Manusia, Penyebab Perubahan Iklim!

Negosiasi perubahan iklim di Durban masih berjalan dengan sangat lambat, walaupun ada harapan terjadi sejumlah kesepakatan di isu adaptasi dan pendanaan, tetapi kejelasan masa depan Protokol Kyoto setelah 2012 “masih jauh panggang dari api.”

Ditengah hiruk-pikuk Durban, sebuah tim peneliti dari Swiss Federal Institute of Technology (ETH) Zurich memberikan kesimpulan bahwa lebih dari 74% kenaikan temperatur rata-rata bumi yang diobservasi sejak 1950, disebabkan oleh aktivitas manusia, dan hanya kurang dari seperempatnya disebabkan oleh faktor variabilitas iklim alami. Hasil penelitian ini dipublikasikan baru-baru di jurnal Nature Geoscience.

Kedua peneliti, Reto Knutti dan Markus Huber Huber yang menggunakan metode perhitungan berdasarkan keseimbangan energi bumi (earth energy balance) menemukan bahwa gas-gas rumah kaca berkontribusi 0,6-1,1° C terhadap pemanasan global (kenaikan temperatur) yang diamati sejak pertengahan abad kedua puluh, dengan nilai statistik yang paling memungkinkan adalah sekitar 0,85 ° C. Sekitar setengah dari kontribusi gas rumah kaca tersebut – 0,45 ° C – dihilangkan oleh efek pendinginan dari aerosol yang berada di atmosfer.

Model iklim kompleks yang mereka buat memberikan hasil adanya pemanasan global netto (total kenaikan temperatur dikurangi dengan kenaikan temperatur karena radiasi sinar matahari yang masuk ke bumi) sebesar 0,5°C. Model ini relatif dekat dengan hasik kenaikan temperatur permukaan melalui observasi langsung sejak 1950 sebesar 0,55°C. Adapun dampak dari perubahaan intensitas radiasi sinar matahari terhadap kenaikan temperatur, sebagaimana yang selama ini menjadi inti argumentasi dari para penyangkal perubahan iklim (climate skeptic), hanya berkontribusi sebesar 0,07°C. Dengan demikian, setelah menghilangkan berbagai faktor alami, kedua peneliti ini kembali menegaskan bahwa aktivitas manusia yang menjadi kontributor terbesar peningkatan pemanasan global yang memicu terjadinya perubahan iklim (FT).

I Heart KP

“I Heart KP” adalah salah satu kampanye yang digelar oleh beberapa organisasi internasional di Konferensi para Pihak untuk UNFCCC 17 (COP 17) di Durban, untuk mengingatkan para negosiator bahwa Protokol Kyoto harus dipertahankan dan harus ditetapkan kelanjutannya (2nd Commitment Period of Kyoto Protocol).

Kampanye ini bukan hanya dituangkan dalam bentuk kaos, namun juga dalam bentuk stiker-stiker. Protokol Kyoto memiliki rentang tahun komitmen sampai dengan tahun 2012, dimana negara-negara Annex 1 yang meratifikasi Protokol Kyoto, harus memenuhi target penurunan emisi, sesuai dengan besaran yang ditetapkan di dalam Annex B Kyoto Protokol.

Apabila tidak ada kesepakatan untuk melanjutkan waktu komitmen (setelah 2012), maka negara-negara yang tercantum dalam protokol tersebut, tidak memiliki kewajiban untuk menurunkan emisi mereka setelah tahun 2012. Artinya, mereka bisa melakukan upaya apapun, yang berakibat pada peningkatan emisi gas rumah kaca yang lebih drastis. Itu sebabnya, kelanjutan Protokol Kyoto sangat penting untuk disepakati!

Fossil of the Day : Parties, You’re Being Watched!

Salah satu acara yang menarik di setiap pertemuan resmi mengenai perubahan iklim UNFCCC  adalah Fossil of the Day. Fossil of the Day ini dilaksanakan oleh sebuah jaringan NGO bernama Climate Action Network [1], untuk merekoknisi negara-negara yang memberikan pernyataan-pernyataan, yang sepertinya berusaha untuk menghadang atau memperlambat jalannya negosiasi perubahan iklim.

Pada hari Jum’at yang lalu, tanggal 2 Desember 2011, tiga negara dinominasikan untuk menerima Fossil of the Day; Brazil, Selandia Baru, dan Kanada. Brazil dinyatakan layak untuk mendapatkan tempat pertama, karena  Menteri Lingkungan Hidup mereka menyatakan di koran lokal mereka baru-baru ini, bahwa undang-undang Brazil yang baru mengenai kehutanan akan membantu Brazil untuk memenuhi target penurunan emisi mereka. Padahal, undang-undang kehutanan mereka justru mendatangkan bencana bagi orang-orang Brazil, berdampak negatif untuk perubahan iklim, kehidupan masyarakat adat di Amazon dan dimana pun, juga terhadap kelangsungan biodiversity dan layanan lingkungan yang sangat berharga.

 

Selandia Baru menempati tempat kedua, karena mereka jelas-jelas mengusulkan untuk membuat sebuah mekanisme pasar yang baru, tanpa adanya pengawasan bahkan tinjauan (review). Bayangkan saja, memiliki sebuah mekanisme pasar dengan adanya mekanisme peninjauan penurunan emisi saja tidak membuat emisi global menurun, apalagi tanpa adanya tinjauan?

Hal yang paling menarik terjadi pada Kanada.  Menteri Lingkungan Hidup Kanada, Peter Kent, mengatakan bahwa Kanada menerima Fossil of the Day dikarenakan orang-orang yang memberikan penilaian adalah orang-orang yang tidak terekspos dengan informasi yang benar. Padahal, bagi banyak orang justru beranggapan bahwa Kent adalah orang yang paling tidak well informed. Look who’s talking?

 

Fossil of the Day mungkin terlihat sederhana bagi setiap orang yang menyaksikannya. Namun, dampak dari Fossil of the Day ini sangat tinggi bagi negara-negara yang mendapatkannya. Contohnya saja, ketika Polandia mendapatkan tempat pertama sebagai penerima Fossil of the Day tanggal 30 November 2011 lalu.

Pasalnya adalah, logo kepresidenan Polandia terlihat sebagai salah satu sponsor dari ‘European Coal Days’. Sebagai negara yang mengembang kepresidenan EU, jelas saja hal ini mencoreng wajah EU dalam negosiasi. Padahal, EU merupakan salah satu bloc yang sedang memperjuangkan adanya legally binding untuk penurunan emisi.

Penganugerahan Fossil of the Day tersebut kemudian membuat kepresidenan Polandia melakukan pengecekan ulang terhadap keberadaan logo tersebut. Keberadaan logo tersebut kemudian ditemukan sebagai kecolongan dari pihak Polandia oleh panitia dari conference ‘European Coal Days’. Pihak pemerintah Polandia kemudian meminta pada panita konferensi tersebut untuk memberikan klarifikasi bahwa Pemerintah Polandia sama sekali tidak terlibat dalam konferensi tersebut. Pihak Pemerintah Polandia kemudian mengirimkan surat resmi kepada Climate Action Network untuk menarik Fossil of the Day yang ‘dianugerahkan’ kepada mereka, untuk mengembalikan ‘citra’ mereka untuk mendukung posisi EU dalam negosiasi perubahan iklim.

Jadi, Parties [2], you’re being watched!

Sumber: http://www.climatenetwork.org/fossil-of-the-day


[1] Climate Action Network adalah sebuah jaringan NGO yang kini memiliki anggota sebanyak 500 organisasi dari seluruh dunia, bekerja untuk mendorong pemerintah serta kegiatan-kegiatan individu untuk membatasi perubahan iklim yang diakibatkan oleh kegiatan manusia, pada tingkatan yang berkelanjutan secara ekologis. IESR adalah salah satu anggotanya, yang saat ini merupakan koordinator dari CAN Indonesia, dan pada saat yang bersamaan menjadi anggota dari CAN South East Asia (CANSEA) yang juga adalah bagian dari CAN International.

[2] Parties adalah sebutan untuk para pihak

Tanya Jawab Seputar Konferensi PBB Mengenai Perubahan Iklim di Durban

Selama dua minggu, dimulai dari 28 November 2011, para delegasi dari 190 negara berkumpul di Durban, Afrika Selatan. Mereka berkumpul dengan harapan akan bisa mengatasi kebuntuan pengurangan emisi karbondioksida dan polutan lainnya.

Harapan mengenai perjanjian yang mengatur emisi karbon secara global hampir pupus, saat pembicaraan pada KTT Iklim di Kopenhagen dua tahun lalu mengalami kegagalan. Pendekatan “Big Bang” telah digantikan dengan beberapa cara tambahan guna membangun lembaga baru yang mengubah ekonomi dunia dari generasi teknologi energi dan tranportasi yang berbasis karbon menjadi teknologi yang ramah terhadap iklim.

Namun jurang perbedaan antara kelompok negara-negara kaya dan negara-negara miskin telah menjadi penghalang besar bagi mulusnya proses negosiasi dan masa depan Protokol Kyoto yang disepakati pada 1997. PBB berharap di Durban akan ada komitmen yang lebih berarti untuk melakukan pengurangan emisi berdasarkan Protokol Kyoto yang telah tertunda selama dua tahun. Periode Komitmen Pertama Protokol Kyoto akan berakhir pada 2012.

Berikut ini adalah sejumlah isu yang hangat diperbincangkan pada meja perundingan di Durban dan hal-hal apa saja yang dipertaruhkan.

Apa yang dimaksud dengan konferensi perubahan iklim di Durban, Afrika Selatan?

Konferensi di Durban sering disebutkan berbeda-beda oleh berbagai kelompok.  Ada yang menyebutnya sebagai Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim, Pertemuan Sesi ke 17 Para Pihak untuk Konvensi Kerangka kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC), COP 17 dan/atau Sesi ke tujuh Konferensi Persiapan Pertemuan Kelompok Protokol Kyoto (CMP 7).

Apapun sebutannya, tujuan utama konferensi ini adalah untuk mencapai kesepakatan baru untuk pengurangan emisi gas rumah kaca. Konferensi ini berlangsung pada tanggal 28 November-9 Desember 2011.

copp2

Siapa yang menghadiri konferensi tersebut?

Mereka yang hadir dalam konferensi adalah perwakilan pemerintah dari 190 negara, organisasi internasional, akademisi, bisnis serta organisasi non-pemerintah. Dalam Konferensi hanya wakil-wakil pemerintah yang akan berunding.

Apa itu UNFCCC?

UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) atau Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim adalah kesepakatan perubahan iklim yang dicapai pada KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brazil tahun 1992 dan telah ditandatangani oleh 154 negara. UNFCCC berkekuatan hukum pada tahun 1994. Conference of Party (COP) UNFCCC pertama kali dilangsungkan pada tahun 1995.

UNFCCC merupakan perjanjian internasional yang tidak mengikat ini bertujuan untuk mengurangi gas rumah kaca di atmosfir, dimana negara-negara maju memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk mencapai tujuan tersebut.

Setiap tahun anggota UNFCCC bertemu untuk membahas implementasi kesepakatan-kesepakatan yang dibuat dan mengesahkan kesepakatan-kesepakatan baru yang telah disepakati dalam perundingan. Durban sebagai  Konferensi Para Pihak ke-17, atau COP17.

Apakah  Protokol  Kyoto?

Protokol Kyoto adalah kesepakatan internasional yang ditandatangani pada konferensi COP ke-3 di Kyoto, Jepang tahun 1997.  Protokol ini menetapkan sejumlah target bagi negara-negara industri maju untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Sebanyak 37 negara memberikan komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 5,2 persen pada tingkat emisi tahun 1990.

Pada saat berlaku di tahun 2005, sebanyak 141 negara telah meratifikasi Protokol Kyoto. Namun Amerika Serikat menolak meratifikasi kesepakatan ini. Berdasarkan kesepakatan ini setiap negara maju yang masuk dalam daftar negara yang tercantum di Annex-1 naskah UNFCCC harus bertanggung jawab mengurangi emisi sesuai dengan target Protokol Kyoto.

Ketika Kyoto menerapkan agenda untuk pengurangan emisi gas rumah kaca, negara-negara yang mengalami transisi ekonomi, seperti Rusia memilih dasar tahun yang berbeda. Ada berbagai target pengurangan dan beberapa negara diijinkan untuk mengeluarkan emisi gas rumah kaca yang lebih dari yang mereka lakukan pada tahun 1990. Adapun negara-negara berkembang tidak memiliki kewajiban untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca, tetapi dapat ikut serta dalam mengimplementasikan salah satu mekanisme Kyoto, yaitu Mekanisme Pembangunan Bersih.

Protokol Kyoto dianggap sebagai langkah awal untuk mengatasi pemanasan global, yang pada mulanya tidak dimaksudkan untuk memecahkan persoalan dunia mengenai perubahan iklim pada komitmen pertama yang berakhir pada tahun 2012.

Apa yang  dimaksud dengan Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim?

Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (The Intergovernmental Panel on Climate Change atau IPCC) adalah badan ilmiah yang didirikan pada tahun 1988 oleh World Meteorological Organization (WMO) dan United Nations Environment Program (UNEP). Melalui panel ini, PBB berupaya untuk memberikan analisa dan rekomendasi berdasarkan kajian ilmiah kepada pemerintah di seluruh negara mengenai perubahan iklim yang terjadi di dunia. Panel yang terdiri dari para ilmuwan terkemuka ini tidak melalukan riset, tapi mereka mengkaji data ilmiah dan teknis dari berbagai sumber publikasi ilmiah internasional. Sejak 1989, sebanyak empat laporan kajian telah dipublikasikan, dan laporan kelima rencananya akan dikeluarkan pada tahun 2013-2014.

Apa dana Iklim Hijau ?

Negara-negara berkembang yang menghasilkan sedikit karbondioksida per kapita sedang berhadapan dengan dampak akibat pemanasan global.  Salah satu prioritas utama dalam agenda konferensi di Durban adalah pengelolaan dan peningkatan jumlah dana untuk perubahan iklim. Sesuai dengan Kesepakatan di COP-15 di Kopenhagen, dan kembali disampaikan di COP-16 Cancun, Mexico, negara-negara industri berjanji untuk memberikan pendanaan sebesar $30 juta pada kurun waktu 2010-2012, dan secara bertahap meningkat hingga mencapai $ 100 miliar dollar AS yang dikeluarkan setiap tahun pada 2020. Dana ini disebut sebagai Dana Iklim Hijau (Green Climate Fund). Dana ini ditujukan untuk membantu negara miskin menanggulangi dampak akibat perubahan iklim.

Di Durban, topik utama yang akan dibahas adalah apa perkembangan yang bisa dicapai dari proses pembentukan dan operasionalisasi dana tersebut. Sebuah komite transisi dari 40 negara telah bekerja untuk merancang rencana pengelolaan dana tersebut, namun kesepakatan draft terakhir komite transisi tidak mendapatkan persetujuan oleh Amerika Serikat dan Arab Saudi.

Persoalaan lainnya adalah bagaimana dana tersebut bisa dikumpulkan dari sumber-sumber baru diluar saluran dana untuk pembangunan yang disediakan oleh negara-negara maju. Gagasan lainnya sebagai sumber dana misalnya memasukan biaya pungutan untuk karbondioksida pada pelayaran internasional dan tiket pesawat terbang (pajak karbon), serta retribusi atas transaksi keuangan internasional, yang dikenal sebagai pajak Robin Hood.

Apa saja isu yang menjadi perdebatan pada perubahan iklim?

Perbedaan posisi anatara negara kaya dan miskin mengenai masa depan Protokol Kyoto telah menghalangi proses negosisasi.

Negara-negara berkembang menuntut negara- negara industri maju untuk bertanggung jawab atas perubahan iklim dan berkomitmen mengurangi emisi pada periode komitmen kedua Protokol Kyoto. Mereka mengatakan, protokol ini merupakan satu-satunya instrumen hukum internasional yang diadopsi untuk mengendalikan peningkatan karbondioksida dan gas rumah kaca lainnya yang menimbulkam efek pemanasan global dan perubahan iklim.

Namun negara-negara industri maju berdalih, mereka tidak bisa menanggung beban ini sendirian, dan menginginkan agar negara-negara berkembang seperti China, India, Brasil dan Afrika Selatan, yang memiliki tingkat emisi rumah kaca yang semakin tinggi untuk segara bergabung dengan mereka dalam Protokol Kyoto dan terikat hukum untuk mengurangi emisi, atau setidaknya memperlambat emisi mereka

Apakah negara di dunia mengurangi emisi gas rumah kaca mereka?

Sebetulnya ada beberapa berita baik disini. Negara-negara yang menjadi menjadi bagian dari Protokol Kyoto, di tahun 2009 memiliki emisi karbondioksida (CO2) sebesar 14,7 persen di bawah tingkat emisi tahun 1990.

Secara bersama-sama tahun 2009 negara-negara maju berada di 6,4 persen di bawah tingkat 1990, atau mengelami penurunan sebesar 6,5 persen antara 2008 dan 2009, akibat terjadinya resesi ekonomi.  Informasi ini diperoleh dari sebuah laporan yang dipersiapkaan oleh Badan Energi Internasional untuk konferensi Durban.

Emisi CO2 di seluruh dunia menurun 1,5 persen dari 2008 hingga 2009. Namun, IEA memperkirakan bahwa tingkat emisi akan meningkat pada tahun 2010 dan terus meningkat, demikian pula dengan konsumsi bahan bakar fossil. IEA memperkirakan peningkatan tersebut akan sesuai dengan skenario terburuk yang dibuat oleh Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) dalam Laporan Kajian Keempat (2007), yang memproyeksikan kenaikan suhu rata-rata dunia antara 2,4 ° C dan 6,4 ° C pada tahun 2100.(Gambar dari Jakarta Globe, 30/11/2011)

Tingkat emisi CO2 tahun 1990-2009

Berikut adalah perubahan tingkat emisi CO2 dari pembakaran bahan bakar fossil, antara tahun 1990 dan 2009 untuk sejumlah negara dan kawasan:

Perubahan Secara Global + 38%
China + 206%
Timur Tengah + 171%
Amerika Latin + 63%
Spanyol + 38%
Canada + 20%
Amerika Serikat + 67%
German – 21%
Latvia – 64%
Negara-Negara Eropa Timur yang  ikut serta dalam Protokol Kyoto – 36%

(Sumber: Badan Energi Internasional, Emisi CO2 dari pembakaran bahan bakar fossil, 2011)

Negara mana yang merupakan penghasil emisi CO2 terbesar?

Sejak 2008, sebagian besar emisi CO2 dunia disumbangkan oleh negara, negara maju. Pada 2009, negara-negara maju bertanggung jawab atas 54% emisi. Dengan melihat lebih rinci, sesungguhnya hanya 10 negara yang bertanggung jawab memproduksi dua-pertiga emisi CO2 global. Dua diantaranya, Cina dan AS  keduanya menyumbang  hingga 41 persen dari emisi global.

Yang berbeda, berdasarkan basis per kapita, posisi emisi per kapita Cina hanya sepertiga emisi per kapita AS. Namun, tingkat emisi per kapita Cina meningkat 2,5 kali lebih tinggi dibandingkan pada tahun 1990, sedangkan tingkat per kapita AS menurun sebesar 13 persen.

Bagaimana kemungkinan keberhasilan di Durban?

Banya kalangan pesimis bahwa Durban akan menghasilkan sebuah kesepakatan yang ambisius dan mengikat.

Harapan untuk dihasilkan perjanjian yang menyeluruh mengenai emisi karbon global sangat rendah sejak kegagalan KTT Kopenhagen tahun 2009. Bahkan lebih rendah lagi seiring dengan krisis ekonomi sejak 2008 lalu. Krisis ekonomi di AS dan Eropa  yang kian  memburuk menyebabkan perubahan iklim tidak mendapat prioritas politik di negara-negara tersebut, akibatnya komitmen negara industri maju atas pendanaan dan alih teknologi yang merupakan bagaian paket kesepakatan perundingan perubahan iklim, sebagaimana dihasilkan oleh Rencana Aksi Bali di COP-13 juga sangat rendah.

Disadur dan diadaptasi dari FAQ: Climate Change Conference in Durban dari CBC News

Moving Planet Indonesia = Bersepeda 350 Jam Bali-Yogyakarta-Bandung

Oleh: Dimas Ari Prasojo dan Siti Badriyah

Bandung menjadi tempat pemberhentian terakhir 8 pesepeda terpilih untuk mengampanyekan pengurangan penggunaan BBM dan menyerukan perilaku ramah lingkungan setelah sebelumnya mereka bersepeda sejauh 1000 km selama 350 jam dari Bali melintasi Yogyakarta dan menepi di Balai Kota Bandung. Kegiatan yang bertajuk “Moving Planet : Gerakan 350 Jam Indonesia Bersepeda” dimulai sejak 13 September 2011 sampai dengan 24 September 2011 didukung oleh 350.org Greeners, WWF Indonesia, Greenpeace, IESR (Institute for Essential Services Reform) dan beberapa komunitas bersepeda termasuk Komunitas Sepeda Bike To Work.Continue reading

KTT RIO + 20 dan Peran Strategis Organisasi Masyarakat Sipil

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memutuskan untuk menyelenggarakan Konferensi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan (UN Conference on Sustainable Development/UNCSD) melalui resolusi sidang Majelis Umum PBB No. 64/236.

Konferensi tersebut rencananya akan dilangsungkan di Brasil 4-6 Juni 2012, sekaligus merayakan peringatan 20 tahun Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan (UN Conference on Environmen and Development/UNCED) di Rio de Jeneiro tahun 1992, dan perayaan 10 tahun Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) tentang Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development/WSSD) di Johannesburg, Afrika Selatan tahun 2002.

UNCSD bertujuan untuk mengamankan komitmen politik yang diperbaharui untuk mendukung pembangunan berkelanjutan, mengkaji kemajuan yang telah dicapai hingga saat ini dari implementasi hasil-hasil yang telah diputuskan dari berbagai pertemuan tingkat tinggi tentang pembangunan berkelanjutan.

Konferensi ini sendiri akan difokuskan pada dua hal utama: ekonomi hijau dalam kaitannya dengan pembangunan berkelanjutan dan pengurangan kemiskinan, dan kerangka kerja institusi untuk pembangunan berkelanjutan.

Untuk informasi lebih lanjut dan dokumen-dokumen tentang UNCSD/Rio+20 dapat mengunjungi situs: http://www.uncsd2012.org/rio20/

Sejak UNCED di Rio 1992, keterlibatan dari berbagai kelompok pemangku kepentingan dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan merupakan bagian dari proses politik serta inklusifitas pengambilan keputusan. Agenda 21 memformulasikan berbagai kelompok dengan berbagai kepentingannya  dalam 9 Kelompok Utama (Major Groups) yang terdiri dari: bisnis dan industri; anak-anak dan kaum muda; petani; masyarakat adat; pemerintahan lokal/daerah; organisasi non-pemerintah (NGO); komunitas ilmuwan dan akademisi; perempuan; pekerja dan serikat pekerja. Kategorisasi ini masih tetap berlaku hingga hari ini.

Kelompok NGO memiliki peranan yang strategis dalam setiap pertemuan dunia tingkat tinggi. Ditengah pertarungan berbagai macam kepentingan yang sangat mempengaruhi hasil konferensi tingkat tinggi mendatang, NGO menjadi kelompok yang dapat memastikan bahwa hasil konferensi nanti tidak melenceng jauh dari realitas kehidupan sehari-hari.

Selain itu, keikutsertaan NGO dapat juga ditujukan untuk memastikan bahwa pilar-pilar dan implementasi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan sejatinya dapat mendukung keadilan sosial dan ekonomi, pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan serta peningkatan pembangunan manusia.

Bersama-sama dengan kelompok masyarakat sipil lainnya, NGO menjadi kekuatan pengimbang untuk memastikan agar manfaat terbesar dari konferensi ini kelak diterima oleh masyarakat, khususnya kelompok-kelompok marginal yang selama ini lebih banyak menjadi korban “pembangunan,” yang mengandalkan pendekatan “business as usual” yang eksploitatif terhadap manusia maupun ekologi.

Aliansi NGO dan kelompok-kelompok utama seperti masyarakat adat, perempuan, anak dan kaum muda, buruh dan serikat pekerja serta masyarakat adat sesungguhnya dapat menjadi pengimbang kepentingan-kepenting korporasi dan pemilik modal. Dengan demikian pembahasan tentang “ekonomi hijau” (green economy) di Rio+20 dapat memberikan hasil yang dapat, diantaranya: melindungi hak-hak manusia generasi sekarang dan yang akan datang atas pembangunan dan daya dukung lingkungan yang cukup (sufficient), alih teknologi tepat guna yang dapat diproduksi secara massal dan murah oleh negara berkembang, serta  bantuan internasional (international aid) tidak secara serta merta digantikan dengan konsep “green investment” dimana bantuan internasional tetap dibutuhkan untuk mengurangi kemiskinan dan memangkas kesenjangan kemakmuran antara negara dan individu.

Investasi hijau (green investment) tetap dibutuhkan tetapi kiranya hal tersebut tidak mensubstitusi dan memupus komitmen bantuan dari negara-negara maju untuk negara miskin dan berkembang. Sebaliknya kedua instrumen ini harus berjalan seiring dan saling memperkuat untuk menghasilkan masa depan yang berkelanjutan dan berkeadilan.

Kutipan Wawancara antara IPS dan Michael Renner dari World Watch Institute (click link) tentang peran kunci NGO dalam proses Rio+20 dapat memberikan gambaran lebih lanjut isu-isu kunci apa saja yang perlu diperhatikan terkait dengan dua tema utama dari UNCSD 2012.

IESR beserta sejumlah organisasi non-pemerintah lainnya tergabung dalam Asia Pacific CSO untuk Rio+20. Kelompok ini adalah koalisi lepas dari berbagai organisasi yang ingin berkontribusi terhadap proses di kawasan Asia Pacific dan Global.  IESR membuka diri untuk berbagai masukan yang berkaitan dengan isu kemiskinan energi, keadilan iklim, dan keadilan pengelolaan sumberdaya alam (FT)

Jakarta, 08-09-2011

“Membumikan hari Bumi”

Oleh: Siti Badriyah

Hari bumi secara internasional pertama kali diperingati pada tanggal 22 April 1970. Namun bukan berarti manusia yang hidup pada era sebelumnya tidak pernah merayakan atau melakukan sesuatu hal yang positif untuk bumi. Hari Bumi dirancang untuk meningkatkan kesadaran manusia sebagai penghuni planet bumi dan apresiasi terhadap planet tersebut. Inisiatif tersebut digagas oleh Senator Amerika Serikat Gaylord Nelson seorang pengajar lingkungan hidup pada tahun 1970.

Melihat tujuan utama dari gagasan hari bumi adalah untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi manusia terhadap bumi maka terkandung makna yang cukup dalam. Kehidupan manusia tidak terlepas dari interaksi dengan bumi. Segala hal yang dilakukan manusia memiliki dampak positif maupun negatif terhadap bumi. Fakta yang terjadi atas perubahan kondisi bumi adalah suhu bumi sudah naik kurang lebih 0.7C+ 2◦C dalam satu abad terakhir (IPCC, 2007). Dampak kenaikan suhu bumi global telah menyebabkan perubahan iklim yang dampaknya sudah sangat nyata terjadi disekitar kita. Banjir bandang akibat curah hujan sangat tinggi dalam waktu singkat, tenggelamnya pemukiman warga di pesisir akibat naiknya muka air laut, penyakit demam berdarah dan malaria yang masih mengancam, kekeringan di berbagai daerah adalah beberapa akibat perubahan iklim yang kita amati di sekitar kita.

Segala hal yang dilakukan manusia atau organisasi yang menghasilkan emisi gas rumah kaca disebut sebagai jejak karbon. Beragam aktivitas keseharian kita menyebabkan meningkatnya jumlah jejak karbon penyebab pemanasan global. Seluruh aktivitas yang mengkonsumsi bahan bakar dan energi listrik, penggunaan kertas, sampah organik maupun an organik yang dihasilkan manusia, konsumsi air minum dalam kemasan, penggunaan kantong plastik dan lain sebagainya menghasilkan emisi karbon. Adalah hal yang harus kita berikan balik ke bumi atas jasa baik bumi yang memberikan ruang atmosfer untuk menampung jejak karbon manusia. Namun kini kondisi bumi sudah sangat kritis. Kadar CO2 sudah mencapai 392 ppm yang jauh melampai ambang batasnya agar kondisi aman yaitu 350 ppm (co2now.org).

Aktivitas di bawah ini adalah upaya nyata yang dapat kita lakukan untuk menyelamatkan bumi. Menjaga bumi berarti juga menyalamatkan hidup manusia sendiri. Menyelamatkan saudara-saudara kita yang rentan terhadap dampak perubahan iklim maupun berterima kasih dan menghargai bumi yang telah memberikan berbagai fasilitas menampung jejak karbon manusia. Mari terus kita bumikan semangat penghargaan bumi dalam kehidupan kita sehari-hari.

Langkah kecil untuk penghargaan bumi dengan pengurangan jejak karbon Anda :

1.    Mematikan lampu jika meninggalkan ruangan.
Matikanlah lampu saat Anda keluar ruangan untuk beberapa waktu yang lama.
Mematikan lampu selama satu jam yang berdaya 20 Watt jumlah jejak karbon yang kita kurangi adalah 17,8 gram CO2.

2.    Mencabut colokan listrik.

 

 

Mencabut colokan listrik, mematikan semua peralatan elektronik, dan tidak meninggalkannya dalam keadaan stand by dapat menghemat energi hingga 10%. Mudah bukan!

3.    Menggunakan transportasi umum

 

Bandingkan emisi karbon yang dihasilkan jika kita menggunakan kendaraan umum dengan  kendaraan pribadi. umlah emisi yang dihasilkan perjalanan menggunakan kendaraan umum adalah 0,19 gram CO2 per km dibandingkan dengan kendaraan pribadi sebesar 1,4 gram CO2. Menggunakan busway, kereta, bersepada, atau menggunakan transportasi umum akan jauh  memperkecil jejak karbon Anda. Tentu saja jika Anda menggunakan sepeda atau berjalan kaki  menuju ke tempat aktivitas Anda, jejak karbon Anda adalah nol!.

 

4.    Menggunakan kantong atau tas tersendiri untuk belanja

Menggunakan tas atau kantong sendiri saat berbelanja berarti Anda mengurangi jumlah sampah plastik. Sebisa mungkin menghindari penggunaan plastik dari pembelian makanan, jajanan, atau kebutuhan Anda.

5.    Menggunakan tempat minum sendiri.

 

Emisi yang dihasilkan setiap kali Anda mengkonsumsi air minum dalam kemasan 600 ml adalah 842 gram CO2. Angka emisi yang cukup besar. Oleh karena itu sebisa mungkin gunakan botol minum isi ulang sendiri disaat Anda bepergian atau di luar rumah. Lebih sehat, aman, dan pastinya lebih hemat!

6.    Menggunakan tempat makan sendiri
Di saat jam makan siang atau membeli makanan di luar, hindari pembelian makanan dengan pembungkus kertas atau plastik.

Setelah Anda selesai makan makanan tersebut sampah plastik pembungkus makanan Anda akan terbuang dan memperbanyak volume sampah anorganik yang ada di lingkungan kita.
Gunakan tempat makan Anda sendiri untuk membeli makanan di luar rumah atau kantor. Menggunakan tempat makan sendiri lebih sehat, aman, dan ramah lingkungan.

7.    Mengurangi konsumsi daging

Dengan mengurangi konsumsi daging berarti kita mengurangi gas methana yang dihasilkan dari kegiatan peternakan maupun dari produk daging tersebut. Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) pada tahun 2006 menyatakan bahwa sektor peternakan dunia  menyumbang 37% gas methana (72 kali lebih kuat daripada CO2 untuk potensi pemanasan global selama rentang waktu 20 tahun) dan 65% nitro oksida (296 kali lebih kuat daripada CO2). Seringkali kegiatan peternakan dilakukan dengan menebang hutan seperti yang terjadi di hutan Amazon Brasil dan di negara-negara berkembang lainnya.

8.    Menghindari styrofoam untuk mengurangi sampah anorganik dan menjaga kesehatan

Setiap kali Anda menggunakan styrofoam untuk pembungkus makanan berarti Anda berkontribusi terhadap sampah anorganik yang membutuhkan waktu urai alami dalam kurun 1.000 tahun.
Pemakaian styrofoam terus menerus dalam jangka waktu lama dapat meningkatkan risiko kanker, merusak sumsum tulang, dan sistem kekebalan tubuh. Di beberapa negara sudah melarang penggunaan styrofoam misalnya Jerman.

9.    Tidak menyisakan makanan yang kita makan

Menghabiskan seluruh makanan yang kita makan berarti tidak meninggalkan jejak karbon dalam setiap kali mengkonsumsi makanan. Setiap 30 gram (1 gorengan) makanan yang tidak kita habiskan 11,2 gram CO2.

10.    Menggunakan kertas print dengan bolak-balik dan menggunakan kertas bekas

Setiap lembar kertas HVS 70 gram yang kita gunakan untuk mencetak atau print dokumen menghasilkan jejak karbon 227 gram CO2. Setiap kali Anda menge-print dokumen atau artikel hendaknya di print bolak-balik

11.    Menanam pohon

Pohon adalah penyerap alami karbon dioksida yang merupakan gas terbesar jumlanya sebagai penyebab perubahan iklim. Semakin banyak pohon yang kita tanam berarti semakin banyak penyerap alami gas rumah kaca.

Jika langkah kecil tersebut secara nyata kita lakukan secara kontinyu maka Anda adalah bagian orang yang memberikan penghargaan terhadap bumi dan mendukung upaya memerangi pemanasan global.

Hitung dan kurangi jejak karbon Anda di: www.iesr.or.id atau di http://karbonkalkulator.iesr-indonesia.org.

Tips untuk Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca dari Aktivitas Sehari-hari

Oleh: Cut Rindayu

Jakarta Tanpa kita sadari, kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari ternyata cukup konsumtif dan boros energi. Dari meninggalkan lampu menyala di kamar kosong, memakai sedotan untuk minum, membeli air minum dalam kemasan setiap hari, sampai dengan membuang-buang kertas yang masih bisa dipakai.

Padahal, dengan menghemat energi listrik dan tidak konsumtif dengan pemakaian plastik dan kertas, kita bisa membuat bumi lebih sehat lho. Hal ini dikarenakan setiap konsumsi energi dan barang dari aktivitas kita sehari-hari menghasilkan emisi gas rumah kaca yang dapat mempercepat pemanasan global. Gas rumah kaca tersebut menciptakan bumi yang lebih hangat sehingga mengancam keselamatan organisme yang tinggal di dalamnya. Perubahan temperatur ini nantinya menyebabkan perubahan iklim.

Untuk itu, kita bisa mengurangi emisi gas rumah kaca dari aktivitas sehari-hari lewat cara berikut:

 

1.  Lakukan efisiensi energi:

–        Matikan lampu yang tidak anda gunakan.

–        Jangan meninggalkan peralatan elektronik dalam posisi stand by. Usahakan mencabut alat dari sumber listrik.

–        Kita tinggal di negara tropis, manfaatkanlah sinar matahari untuk penerangan dan juga untuk mengeringkan cucian Anda.

 

2.  Kurangi frekuensi menggunakan kendaraan bermotor pribadi:

–        Untuk jarak kurang dari 500 m biasakan berjalan kaki, selain itu lebih sehat kan.

–        Gunakan sepeda untuk transportasi yang tidak memiliki gas buang.

–        Untuk jarak lebih dari 3 km, anda bisa berbagi kendaraan (car pooling).

 

3.  Kurangi penggunaan air minum dalam botol kemasan dan sedotan:

–        Biasakan membawa tempat minum Anda sendiri.

–        Bila memungkinkan, hindari pemakaian sedotan plastik karena dapat menghasilkan emisi karbon cukup besar.

 

4.  Kurangi sampah organik Anda:

–        Olah sampah organik Anda menjadi kompos.

–        Pengurangan emisi sampah dapat dilakukan dengan lebih baik apabila disertai dengan pemisahan sampah organik dari non-organik.

 

5.  Kurangi penggunaan kertas:

–        Lakukan pencetakan bolak-balik (duplex) untuk mengehemat penggunaan kertas.

–        Untuk dokumen berupa draft dan tidak memerlukan kertas bersih, gunakan kertas bekas untuk cetak.

Semoga tips ini bermanfaat untuk pembaca. Bagi yang masih penasaran dengan apa itu emisi gas rumah kaca dari aktivitas sehari-hari manusia, bisa klik ke situs ini http://karbonkalkulator.iesr-indonesia.org/

Energi Pemuda untuk Memerangi Perubahan Iklim

Oleh: Linda Verniati (Tzu Chi Indonesia- volunteer TIMA, Presenter KJK IESR)

Untuk memerangi perubahan iklim dibutuhkan pemahaman dahulu mengenai apa yang sebenarnya sedang berlangsung pada lingkungan & bumi kita. Sebagian masyarakat mengeluh dengan perubahan kualitas udara dan sebagainya; tetapi mayoritas belum memahami apa yang mengakibatkan rasa tidak nyaman ini. Tidak juga pernah terlintas untuk mengerti saat ini seberapa parah penurunan kualitas udara di sekitarnya serta apa yang menjadi penyebab perubahan ini.

Hal ini mungkin akibat kondisi masyarakat Indonesia yang sedemikian padatnya; perjuangan untuk bertahan hidup telah menyita perhatian tiap individu. Pola kehidupan hedonisme… konsumtif dari masyarakat yang berkembang kuat dan kurang diikuti oleh pendidikan yang memadai; menjadikan mayoritas masyarakat Indonesia di kota-kota besar seperti kebingungan tak berdaya dan tidak ada upaya untuk berpikir untuk mengadakan perubahan gaya hidup. Mungkin kurangnya pengetahuan dan budaya membaca di masyarakat Indonesia yang lemah; sehingga pemahaman mengenai apa yang sebenarnya sedang berlangsung pada lingkungan & bumi di sekitarnya sangat minim. Kontribusi atau peran kaum muda dalam menahan ”laju pemanasan global” sangat dibutuhkan.

Penjelasan …. bimbingan untuk memahami keadaan ini akan sangat efektif pada kaum muda. Bahkan sudah harus diawali dari usia yg lebih dini. Kaum muda sebenarnya masih dapat kita bedakan pada dua lapisan yaitu kelompok remaja dan dewasa muda. Bimbingan yg diberikan pada remaja dampaknya lebih bermakna. Usia remaja adalah usia dimana mereka sedang berusaha mengenali lingkungan, rasa ingin tahunya sangat besar – ingin mengeksplorasi kehidupan disekitarnya. Apabila mereka diberi kesempatan & diarahkan untuk bereksplorasi untuk hal-hal yang bermanfaat, maka energi yang sangat besar tidak terbuang percuma. Mereka adalah kelompok yang mudah menerima hal-hal baru. Karena kelompok ini energik, aktivitasnya tinggi maka mereka akan menjadi kelompok penggerak hal-hal baru dalam lingkungannya; dan proses menyebarnya akan cepat.
Beberapa remaja masa kini, disebabkan orangtuanya harus berusaha keras memenuhi kebutuhan hidup; sehingga orang tua mereka kurang memberi perhatian & arahan yang tepat pada putra-putrinya; dan kelompok remaja ini mencari jati dirinya kadang ke arah yang tidak produktif, misalnya: gang motor, narkotika dan lain-lain. Sekilas terlihat persentase kelompok ini akhir-akhir ini meningkat.

Lapisan dewasa muda menjadi pilihan terakhir; karena perlakuan yang diberikan sudah kurang berdampak. Perhatian mereka sudah terserap untuk meningkatkan produktifitas, persaingan didunia kerja. Hanya akan berpengaruh apabila memiliki minat & awareness yang tinggi mengenai issue ini.

Kelompok pra remaja apabila dilibatkan sebagai peserta pelaksana; misalnya : melakukan penghijauan, pemilahan sampah dan lain-lain akan menjadi pendukung bagi kelompok remaja. Sehingga inti penggerak harus dibebankan pada kelompok remaja agar diarahkan sebagai pengerak serta ’think tank’ untuk pengembang program dengan ide-idenya yang ’fresh’.