dari Koordinator Jubilee South, hutang financial negara-negara berkembang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan hutang ekologis negara maju. Secara moneter hutang financial negara-negara Selatan adalah 3,2 triliun dolar Amerika Serikat, sedangkan hutang ekologis negara maju untuk karbon saja senilai 2,4 triliun dolar. Belum jumlah senyawa gas rumah kaca lain.

Untuk pembayaran hutang ekologis, tidak hanya dengan sejumlah uang saja, namun yang lebih penting adalah pemulihan lingkungan hidup dan sumber daya alam secara penuh atau reparation. Perlu suatu upaya gerakan bersama seluruh bangsa di dunia untuk mewujudkan pemulihan secara penuh oleh pihak-pihak yang berhutang ekologis atau negara maju.

http://www.beritabumi.or.id.

Bisnis Air : Benar-Benar Bisnis “Basah” Ketika Swasta Masuk ke Industri Air

Bisnis air berpotensi memberi keuntungan yang deras. Pihak swasta pun mulai banyak yang melirik. Siapa saja yang mengincar bisnis ini? Lantas, bagaimana negara menjamin ketersediaan air yang murah bagi masyarakat setelah pihak swasta masuk?

Matahari belum tampak ketika Kohir, 40, mengeluarkan gerobak airnya. Setiap pagi, sekitar pukul 04.30 WIB, pria asal Brebes, Jawa Tengah, itu sudah siap meluncur menjajakan air bersih di sekitar kawasan rumah susun Kemayoran. Kohir, yang tinggal di kawasan Haji Ung, Kemayoran, telah menekuni pekerjaan ini selama hampir 20 tahun. “Air di daerah ini nggak enak untuk diminum. Itu sebabnya saya jualan air,” ujar Kohir.

Keuntungan Kohir dari menjual air ini bisa dibilang lumayan. Untuk mengisi satu gerobak yang berisi 16 jeriken air, Kohir cukup mengeluarkan uang Rp2.000. Lalu ia menjual setiap jeriken air (yang berisi lima liter) seharga Rp1.000. Ayah empat anak ini mendapatkan air bersih dari keran milik Haji Sukamto, bapak kos-nya sendiri. Dalam sehari, Kohir bisa menjual lebih dari seratus jeriken air. Supaya mudah, katakanlah per hari dia bisa menjual 112 jeriken air. Jadi, keuntungan Kohir per hari Rp98.000 atau Rp2,94 juta per bulan.

Kohir adalah contoh kecil yang meneguk untung dari bisnis air. Perusahaan-perusahaan dengan kekuatan modal besar, baik asing maupun lokal, tentunya juga melihat betapa “basah”-nya bisnis air. Metito Overseas Ltd., misalnya. Investor asing asal Uni Emirat Arab (UEA) ini—lewat bendera PT Metito Indonesia—sejak 2004 memasuki ceruk bisnis air dengan mengelola air minum bagi pelabuhan. Jika dilihat dari harga jual airnya, Metito tampaknya meraup untung yang tidak sedikit.

Sebagai gambaran, tarif air minum bagi perumahan sekitar Rp2.500 per meter kubik, tetapi di pelabuhan bisa mencapai Rp12.000. Dalam bisnis air di pelabuhan itu, Metito Indonesia menggandeng PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo). Di wilayah Pelindo I, Metito melayani kebutuhan air di beberapa pelabuhan, seperti Belawan, Dumai, dan Tanjung Balai Karimun. Untuk bisnis airnya di tiga pelabuhan itu, Metito Indonesia menanam modal US$10 juta, atau pada waktu itu setara dengan Rp73,8 miliar.

Sementara itu, investor lokal yang cukup agresif mengincar bisnis air adalah Recapital Advisors. Perusahaan yang didirikan oleh Roslan P. Roeslani dan Sandiaga S. Uno ini, lewat anak usahanya, Acuatico Pte. Ltd., pada 2006 lalu mengambil alih 95% saham PT Thames PAM Jaya dari Thames Water Plc., Inggris. Thames PAM Jaya—yang telah berubah nama menjadi PT Aetra Air Jakarta—merupakan pemilik konsesi penyediaan air bersih di Jakarta bagian timur hingga 2022.

Selain Jakarta, Acuatico juga sudah mendapat konsesi baru di Pasar Kemis, Sepatan, Cikupa, Balaraja, dan Jayanti, semuanya di Kabupaten Tangerang, Banten. Nilai investasi Acuatico untuk bisnis air di Kabupaten Tangerang itu sekitar Rp515 miliar. Acuatico kini tengah mengincar beberapa daerah lainnya, seperti Solo, Semarang, Kalimantan, dan Bandung. “Kalau semuanya lancar, hingga akhir tahun ini kami ada tambahan satu konsesi lagi, sehingga menjadi tiga konsesi,” ujar Rosan P. Roeslani, presdir Recapital Investment Group.

Di Indonesia saat ini setidaknya sudah ada 25 investor swasta yang masuk ke bisnis air bersih. Itu baru bicara peluang di bisnis air bersih, belum termasuk bisnis Air Minum Dalam Kemasan (AMDK). Berdasarkan data Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (Aspadin), anggota asosiasi itu kini mencapai 165 perusahaan. Di luar Aspadin, ada 185 perusahaan AMDK lainnya yang masih aktif berproduksi. Semua perusahaan tadi, baik yang menjadi anggota Aspadin maupun tidak, menjual 600-an merek AMDK.

Di antara anggota Aspadin, PT Aqua Golden Mississippi Tbk. adalah pemain yang menguasai pasar domestik. Perusahaan yang kini sahamnya mayoritas dimiliki oleh Danone (perusahaan multinasional asal Perancis) itu menguasai lebih dari 45% pangsa pasar AMDK di Indonesia.

Pada 2008 lalu Aqua menunjukkan kinerja yang positif. Laba bersihnya meningkat 24,91% atau naik dari Rp65,91 miliar (2007) menjadi Rp82,33 miliar. Peningkatan laba bersih ini akibat naiknya pendapatan perseroan. Pendapatan perseroan pada 2008 lalu mencapai Rp2,33 triliun atau naik lebih dari 19% dibanding tahun lalu yang Rp1,95 triliun.
Munculnya pedagang kecil seperti Kohir dan banyaknya pihak swasta yang melirik bisnis air, baik itu air bersih maupun AMDK, menunjukkan bahwa air saat ini telah dipandang sebagai komoditas. Air tidak lagi sekadar barang publik (public goods), tetapi sudah menjadi komoditas ekonomi. Jika dilihat dari kinerja Aqua atau keuntungan yang diraih Kohir, maka bisa dikatakan bahwa bisnis air adalah bisnis yang benar-benar “basah”. Ke depan, bisnis ini akan makin “basah” mengingat permintaan akan air yang makin meningkat seiring dengan terus bertambahnya jumlah penduduk dan kian menurunnya kualitas air tanah.

Ketika Swasta Masuk ke Industri Air

Bisnis air, menurut Rachmat Karnadi, ketua Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (BPPSPAM), bisnis air memang menggiurkan. Apalagi jika melihat potensinya di Indonesia. Menurut dia, di Indonesia, sistem penyediaan air minum dikelola oleh masing-masing kabupaten/kota. Sampai tahun 2008 terdapat 340 Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di Indonesia dan baru bisa melayani kebutuhan sekitar 40% penduduk perkotaan dan 8% penduduk pedesaan.

Masih menurut Rachmat Karnadi, setiap tahun kebutuhan akan air bersih tumbuh 1,5%. Di sisi lain, penyediaan air bersih oleh pemerintah masih menghadapi berbagai kendala yang kompleks, mulai dari kelembagaan, teknologi, sampai anggaran.

Dari sisi anggaran untuk menyediakan air bersih bagi 80% wilayah Indonesia, pemerintah membutuhkan dana lebih dari Rp40 triliun. Sementara itu, kondisi PDAM sendiri umumnya tidak sehat dan merugi—salah satu penyebabnya adalah tingginya angka kebocoran, hampir mencapai 40%. Hal ini menunjukkan pengelolaan air di Indonesia belum profesional. Keterlibatan swasta dalam berinvestasi di sektor ini mungkin dapat menjadi salah satu solusi. Oleh karena itulah, melalui UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air, pemerintah membuka ruang bagi pihak swasta untuk bermain di sektor air.

Untuk menarik calon investor ini, kata Rachmat, pemerintah akan memastikan adanya kenaikan tarif air secara berkala. Pemerintah juga akan menjamin ketersediaan sumber air baku secara berkesinambungan. Sistem penarifan juga dibuat menarik, di antaranya, dengan mencakup biaya produksi (full cost recovery). “Seandainya pihak swasta bisa mengatasi tingkat kebocoran, bisnis air tentu akan sangat menguntungkan,” ujarnya.

Iming-iming itulah yang membuat investor baik lokal maupun asing memburu bisnis air. Beberapa investor asing yang telah menancapkan kukunya di Indonesia adalah perusahaan asal Inggris, Biwater Plc., lewat anak perusahaannya Cascal BV, Citigroup Financial Products Inc., Compagnie de Suez, Veolia Environnement (dulu Vivendi Environnement) dari Perancis, dan RWE Group, induk perusahaan Thames Water, yang berpusat di Jerman, Water Supply Company Drenthe asal Belanda, dan PT Petrosea Tbk., anak usaha Clough Group, Australia.

Masuknya swasta tentu saja akan membawa implikasi terhadap biaya penyediaan air dan harga air. Sudah menjadi fitrahnya jika perusahaan/pengusaha yang menanamkan modal ke suatu industri berharap mendapatkan keuntungan yang besar. Nah, yang harus diperhatikan adalah jangan sampai masuknya pihak swasta membuat harga air menjadi makin mahal, sehingga masyarakat makin sulit mendapatkan air, terutama masyarakat miskin.

Sangatlah penting memberi perlindungan terhadap hak atas air sebagai hak dasar umat manusia dari upaya-upaya komersialisasi air yang berlebihan serta menjamin bahwa masuknya swasta dapat memberikan kesempatan dan pelayanan yang lebih baik bagi kelompok miskin dengan harga yang terjangkau. Apalagi hal tersebut sudah diamanatkan oleh UUD 1945 Pasal 33. Oleh karena itu, kata Rachmat, meski area bisnis pengolahan air cukup luas, bukan berarti sembarang investor bisa memasuki bisnis ini. Semua wujud kerja sama pengolahan air minum di Indonesia harus melalui mekanisme tender. Ia mengingatkan bahwa undang-undang dan peraturan di Indonesia mengharuskan badan pengontrol air minum bertindak transparan. “Swasta tidak boleh semena-mena atau diberi kewenangan dan kebebasan. Mereka tetap dikontrol, termasuk tarifnya, melalui mekanisme tender,” cetus Rachmat.

Fabby Tumiwa, direktur Institute for Essential Services Reform (IESR), menilai peran swasta di sektor air memang dibutuhkan. Namun, di sisi lain, pemerintah juga wajib menjamin akses air bagi masyarakat. Saran Fabby, pertama, untuk itu pemerintah harus melakukan pengawasan dan kontrol yang ketat terhadap biaya modal dari suatu investasi swasta dalam pengusahaan sumber daya air guna mencegah pembebanan harga yang berlebihan bagi publik. Kedua, perlu mekanisme subsidi yang terarah guna menutupi kesenjangan antara tingkat kemampuan membayar masyarakat dan harga penyediaan air yang wajar.

Mekanisme ini dapat menjadi alat pemerataan keadilan jika dirancang secara baik dan tepat. Ketiga, mendorong otoritas-otoritas yang bertanggung jawab atas penyediaan dan pengusahaan air untuk menjalankan sistem yang transparan, bertanggung jawab, dan melibatkan partisipasi publik yang efektif guna menjamin checks and balances.

EVI RATNASARI, YOHANA NOVIANTI H., DAN IRWANSYAH
(redaksi@wartaekonomi.com)

http://vulcan3.sip.co.id.