Semiloka : Memperkuat Kontribusi Non-State Actors (NSA) untuk Percepatan Implementasi Aksi Perubahan Iklim di Indonesia

Aryaduta, 14 April 2016

Aksi-aksi perubahan iklim memerlukan pendekatan dan solusi inovatif yang melebihi dominasi pemerintah atau yang biasa dikenal dengan top-down approach. Peran dari non-state actors (pelaku-pelaku non-pemerintah) dilihat penting untuk mengisi kesenjangan (gap) dari pencapaian ambisi aksi mitigasi antara sebelum dan sesudah tahun 2020. Laporan UNEP pada tahun 2015 menyimpulkan bahwa komitmen aksi yang dilakukan oleh pelaku-pelaku non-pemerintah dapat menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 2,9 Gton CO2-eq di tahun 2020[1], hampir setengah dari komitmen aksi mitigasi perubahan iklim yang dilakukan oleh pemerintah.[2]

Paris Agreement telah menempatkan landasan yang kuat bagi inisiatif pelaku non-pemerintah (pemerintah lokal, kota, inisiatif swasta atau bisnis, dan organisasi non-pemerintah serta komunitas) untuk berpartisipasi dalam pencapaian tujuan tertinggi konvensi perubahan iklim, yaitu untuk membatasi kenaikan temperatur rata-rata lebih dari 2 derajat. Para pelaku non-pemerintah dapat melakukan aksi mitigasi dengan mengisi kesenjangan yang disebabkan oleh kurangnya aksi yang dilakukan oleh pemerintah yang tergabung di dalam UNFCCC.

Laporan UNEP di tahun 2015 telah mengidentifikasi sekitar 180 inisiatif kerja sama internasional, mencakup lebih dari 20.000 organisasi yang bertujuan untuk mengurangi emisi GRK melalui berbagai macam aktivitas. Pelaku inisiatif-inisiatif ini termasuk di dalamnya adalah bisnis dan perusahaan, kota dan regio, serta inisiatif sektoral. Walau demikian, laporan yang sama juga mencatat bahwa terdapat beberapa area lain yang belum dapat diatasi melalui aksi-aksi spesifik, dikarenakan lingkup inisiatif yang sangat luas dan beragam; mulai dari dialog tingkat tinggi hingga aksi-aksi mitigasi yang konkrit.

Institute for Essential Services Reform (IESR) didukung oleh Climate Knowledge Development Network (CDKN) mengadakan semiloka pada tanggal 14 April 2016 yang lalu, sebagai langkah pertama untuk mengerti kealamian (nature) dari inisiatif-inisiatif yang dilakukan oleh para pelaku non-pemerintah (NSA) yang ada di Indonesia, bagaimana perkembangannya, dan pada saat yang bersamaan berupaya untuk mengidentifikasi kesenjangan yang ada terkait dengan aksi-aksi mitigasi yang dilakukan. Beberapa pertanyaan dasar yang diharapkan dapat terjawab melalui semiloka ini antara lain:

  1. Siapa dan di mana lokasi kerja mereka (bisnis, kelompok masyarakat sipil, kota atau daerah, inisiatif sektoral?)
  2. Kegiatan apa saja yang dilakukan oleh pelaku-pelaku non-pemerintah ini?
  3. Bagaimana inisiatif-inisiatif yang mereka lakukan dapat dikaitkan dengan UNFCCC?
  4. Apa yang menjadi target dari NSA tersebut dan apa yang telah dicapai (dalam hal penurunan emisi)?

Mengerti kealamian dari inisiatif NSA ini akan sangat berguna untuk pengembangan kerangka dalam rangka mengintegrasikan NSA ke dalam Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia yang diperlukan untuk diajukan sesuai dengan Paris Agreement, serta untuk merancang mekanisme yang sesuai untuk tracking dan MRV, sehingga nantinya dapat dimasukkan ke dalam berbagai bentuk komunikasi Indonesia kepada UNFCCC, baik dalam bentuk biennial update report maupun national communication.

Semiloka ini terdiri dari tiga sesi dan menghadirkan beberapa narasumber, itu:

  1. Sesi 1: Framing session: Fabby Tumiwa, Institute for Essential Services Reform (IESR)
  2. Sesi 2: Aksi-aksi mitigasi yang dilakukan oleh pelaku-pelaku non-pemerintah:
  3. Ibu Sinta Kaniawati, Unilever
  4. Bapak Irvan Pulungan, ICLEI
  5. Ibu Indra Sari Wardhani, WWF Indonesia
  6. Sesi 3: Menjajaki kerangka MRV yang potensial di Indonesia:
  7. Bapak Hari Wibowo, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
  8. Bapak Dr. Hardiv Situmeang, KNI-WEC
  9. Bapak Dicky Erwin Hendarto, Sekretariat JCM di Indonesia
  10. Bapak Paul Butarbutar, South Pole

[1] UNEP 2015. Climate commitments of sub-national actors and business: A quantitative assessment of their emission reduction impact. United Nations Environment Programme (UNEP), Nairobi

[2] http://www.ecofys.com.

Paris Agreement dan Implikasinya terhadap [I]NDC Indonesia

Pada pertemuan terakhir COP 21 pada hari sabtu malam, 12 Desember 2015 di kompleks Le Bourget, Paris, setelah berunding selama dua minggu delegasi dari 196 negara akhirnya menyepakati Paris Agreement (Kesepakatan Paris). Sebelumnya negosiasi sepanjang minggu kedua berlangsung dengan cukup alot. Negosiasi COP 21 yang seharusnya berakhir di hari Jumat, diperpanjang satu hari. Para peserta COP 21 juga masih dibayang-bayangi kegagalan COP 15 di Copenhagen enam tahun sebelumnya. Kegagalan di Copenhagen bahkan nyaris menghancurkan proses negosiasi perubahan iklim itu sendiri.

Paris Agreement1Untungnya proses negosiasi yang dilakukan secara maraton oleh Presiden COP, yang juga Menteri Luar Negeri Prancis, Laurent Fabius sejak Sabtu siang hingga malam berhasil mengakomodasi kepentingan dan posisi berbagai negara dan blok negosiasi. Titik temu dan kesepahaman berhasil tercapai terutama untuk isu-isu yang masih alot dibahas hingga Sabtu pagi, diantaranya: target temperature global, diferensiasi, fleksibilitas dan dukungan bagi negara berkembang untuk melakukan aksi.

Kesepakatan kunci dalam Paris Agreement terkait dengan aksi mitigasi

  1. Menjaga kenaikan temperatur global dibawah 2°C dan berusaha untuk menjaga kenaikan temperatur global pada 1,5°C (Article 2). Isi artikel 2 menyatakan bahwa kenaikan temperatur dibatasi dibawah 2°C dengan target akhir 1,5°C diatas temperatur bumi di era pra-industri. Target ini merupakan kesepakatan yang ambisus sekaligus terobosan dalam perundingan perubahan iklim. Target 2°C dan 1.5°C pertama kali muncul sebagai pilihan dalam naskah Copenhagen Accord. Pada saat itu, batas kenaikan temperatur 2°C dianggap sebagai sebuah kompromi tetapi batas tersebut bukanlah kompromi yang baik karena kenaikan hingga 2°C dikuatirkan telah melampaui tipping point, menurut penasehat perubahan iklim Kanselir Jerman, Hans Joachim Schellnhuber. Sedangkan ahli perubahan iklim NASA, James Hansen, menyatakan jika terjadi pemanasan global sebesar 2°C maka akan ada konsekuensi yang dapat dikatakan sangat merusak (disastrous). Dengan demikian, menjaga kenaikan temperatur tetap dibawah 2°C, bahkan 1,5°C merupakan pilihan yang lebih aman bagi masa depan manusia dan ekosistem.
    Kenaikan temperatur global sudah terjadi. Pada bulan November 2015, NOAA mencatat kenaikan temperatur global telah mencapai hampir 1°C. Dengan demikian dibutuhkan upaya ekstra keras untuk membatasi kenaikan temperatur dibawah 2°C dan stabil pada 1,5°C pada akhir abad ini.
  1. Emisi Netto Nol (net-zero emission) sebagai tujuan jangka panjang (Article 4). Isi article 4 mengisyaratkan bahwa untuk mencapai gol temperatur global jangka panjang yaitu kenaikan dibawah 2°C dan menuju 1,5°C, maka emisi global harus mencapai puncak segera mungkin dan turun hingga “tercapai keseimbangan antara gas-gas emisi anthropogenic sesuai sumbernya dan penghilangan oleh suang-suang (sinks) pada paruh kedua abad ini.” Net-zero emission berarti emisi dapat naik tetapi harus diimbangi dengan teknologi yang mengandung emisi negatif (teknologi yang menyerap emisi). Jika secara global tercapai net-zero emsission artinya terjadi carbon neutral. IPCC menyatakan bahwa untuk mencapai net-zero emission maka emisi dari fossil fuel harus turun pada rentang 2040-2070 dan setelah itu menjadi nol. Kajian Climate Analytics menyatakan untuk mencapai target 2°C maka besaran emisi pada tahun 2050 hanya separuh dari besaran emisi 2010, dan net-zero emission harus tercapai antara 2080-2100. Untuk mencapai target 1,5°C maka besaran emisi pada tahun 2050 hanya boleh mencapai 5-30% dari besaran emisi 2010 dan net-zero emission harus tercapai pada 2060-2080.
  1. Janji untuk membatasi emisi gas rumah kaca melalui Nationally Determined Contribution (NDC). Aksi mitigasi sukarela seluruh negara anggota UNFCCC mulai dilakukan paska COP 15 Copenhagen. Saat itu seluruh negara diminta menyampaikan dukungan penurunan emisi sebagaimana yang tercantum dalam Copenhagen Accord. Pada COP 16 Cancun, proses ini diformalkan dan negara–negara anggota UNFCCC pun diminta untuk menyampaikan rencana penurunan emisi GRK hingga 2020. Keputusan Ad Hoc Working Group on Durban Platform (ADP) dalam 1/CP. 19 meminta negara-negara melakukan persiapan penyusunan Intended Nationally Determine Contribution (INDC) paska 2020, terlepas dari bentuk legal kontribusi tersebut. Keputusan 1/CP.20 mengundang para negara anggota UNFCCC untuk menyampaikan INDC sebelum COP 21. Hingga akhir 2015, terdapat 160 submisi Intended Nationally Determined Contribution (INDC) yang mencakup 188 negara. INDC yang disampaikan tidak hanya mencakup komponen mitigasi tetapi juga adaptasi. Dalam articles 4.2 dan 4.3, disepakati bahwa setiap negara akan mempersiapkan dan mengkomunikasikan Nationally Determine Contribution (NDC) yang merupakan aksi mitigasi di tingkat domestik yang seambisius mungkin. Pada article 4.4. Upaya mitigasi dipimpin oleh negara maju dengan menerapkan economy-wide absolute emission reduction target, sedangkan negara berkembang dihimbau untuk meningkatkan target penurunan emisi mereka dan perlahan menuju economy wide emission reduction/limitation target.
    Menurut perhitungan Climate Interactive dengan menggunakan model C-ROADS, submisi INDC yang sifatnya unconditional (tanpa syarat) masih mengarah pada trend kenaikan temperatur global 3,5°C pada akhir abad ini. Hasil ini sedikit berbeda dengan perhitungan yang dilakukan oleh Climate Action Tracker (CAT) yang mencakup seluruh janji (pledges) dalam INDC baik bersyarat maupun tidak, yang menghasilkan penurunan atas proyeksi kenaikan temperatur global menjadi 2,7°C, jika janji tersebut tercapai seluruhnya.
    Walaupun berbeda, kedua hasil ini menunjukan bahwa janji penurunan emisi negara-negara anggota UNFCCC dalam bentuk INDC masih belum cukup untuk memenuhi target penurunan emisi untuk mencapai target yang dicanangkan dalam Article 2 Paris Agreement.
  1. Global stocktake secara berkala. Artice 14.1 dan 14.2 menyepakati proses tinjauan global dimana tinjauan proses tinjauan terhadap kemajuan implementasi Paris Agreement dilakukan melalui global stocktake yang dimulai pada tahun 2023 dan setiap lima tahun sesudahnya. Tujuan dari global stocktake ini adalah adalah memberikan informasi kepada negara-negara untuk memutakhirkan dan meningkatkan aksi dan dukungan mereka. Proses stock taking akan dimulai pada 2018 untuk mengkaji hasil implementasi penurunan emisi secara sukarela pra-2020 terhadap target yang dicantumkan dalam Paris Agreement article 2.1 serta dalam rangka mempersiapkan NDC yang disampaikan pada tahun 2020.

Implikasi target kenaikan temperatur global dibawah 2°C dan 1,5°C

Kajian yang dilakukan oleh Climate Interactive dengan menggunakan perangkat pemodelan C-ROADS memberikan gambaran berbagai skenario hasil dari aksi mitigasi global terhadap target Paris Agreement (Gambar 1).

Gambar 1. Ringkasan skenario dan perhitungan emisi GRK

Paris Agreement2

 

Skenario:

  1. Business as Usual (BaU): tidak ada aksi mitigasi yang dilakukan. Kenaikan temperatur global akan mencapai 4,5°C
  2. INDCs Strict: tidak ada perubahan selepas janji penurunan emisi yang disampaikan dalam INDC. Kenaikan temperatur global akan mencapai 3,5°
  3. Ratchet 1: INDC ditambahkan dengan janji penurunan emisi terus berlanjut pasca periode penurunan berakhir (2025 atau 2030). Temperatur global akan naik mencapai 3°
  4. Ratchet 2: INDC ditambah dengan China menambahkan jenis GHG dan menurunkan emisi GRK-nya setelah mencapai puncak (emission peak) pada 2030 sebesar 2% per tahun. Temperatur global akan naik mencapai 2,6°
  5. Ratchet Success: INDC ditambah dengan semua negara dapat mencapai puncak emisi (emission peak) sebelum 2030, dan setelah itu emisinya berkurang secara bertahap. Temperatur global akan naik mencapai 1,8°
  6. Ratchet to 1,5: INDC ditambah dengan negara maju melakukan pemotongan yang tajam (deeper cuts), emisi negara-negara lainnya mencapai puncak (peak) pada 2025 dan setelah itu turun secara bertahap.

Dari skenario ini dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai target kenaikan temperature dibawah 2°C, maka emisi GRK pada tahun 2050 harus dikurangi hingga mencapai separuh emisi GRK di tahun 2010 yaitu sebesar 23 GtCO2eq/tahun. Sedangkan untuk mencapai target 1,5°C maka emisi global harus dikurangi hingga kurang dari seperlima dari emisi GRK di tahun 2010, yaitu sebesar 12 GtCO2eq/tahun.

Implikasi terhadap [I]NDC Indonesia

Menurut kajian Climate Action Tracker (CAT), INDC Indonesia (tanpa memperhitungkan emisi dari kehutanan) dikategorikan insufficient untuk memenuhi target 2°C (gambar 2). Penilian CAT didasarkan pada ketidakjelasan penurunan emisi untuk setiap sektor, termasuk ketidakjelasan penurunan emisi dari penurunan laju deforestasi.

Gambar 2. Penilaian INDC Indonesia oleh CAT

 

Paris Agreement3

Dengan menggunakan data output dari skenario hasil pemodelan C-ROADS maka hasil perhitungan yang saya lakukan secara kasar dengan mempertimbangkan proporsionalitas prosentase emisi Indonesia yang tetap terhadap emisi global. Pada tahun 2030, emisi Indonesia diperkirakan mencapai 3,5-3,7% dari total emisi global berdasarkan skenario INDC. Perhitungan saya menunjukan bahwa untuk berkontribusi terhadap skenario kenaikan temperatur dibawah 2°C maka target emisi Indonesia dalam INDC sebesar 2,045 GtCO2eq/tahun di tahun 2030 harus turun sebesar 18% sehingga mencapai 1,676 GtCO2eq/tahun. Untuk berkontribusi terhadap target 1,5°C maka di tingkat emisi INDC di tahun 2030 harus turun sebesar 33% sehingga mencapai 1,37 GtCO2eq/tahun. Masing-masing 10% diatas dan 6% dibawah level emisi Indonesia tahun 2010.

Berdasarkan perhitungan kasar ini maka, penurunan emisi Indonesia pada 2030 harus mencapai 42% dari emisi BAU (2,881 GtCO2eq) untuk mendukung target kenaikan temperatur dibawah 2°C dan 52% dari emisi BAU untuk mendukung target kenaikan temperatur 1,5°C.

[1] Direktur Eksekutif IESR dan Koordinator Climate Action Network South East Asia (CANSEA), salah seorang negosiator RI pada COP 21.

Elpiji

Tahun 2014 baru berjalan beberapa hari tetapi masyarakat sudah disuguhkan dengan parodi tentang harga elpiji. Pada awal tahun Pertamina mengumumkan menaikkan harga bahan LPG (elpiji) tabung 12 kg sebesar 68%, setelah penyesuaian harga terakhir pada Oktober 2009. Dengan kenaikan ini, harga LPG yang semula 5850 rupiah/kg menjadi 9809/kg sehingga menjadikan harga satu tabung LPG 12 kg menjadi 117.708 rupiah dari 70.200 rupiah.

Kenaikan ini rupanya dimanfaatkan oleh pengecer untuk mengerek harga jual eceran LPG diatas harga resmi Pertamina, bahkan di Papua LPG dijual dengan harga 300 ribu rupiah. Sontak kenaikan ini menjadi topik besar di media cetak dan elektronik, apalagi menjadi headline setelah media memuat protes dari kalangan dari politisi sampai pengusaha warteg, dan ibu rumah tangga, serta mempertanyakan langkah tersebut.

Menteri ESDM berdalih kenaikan tersebut adalah keputusan Pertamina dan tidak dikonsultasikan dengan pemerintah. Adapun ketentuan Permen ESDM No. 26/2009 pasal 25 (b) menyatakan penetapan harga LPG non-subsidi/PSO dilaporkan kepada Menteri ESDM. Sedangkan menurut Pertamina kenaikan harga LPG 12 kg diputuskan oleh RUPS dengan dasar hasil audit BPK yang menilai pada tahun 2011/2012, Pertamina mengalami kerugian 7.7 triliun dari penjualan LPG 12 kg dan 50 kg.

Hanya selang 5 hari setelah kenaikan terjadi, secara mengejutkan Presiden mengadakan rapat kabinet terbatas di Bandara Halim dan akhirnya meminta Pertamina meninjau ulang kenaikan tersebut dalam waktu sehari. Sesuai arahan Presiden, pada batas waktu yang ditetapkan Pertamina mengumumkan harga baru Elpiji yang hanya mengalami kenaikan 1000 rupiah/kg, menjadi 6850 rupiah/kg atau 82.200 rupiah untuk ukuran 12 kg. Harga baru ini berlaku sejak 7 Januari 2013.

Pertamina menyatakan, walaupun ada kenaikan, perusahaan pelat merah tersebut masih menanggung kerugian. Keputusan ini sepertinya melegakan konsumen elpiji 12 kg yang sebagian besar adalah rumah tangga menengah dan restoran. Bagi pemerintah, mempertahankan tingkat harga LPG 12 kg sejatinya dapat mengurangi resiko fiskal akibat meningkatnya permintaan LPG 3 kg yang masih disubsidi. Migrasi pengguna LPG 12 kg akibat kenaikan harga yang kelewat tinggi dapat menimbulkan disparitas yang besar untuk harga produk LPG 12 kg dan 3 kg. Penurunan harga LPG sudah pasti menyelamatkan citra Presiden dan partai pimpinan Presiden yang bersiap menyambut Pemilu 2014.

Walaupun ketetapan telah diambil, ada sejumlah hal yang perlu menjadi catatan publik terkait dengan keputusan ini, yaitu:

Dasar kenaikan harga sebesar 1000 rupiah/kg. Dari berbagai pemberitaan media, tidak cukup jelas apa dasar keputusan menaikkan harga LPG sebesar itu. Mengapa bukan 500 rupiah/kg atau 1500 rupiah/kg atau lebih? Apakah keputusan ini berlandaskan pada perhitungan ekonomis biaya penyediaan LPG Pertamina?

Kewenangan dan mekanisme penentuan harga LPG non-subsidi (tabung 12 kg). Saat ini bisa dibilang kebijakan dan regulasi yang cukup tegas soal penentuan harga LPG 12 kg masih minim dan kurang jelas. Regulasi tentang harga LPG non-subsidi diatur oleh Permen ESDM No. 26/2009 telah menyebutkan harga jual LPG untuk pengguna LPG umum ditetapkan oleh badan usaha dengan berpedoman pada harga patokan LPG, kemampuan daya beli konsumen dalam negeri, dan kesinambungan penyediaan dan pendistribusian. Dengan kata lain, untuk LPG 12 kg pemerintah tidak berwenang menetapkan harganya, melainkan diserahkan kepada Pertamina selaku Badan Usaha. Walau demikian, berkaca dari parodi kenaikan harga LPG yang baru saja terjadi, implementasi peraturan ini tidak dilaksanakan secara konsisten untuk kasus Pertamina. Walaupun dalam konteks Permen ESDM No. 26/2009 pasal 25 (b), kenaikan harga tersebut dilaporkan kepada Menteri ESDM, tidak ada kewenangan pemerintah membatalkan keputusan Pertamina. Tanpa adanya kejelasan terkait mekanisme, kewenangan dan tanggung jawab atas penentuan harga LPG non-subsidi (PSO) khususnya yang diproduksi Pertamina, masyarakat akan menghadapi kondisi yang serupa dan politisasi dalam penetapan harga jual LPG non-subsidi.

Biaya produksi LPG Pertamina. Keputusan kenaikan harga tidak menjawab pertanyaan publik tentang biaya produksi LPG Pertamina. Hanung Budya, Direktur Bisnis dan Pemasaran Pertamina menyampaikan bahwa Pertamina menanggung kerugian sebesar 22 triliun sejak 2008 sampai 2013 karena selisih antara harga jual LPG dengan harga kontrak (contract price) dengan Saudi Aramco yang naik dari $515 per metric ton, menjadi $ 873 per metric ton. Walaupun penjelasan ini rasanya rasional, tetapi tidak menjawab secara transparan struktur dan besaran biaya penyediaan LPG Pertamina. Dari seluruh LPG produksi Pertamina, 20% berasal dari produksi Pertamina, 20% dari Kontraktor Kerjasama Migas (KKS) dan 60% berasal dari hasil impor.

Transparansi biaya produksi LPG baik subsidi dan non-subsidi sangat relevan, tidak hanya untuk pengguna LPG 12 kg, tetapi lebih mendesak untuk perhitungan besaran subsidi LPG 3 kg yang setiap tahun dialokasikan di APBN. Sejauh ini patokan biaya LPG 3 kg ditetapkan oleh Keputusan Menteri ESDM yang menjadi dasar perhitungan biaya produksi. Keputusan ini menggunakan harga CP Aramco, ditambah dengan biaya pengolahan dan handling. Walaupun demikian, biaya produksi LPG 12 kg bisa saja berbeda dengan LPG 3 kg karena sumber pasokan bahan baku yang tidak berasal dari Aramco tetapi dari Pertamina dan KKS. Data menunjukkan bahwa Pertamina memasok 977 Metric Ton LPG 12 kg dan 4.39 Metric Ton LPG 3 kg pada tahun 2013. Pasokan LPG 12 kg hanya 18.4% dan LPG 3 kg sebesar 80.16% dari total LPG produksi Pertamina. Transparansi biaya produksi ini diperlukan mengingat Pertamina adalah BUMN dan secara alami menguasai bisnis produk LPG, yang merupakan bahan bakar utama bagi rakyat Indonesia, setelah minyak tanah tidak lagi tersedia.

Regulasi harga dan pengawasan tata niaga LPG. Permen ESDM No. 26/2009 tentang harga jual LPG untuk umum ditentukan oleh Badan Usaha dengan mengacu pada 3 hal: harga patokan, daya beli konsumen dan kesinambungan penyediaan dan pendistribusian. Regulasi ini mengandung sejumlah defisit. Dalam ketentuan regulasi ini tidak dijelaskan apa yang dimaksud harga patokan, dan siapa yang berhak menentukan harga patokan, siapa yang menentukan tingkat kemampuan konsumen, apa dasar penilaiannya. Bisa dikatakan pasal 25 Permen ESDM No. 26/2009 dimaksudkan untuk mengatur, tetapi secara substansi ada keengganan untuk mengatur harga jual LPG, dan memberikan keleluasaan kepada Badan Usaha untuk menentukan harga secara subjektif. Regulasi ini juga tidak mengatur bagaimana harga ditetapkan pada tingkat agen dan pengecer, sehingga dapat terjadi perbedaan harga LPG yang terlampau besar di tingkat pengecer dengan distributor.

Dalam pengawasan, tidak terlalu jelas institusi yang mendapatkan tugas dan kewenangan dalam distribusi LPG non-subsidi. BPH Migas yang dibentuk oleh UU No. 22/2001 tidak secara jelas berwenang mengawasi tata niaga LPG baik subsidi maupun non-subsidi, demikian juga Dirjen Migas. Adapun jika konsisten dengan tupoksi BPH Migas, pengawasan tata niaga LPG seharusnya menjadi kewenangan lembaga ini. Kejelasan regulasi dan mekanisme yang baku dan jelas diperlukan untuk memastikan tata niaga LPG diawasi secara baik untuk kepentingan masyarakat umum.

Jakarta, 8 Januari 2013

Climate Conference Warsawa dan Topan Haiyan

Fabby Tumiwa

Climate Conference COP 19/CMP 9 dibuka pada 11 November 2013 dengan suasana prihatin dari para pesertanya. Negara-negara berkembang menyampaikan keprihatinan dan simpatinya atas bencana topan badai Haiyan yang melanda Filipina dan Vietnam minggu lalu, yang telah menyebabkan puluhan ribu orang kehilangan tempat tinggal dan ribuan lainnya meregang nyawa.

 

Climate Conference Warsawa dan Topan HaiyanKepala delegasi Filipina secara emosional meminta kepada para peserta konferensi untuk “mengakhiri kegilaan” pemanasan global yang memicu iklim ekstrim. Mengutip bahwa topan Haiyan adalah badai terburuk dan terdahsyat yang pernah tercatat dalam sejarah.

Berbagai kalangan merefleksikan frustrasi terhadap proses negosiasi yang panjang dan bertele-tele, setelah hampir 20 tahun dengan 19 kali COP menegosiasikan isu perubahan iklim, negara-negara anggota UNFCCC belum dapat mencapai kesepakatan menurunkan emisi secara signifikan sesuai dengan rekomendasi Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Pada laporan pertama tahun 1990, IPCC merekomendasikan penurunan emisi 90% dari tingkat emisi 1990. Setelah dua puluh tahun, kesepakatan Protokol Kyoto hanya mampu menurunkan emisi sekitar 3%.

Memasuki abad 21, emisi GRK negara maju tetap menanjak, diikuti oleh peningkatan drastis emisi negara-negara berkembang yang memasuki fase transisi ekonomi. Laporan IPCC ke-5 memberikan indikasi bahwa kita telah menghabiskan lebih dari separuh “anggaran karbon” yaitu volume gas rumah kaca yang terakumulasi sepanjang waktu sejak abad ke-19. IPCC menghitung “anggaran karbon” untuk menghindari kenaikan temperatur rata-rata tidak lebih dari 2oC dari level tahun 1861-1880, adalah sebesar 840 Gt, sekitar 531 Gt sudah dilepas ke atmosfer. Sisanya akan habis dalam waktu 30-40 tahun mendatang jika tidak ada penurunan laju emisi GRK yang signifikan.

Dalam pidato pembukaannya, Christina Figueres, Sekretaris Eksekutif UNFCCC, mengajak para peserta konferensi untuk menarik nafas dalam, sebum melanjutkan pidatonya dengan menyatakan “we are the first human beings to ever breathe air with 400 ppm CO2.”

Dr. Rajendra Pachauri, Chairman IPCC menyatakan bahwa konsentrasi 400 ppm CO2 akan dapat dicapai pada akhir tahun ini, sekaligus mengingatkan akan berbagai dampak perubahan iklim dan tekanan yang dihadapi oleh ekosistem seiring dengan laju pengingkatan emisi GRK di atmosfer.

Kita berharap bahwa bencana topan Haiyan dapat mengugah dan menginspirasi serta memaksa negara-negara yang terlibat dalam negosiasi untuk mencapai kesepakatan awal di Warsawa atas rencana aksi mitigasi dan adaptasi sebelum 2020, dan rencana yang lebih ambisius lagi pasca 2020, kesepakatan mengenai pendanaan untuk membantu negara-negara berkembang melakukan mitigasi dan adapatasi, serta beranjak menuju jalur pembangunan ekonomi rendah karbon, mekanisme kompensasi bagi negara dan masyarakat yang rentan terhadap perubahan iklim dan terkena dampak akibat bencana iklim yang terjadi.

Kita mendesak negara-negara maju untuk menunjukkan kepemimpinan dalam bentuk komitmen aksi mitigasi GRK yang lebih ambisius dari sekarang hingga 2020, dan setelah 2020, dan kemauan negara berkembang untuk secara sukarela membuat rencana pengurangan emisi yang terukur sesuai dengan prinsip Common But Differentiated Responsibility and Respective Capability (CBDR-RC).

Warsawa, 12 November 2013

Jurnal Rio + 20

Pembangunan berkelanjutan identik dengan masa depan. Dalam laporan Our Common Future, yang dirilis oleh World Commission on Environment and Development atau yang juga dikenal sebagai Brundtland Commission tahun 1987, “Pembangunan berkelanjutan” menemukan maknanya: “pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya.”

Laporan yang dikeluarkan oleh komisi tingkat tinggi yang dipimpin oleh Gro Harlem Brundtland, perempuan berkharisma dan cerdas, yang juga mantan Perdana Menteri Norwegia, demikian berpengaruh sekaligus berperan atas terselenggaranya Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development) yang pertama lima tahun kemudian. Konferensi ini melahirkan Agenda 21, yang menempatkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan sebagai intinya.

Dua puluh tahun, kemudian, puluhan ribu orang yang terdiri dari para pemimpin dunia, kelompok-kelompok masyarakat sipil, bisnis, dan kelompok-kelompok kepentingan lainnya, menjejakkan kakinya ke Rio de Jeneiro, berusaha untuk memperjuangkan dan memberi makna atas masa depan dalam Konferensi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan, atau yang juga dikenal sebagai Rio+20 pada 20-22 Juni 2012.

Karena konferensi ini sejatinya adalah forum perundingan internasional, sebelum itu terdapat tiga pertemuan persiapan untuk membahas hasil dari konferensi. Basisnya adalah rancangan (draft) dokumen hasil (outcome document) yang dinamakan The Future We Want.” yang menjadi bahan negosiasi di rapat persiapan ke-3 sebelum Rio+20, 13-15 Juni yang lalu.

Judul naskah ini sepertinya berusaha merefleksikan gagasan dan semangat untuk membuat masa depan yang lebih baik untuk generasi mendatang, ditengah hadirnya tiga krisis yang mengancam masa depan kita: bencana karena perubahan iklim, ketidakadilan dan ketidaksetaraan global dalam hal ekonomi, politik dan sosial, serta konsumsi yang tidak berkelanjutan akibat sistem ekonomi yang rusak.

Pertanyaan terpenting adalah, siapa yang berhak menentukan “masa depan yang kita inginkan?” Apakah sekelompok kepala negara yang dipilih secara demokratis atau tidak, para CEO korporasi dunia, yang barang dan jasa yang mereka hasilkan menguasai hajat hidup milyaran orang di dunia, para aktivis LSM yang gemar mengklaim berjuang untuk “rakyat” yang memenuhi kota Rio, atau sekelompok negosiator yang bergerilya dari ruang perundingan satu dan lainnya di RioCentro?

Saya tidak punya jawaban atas pertanyaan diatas. Tetapi saya percaya bahwa setiap umat manusia diatas bumi ini berhak bercita-cita dan mengekspreksikan masa depan yang dia inginkan.

Salah satu hal menarik di arena KTT di RioCentro adalah inisiatif untuk menuliskan ide tentang masa depan yang diinginkan oleh peserta konferensi Rio+20. Organisasi Terre des Hommes, meminta siapapun menuliskan gagasan dan harapan masa depan yang diinginkan oleh setiap individu, dan menempelkannya di dinding yang terletak di hall kedatangan di kompleks Rio Centro. Entah sudah berapa lama, ajakan ini dimulai, tapi ketika saya menjejakkan kaki untuk pertama kalinya ke Rio Centro hari minggu lalu, sudah ada ratusan kertas warna-warni yang tertempel dengan indah, dengan tulisan berbagai bahasa.

Semoga pemimpin, negosiator, aktivis, lobbyist, maupun para penggembira, dan seluruh yang mengikuti konferensi ini punya waktu mampir, membaca, dan merenungi arti dari goresan-goresan ini.

Para pembaca, What Future You Want?

Rio de Jeneiro, 18 Juni 2012

Berita Utama : Subsidi Salah Sasaran

19 April 2010

Oleh Fabby Tumiwa

image

TIDAK dipungkiri bahwa tenaga listrik telah menjadi bagian yang melekat dalam pembangunan peradaban manusia modern. Sejak Thomas A Edison membangun pembangkit listrik di Pearl Street, New York City, pada September 1882, listrik pun mulai merambah seluruh dunia.

Apabila dibandingkan dengan nilai mata uang saat ini, pada waktu itu, konsumen Edison membayar harga yang setara dengan 5 dolar (sekitar Rp 45 ribu ) per kilowatt-jam (KWH) listrik yang dipakai untuk menyalakan lampu pijar sederhana.

Perkembangan teknologi kelistrikan membuat biaya pembangkitan tenaga listrik lebih rendah. Walaupun demikian, biaya investasi pembangkit listrik masih cukup mahal. Pembangunan sebuah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara kapasitas 1000 MW dengan teknologi konvensional membutuhkan investasi sebesar 1,5 miliar dolar (Rp 14 triliun). PLTU tidak dapat menghasilkan listrik jika bahan bakar tidak tersedia.

Dalam konteks Indonesia, apabila harga batu bara 60 dolar per ton, maka biaya pembangkitan sebesar 4,5 cents dolar per KWH, atau kira-kira 400 rupiah. Jika bahan bakar yang dipakai adalah BBM, dengan harga BBM 70 dolar per barel, maka biaya produksi 1 KWH tenaga listrik adalah Rp 2.000.

Ini baru biaya produksi, untuk sampai di rumah kita, maka ada tambahan 40 persen lagi biaya transmisi, distribusi dan ongkos pelayanan. Dengan komposisi bauran energi PLN dan harga energi primer saat ini, maka biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik diperkirakan sekitar Rp 1.000. BPP berfluktuasi tergantung pada harga energi primer dan volume yang dibakar.
Sesuai dengan UU Kelistrikan, tarif dasar listrik (TDL) ditetapkan oleh pemerintah. Sejak Oktober 2003, TDL rata-rata adalah Rp 620 per KWH. Kenaikan harga minyak dunia sejak 2005 dan ketidakpastian pasokan gas alam untuk pembangkit PLN menyebabkan BPP merangkak naik. Pada tahun 2010, PLN menyatakan BPP tenaga listrik sebesar Rp 1.380 per KWH.

Salah satu penyebab tingginya BPP adalah harga BBM yang merangkak naik dan volume BBM yang tetap tinggi untuk PLTD maupun untuk subsitusi gas alam. Audit BPK baru-baru ini misalnya menyimpulkan bahwa akibat membakar BBM bukannya bahan bakar gas alam di enam PLTGU milik PT Indonesia Power, salah satu anak perusahaan PLN, potensi kerugian mencapai Rp 27,94 triliun pada tahun 2008.

Selisih antara TDL yang dibayarkan masyarakat dan BPP listrik ditutupi oleh subsidi APBN. Sejak tahun 2005, subsidi listrik terus bertambah dan pada puncaknya pada tahun 2008, subsidi listrik pun mencapai Rp 80 triliun. Untuk tahun 2010, semula subsidi listrik diperkirakan sebesar Rp 37,8 triliun tetapi seiring dengan kenaikan harga minyak dunia dan kegagalan mengurangi konsumsi BBM, subsidi tahun ini diperkirakan mencapai Rp 57 triliun, kira-kira hampir 5 persen dari keseluruhan APBN tahun ini.

Pelanggan PLN, khususnya pelanggan rumah tangga sangat dimanjakan oleh subsidi listrik. Padahal dari 230 juta rakyat Indonesia, baru 65 persen saja yang dapat menikmati listrik. Sekitar 90 juta rakyat Indonesia masih menggunakan penerangan non-listrik, bahkan mengeluarkan ongkos untuk mendapatkan penerangan yang jauh lebih mahal dengan kualitas yang rendah pula.

Praktik kebijakan subsidi listrik (dan BBM) selama ini tidak hanya menghambat penetrasi eletrifikasi, tetapi juga salah sasaran. Subsidi listrik yang tinggi, secara langsung mengurangi anggaran untuk pembangunan infrastruktur ekonomi dan sosial, termasuk pengembangan infrastriktur kelistrikan dan program listrik perdesaan. Selama 10 tahun terakhir, investasi untuk pembangunan infrastruktur ketenaga listrikan jauh dibawah jumlah yang dibutuhkan untuk menjamin kualitas pasokan dan ekspansi tenaga listrik sesuai dengan pertumbuhannya.

Akibatnya sebagian besar wilayah di Indonesia mengalami defisit pasokan akibatnya dilakukan rasionalisasi pemakaian. Di luar Jawa, pemadaman bahkan terjadi bak orang minum obat, tiga hari sekali. Sudah hampir 10 tahun berlalu, krisis listrik di luar Jawa tidak berkurang malah tambah buruk.

Sejumlah hal yang dipaparkan sebelumnya, dapat menjadi pertimbangan awal, mengapa pemerintah perlu mempertimbangkan opsi kenaikan TDL pada tahun 2010. Terdapat sejumlah alasan juga, mengapa kenaikan TDL perlu dipertimbangkan.

Pertama, dasar perhitungan yang dipakai TDL tahun 2003 telah berubah drastis. Pada waktu itu harga energi primer jauh lebih rendah. Harga minyak masih sekitar 20-25 dolar per barel, batu bara sekitar 20-25 dolar per ton, dan gas alam sekitar 2 dolar per MMSCF. Harga energi primer rata-rata saat ini telah naik 3-4 kali lipat. Apabila tingkat inflasi turut diperhitungkan maka TDL yang saat ini berlaku hanya bernilai sekitar 65 persen dari nilai pada tahun 2003.

Kedua, solusi krisis listrik di Indonesia adalah menambah pembangkit dan jaringan tenaga listrik sesuai dengan tingkat pertambahan kebutuhan. Menurut Kementerian ESDM, kebutuhan investasi tenaga listrik untuk memenuhi laju permintaan sebesar 8 miliar dolar (Rp 80 triliun) per tahun dimana sekitar Rp 5 miliar harus diusahakan oleh PLN dan pemerintah, sisanya dari swasta.

Kesulitan

Tanpa kenaikan TDL, tampaknya PLN akan mengalami kesulitan memobilisasi dana sebesar ini hingga lima tahun ke depan. Pemerintah perlu mengalokasikan pendanaan untuk investasi tenaga listrik disamping subsidi listrik. Semakin lambat krisis listrik diatasi, semakin mahal biaya krisis yang harus ditanggung.

Ketiga, TDL yang berlaku saat ini membuat subsidi listrik tidak lagi effektif dan membebani keuangan negara. Bisa dikatakan bahwa subsidi listrik diberikan kepada seluruh golongan pelanggan listrik PLN, baik rumah tangga kaya dan miskin, industri rumahan maupun besar, dan pelanggan bisnis. Pernyataan Menko Perekonomian baru-baru ini bahwa sekitar 52 persen subsidi listrik salah sasaran menunjukan bahwa tujuan subsidi telah melenceng dari fungsi objektif yang seharusnya.

Subsidi yang tidak tepat menghambat merupakan disinsentif untuk konservasi dan efisiensi energi. Akibat penggunaan listrik yang boros, kebutuhan untuk infrastruktur listrik untuk memenuhi kebutuhan listrik menjadi lebih besar.
Implikasinya adalah biaya untuk investasi infrastruktur pun semakin membengkak karena pertumbuhan kebutuhan tenaga listrik yang tidak diimbangi dengan produktivitas pertumbuhan ekonomi.

Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, sudah saatnya reformasi tarif listrik dilakukan. Reformasi yang ada menyangkut pola subsidi, penyederhanaan golongan tarif listrik dan besaran tarif listrik, serta pembentukan badan regulator yang mengawasi biaya produksi tenaga listrik.

Untuk menjamin agar seluruh masyarakat dapat menikmati listrik maka skema subsidi dapat diberikan sesuai dengan konsumsi listrik. Pemerintah harus menjamin bahwa kebutuhan listrik minimum dapat diakses oleh rakyat.

Dari berbagai penelitian yang pernah dilakukan, kebutuhan listrik minimum per bulan sekitar 50 KWH. Apabila kebijakan subsidi terarah hendak diterapkan, maka konsumsi listrik dibawah 50 KWH yang menerima subsidi. Di atas itu, konsumen dapat membayar listrik sesuai dengan BPP secara bertahap yang batasannya diatur oleh pemerintah. (61)

http://suaramerdeka.com.