Tingkatkan Daya Saing dan Manfaat Ekonomi dari Dekarbonisasi Industri

Analis Energi IESR, Muhammad Dhifan Nabighdazweda
Analis Energi IESR, Muhammad Dhifan Nabighdazweda

Jakarta, 20 Juni 2024 – Industri menjadi salah satu sektor yang berkontribusi signifikan terhadap emisi karbon di Indonesia. Berdasarkan data di Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2024, pada 2022, emisi sektor industri naik 30 persen dibandingkan 2021, mencapai lebih dari 400 juta ton setara karbon dioksida. Implementasi lima pilar dekarbonisasi industri perlu dilakukan untuk menurunkan emisi, membatasi kenaikan suhu global melebihi 1,5 derajat Celcius, serta meraup manfaat lainnya seperti meningkatkan daya saing, menekan biaya operasional dan membuka peluang pekerjaan hijau.   

Kepala Pusat Industri Hijau, Kementerian Perindustrian, Apit Pria Nugraha, pada lokakarya “Pembangunan Kapasitas Industri, Akademisi dan Pemerintah Menuju Industri yang Hijau dan Berkelanjutan” mengungkapkan sektor industri memainkan peran krusial dalam ekonomi, namun juga menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang signifikan. Untuk itu, ia menekankan, kebijakan pengurangan emisi sektor industri perlu diimplementasikan secara konsisten, inklusif dan kuat. 

“Salah satu upaya pengurangan emisi sektor industri dengan penerapan nilai ekonomi karbon. Saat ini kami tengah melakukan berbagai persiapan untuk dekarbonisasi, seperti merumuskan peta jalan perdagangan karbon untuk industri, Peraturan Menteri Industri (Permenperin) Perdagangan Karbon, batas atas perdagangan karbon, tata laksana perdagangan karbon dan sistem informasi terintegrasi perdagangan karbon,” ujar Apit pada acara yang diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) bekerja sama dengan Kementerian Perindustrian tersebut (20/6/2024). 

Manajer Program Transformasi Energi, IESR, Deon Arinaldo, menyebut emisi sektor industri dominannya berasal dari penggunaan energi yang menggunakan batubara. Berdasarkan kajian IETO 2024, pada 2022, konsumsi energi setidaknya berkontribusi terhadap lebih dari 60 persen emisi gas rumah kaca (GRK) industri, sementara sisanya berasal dari emisi proses industri dan limbah

“Dekarbonisasi industri dapat menjadi peluang bagi Indonesia untuk bergerak menuju keberlanjutan dan strategi untuk mencapai Indonesia Emas 2045 dan menjadi upaya mitigasi kenaikan suhu bumi. Komitmen dekarbonisasi industri akan membuka peluang target pasar baru dan menaikkan daya saing produk, terutama melihat masa depan yang akan bergerak ke arah produk yang lebih berkelanjutan,” ujar Deon. 

Analis Energi IESR, Muhammad Dhifan Nabighdazweda, menyarankan tiga langkah untuk mencapai emisi lebih rendah dan mendorong dekarbonisasi industri melalui teknologi rendah karbon. Pertama, menetapkan target penurunan emisi yang jelas dan spesifik untuk semua sektor industri. Kedua, mengembangkan regulasi sertifikasi untuk produk hijau dan teknologi baru seperti hidrogen dan CCUS. Ketiga, memperkuat kerja sama antara industri, pemerintah, dan akademisi untuk riset teknologi rendah karbon dan pengembangan sumber daya manusia.

Kajian IESR mengungkapkan lima pilar dekarbonisasi industri yakni efisiensi sumber daya, efisiensi energi, elektrifikasi industri, menggunakan bahan bakar, bahan baku dan sumber energi rendah karbon, serta pemanfaatan teknologi penangkap dan penyimpanan karbon (CCS/CCUS), khususnya untuk mengurangi emisi dari proses yang sulit di dekarbonisasi secara teknis.

“Sektor industri sangat beragam sehingga membutuhkan solusi yang bervariasi. Implementasi pilar dekarbonisasi perlu mempertimbangkan segi ekonomi dan teknis. Pemerintah dapat mendorong penggunaan energi terbarukan untuk industri, seperti melalui pemasangan PLTS atap, memberikan insentif bagi industri yang menerapkan teknologi rendah karbon, dan mendukung penelitian dan pengembangan teknologi rendah karbon yang masih dalam tahap komersialisasi,” jelas Dhifan.

Analisis IESR menunjukkan bahwa sektor industri dapat tumbuh dan berkembang dengan melakukan lima pilar dekarbonisasi. Industri dapat menghemat biaya produksi hingga 30 persen dengan penerapan efisiensi energi dan efisiensi sumber daya. Selain itu, biaya untuk bahan produksi yang tidak dapat digunakan kembali, bisa dikurangi hingga 66 persen. Manfaat lainnya dari dekarbonisasi industri adalah potensi penghematan biaya pajak karbon, penghematan biaya pengendalian dampak lingkungan, menaikkan kualitas lingkungan dan keberagaman hayati, membuka peluang pekerjaan hijau, dan menurunkan kebutuhan subsidi kesehatan.

Dominasi Batubara di Indonesia, Bagaimana Peluang Energi Berkelanjutan?

Jakarta, 14 Juni 2024 – Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batubara masih mendominasi energi di Indonesia. Berdasarkan data Dewan Energi Nasional (DEN), persentase bauran energi tertinggi tahun 2023 masih didominasi batubara sekitar 40,46 persen, minyak bumi sekitar 30,18 persen, gas bumi sekitar 16,28 persen dan energi terbarukan sekitar 13,09 persen. Hal ini diungkapkan Raden Raditya Yudha Wiranegara, Manajer Riset, Institute for Essential Services Reform (IESR) pada acara Investortrust Power Talk: Masa Depan Industri Batubara di Tengah Tren Transisi Energi pada Kamis (13/6/2024). 

Lebih dari dua pertiga listrik Indonesia saat ini berasal dari pembakaran batubara, dan prediksi PLN akan adanya tambahan kapasitas sebesar 13.822 MW PLTU batubara pada tahun 2030, Indonesia menjadi negara dengan perencanaan pembangunan PLTU batubara yang terbesar ketiga di dunia, setelah Cina dan India. Di waktu yang bersamaan, melalui Just Energy Transition Partnership (JETP),  Indonesia juga menargetkan untuk mencapai puncak emisi dari sektor energi sebesar 295 juta metrik ton CO2 per tahun pada tahun 2030 dan mencapai net zero emission di sektor energi pada tahun 2050,” kata Radit. 

Radit menegaskan, sebagai salah satu penerima komitmen pendanaan JETP, Indonesia berkomitmen untuk mencapai puncak emisi sebesar 290 juta ton CO2 pada 2030, dan menaikkan bauran energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan menjadi 44 persen pada 2030. Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, kata Raditya, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) masih memasukkan rencana penambahan PLTU dengan kapasitas total 13,8 giga watt (GW). Meski demikian, seiring dengan rencana transisi energi Indonesia, PLN perlu untuk memangkas sebagian besar rencana pengembangan PLTU baru hingga 2030. 

Berdasarkan studi IESR, sembilan PLTU dapat dibatalkan, sebagian besar masih dalam tahap pembiayaan atau gagal memperoleh pendanaan. Selain itu, PLN juga berpotensi mengalihkan rencana pembangunan PLTU berkapasitas 220 MW menjadi pembangkit biomassa. Tidak hanya itu, bertransisi dari batubara juga dapat menghindarkan dari ketergantungan ekonomi, apalagi permintaan diproyeksikan menurun sekitar 2,3 persen pada 2026 berdasarkan laporan International Energy Agency (IEA). 

“Menurunnya penggunaan pembangkit listrik tenaga batubara mengurangi biaya bahan bakar dan biaya variabel di seluruh sistem, yang dikombinasikan dengan pergeseran ke arah energi terbarukan yang hemat biaya, menjadi pendorong yang kuat dalam membantu penurunan biaya sistem. Dalam melaksanakan transisi energi juga diperlukan keterlibatan seluruh pihak antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta dan masyarakat,” ujar Radit.

Solar Quarter | Kementerian ESDM Terbitkan Kuota PLTS Atap PLN untuk 2024-2028, IESR Sampaikan Keprihatinan

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengumumkan alokasi kuota PLTS Atap PLN untuk periode 2024-2028 yang dituangkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Ketenagalistrikan No. K/TL.03/DJL.2/2024. Kuota yang didistribusikan di sebelas sistem tenaga listrik ini berjumlah 5.746 MW selama periode lima tahun, dengan alokasi masing-masing sebesar 901 MW di tahun 2024, 1.004 MW di tahun 2025, 1.065 MW di tahun 2026, 1.183 MW di tahun 2027, dan 1.593 MW di tahun 2028. Baca selengkapnya di Solar Quarter.

Viva | Bakrie Center Foundation & Universitas Bakrie Gelar Edu Talk Bahas Transportasi Ramah Lingkungan

Bakrie Center Foundation bersama Fakultas Teknik & Ilmu Komputer Universitas Bakrie menyelenggarakan Edutalk dengan tema Green Mobility & Transportation, Kamis 6 Juni 2024. Seminar ini merupakan wadah diskusi  untuk  lebih memperhatikan transisi energi, karena merupakan salah satu indikator keberhasilan implementasi khususnya bagi mahasiswa dan civitas akademika pada Sustainable Development Goals (SDGs) terutama dalam target ke-7 yaitu affordable & clean energy.

Baca selengkapnya di Viva.

Upaya Mendorong Efektivitas Pemenuhan Kuota PLTS Atap

press release

Jakarta,  7 Juni 2024- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) telah menerbitkan Kuota Pengembangan Sistem PLTS Atap PLN Tahun 2024-2028 melalui SK Dirjen Ketenagalistrikan Nomor 279.K/TL.03/DJL.2/2024. Pembagian kuota PLTS atap berdasarkan sistem tenaga listrik. Total kuota PLTS atap di sebelas sistem tenaga listrik 2024-2028 adalah 5.746 MW dengan rincian kuota sebesar 901 MW pada 2024, 1.004 MW pada 2025, 1.065 MW pada 2026, 1.183 MW pada 2027, dan 1.593 MW pada 2028. 

Institute for Essential Services Reform (IESR) mengapresiasi Kementerian ESDM yang telah menetapkan kuota PLTS atap untuk PLN, yang sudah dinantikan oleh konsumen dan pelaku usaha PLTS atap. Di sisi lain, IESR menyoroti bahwa pembagian kuota masih pada sistem kelistrikan dan belum dilakukan pembagiannya sesuai clustering/sub-sistem seperti yang diatur di pasal 9 ayat 3 Permen ESDM No. 2/2024. Walaupun sebagaimana ketentuan Permen, clustering tersebut merupakan tugas pemegang Izin Usaha Pemegang Tenaga Listrik (IUPTLU). 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, mengungkapkan adanya ketentuan pembagian kuota PLTS atap pada tingkat subsistem/cluster sistem tenaga listrik akan memberikan kejelasan bagi konsumen dan juga kepastian investasi bagi para pelaku usaha PLTS atap. Mengingat dengan ketiadaan mekanisme net-metering, PLTS atap akan lebih banyak dilakukan untuk pelanggan komersial dan industri (Commercial and Industry, C&I). 

“Pembagian per sub-sistem  memberikan informasi yang lebih transparan bagi konsumen untuk membaca peluang mereka mengajukan permohonan pemasangan PLTS atap. Oleh karenanya Dirjen Ketenagalistrikan harus memastikan PT PLN segera menyampaikan pembagian per cluster sebelum bulan Juli saat masa permohonan dimulai,” ungkap Fabby. 

IESR mendorong Kementerian ESDM secara aktif mensosialisasikan Permen PLTS atap dan pembagian kuota PLTS atap kepada konsumen dan mekanismenya. Pemerintah juga harus proaktif mengingatkan pemegang IUPTLU lainnya untuk segera menyampaikan kuota kapasitas sebelum Juli. Kuota PLTS atap yang baru dikeluarkan untuk PLN masih belum sesuai dengan target Program Strategis Nasional PLTS Atap Nasional sebesar 3,6 GW yang ditetapkan pada 2021 oleh Permenko Perekonomian No. 7/2021. 

Tidak hanya itu, pemerintah perlu pula mencermati minat pelanggan dalam adopsi PLTS atap sehingga dapat meningkatkan kuota PLTS atap di 2025, sebagai upaya mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 23 persen di 2025.

“Minat dari pelanggan industri untuk menggunakan PLTS atap termasuk tinggi dan ditujukan untuk pengurangan biaya energi serta memastikan proses manufaktur berkelanjutan (sustainable), sehingga peniadaan net-metering tidak terlalu berdampak pada minat mereka. Yang perlu dijelaskan juga adalah prosedur bila terjadi oversubscribe (permintaan melebihi kuota yang ditetapkan) pada cluster sistem tertentu. Minat dari pelanggan residensial kemungkinan turun karena tingkat keekonomian yang berubah, namun dengan semakin meluasnya informasi dan keinginan untuk menghemat biaya listrik – bisa jadi permintaan penggunaan juga akan tumbuh,” kata Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan, IESR.

Marlistya menyebut penetapan kuota PLTS atap ini juga dapat menjadi peluang bagi lembaga keuangan untuk menyokong skema pembiayaan yang menarik. Jika sebelumnya ceruk pasar tidak terlalu terlihat karena tidak adanya kuota, sekarang lembaga pembiayaan memiliki informasi tambahan untuk bisa melakukan asesmen komprehensif guna mengeluarkan produk pembiayaan hijau. 

Kendaraan Listrik Bisa Jadi Solusi Reduksi Emisi Karbon di Sektor Transportasi

Jakarta, 7 Juni 2024 –  Pemerintah perlu semakin serius untuk mendorong reduksi emisi karbon pada sektor transportasi darat. Pasalnya, transportasi menjadi salah satu sektor penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar di Indonesia. Hal ini diungkapkan Faris Adnan Padhilah, Koordinator Riset Bagian Manajemen Permintaan Energi, Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam acara Edutalk on Green Mobility and Transportation yang diselenggarakan oleh Universitas Bakrie pada Kamis (6/6/2024).

Mengutip studi IESR berjudul Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2024, sektor transportasi telah menghasilkan emisi sebesar 150 juta ton CO2e pada tahun 2022, menjadikannya kontributor ketiga terbesar setelah sektor energi dan industri. Dari jumlah tersebut, sekitar 135 juta ton CO2e atau 90 persen berasal dari transportasi darat, di mana kendaraan penumpang berkontribusi sekitar 106 juta ton CO2e atau 78 persen.

“Peningkatan jumlah kendaraan penumpang setiap tahunnya juga berbanding lurus dengan meningkatnya kebutuhan bahan bakar minyak (BBM), yang sebagian besar masih diimpor. Setidaknya sekitar 52 persen dari total konsumsi BBM di Indonesia merupakan BBM impor sejak tahun 2015 hingga 2020. Pada periode yang sama, pemerintah rata-rata mengeluarkan subsidi BBM sebesar Rp64 triliun per tahun atau sekitar Rp175 miliar per hari. Ketergantungan yang tinggi pada BBM impor ini tidak hanya berdampak pada anggaran negara tetapi juga mengancam keamanan energi nasional,” ujar Faris.

Faris menilai, ketergantungan BBM impor ini tak lepas dari perkembangan kendaraan terjual setiap tahunnya. Setidaknya ada 6 juta motor dan 750 ribu mobil terjual setiap tahunnya di Indonesia berdasarkan data Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) dan Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI).

“Dengan kondisi tersebut, upaya reduksi emisi GRK di bidang transportasi perlu digalakkan, seiring dengan komitmen net zero pada 2050  sesuai Persetujuan Paris, atau mencapai net zero emission (NZE) pada 2060 sesuai target Pemerintah Indonesia,” kata Faris.  

Faris mengatakan, terdapat skenario net zero untuk menurunkan 48 persen emisi GRK sektor transportasi pada 2050 berdasarkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Beberapa langkah yang dirancang, di antaranya pemanfaatan hidrogen dan bioenergy yang berkontribusi pada sepertiga kebutuhan energi transportasi, mendorong elektrifikasi transportasi darat, peningkatan efisiensi bensin dan perpindahan moda. 

Upaya mendorong elektrifikasi transportasi darat, kata Faris, salah satunya melalui penggunaan kendaraan listrik. Mengutip studi IETO 2024, biaya total kepemilikan kendaraan listrik lebih murah sekitar 7 persen untuk kendaraan roda dua dan 14 persen untuk kendaraan roda empat meskipun kendaraan listrik memiliki harga jual yang lebih mahal. Penghematan ini berasal dari biaya operasional yang lebih murah dan memiliki lebih sedikit komponen yang memerlukan perawatan, serta harga baterai yang diprediksi akan terus menjadi lebih murah akan membuat harga jual kendaraan listrik lebih terjangkau.

“Penggunaan kendaraan listrik berdampak signifikan dalam mengurangi polusi akan tetapi kondisi saat ini tidak ideal dikarenakan listrik yang digunakan untuk bahan bakar kendaraan listrik masih berasal dari PLTU yang berpolusi tinggi. Oleh karenanya, transisi menggunakan energi yang lebih bersih perlu dilakukan oleh kendaraan dengan kendaraan listrik dan disaat yang bersamaan juga mengganti PLTU ke energi baru terbarukan. Penggunaan kendaraan listrik tanpa dibarengi dengan transisi pasokan energi akan mengurangi karbon dioksida (CO2) akan tetapi tidak mengurangi NOx dan bahkan menambah sulfur dioksida (SO2) dan partikulat matter (PM),” imbuh Faris. 

Faris menegaskan, untuk itu, dekarbonisasi jaringan listrik juga diperlukan agar semakin memperkecil emisi kendaraan. Pada tahun 2023, emisi jaringan listrik sekitar 0,873 gram CO2/kWh dan akan turun menjadi 0,754 gram CO2/kWh pada 2030. Kemudian,  emisi kendaraan listrik per km lebih rendah sebesar 18% untuk roda dua dan 25% untuk roda empat jika dibandingkan kendaraan konvensional, angka ini akan menjadi 24% untuk roda dua dan 33% untuk roda empat. Jika listrik yang digunakan untuk mengisi daya motor listrik tidak menghasilkan emisi karbon sama sekali, emisi kendaraan per km lebih rendah sebesar 48 persen  untuk kendaraan roda dua dan 80 persen untuk kendaraan roda empat.

“Saat ini adopsi kendaraan listrik terhambat oleh harga performa, infrastruktur dan harga purna jual. Pemerintah juga telah memberikan skema bantuan dan insentif fiskal untuk meningkatkan adopsi kendaraan listrik. Namun demikian, rata-rata kendaraan mobil listrik yang tersedia di 2023 masih lebih mahal dibanding rata-rata harga jual mobil konvensional. Sementara untuk motor listrik,  adanya keterbatasan performa terutama dalam hal jarak tempuh menjadi salah satu penghambat adopsinya,” imbuh Faris. 

Faris menilai, motor listrik yang ada di pasaran didominasi oleh motor yang memiliki performa lebih rendah dalam hal jarak tempuh, top speed, max power dengan harga tidak jauh berbeda dengan motor listrik di India. Sedangkan, motor listrik di India memiliki jarak tempuh yang lebih jauh.

“Selain itu, rendahnya tingkat penggunaan stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) memperlambat titik impas investasi bisnis. Analisis IESR menemukan, pada tahun 2023, rasio SPKLU terhadap mobil listrik sebesar 1:25. Akan tetapi berdasarkan data dari Jakarta dan Jawa barat, rata rata penggunaan SPKLU hanya 1,24 dan 0,26 transaksi per hari. Faris menilai,  tingkat penggunaan yang rendah ini menyebabkan bisnis SPKLU masih sangat sulit untuk mencapai balik modal (break even point, BEP),” tutur Faris.  

Menurut Faris, untuk lebih mendorong dekarbonisasi di sektor transportasi darat, terdapat strategi  avoid, shift, and improve. Strategi avoid berkaitan dengan mengurangi permintaan pergerakan atau jarak tempuh manusia. Salah satu kebijakan yang terkenal dalam strategi ini yakni kebijakan bekerja dari rumah (work from home), atau kebijakan kota terintegrasi (compact city), di mana individu cukup berjalan sekitar 15 menit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. 

“Selanjutnya, strategi shift yang berarti berpindah menggunakan kendaraan transportasi massal yang bisa mengurangi emisi secara kumulatif. Yang terakhir, strategi improve, yang artinya meningkatkan efisiensi energi dari kendaraan yang digunakan,” papar Faris.