Catatan Perjalanan IV : Habis Gelap Terbitlah Mikrohidro

Sinerginya Kemajuan Teknologi dan Kearifan Lokal di Desa Adat Ciptagelar

Kali ini kami harus akui bahwa perjalanan dari Cidaun menuju Sukabumi cukup menguras kenyamanan fisik kami. Sebuah perjalanan yang mencerminkan betapa masih belum meratanya akses jalan yang baik untuk desa-desa terpencil. Bahkan meski di Pulau Jawa sekalipun yang notabene dekat dengan pusat pemerintahan. Bukannya kami ingin mengeluh karena jalan yang kami temukan dalam beberapa hari perjalanan menuju desa-desa terpencil ini begitu buruk sehingga membuat kami kelelahan fisik. Tapi kami hanya merasa prihatin, betapa pembangunan ternyata memang tidak bisa dinikmati untuk masyarakat desa terpencil. Ini baru pulau Jawa, daerah Jawa Baratnya. Tidak terbayangkan yang di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, atau pulau-pulau kecil Indonesia lainnya.

Cuaca sepanjang kami melakukan perjalanan menuju Sukabumi juga terus menerus diguyur hujan. Kami baru tiba di Pelabuhan Ratu Sukabumi pada pukul lima pagi. Kami mencoba mencari penginapan dan  beristirahat sejenak sekadar untuk meluruskan badan dan memulihkan kelelahan kami. Pukul delapan pagi, kami tidak menunda waktu lagi. Kami langsung meneruskan  perjalanan menuju Ciptagelar. Jam 9 kami sampai di rumah Pak Yono mertua Abah Ugi dimana jalan beraspal habis sampai disini, yang kemudian dari titik ini kami melanjutkan perjalanan menggunakan ojek menuju Ciptagelar, Kampung Cicemet, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi.

Dan sepanjang menuju desa Ciptagelar adalah hal luar biasa lainnya yang kami alami. Seperti biasa kami harus melalui jalan yang tidaklah mulus, dan kembali melakukan “off-road”. Namun semuanya itu bukan halangan berarti lagi bagi kami yang mulai terbiasa dengan jalanan yang luar biasa “asik” untuk dilalui. Seperti pengalaman kami di desa-desa sebelumnya perjalanan kami kali ini ke Ciptagelar juga selalu disuguhi pemandangan yang luar biasa indah. Namun berbeda dengan desa sebelumnya, menuju Ciptagelar selalu disuguhi keeksotisan tersendiri, hal ini disebabkan adanya pemandangan alam sekitar Gunung Halimun yang memesona.

Sebagai suatu kawasan taman nasional yang dilindungi pemerintah, kawasan ini sungguh menyuguhkan pemandangan menakjubkan,  hutan-hutan nan lebat yang cantik dan jelas masih begitu lestari dan alami. Istimewa lagi bagi kami adalah sepanjang perjalananan yang ditempuh dalam waktu 1,5 jam tersebut kami ditemani oleh kicauan Surili (Presbytis comata). Surili adalah salah satu satwa yang dilindungi di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak ini.  Ada 2 satwa yang mendominasi, di antaranya; Owa Jawa (Hylobates moloch) dan Surili (Presbytis comata).

Kami kemudian membayangkan suasana kasepuhan Ciptagelar yang terletak di dalam zona inti TNGHS ini. Bagaimana kehidupan mereka yang terisolasi, kondisi sosial ekonomi mereka. Kami membayangkan sebuah desa tertinggal dengan pemandangan yang mungkin membuat kami akan prihatin dengan sangat.

Tapi nyatanya, adalah sebuah kejutan bagi kami. Kami justru dihadapkan pada suatu pemandangan desa yang cukup cantik. Suatu desa yang tampak terlihat keteraturan tata desanya. Lanskap pemukiman yang diatur sedemikian rupa menjadikan lanskap masyarakat adat ini tidak kalah teraturnya dengan lanskap perkotaan. Selain itu, terpusatnya pemerintahan masyarakat desa di kediaman Abah Ugi (Panggilan masyarakat adat kepada Kepala Adat Ciptagelar. Dalam kedudukannya, Abah ugi disebut juga sebagai Sesepuh Girang-red), yang disebut dengan imah gede, menjadikan kasepuhan ini menjadi lebih terstruktur.

Ciptagelar menjadi salah satu daerah yang cukup unik terkait dengan adat istiadatnya dan keterbukaan masyarakat terhadap modernisasi untuk mendukung peningkatan kesejahteraan desa mereka. Hal ini pun secara langsung diungkapkan oleh Kang Yoyo, salah satu warga di Kasepuhan ini yang mendampingi kami selama kunjungan serta Abah Ugi selaku Ketua Adat di tempat tersebut. Keberadaan mikrohidro sendiri telah ada selama kepemimpinan adat Abah Anom, pemimpin sebelumnya yang telah meninggal pada tahun 2009. Kesepakatan untuk mengenalkan teknologi kepada masyarakat bermula dari keinginan dari beberapa pihak luar yang peduli akan keberlanjutan keberadaan kampung adat. Oleh karena itu, Abah menerima banyak bantuan dari beberapa LSM selama bantuan tersebut tidak bertentangan dengan peraturan adat yang ada. Salah satunya adalah IBEKA yang memberi bantuan berupa pembangunan PLTMH

Mengenai keberlanjutan mikrohidro tersebut di atas, Abah Ugi menyatakan bahwa akses listrik ini sangat penting bagi warga, karena itu instalasi mikro hidro sebisa mungkin diperbanyak di pemukiman warga yang cukup jauh dari pusat kasepuhan. Hingga saat ini, Kasepuhan Ciptagelar telah memiliki 9 unit mikro hidro dan pikohidro.

Meskipun sebenarnya PLN telah masuk ke daerah tersebut, Abah Ugi tetap memiliki kebijakan untuk tidak melakukan interkoneksi dengan PLN. Alasannya adalah keinginan beliau untuk meratakan penggunaan listrik bagi seluruh masyarakat, tidak ada yang lebih banyak ataupun lebih sedikit. Ini juga untuk melatih warga untuk dapat memanfaatkan teknologi seperlunya. Tapi, lanjut Abah Ugi, eksistensi PLN juga tidak dapat dipandang sebelah mata. Karena itu, Abah berencana untuk membangun satu mikrohidro lagi yang dikhususkan bagi interkoneksi dengan PLN dengan harapan bahwa nantinya interkoneksi ini dapat memberikan pemasukan tambahan bagi Kasepuhan Ciptagelar untuk kegiatan perekonomiannya.

Walaupun modernisasi telah masuk di kasepuhan Ciptagelar ini, adat istiadat yang telah dijunjung tinggi selama ini tidaklah menjadi luntur. Keserasian dengan alam, budaya yang turun temurun seperti kearifan dan kemandirian tidak membuat masyarakat bergantung pada teknologi yang ada seperti televise, radio lokal, wi-fi, handphone, faksimili yang telah dapat digunakan secara cuma-cuma ditempat tersebut. Itulah yang membuat Kang Yoyo, seorang seniman yang telah mengecap kehidupan di beberapa negara di Amerika dan Eropa ini, akhirnya memutuskan untuk kembali ke tanah kelahiran nenek moyangnya.

“Saya itu selalu membayangkan hidup di tempat yang ada komputer, telepon, listrik tapi tidak crowded. Saya ingin hidup dengan damai. Awal mulanya, saya ke Ciptagelar, saya sudah merasa inilah tempatnya. Kedua kalinya, saya semakin merasa yakin. Ketiga kalinya, saya tidak mau turun lagi dan akhirnya menetap disini sampai saat ini,” ujar Kang Yoyo.

Selain itu, pengadaan listrik di daerah ini pun memberikan dampak positif lain terkait dengan era teknologi yang juga semakin berkembang. Dengan diadakannya televisi dan radio lokal, muncul suatu inisiatif untuk meningkatkan mutu pendidikan anak disesuaikan dengan kearifan lokalnya yaitu dengan membuat program sekolah alam yang akan menjadi program di televisi lokal mereka, sebagai salah satu wujud pelestarian kearifan lokal daerah setempat.

Semakin menarik juga untuk mengupas lebih banyak mengenai budaya masyarakat adat Ciptagelar dan perjuangan mereka dalam menyelaraskan perkembangan teknologi dengan budaya mereka. Kami sungguh belajar banyak dengan mereka…..(selesai).

Catatan Perjalanan III, Habislah Gelap Terbitlah Mikrohidro

Dari Surga Pembalak Liar Menjadi Desa Anti Pembalakan

Sore yang cukup cerah, setelah dua hari perjalanan yang selalu ditemani rintik hujan, akhirnya kami memutuskan untuk langsung berangkat ke Cidaun. Perjalanan kali ini menjadi lebih cepat karena di tengah jalan, kami bertemu seorang pengendara motor yang ternyata memiliki tujuan sama dengan kami, yaitu ke Dusun Cibuluh, Desa Mekarjaya, Kecamatan Cidaun, Kabupaten Cianjur. Dia menunjukkan jalan yang lebih cepat.  Tak disangka, hanya dalam waktu dua jam kami telah sampai di tempat tujuan. Kami pun memutuskan untuk makan malam dahulu lalu mencari penginapan di Cidaun.

Esok harinya, cuaca cukup bersahabat. Kami pun bangun dengan badan yang lebih segar. Ternyata  dari pukul lima kami sudah ditunggu oleh teman-teman dari Cibuluh yang siap untuk mengantarkan kami ke tempat tujuan dengan menggunakan ojek. What??? Ojek again…?? *_^ Kami sempat membayangkan hal-hal yang kami alami sebelumnya, ketika menuju lokasi dengan menggunakan ojek. Hemm, sepertinya kami sudah mulai terbiasa, bahkan menyenangkan. Beneran, kok. Jadi kami tetap antusias dengan perjalanan ini kendati menggunakan ojek.

Pukul 07.00, kami mulai perjalanan ke arah Dusun Cibuluh menggunakan ojek, sebenarnya sih, bukan ojek beneran, karena yang mengantarkan kami dengan sepeda motor adalah beberapa warga Cibuluh yang secara sukarela mau mengantarkan kami melihat kampung mereka tercinta. Hampir dua jam kami melakukan perjalanan ke Cibuluh dengan melalui jalan-jalan yang harus kami tempuh dengan “perjuangan.” Kami  harus “off-road”, lalu melalui jalan tanjakan berbatuan nan licin yang bikin kami was-was. Namun seperti biasa semua itu terasa tidak ada artinya dan mungkin setimpal dengan yang kami dapat. Yup, apalagi kalau bukan pemandangan alam nan indah, termasuk curug alam yang memesona dengan gemericik airnya yang membawa kami seperti berada di negeri damai antah berantah.

Sesampainya di Cibuluh, kami telah ditunggu oleh beberapa warga kampung yang berkumpul untuk bertemu kami. Wow, kejutan yang tidak disangka karena ternyata warga cukup antusias dengan kedatangan kami. Tidak hanya Pak Ridwan dan pengurus mikrohidro saja yang hadir, melainkan beberapa warga masyarakat yang memang tertarik untuk bertukar pikiran dengan kami mengenai banyak hal.

Obrolan kami dengan warga Cibuluh cukup membuat kami terkesan. Terutama cerita mereka tentang perubahan yang terjadi dengan kondisi desa ini sebelum mereka bersatu dalam mendirikan mikrohidro.  Dalam cerita terungkap bahwa desa ini dulunya merupakan surga bagi pembalak hutan.  Warga saat itu tidak ada kepedulian sama sekali dengan kondisi alam desa yang seharusnya bisa dilestarikan. Bahkan, perburuan liar atas satwa langka yang ada di hutan desa pun waktu itu cukup marak.

Adalah Rasman, seorang mantan pembalak dan pemburu liar yang mengungkapkan hal ini. Pada masa itu, dia pun sempat digelandang warga menuju ke pos polisi kecamatan karena aksi pembalakan liar dan sempat merasakan hidup di balik jeruji sel. Kejadian penggelandangan tersebut justru menjadi titik balik kehidupannya. Karena  sejak saat itu. Rasman akhirnya ingin memperbaiki hidupnya dan meningkatkan kehidupan warga disana.

Sejak saat itu, secara bahu-membahu, para warga dari kelima dusun di Desa Mekarjaya, berusaha menggalakkan penyadaran akan pentingnya menjaga alam. Akhirnya mereka pun bersatu dalam satu wadah bernama Raksa Bumi yaitu organisasi warga yang menjadi cikal bakal organisasi sosial masyarakat yang peduli akan kelestarian lingkungan daerah mereka.

Berbeda lagi dengan cerita Ridwan Soleh sendiri. Pada awal kedatangannya di Cibuluh, masyarakat setempat tidak menerima ide-idenya dalam melestarikan alam Cibuluh. Ide-idenya tersebut dianggap berlawanan dengan kebiasaan warga desa di sana.  Namun Pak Ridwan tidak patah arang, dengan kesabaran dan niat baik, akhirnya pada 2004 warga mulai menaruh kepercayaan kepadanya.

Pak Ridwan bahkan berhasil mengajak warga desa untuk berjuang bersama-sama memerangi pembalakan hutan. Dari rasa kebersamaan tersebut Ridwan pun sadar bahwa sesungguhnya warga desa juga membutuhkan kesejahteraan yang secukupnya saja untuk kehidupan keharian mereka. Masalah terisolasinya desa ini dari akses manapun, adalah salah satu sebab desa ini jauh dari kemajuan ekonomi dengan desa lainnya. Bahkan listrik pun mereka tidak mendapatkan aksesnya. Masalah terakhir ini mereka kemudian mencetuskan ide untuk membangun sebuah mikrohidro agar warga dapat menikmati listrik tanpa harus bergantung pada PLN. Setelah menyebarkan proposal ke beberapa lembaga, akhirnya warga Cibuluh mendapatkan bantuan sebesar IDR 300 juta dari GEF untuk pembangunan desa.

 

Dengan menggunakan aliran air dari Sungai Cirompang, mikrohidro di desa Cibuluh dibangun dengan menggunakan turbin propeller dengan ketinggian 7 meter sehingga dapat menghasilkan daya maksimal 23 Kw. Dari listrik yang telah dihasilkan ini, maka masyarakat dapat menikmati fasilitas listrik yang lebih stabil dibandingkan ketika mereka menggunakan kincir untuk menghasilkan listrik.

Walaupun suasana di luar hujan semakin deras, namun tidak mengurangi antusiasme warga bercerita tentang perjalanan proses mereka hingga seperti sekarang. Semangat warga yang ingin mengubah “nasib” keterisolasian desa, juga menggugah Warmin, warga desa yang sempat merantau ke Bandung untuk meneruskan pendidikan hingga Universitas, akhirnya berniat kembali ke desanya untuk ikut bahu membahu membangun desa dan mewujudkan desanya agar bisa hidup lebih baik dari sebelumnya.

Akhir cerita tentu saja telah diketahui kita. Desa Cibuluh kini berbeda dengan Cibuluh bertahun-tahun lalu.  Mereka tidak lagi tinggal dalam kegelapan, sebagian warganya juga tidak lagi membalak kayu liar di hutan. Sebaliknya, mereka memaksimalkan upaya pelestarian alam dan memanfaatkannya dengan bijak bagi kehidupan keharian mereka.

Ketika hujan mulai mereda, kami pun jadi sangat antusias melihat rumah turbin. Sekitar pukul dua kami mulai melakukan perjalanan lagi menuju rumah turbin.  Tak disangka, perjalanan ini lebih menarik dari yang diduga.Ketika saya (Tyas) berpikir bahwa PLTMH Leuwi Mobil memiliki akses yang sulit, ternyata PLTMH Cibuluh ini lebih sulit lagi. Kondisi jalan yang licin, dan kabel yang kadang tidak terlihat membuat kami harus ekstra hati-hati agar tidak tersetrum. Rumah turbin yang ada pun hanya terbuat dari bambu dan berada di persawahan.

Namun, lagi-lagi pemandangan yang begitu indah membungkam keluhan kami yang nyaris mau keluar di ujung lidah.  Sebab di sana sini hamparan sawah nan hijau, serta sungai-sungai yang sisinya menampilkan curug-curug air yang mengalir deras dengan indahnya. Suara air, hembusan angin, suasana damai dan alam yang mengesankan…..Ohhh, jelas jauh sekali dengan pemandangan Jakarta sehari-hari. Setelah puas menjelajah alam liar Cibuluh, akhirnya pukul enam sore kami pun memutuskan untuk turun ke penginapan di Cidaun.

Cukup lama kami di sana, hingga akhirnya pukul 10 malam, kami kembali melanjutkan perjalanan menuju ke Sukabumi. Menuju tujuan kami berikutnya, Ciptagelar. Entah seperti apa, tapi kami sudah tidak sabar melihatnya. Ciptagelar, kami dataaaaaangg!!

***

Catatan Perjalanan II- Habis Gelap Terbitlah Mikrohidro

Arti Gula Aren dan Rumah Turbin Bagi Masyarakat Cimanggu

Cuaca lagi tidak ramah untuk kami yang ingin melanjutkan perjalanan ke Desa Cimanggu, Kecamatan Bungbulang, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Hujan deras tiada hentinya, sehingga membuat kami sempat berpikir, apakah akan melanjutkan perjalanan dalam situasi seperti ini. Akhirnya, kami putuskan untuk beristirahat di Bandung sebentar dan menyusun rencana lebih lanjut, sambil menunggu cuaca yang lebih baik untuk melanjutkan perjalanan berikutnya. Terus terang saja, kami memang sedikit khawatir kalau main nekat melakukan perjalanan di tengah hujan deras seperti itu, apalagi kami memang belum pernah berkunjung ke desa itu. Karena itu kami memutuskan menunggu cuaca lebih baik dahulu sebelum melanjutkan perjalanan.

Waktu menunjukkan pukul 7 malam ketika hujan berhenti, kami pun kemudian melanjutkan perjalanan  menuju Desa Cimanggu. Menurut informasi yang kami terima dari salah satu narasumber kami di desa tersebut, kemungkinan perjalanan dari Bandung-Cimanggu akan memakan waktu 8 jam.

Ternyata kondisi jalan yang kami lalui mendekati Kecamatan Bungbulang  di luar perkiraan kami. Jalanannya cukup buruk dan banyak lobang sana sini. Kami yang ada di dalam mobil terguncang-guncang. Cuaca pun, kadang “ramah”, kadang hanya gerimis, lalu tiba-tiba bisa hujan lebat lagi.  Situasi tersebut cukup membuat kami mengalami kelelahan fisik. Perjalanan pun akhirnya menjadi lebih lama dua jam dari yang kami rencanakan.

Akhirnya Shubuh atau sekitar pukul lima pagi, kami tiba di Kecamatan Bungbulang. Dalam gelap, kabut dan dingin juga sedikit gerimis, kami mencari penginapan untuk beristirahat atau sekadar meluruskan badan kami sebentar, sebelum kami memulai perjalanan yang lebih berat lagi ke desa. Karena untuk ke Cimanggu kami harus melalui tanjakan yang panjang dan kondisi jalan juga tidak begitu baik. Kemungkinan besar kami harus off-road .

Kami tidak punya waktu lama untuk istirahat karena harus segera melanjutkan perjalanan. Pukul delapan pagi kami semuanya sudah bersiap kembali untuk menuju rumah  salah satu penanggung jawab mikrohidro Cimanggu, Pak Rahmat. Pak Rahmat inilah yang akan mengantarkan kami menuju Desa Cimanggu yang berjarak 75 km dari pusat kabupaten Garut.

Setelah berbincang-bincang dan sarapan di rumah Pak Rahmat, kami pun mulai perjalanan off-road kami. Tidak menggunakan mobil, tapi dengan ojekan motor!! Karena menurut Pak Rahmat tidak memungkinkan bagi mobil yang kami bawa, yaitu APV untuk dapat melalui sepanjang jalan menuju Desa Cimanggu. Selain terjal dan licin karena hujan, jalanannya juga belum beraspal, melainkan berbatu tanpa ada susunan yang rapi.

Hal ini membuat kami, terutama Tyas sempat ragu-ragu. Karena ini pengalaman pertama bagi Tyas melewati jalanan buruk, berbatu, ditambah jalanan akan terasa lebih berat dilalui jika musim hujan seperti saat itu. Tapi kami tidak bisa menunda perjalanan kami.  Kami pun memulai perjalanan “off-road” kami dengan ojekan sepeda motor.

Di sepanjang jalan kami harus ekstra hati-hati melewati tanjakan atau jalanan berbatu tanpa susunan yang rapih dan rata namun sangat licin. Perjalanan ini cukuplah membuat jantung kami “olahraga,” sedikit gentar, dan khawatir terpelanting.

Kendati demikian, kami sungguh terpesona dengan pemandangan alam yang tersuguhkan dan terpampang di hadapan kami, terutama ketika melalui  persawahan. Bentangan sawah yang menghijau dan  berbaris dengan rapinya, dengan latar belakang bukit-bukit hijau indah nan berkabut, membuat kami lupa dengan segala kepenatan dan beratnya jalan yang kami lalui. Sungguh keindahan alam yang tidak mungkin kami temui dalam keharian kami di Jakarta.

 

Kami akhirnya bisa melalui jalan off road yang cukup menegangkan karena sempat terpeleset di jalanan tanah yang licin ketika mengendarai ojek. Lalu tibalah kami di rumah Pak Ijan, Ketua Paguyuban PLTMH di Cimanggu. Setelah berbincang-bincang selama kurang lebih 1 jam, kami pun mulai berjalan kaki selama 20 menit dengan medan yang kadang landai dan becek untuk mencapai rumah turbin PLTMh Leuwi Mobil yang letaknya memang kurang strategis, kami pun jadi mahfum, kenapa  perawatan PLTMH menjadi kurang maksimal.

Belum lagi intensif yang rendah (Rp 70.000 untuk ketua pengurus, Rp 50.000 untuk sekretaris dan bendahara serta Rp 200.000 untuk 1 orang operator) dan pasifnya penduduk kampung juga menjadi salah satu faktor mengapa keberadaan mikrohidro ini menjadi tidak maksimal.

Pak Ijan, yang merupakan pengurus Mikrohidro bercerita bahwa sebenarnya dahulu sempat warga di Cimanggu memiliki usaha gula aren bersama sebagai UKM yang dapat mereka buat untuk memanfaatkan listrik dari mikrohidro ini. Namun, dengan jarak rumah yang berjauhan, serta usaha dan semangat yang minim dari para warga menjadikan usaha ini tidak dapat berkelanjutan. Pengurus pun tidak mampu menyatukan warga, sehingga  mereka pun menjalankan apa yang menjadi tanggung jawab mereka saja karena mereka sendiri tidak tahu harus bagaimana lagi dalam mengupayakan agar mikrohidro ini dapat memberikan manfaat yang lebih bagi masyarakatnya.

Dengan pemeliharaan yang seadanya, maka PLTMH yang mulai dibangun pada tahun 2005 dengan jumlah dana kurang lebih sebesar 900 juta dan daya maksimal yang dihasilkan sebesar 20 Kw hanya dapat dimanfaatkan untuk penerangan saja. Hingga saat ini listrik tersebut telah digunakan untuk  penerangan 155 rumah, dan lima mushola dengan masing-masing unit mendapatkan jatah sebesar 110 watt dengan pembatas 0,5 ampere.

Bercerita mengenai awal mula PLTMH di desa tersebut, Pak Ijan menceritakan bahwa sesungguhnya proyek PLTMH ini merupakan pengalihan dari rencana pengadaan fasilitas jaringan listrik dari PLN. Dalam proses tersebut dari 300 KK hanya 42 KK yang siap untuk membayar pemasangan jaringan, oleh karena itu dana yg seharusnya untuk pembangunan jaringan dari Prolisdes PLN kemudian dialokasikan untuk pembuatan PLTMH. Bagi kami cerita ini merupakan sebuah ironi dari buruknya pelayanan tata kelola kelistrikan di daerah terpencil.

Dari cerita yang kami dapat di Desa Cimanggu kami mendapatkan pembelajaran yang sangat berharga. Asumsi bahwa akses energi akan membantu warga dalam meningkatkan kualitas kehidupan mereka ternyata tidaklah cukup. Akses energi memang akan memberikan andil yang cukup besar dalam pencapaian tujuan pembangunan millennium apabila hal itu juga disertai dengan kesadaran masyarakat setempat yang tahu akan pentingnya kebersamaan dan sense of belonging akan sumber energi tersebut. Tapi ketika melihat suatu kenyataan bahwa warga lebih memilih untuk berjalan sendiri-sendiri dalam meningkatkan kualitas hidup mereka maka keberadaan sumber energi tersebut (PLTMH) menjadi kurang berarti lagi.

“Padahal, peralatan untuk pengolahan gula aren masih ada, sudah berkarat sekarang karena tidak pernah dipakai,” tutur Pak Rahmat.

Selain pengolahan gula aren, usaha serut kayu dan pembuatan keripik pun kurang dapat dimaksimalkan oleh masyarakat untuk meningkatkan sosial ekonomi mereka sebab kecenderungan untuk berwirausaha bagi kepentingan sendiri lebih mendominasi daripada kebutuhan untuk mencapai kesejahteraan bersama. Sedih dan miris juga kalau mendengar cerita yang ada. Mikrohidro sudah terbangun tapi tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal.

Tak terasa, sudah hari ketiga perjalanan dari enam hari perjalanan yang sudah direncanakan. Selasa, 11 Mei 2010 yang cukup cerah telah kami habiskan di Cimanggu untuk bereksplorasi disana terkait dengan PLTMh Leuwi Mobil yang telah beroperasi kurang lebih selama 6 tahun. Setelah beristirahat sebentar dan berpamitan dengan Pak Rahmat serta keluarga, kami pun menuju ke penginapan dan kembali bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan ketiga kami yaitu Cibuluh. Let’s go…

bersambung…

Sebuah Cerita Peta Kerentanan Iklim Perkotaan di Gold Coast

Oleh: Febi Dwirahmadi

Saat kegiatan International Climate Change Adaption Conference di Gold Coast, Australia, 29 Juni – 1 Juli 2010, Research Associate IESR, Febi Dwirahmadi, terpilih untuk mengikuti kegiatan tersebut.  Dalam forum itu dia mempresentasikan hasil risetnya tentang: Memahami Kerentanan Perubahan Iklim Pada Masyarakat Urban di Indonesia. Berikut beberapa catatan Febi tentang kegiatannya selama di sana.  Selamat menikmati – salam redaksi

***

Gelisah, cemas, campur antusias rasanya, ketika saya dipastikan lolos untuk mengikuti konferensi International Climate Change Adaption  di Gold Coast, Australia, 29 Juni – 1 Juli 2010.  Kegelisahan dan kecemasan bukan hanya karena masalah setumpuk kerja yang menjadi prioritas saya di kantor semakin banyak, tetapi juga persiapan untuk menghadapi kegiatan itu jadi terasa lebih sempit waktunya.  Pasalnya adalah saya juga diharuskan mempersiapkan “poster” yang menggambarkan hasil penelitian saya. Kelihatannya mungkin simple, karena hanya sebuah poster, tapi nyatanya tidak mudah juga sesungguhnyaitu. Aduuh, puyeng juga memikirkan konsepnya. Sebab saya harus mencari jalan  bagaimana memasukkan hasil riset saya tentang Memahami Kerentanan Perubahan Iklim Pada Masyarakat Perkotaan di Indonesia, yang ditulis dalam 135 lembar lalu dituangkan ke dalam  satu poster ukuran A0!

Yup, urusan poster ini menjadi penting, karena poster ini akan jadi “penghantar” bagi peserta atau pengunjung lain untuk memilih isu menarik yang akan dihadirinya. Jadi enggak bisa asal-asalan juga dalam membuatnya. Apalagi konferensi itu dihadiri lebih dari 1.000 peserta yang terdiri dari ilmuwan profesional, praktisi perubahan iklim, dan mahasiswa yang berasal dari 55 negara, serta menampilkan 500 riset yang berhubungan dengan dampak dan adaptasi perubahan iklim melalui metode presentasi oral maupun poster. Poster-poster tersebut akan dikompetisikan. Jadi bisa dipahami kan, kenapa saya agak sedikit “nervous” dengan urusan poster ini.

Namun akhirnya, masalah terpecahkan setelah beberapa kali saya melakukan pertemuan dengan tim komunikasi dan kreatif IESR dalam membahasakan isi penelitian saya yang berjumlah 135 lembar itu ke dalam sebuah poster ukuran A0 (seukuran poster film di bioskop itu, loh). Hasilnya, walah, cukup memuaskan saya. Itulah enaknya kerja tim, segala sesuatu bisa diselesaikan dengan cepat apalagi jika satu sama lainnya juga memahami isu tersebut. Kami akhirnya membuat poster yang mendeskripsikan hasil penelitian saya tentang: Memahami Kerentanan Perubahan Iklim pada Masyarakat Urban di Indonesia, terutama di kelurahan Muara Baru, Provinsi DKI Jakarta, dalam sebuah peta dua dimensi yang cukup menarik. Lalu kami memberikan beberapa tanda di tempat-tempat yang terkena dampak dan sejumlah informasi lainnya dalam sebuah abjad.  Peta tersebut merefleksikan kondisi  masyarakat perkotaan, khususnya di area yang menjadi tempat penelitian saya tersebut. Dalam peta kami juga menampilkan proyeksi temperature dan curah hujan, kenaikan muka air laut, termasuk studi kerentanan Pulau Jawa. Lebih jelasnya poster peta tersebut bisa dilihat di bawah ini.

peta-feby-kecilCukup puas saya dengan hasil dan tampilan poster tersebut. Saya berharap semoga poster tersebut bisa dipilih sebagai yang terbaik. Maka saya pun bisa melakukan perjalanan dengan tenang ke Australia guna mengikuti konferensi tersebut.

Sampai di Gold Coast tempat dimana konferensi itu dilaksanakan, ternyata cuacanya sangat dingin, yaitu hampir 7 derajat celcius. Payahnya lagi, saya lupa membawa sarung tangan. Sehingga perjalanan dari hotel tempat saya menginap menuju konferensi yang sejatinya bisa ditempuh hanya 20 menit saja, kini terasa lebih lamanya, yaitu mungkin 1 jam-an, dan tangan saya terasa lebih kebas.

Terus terang saya merasa antusias dan cukup merasa bangga mengikuti konferensi ini. Karena ini merupakan forum international pertama yang hanya khusus membahas tentang dampak perubahan iklim serta upaya-upaya mitigasi yang dapat dilakukan di sebuah negara, dimana saya termasuk didalamnya. Konferensi ini sendiri bertujuan mengeksplorasi riset-riset ataupun pengalaman praktis upaya adaptasi dari berbagai negara maupun berbagai sudut pandang analisa untuk memberikan rekomendasi pada proses perencanaan dan pengembangan kebijakan adaptasi perubahan iklim dan juga untuk memahami betapa pentingnya proses adaptasi dalam menghadapi dampak perubahan iklim yang tidak menentu ini.

Konferensi ini juga membahas enam topik yaitu, (1) memahami dan mengkomunikasikan adaptasi, (2) adaptasi pada tiap sektor, (3) upaya adaptasi oleh masyarakat grass root, (4) kerangka kerja adaptasi, (5) adaptasi di tepian, dan (6) kesejahteraan manusia dan adaptasi.

Pembukaan konferensi dibuka langsung oleh Ministry for Climate Change, Energy Efficiency and Water, Australia, Penny Wong. Dalam pidatonya, Wong memaparkan tentang komitmen pemerintah Australia untuk meningkatkan efisiensi energi yang digunakan. Selain Wong, hadir pula Prof.Jean Pascal can Ypersele, Vice Chair IPCC. Dalam sambutannya dia menjelaskan bahwa mitigasi memang sangat dibutuhkan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), namun tetap saja upaya ini tidak mampu secara ceat untuk mencegah dampak negative yang dapat ditimbulkan dari perubahan iklim yang sudah terjadi saat ini. Oleh karena itu, dia menyampakan bahwa upaya adaptasi sangat mendesak untuk dilakukan. (Lebih detil gambaran konferensi bisa dilihat di resume kegiatan, bisa dilihat di bagian cerita kegiatan web utama IESR).

Lalu tibalah giliran saya yang mendapatkan kesempatan melakukan presentasi isi poster di hari ketiga. Jadwal presentasi dilakukan tepat pukul 7.30. Sungguh menyenangkan ternyata presentasi saya berjalan dengan baik. Di arena pameran poster sendiri juga sudah ramai seperti layaknya pasar, dimana masing-masing peserta poster berusaha menarik perhatian pengunjung atau delegasi konferensi lainya.

Namun yang cukup membuat saya senang adalah ternyata poster IESR cukup diminati pengunjung dan peserta konferensi. Mereke menilai poster peta perubahan iklim perkotaan yang ditampilkan IESR cukup informatif dan dikemas dalam metode komunikasi yang mudah dipahami baik oleh orang yang paham dengan perubahan iklim maupun masyarakat awam. Beberapa diantaranya juga mengatakan kepada saya bahwa poster tersebut sangat bermanfaat sebagai media komunikasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan kompleksitas masyarakat perkotaan dan dampak dari perubahan iklim, maupun kepada pengambil kebijakan terkait.

Kabar gembira setelah itu adalah bahwa poster peta perubahan iklim perkotaan IESR juga dinyatakan sebagai salah satu terfavorit oleh panitia konferensi. Well, kerja keras akhirnya ada hasilnya dengan baik. Tapi lebih dari itu konferensi ini telah membawa saya pada pengalaman yang bermanfaat, terutama dalam menambah pengetahuan dan wawasan tentang adaptasi perubahan iklim di berbagai dunia. Saya sendiri senang bisa  membagi hasil penelitian saya dan mereka kemudian juga mengetahui tentang duduk persoalan adaptasi perubahan iklim di daerah perkotaan. Terimakasih kawan-kawan IESR yang telah membantu saya untuk konferensi ini.

Bendungan Sampah Anti Rob, Upaya Mitigasi Warga Kali Baru Atasi Perubahan iklim?

Oleh: Siti Badriyah

Jika Anda pernah mengunjungi perkampungan nelayan di pesisir utara terutama di wilayah Kali Baru, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, maka Anda akan melihat rumah-rumah semi permanen nelayan setempat yang kumuh berjajar dekat bibir pantai. Di batas paling luar bibir pantai tersebut juga terdapat beberapa rumah panggung kayu yang dibuat untuk mengantisipasi banjir rob. Banjir rob adalah banjir yang disebabkan meluap atau naiknya permukaan laut yang tidak terbendung hingga akhirnya memasuki kawasan pemukiman penduduk yang tinggal di dekat laut.

Kekumuhan perkampungan tersebut semakin kental ketika kebanyakan dari rumah tersebut dikelilingi bambu yang terjejali sampah padat aneka rupa yang kebanyakan adalah sampah plastik. Bambu-bambu setinggi 2-3 meter ini terpancang kuat dan terjalin rapat dan difungsikan sebagai dam atau bendungan.

“Kami membuat jalinan bambu-bambu berjajar disepanjang bibir pantai di belakang rumah dan menjejalkan sampah-sampah buangan dari para tetangga sekitar guna mencegah air laut pasang menghantam rumah kami secara langsung,”jelas Daeng, 50,  warga di RT 3, RW 3 Kalibaru, Jakarta utara ini.,

Daeng menceritakan bahwa pada  saat musim angin barat datang, biasanya di akhir tahun, air laut pasang bisa mencapai 3-4 meter. Situasi tersebut membuat keberadaan rumah dan juga keselamatan penghuninya bisa terancam. Mereka tidak bisa meninggalkan tempat yang mereka huni sejak puluhan tahun lalu, apalagi profesi penghidupan mereka adalah nelayan yang tidak boleh jauh dari laut. Jadi mereka tidak mempunyai pilihan lain kecuali bertahan dan mencari akal bagaimana caranya mengatasi hantaman ombak  dan kadang banjir rob yang menghampiri kediaman mereka. Karena itulah mereka membuat  pagar bendungan sampah dari bambu tersebut sebagai penahan rob dan gelombang pasang. Bendungan ini sudah mereka buat dari tahun 2004 dan hingga kini mereka masih bisa bertahan di tempat tersebut.

Kenapa mereka memilih bambu dan sampah? Karena menurut  Daeng, bambu itu mudah di dapat dan lebih murah. Sampah-sampah yang dijejalkan  dipagari bambu tersebut gunanya menguatkan bambu tidak terlepas jika ada hantaman ombak atau banjir rob datang. Adapun untuk mendapatkan sampah padat dan plastik dalam jumlah banyak warga nelayan mendapatkannya dari warga sekitar.

“Kami meminta para tetangga untuk membuang sampahnya pada area bendungan bambu ini dan sekitar rumah kami. Di saat gelombang pasang menghantam, sampah-sampah itu terbawa bersama air laut. Kemudian kami meminta tetangga-tetangga kami untuk membuang sampah lagi di sekitar rumah kami untuk menjejali kembali bendungan bambu ini,” jelas Daeng.

Mungkin akan lebih mudah bagi  Daeng dan masyarakat nelayan yang tinggal di sana menghadapi banjir rob atau air laut pasang jika kawasan tersebut masih dikelilingi hutan bakau. Keberadaan hutan bakau jelas berguna dalam mencegah abrasi dan menjadi pemecah gelombang laut pasang. Tapi nyatanya kini, setidaknya 831 ha hutan bakau di pantai utara Jakarta telah direklamasi menjadi kawasan perumahan elit, apartemen dan tempat wisata. Saat ini hutan bakau tersisa di Jakarta hanya 430 Ha yang tersebar dalam kawasan hutan-hutan  bakau di kepulauan Seribu. Kawasan tersebut yaitu Hutan Lindung Muara Angke, hutan wisata Kamal Muara, Suaka margasatwa Pulau Rambut, Cagar Alam Pulau Bokor, Cagar Alam Pulau Panjalaran Barat, Cagar Alam Pulau Panjalaran Timur.

Seorang nelayan tua setempat, Ceracas, 70,  menceritakan betapa aman dan nyamannya kehidupan mereka  ketika  hutan bakau masih ada di sekitar sana. Ketika musim gelombang pasang naik, mereka tidak perlu melaut karena ikan telah tersedia di sekitar sulur-sulur akar bakau, dan juga tidak perlu merasa khawatir gelombang pasang atau rob menghantam rumah mereka karena hutan bakau membantu memecah gelombang laut dan banjir rob. Mereka juga mempunyai rumah yang layak,  hingga pada suatu masa di Orde Baru proyek reklamasi dimulai dan pembabatan hutan mangrove atau bakau menggila, saat itulah kehidupan mereka sebagai nelayan sejati  harus tersingkir, seiring punahnya hutan-hutan bakau di semua pesisir Jakarta.

Kini mereka menempati rumah semi permanen dan harus menghadapi dampak perubahan iklim sendirian yang diakibatkan kebijakan salah urus dari penguasa. Bahkan hingga saat ini, menurut Caracas dan sejumlah warga nelayan lainnya di sana, belum terlihat adanya upaya dan inisiatif pemerintah guna mencegah masuknya gelombang pasang dan banjir rob ke pemukiman mereka, misalnya dengan membangun pagar batu pemecah ombak sebagai pengganti hutan bakau.

Akhirnya warga nelayan di sana berinisiatif membuat bendungan bambu anti gelombang pasang dan banjir rob yang dibuat dengan menjejalkan sampah-sampah plastik. Mereka tidak peduli lagi tentang dampak kesehatan, estetika dan sanitasi buat keluarga. Apalagi memikirkan apa jadinya lautan jika dipenuhi sampah-sampah yang kebanyakan plastik itu. Tapi menyelamatkan jiwa dan hidup mereka jauh lebih utama. Karena hanya itu yang mereka anggap sebagai pilihan yang lebih baik dari yang terburuk hidup sebagai nelayan di kawasan pesisir utara Jakarta.

Listrik Gratis Untuk Orang Miskin?

Oleh: Fabby Tumiwa (Direktur IESR)

Baru-baru ini, Dirut PLN, Dahlan Iskan melontarkan ide: listrik gratis untuk orang miskin. Tulisan ini membahas kebijakan serupa yang diterapkan di Afrika Selatan, dan perhitungan kasar terhadap biaya yang ditimbulkan dari kebijakan ini, serta dampaknya pada opsi kenaikan tarif dasar listrik yang sedang dibahas antara eksekutif dan DPR.

Akhir pekan kemarin, 12 Juni 2010, saya diundang sebagai panelis pada acara media briefing yang diadakan Forum Wartawan Ekonomi dan Moneter (FORKEM) dan Kantor Menko Perekonomian, bertema: Dampak Kenaikan TDL pada Industri dan Ekonomi Indonesia Indonesia 2010. Selain saya dan Deputi Menko bidang Perindustrian, bintang dari acara ini adalah Dahlan Iskan, Direktur Utama PLN.

Sebagai biasa,  Dahlan berbicara secara lugas, tanpa teks dan mengalir. Yang menarik adalah di penghujung sesi diskusi, dalam menjawab pertanyaan seorang wartawan, Dahlan “ngedumel” bahwa saat wacana TDL akan dinaikan muncul, PLN selalu menjadi sasaran tembak dan kemarahan masyarakat, tidak terkecuali dari anggota DPR. Menurut Dahlan, urusan naik atau tidaknya TDL adalah urusan eksekutif dan DPR. Seyogyanya PLN tidak ada urusan dengan itu. Bagi dia tugas PLN adalah memberikan pelayanan listrik, yang terpenting adalah listrik menyala dan untuk itu ongkosnya seyogyanya ditanggung pemerintah. Dahlan menyatakan bahwa dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII anggota DPR menolak kenaikan TDL karena dianggap memberatkan orang miskin. Menanggapi wacana “orang miskin” inilah, Dahlan kemudian melontarkan ide listrik gratis bagi orang miskin, yang selama ini dipakai sebagai jargon oleh komisi VII DPR.

Saya pun agak terkejut dengan lontaran ide yang populis ini. Sudah sejak 2008, IESR (Institute for Essential Services Reform) berkampanye untuk meningkatkan akses masyarakat miskin terhadap pelayanan energi (energy services), salah satunya adalah listrik melalui kampanye Energy Services for All, tetapi tidak sekalipun terlintas untuk mengadvokasi untuk mendorong pemberian listrik gratis bagi orang miskin. Terus terang, ide Dirut PLN ini membuat saya berpikir bagaimana kira-kira ini diimplementasikan.

Saya teringat, bahwa ide ini tidak sepenuhnya orginal dari Dahlan Iskan. Afrika Selatan sudah menjalankan listrik gratis untuk orang miskin lewat kebijakan Free Basic Electricity sejak tahun 2001. Kebijakan ini memberikan listrik gratis sebesar 50 kiloWatt-hour (kWh) setiap bulannya kepada rumah tangga yang masuk dalam kriteria “miskin”. Angka ini didapat dari rata-rata konsumsi listrik bulanan 54 persen sambungan rumah tangga tahun 2000 lalu. Dengan kebijakan ini, rakyat miskin tidak perlu takut bahwa mereka tidak mendapatkan listrik, setidaknya dengan penggunaan listrik untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar yaitu penerangan, dan informasi, serta memasak, akses listriknya dijamin oleh negara. Jika pemakaian listriknya diatas kuota tersebut, maka mereka pun harus membayar sesuai dengan tarif yang ditetapkan secara berundak. Hal ini untuk mencegah terjadinya prilaku boros dalam menggunakan listrik.

Mungkinkah ide listrik gratis diterapkan di Indonesia? Mungkin saja dengan prinsip bahwa biaya yang ditimbulkan harus dibebankan kepada pelanggan lain. Selain itu diperlukah kehati-hatian terhadap beberapa hal: pertama, sasaran masyarakat miskin, kedua, batasan kuota listrik gratis yang terkait dengan skema kenaikan TDL sebagai imbas, dan biaya dan manfaat yang ditimbulkan dari kebijakan populis ini.

Untuk yang pertama, kebijakan ini harus menjangkau masyarakat miskin dan perdesaan yang selama ini tidak terjangkau atau menjangkau akses listrik, tidak hanya terbatas pada mereka yang telah memilki sambungan listrik dari PLN. Untuk golongan ini, pemerintah harus mengalokasikan dana sebagai pengganti dana untuk sambungan baru dan instalasi dalam rumah, sehingga membebaskan masyarakat miskin dari beban membayar biaya sambungan dan instalasi yang berkisar antara 1-1,5 juta per unit pasang.  Selain itu perlu juga disediakan dana tambahan untuk membangun infrastruktur tenaga listrik. Dengan menggunakan data penduduk miskin 2007 dari BPS, sebesar 37 juta, maka diperkirakan rumah tangga miskin sebesar 7,4 juta. Dengan asumsi seluruh rumah tangga ini tidak terjangkau listrik, maka dana untuk penyambungan dan instalasi yang perlu disediakan mencapai 7,4 – 11,1 triliun rupiah, ditambah biaya untuk membangun jaringan. Ini dengan asumsi bahwa seluruh rumah akan terkoneksi ke jaringan distribusi listrik PLN, dan belum memperhitungkan biaya untuk menambah pasokan tenaga listrik.

Adapun mengenai kuota listrik gratis dapat menggunakan informasi dari berbagai studi yang pernah dilakukan. Sejumlah studi yang pernah dilakukan mengindikasikan bahwa rumah tangga miskin mengkonsumsi rata-rata 30-50 kWh per bulan. Saya akan menyarankan agar untuk program listrik gratis diuji cobakan dengan menggunakan kuota 30 kWh per bulan.  Dari perhitungan ini, maka pendapatan PLN akan berkurang kira-kira 0.7 triliun rupiah per bulan atau 8.4 triliun per tahun, dengan asumsi BPP tenaga listrik Rp. 1300/kwh.

Dengan menggunakan prinsip burden sharing dan subsidi silang, jika kemudian rata-rata TDL untuk golongan rumah tangga non R1-450 dinaikkan 50%, sehingga tarif rata-rata-nya  menjadi 880/kWh, maka PLN  akan menerima tambahan pendapatan dari golongan pelanggan rumah tangga sebesar 12-13 triliun rupiah per tahun. Dengan demikian, ada selisih rata-rata sebesar 3.6-4.6 triliun. Simulasi secara kasar menunjukkan bahwa untuk menyeimbangkan biaya yang ditimbulkan dari kebijakan listrik gratis, diperlukan kenaikan TDL untuk golongan rumah tangga non R1-450 diatas 35% dari tarif rata-rata golongan rumah tangga (R1-R3) saat ini.

Wacana listrik gratis untuk orang miskin masih perlu dikaji lebih dalam, dan dipelajari implikasinya hingga benar-benar matang untuk diterapkan. Yang penting untuk saat ini bukanlah wacana populis, tetapi eksekutif dan DPR perlu menyepakati opsi penyesuaian TDL yang terbaik bagi rakyat Indonesia, tetapi tetap melindungi akses listrik masyarakat miskin. Reformasi kebijakan subsidi listrik sesuai dengan prinsip dan kaidah yang wajar, adalah langkah awal untuk memberikan listrik gratis yang berkelanjutan bagi rakyat miskin.

Fabby Tumiwa- penulis adalah Direktur IESR (Institute for Essential Service Reform) dan juga analis dan pemerhati masalah energi dan tata kelola kelistrikan di Indonesia.

Tulisan II – Menguak “Tabir” Transparansi dan Akuntabilitas Industri Ekstraktif di Kalimantan Selatan

Oleh: Dwitho Frasetiandy (Walhi Kalsel)

Dalam tulisan saya sebelumnya, pembahasan memang lebih ditekankan pada bagaimana kita coba ”membuka” daerah gelap yang selama ini hampir sama sekali tidak terjamah oleh masyarakat awam yaitu transparansi di sektor industri ekstraktif. Untuk bagian ini saya akan coba mengangkat bagaimana transparansi yang ada di sektor industri ekstraktif terkait dengan bagaimana daya rusaknya terutama di sektor pertambangan batubara yang ada di Kalimantan Selatan.

Potret Daya Rusak Tambang Batu bara Kalsel

Tambang batu bara sendiri hingga saat ini masih menjadi ”kutukan” ataupun paradoks bagi daerah yang kaya akan sumber daya alam, empat hal yang selalu menjadi potret daya rusak tambang yang ada di Kalsel saat ini misalnya adalah masalah kerusakan lingkungan, pemiskinan masyarakat sekitar tambang, tidak terjaminnya keselamatan masyarakat sekitar tambang, dan juga konflik dan pelanggaran HAM.

Inilah hal-hal yang terus saja ada dan menjadi ”hantu” yang selalu membayangi adanya industri pertambangan batu bara. Selain hal-hal umum yang disebutkan tersebut banyak hal-hal spesifik lain yang menggambarkan bagaimana masifnya daya rusak tambang batu bara yang ada sekarang ini misalnya,

Pertama, ancaman krisis pangan dan lahan, tambang batu bara adalah industri yang rakus lahan. Meningkatnya pengerukan batubara dalam sepuluh tahun terakhir artinya kebutuhan lahan untuk dikeruk tentunya juga meluas. Lahan-lahan itu, termasuk lahan produktif. Banyak lahan produktif, yang dulunya berupa sawah, ladang, perkebunan sungai bahkan pemukiman beralih menjadi kawasan tambang. Tak sedikit desa yang kemudian hilang dari peta beralih jadi kawasan tambang, seperti di desa Lamida atas yang tergusur akibat adanyanya tambang PT Adaro.

Dalam kurun waktu 8 tahun saja sejak tahun 2000-2008 dengan 23 buah PKP2B dan 380 Kuasa Pertambangan (KP) yang mengkapling sekitar 1,8 Juta Hektare lahan di Kalimantan Selatan atau sepertiga dari luas kalsel yang mencapai 3,7 Juta Hektare. Kedepan, Alih fungsi lahan ini akan menjadi ancaman serius bagi ketahanan pangan warga setempa, mengingat kawasan – tersebut adalah penghasil pangan warga setempat. Tentunya dengan makin banyak lahan-lahan mata pencaharian masyarakat.

Di tahun 2009 saja sudah terjadi 21 kali banjir dan ada sekitar lebih dari 15.000 hektar persawahan yang terendam banjir. Tercatat 11 dari 13 kabupaten/kota di Kalsel merupakan daerah langganan banjir dan tanah longsor setiap tahunnya. Daerah tersebut meliputi Kabupaten Tabalong, Balangan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Tapin, Barito Kuala, Tanah Laut, dan Kotabaru. Kabupaten Hulu Sungai Utara, Banjar, dan Tanah Bumbu merupakan daerah paling rawan terhadap ancaman bencana ini. Untuk Kota Banjarmasin juga tidak aman karena rob atau pasang laut selalu terjadi dan merendami permukiman warga. Menurut catatan Dinas Kessos Kalsel, sepanjang 2009, korban bencana alam ini mencapai 19.366 keluarga dengan taksiran kerugian Rp3 miliar lebih.

Kedua, adalah masalah daya rusak terkait krisis air dan pencemaran. Tak hanya rakus lahan. Pengerukan batubara juga rakus air. Pola penambangan terbuka tidak saja mengganggu sistem hidrologi tanah tetapi juga seluruh kegiatan warga yang bergantung pada sungai. Pengerukan batu bara mengakibatkan sungai menjadi hilang juga meningkatkan pendangkalan badan sungai. Lokasi penimbunan atau stockpile batu bara yang biasanya ada di dekat kawasan sungai berpotensi mencemari air sungai. Krisis air adalah keniscayaan bagi warga sekitar pertambangan batu bara. Warga di sekitar industri pertambangan selalu mengeluhkan sulitnya mendapatkan air bersih saat kegiatan pertambangan berlangsung. Pelajaran ini bisa kita dapat dari beberapa kasus tambang yang ada.

Sebagai gambaran, di daerah Sungai Danau – Kabupaten Tanah Bumbu, tepatnya di kawasan sekitar tambang PT Arutmin. Dulunya warga menggunakan air “guntung”, sebutan untuk sungai-sungai kecil disana untuk kebutuhan air harian. Saat ini warga harus membuat sumur sejak guntungnya rusak. Demikian pula dengan warga desa Sungai Cuka – kecamatan Satui, semenjak air sumur mereka kering. Mereka harus membeli pipa agar bisa mengambil air dari lubang bekas tambang milik Arutmin yang ditelantarkan dan terisi oleh air hujan. Jarak lubang tambang dari pemukiman hanya sekitar 25 hingga 30 meter. Begitu pula dengan masyarakat yang ada di sekitar pertambangan PT Adaro di Kabupaten Tabalong, tong-tong berjejer dirumah di depan rumah menjadi pemandangan biasa Entah apa jadinya dikemudian hari, ketika perusahaan tambang tersebut sudah menutup dan mengakhiri kegiatan pertambangannya. Siapa yang akan mengisi tong-tong air tersebut diatas, sementara tidak ada lagi sumber air yang bagus.

Belum lagi hal yang lebih besar yang dapat berdampak ke masyarakat yang ada di hilir, seperti misalnya, salah satu kasus yang terjadi adalah sistem pembuangan air limbah penambangan oleh perusahaan pertambangan batu bara PT Tanjung Alam Jaya yang menuju Sungai Riam Kiwa, Kabupaten Banjar, Kalsel yang menyebabkan kekeruhan air sangat parah karena banyaknya jumlah sedimen yang terbawa arus dari pertambangan. Tingkat kekeruhan air di sungai itu sudah mencapai 438 miligram per liter. Padahal, toleransinya 400 miligram per liter.

Selain itu yang baru-baru saja terjadi adalah pencemaran sungai balangan yang disebabkan oleh ”meluapnya” limbah PT Adaro. Ribuan warga di 4 Kecamatan Kabupaten Balangan yakni Kecamatan Paringin, Juai, Paringin Utara dan Kecamatan Lampihong saat ini tidak bisa mengakses langsung air sungai Balangan untuk keperluan sehari-hari. Demikian juga yang dialami masyarakat di 4 Kecamatan Kabupaten Hulu Sungai Utara (Kecamatan Amuntai Tengah, Babirik, Sei Pandan dan Banjang). Terganggunya operasional PDAM di Balangan dan Amuntai hingga terhentinya layanan distribusi air bersih ke warga selama 3 hari. Keruhnya sungai Balangan ini juga menyebabkan biaya tinggi bagi PDAM dalam memproduksi air bersihnya.

Dan celakanya sungai-sungai seperti, sungai Martapura, balangan dan barito bukanya hanya menjadi konsumsi warga sekitar tambang saja tapi terus dikonsumsi hingga di warga perkotaan, menurut penelitian BLHD Provinsi Kalsel saja di Banjarmasin hampir seluruh sungainya tercemar oleh logam berat, untuk pencemaran yang disebabkan pertambangan batu bara dan besi (Fe) sebesar 16,209, semestinya batas normalnya hanya 0,3. Timbal (Pb) sudah mencemari sebesar 0,125 untuk batas normalnya hanya 0,3.Sungai Barito dan Sungai Martapura yang menjadi sumber kehidupan masyarakat di Kalsel terbukti telah tercemar berbagai unsur logam berat. Kondisi air sungai mempunyai tingkat kekeruhan tinggi dengan total suspended solid (TSS) mencapai 182-567 mg/l jauh di atas standar 50 mg/l. Kadar DO mencapai 5 mg/l dengan standar -6 mg/l. Jika dibiarkan tanpa ada komitmen serius untuk menanggulanginya, bukan tidak mungkin kasus yang pernah menimpa masyarakat buyat pante akibat pertambangan PT Newont bisa terulang.

Itu belum ditambah dengan masalah lain terkait dengan rusaknya 6 dari 12 DAS di empat kabupaten yang kondisinya sangat kritis karena sebagian besar tidakberhutan lagi dan lingkungan sungai-sungai yang buruk. Enam DAS yang sangat kritis itu adalah DAS Barito pada daerah dua sub- DAS (Riam Kiwa dan Kanan) di Kabupaten Banjar. Di Kabupaten Tanahlaut terjadi pada DAS Tabonio dengan sub-DAS (Asam- asam, Sawangan, dan Sabuhur). Selain itu juga pada DAS Kintap, yakni sub-DAS Kintap dan Kintap Kecil. Yang hulunya terdapat pertambangan batu bara, perkebunan sawit skala besar dan perkebunan monokultur. Aktivitas-aktivitas perusakan lingkungan ini telah menghabiskan tutupan lahan dan mengancam keberadaan daerah aliran sungai (DAS) yang ada di kalsel.

Ketiga, Konflik horizontal dan banyak pelanggaran HAM juga menjadi potret yang menyedihkan dari daya rusak tambang yang ada. Dalam pertambangan batubara konflik adalah hal biasa jika industri tambang masuk yang pertama muncul pada pertambangan skala besar, berijin PKP2B dan Kontrak Karya, biasanya konflik horisontal antar warga yang setuju dengan setuju dan yang menolak tambang, baik itu terkait lahan dan permaslahan lainnya. Konflik juga muncul di tingkat warga dengan pemerintah daerah dan perusahaan tambang. Rasa tidak aman warga menjadi sangat terasa, saat pemerintah dan aparat menjadi pelindung perusahaan tambang.

Salah satu contohnya di Kabupaten Balangan, tepatnya di kawasan pengerukan PT Adaro. Perusahaan telah membuka tambangnya sejak tahun 1991. Tambang skala besar tersebut telah menggusur dua desa, yaitu Lamida Atas di Kecamatan Paringin dan Wonorejo di Kecamatan Juai. Perluasan tambang PT Adaro di tahun 2003 membuat dua desa itu lenyap dari peta. Perusahaan melakukan pembebasan lahan dan memaksa warga pindah ke desa lain setelah diganti rugi. Ironisnya lagi saat ini desa yang direlokasi itu akan kembali direlokasi karena daerah yang mereka tempati sekarang akan dijadikan areal perluasan untuk conveyor batu bara PT Adaro, ibaratnya sudah jatuh tertimpa tangga pula.

Potret-potret kecil daya rusak tambang di atas hanya lah sebagian kecil dari banyak permasalahan-permasalahan yang ditimbulkan oleh dampak buruk pertambangan batubara, dan tidak cukup dituliskan dalam tulisan saya ini, tapi paling tidak dari contoh-contoh diatas menggambarkan betapa industri ekstraktif khususnya pertambangan batu bara tidak berdampak siginifikan terhadap kesejahteraan masyarakat.

Transparansi Sebagai Sebuah Solusi Jawaban?

Banyak pertanyaan memang yang mengemuka apakah transparansi di dalam sektor industri ekstraktif khususnya batubara akan menyelesaikan permasalahan yang timbul akibat daya rusaknya, saya pikir tidak juga menyelesaikan masalah besar terkait dengan daya rusak tambangnya, tapi paling tidak dengan transparansi di sector ini sedikit banyak akan mengurangi potensi kerugian Negara akibat maraknya praktek korupsi yang ada di sektor ini yang sudah sejak lama menjadi “lahan basah” bagi para pelakunya.

Lalu selanjutnya adalah masyarakat umum tahu seberapa banyak sebenarnya manfaat yang mereka dapat dari maraknya pertambangan batubara yang ada di daerahnya sehingga harapan ke depannya adalah masyarakat tahu apa yang paling tidak bisa mereka lakukan untuk terus mendukung ataupun “mengganggu” industri pertambangan yang ada di Kalsel. Namun penting juga kiranya adalah bahwa setransparan apapun industry pertambangan –terkait pendapatan dan dana bagi hasilnya- kita tidak hanya bisa menempatkan pendapatan sebagai satu-satunya indikator untuk “melegalkan” industri tambang batu bara, yang jauh lebih penting adalah bagaimana kita melihat daya rusak tambang yang ada, saya kira seberapa besar pun keuntungannya tidak akan mampu untuk “membayar ongkos” daya rusak tambang yang ada. Jadi mungkin tidak akan ada istilah bahwa “Tambang boleh nambah terus asal transparan”, pendapat yang keliru juga saya kira.

Dan apakah saat ini transparansi dapat dijadikan “alat” untuk “menelanjangi” potret buruk industri  batu bara? Saya pikir itu sangat lah mungkin tapi tidak lantas hanya menempatkan isu transparansi ini tanpa mendudukkan fakta terkait daya rusaknya. Dan jangan pula lantas kita terjebak hanya dalam isu transparansi. Tapi sebagai bagian dari “menelanjangi” bobroknya sistem pengelolaan industri ekstraktif dari sector hulu hingga hilir transparansi menjadi isu yang juga sangat krusial. Jadi di hulunya ada masalah kerusakan dan dihilirnya adalah masalah ketidaktransparanan. Klop lah sudah gambaran buruknya pengelolaan industry ekstraktif kita.

Sudah merusak, tidak transparan, menunggak royalti, korup pula…!!!

Tulisan I- Menguak “Tabir” Transparansi Industri Ekstraktif Kalimantan Selatan

Oleh: Dwitho Frasetiandy (Walhi Kalsel)

“Bumi cukup untuk memenuhi kebutuhan kita semua, namun ia tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan segelintir orang yang tamak”. (Mahatma Gandhi).

Ungkapan diatas kiranya dapat sedikit menggambarkan bagaimana pengelolaan sumber daya alam di negeri ini dan juga Kalimantan Selatan. Kerusakan, kerakusan merupakan sesuatu yang saya kira merupakan kata-kata yang sangat pas bagi mereka yang terus-menerus menggerus sumber daya alam yang ada tanpa memeperhatikan aspek keberlanjutan lingkungan.

Padahal logikanya dengan sumber daya alam yang sangat berlimpah ini akan mampu menjadi penopang perekonomian dan juga sebagai penggerak perekonomian dan juga kesejahteraan masyarakat sekitar tambang, namun harapan itu ternyata berbanding terbalik dengan apa yang terjadi sekarang. Mengambil sebuah kata dari para ekonom dunia “the resource curse atau the paradox of plenty”, yang merupakan gambaran bahwa sebuah negara yang kaya akan sumber daya alam namun ternyata kekayaan itu bukan menjadi sebuah kekayaan bagi kita semua namun makah berubah menjadi bencana lingkungan dan sosial.

Produksi batubara Kalsel yang mencapai 78 juta ton/tahun, jumlah yang sangat lah besar, namun pada kenyataannya saat ini 70% batubara itu diekspor ke luar negeri, 29% dikirim ke pulau jawa, dan yang semakin ironis adalah keuntungannya tidaklah berputar di kalsel namun hanya dinikmati segelintir orang saja di Jakarta dan sebagian di kalsel. Kalau kita hitung secara matematis, dengan harga batubara 100 dollar per metrik ton, batubara kalsel dapat menghasilkan keuntungan mencapai 8 trilyun/tahun atau 4 kali lipat dari APBD yang cuma” 1,8 trilyun/tahun.

Namun ternyata yang didapat daerah tidak lah sebanyak yang kita pikirkan, menurut pemerintah kalsel hasil royalti yang didapat dari batubara “hanya” 85 milyar saja pada tahun 2008 lalu, padahal keuntungan yang didapat dari ekspor batubara kalsel di triwulan awal tahun 2009 ini saja mencapai u mencapai 1,4 trilyun rupiah. Wow, sebuah angka yang sangat fantastis untuk 3 bulan pertama saja, bahkan jauh melampaui APBD Kalsel. Tapi yang didapat daerah hanya lah “seujung kuku” dari yang keuntungan yang dinikmati oleh para pengusaha pertambangan itu.

Kesejahteraan jadi kata yang diucap berulang-ulang oleh pemerintah dan pelaku tambang, saat membicarakan penerukan batubara. Mereka bilang peningkatan produksi batubara akan meningkatkan pemasukan asli daerah (PAD) dari sektor ini. Naiknya PAD seringkali diasumsikan dengan naiknya tingk at kesejahteraan rakyat. Namun apakah klaim ini benar adanya?

Pertambangan, Jauh Kesejahteraan = Kemiskinan

Pendapatan sektor pertambangan diatur dalam UU No. 33/2004, yang menyebutkan penerimaan iuran tetap pertambangan umum untuk pusat sebesar 20% dan 80% untuk daerah (16% propinsi dan 64% kabupaten/kota), penerimaan iuran eksplorasi dan eksploitasi pertambangan umum terdiri dari 20% untuk pusat dan 80% untuk daerah (16% untuk propinsi, 32% untuk kabupaten/kota penghasil, 32% untuk kabupaten lainnya). Namun kebijakan ini tidak cukup memuaskan daerah karena penyerahan cenderung terlambat dan ketidak pastian jumlah yang diterima.

Selain itu, untuk mendapatkan dana iuran ini teranyata tak mudah. PT. Arutmin Indonesia (Bumi Resources) menunggak sampai 3 tahun yang mencapai USD 13 juta atau setara Rp 13 miliar ke Pemprov Kalsel. Tunggakan PT Arutmin itu merupakan akumulasi dari perhitungan royalti tahun 2004 dan tahun 2005. Termasuk denda yang dikenakan atas keterlambatan pembayaran royalti tersebut.

Sebelumnya total tunggakan royalti perusahaan itu mencapai USD 30 juta. Rupanya, tunggakan ini terus berlanjut tahun 2004 mencapai USD 29 juta, hingga dibayar tahun 2005 sebesar USD 23 juta, sehingga tersisa USD 5 juta. Ternyata, tunggakan itu berlanjut lagi tahun 2005 hingga besarannya mencapai USD 16 juta. PT Bahari Cakrawala Sabuku sempat menunggak royalti hingga 2005 mencapai USD 4,5 juta. Kemudian, PT Antang Gunung Meratus sempat ‘ngutang’ USD 714 ribu. Hal serupa juga dilakoni PT Sumber Kurnia Buana sempat menunggak royalti sebesar USD 3,7 juta, PD Baramarta sebesar USD 5,9 juta, PT Tanjung Alam Jaya USD 583 ribu, dan PT Baramulti Sukses Sarana USD 321 ribu.

Kabupaten Tanah Laut yang dikenal sebagai daerah kaya batubara ternyata mendapatkan royalti batubara tahun 2005 adalah Rp. 8,014 milyar, sumbangan Pihak ketiga sebesar Rp.10,321 milyar sehingga total pendapatannya menjadi Rp. 18,336 milyar. Sedangkan tahun 2006 (data sampai dengan Juli) sudah diperoleh Rp. 10,145 milyar. Tanah laut berupaya mencari peluang meningkatkan pendapatannya dari sektor batubara dengan meningkatkan besaran sumbangan pihak ketiga pengusaha batubara, dari Rp 1000 menjadi Rp 2000 untuk setiap ton batubara yang dikeruk. Selain itu, sumbangan diharapkan dari didapat dari pengalihan wewenang pembuatan surat keterangan asal barang (SKAB) dari gubernur kepada bupati. Peluang lainnya dari bidang transportasi dan pelabuhan melalui Perda 7/2003, tentang ragam pungutan (retribusi) atas seluruh kegiatan kepelabuhan. Di antaranya, retribusi jasa tambat, jasa labuh, jasa pemanduan, jasa penumpukan barang, dan jasa sewa perairan. Nominal retribusi jasa alur sesuai Perda nomor 7 yaitu Rp7.500 per ton batubara.

Kondisi diatas tidak jauh beda didapat pada penilaian IPM tahun 2006, dimana Kalsel berada pada peringkat 26 dari 33 propinsi di Indonesia. Bahkan pertumbuhan ekonomi Kalsel tahun 2006, hanya 4,7 persen atau di bawah rata-rata nasional yang mencapai 6 persen. Angka itu juga lebih rendah dibanding pertumbuhan ekonomi Kalsel tahun 2005, yang mencapai 5 persen. Bila dicermati lebih jauh, sejak tahun 1999 hingga 2005, ranking IPM Kalsel secara konstan menurun. Urutan 21 pada tahun 1999, kemudian berada pada urutan 23 di tahun 2002, 24 di tahun 2004 dan urutan 26 di tahun 2005.

Apa yang terjadi di tataran propinsi juga terjadi di tataran kabupaten/kota di Kalimantan Selatan. Kabupaten Tanah Bumbu, yang notabene sumbangan sektor pertambangan selama tiga tahun terakhir PDBR berlaku rata-rata di atas 35% (tertinggi dibandingkan kabupaten/kota lainnya di kalsel) ternyata IPM Kabupatennya berada pada urutan 10 dari 13 Kabupaten/kota lainnya. Bahkan sangat jauh dibandingkan dengan IPM Banjarbaru yang nyaris hanya mengandalkan sektor jasa dan perdagangan dalam PDBRnya.

Sesungguhnya, berdasarkan Ilmu Ekonomi suatu investasi idealnya harus membawa efek penciptaan lapangan kerja dan efek ganda lainnya yang positif, sebagaimana argumentasi yang selalu disampaikan para bupati saat mereka akan mengeksplotasi sumberdaya alam di daerah mereka. Argumentasi itu mereka kemukakan karena mereka tidak pernah tuntas menyelesaikan masalah pengangguran. Padahal agar suatu investasi dapat mencapai keadaan tersebut banyak syarat dan konsekuensi lain yang harus diperhatikan. Hal ini tampaknya tidak terjadi dalam investasi tambang batubara.

Investasi pertambangan batubara tidak akan mensejaterakan masyarakat, kalau hanya ditinjau dari keuntungan penciptaan lapangan kerja dan efek ganda. Karena investasi bisa saja ditanam pada sektor ekonomi lain bukan pertambangan batubara, dan sudah pasti juga akan menciptakan lapangan kerja dan efek ganda lainnya. Dengan demikian argumentasi penciptaan lapangan kerja dan efek ganda tersebut sangat kurang tepat.

Salah satu indikator kesejahteraan masyarakat dapat dilihat dari serapan tenaga kerja. Sebagaimana disebutkan terdahulu, masalah pengangguran belum tuntas di Kalimantan Selatan. Dari 3.250.100 orang penduduk Kalimantan Selatan (Data Tahun 2005), 1.468.590 orang diantaranya bekerja atau sekitar 45%.

Sektor yang paling tinggi menyerap tenaga kerja adalah pertanian, yang menyerap 741.298 orang atau 51 persen tenaga kerja. Sektor pertambangan yang sangat dominan dalam menghasilkan nilai tambah (rangking 2), output (rangking 1), dan investasi (rangking 2), ternyata hanya mampu menyerap tenaga kerja 33.738 orang atau dua persen. Tenaga kerja inipun kebanyakan berasal dari luar desa bahkan banyak dari mereka berasal dari luar provinsi.

Industri Ekstraktif Harus Terbuka Kepada Publik

Rezim ketertutupan informasi atas penerimaan negara dari sektor industri ekstraktif akan terpatahkan. Sejalan dengan terbitnya Peraturan Presiden No. 26 Tahun 2010, kini publik berhak tahu berapa besar penerima negara dari industri ekstraktif. Industri ekstraktif adalah segala kegiatan yang mengambil sumber daya alam yang langsung dari perut bumi berupa mineral, batubara, minyak bumi, dan gas bumi, ditambah dengan sudah berlakunya UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik tentunya semakin menguatkan kita bahwa informasi terkait industry ekstraktif di kalsel harus dibuka selebar-lebarnya.

Perpres No. 26 Tahun 2010 mengatur tentang transparansi pendapatan negara dan pendapatan daerah yang diterima dari industri ekstraktif, kebijakan transparansi ini akan menjadi angin segar dalam rangka memperbaiki tata kelola industri ekstraktif. Selama ini, industri migas dan pertambangan relatif sangat tertutup.

Perpres ini merupakan adopsi sekaligus pertanda keikutsertaan Indonesia dalam Extractive Industry Transparency Initiative (EITI). Perpres 26 bisa dikatakan sebagai langkah strategis untuk menguraikan aliran pendapatan negara dari sektor industri ekstraktif. Pendapatan negara selama ini disumbang 32 sampai 35 persen dari industri ekstraktif. Celakanya, sumber pendapatan dari migas dan tambang telah lama menjadi sumber konflik antara Pusat dan Daerah. Terutama mengenai dana bagi hasil.

Selama sembilan tahun masa desentralisasi sekitar 7.000 Kuasa Pertambangan (KP) diterbitkan Pemerintah. Cuma, tak terdata dengan jelas berapa pendapatan dan berapa manfaat riil yang diperoleh negara dari migas dan tambang. Yang ada justru informasi tentang kerusakan ekologis akibat pengelolaan tambang yang tak tertata dengan baik.

Masyarakat juga akan tahu perusahaan mana saja yang bergerak di industri ekstraktif, sekaligus tercatat data berapa pendapatan yang diperoleh negara dari perusahaan. Masyarakat juga dapat mengetahui berapa banyak volume migas yang diekspor dan berapa yang dipersiapkan untuk kebutuhan dalam negeri. Seperti diketahui, Menko Perekonomian Hatta Radjasa sudah berkali-kali menekankan pentingnya mengedepankan kebutuhan migas domestik ketimbang ekspor.

Namun bagaimanapun juga inisiatif EITI yang diperkuat dengan Keluarnya Perpres No.26 tahun 2010 ini bukan hanya satu-satunya cara untuk meminimalisir praktek-praktek korupsi di sector pertambangan dan industry ekstraktif lainnya, tapi setidaknya mampu menjadi langkah awal di Kalimantan Selatan untuk mencegah adanya praktek korupsi di sector ini dan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas di dalam industry ekstraktif di Kalimatan Selatan.

Kebijakan pemerintah yang lebih transparan dalam industri ekstraktif bukan saja mutlak dibutuhkan guna mengurangi tingkat korupsi dan manipulasi hasil pendapatan yang seharusnya diterima negara, tetapi dapat memperbaiki iklim investasi di bidang ini. Namun, yang lebih penting, masyarakat berhak mengetahui apa yang sudah dibayarkan industri kepada negara, negara menerima berapa, dan untuk apa saja. Pertanyaannya, bisakah Pemerintah melakukan hal ini. Jika tidak, sedih sekali masyarakat kalsel, sudah tidak mendapat kemakmuran secara ekonomi, masih tidak diberi informasi atas pendapatan dari hasil pengelolaan industri berbasis sumber daya alam.

Pertanyaan yang perlu dikemukakan pula dari semua fakta ini adalah “ untuk siapa sebenarnya energy dan indutri ekstraktif tersebut selama ini? Kita melayani siapa?”. Bayangkan 70 % dari 78 Juta Ton produksi batu bara kalsel di ekspor ke luar negeri. hanya sisa dari itu lalu melayani kepentingan domestik, perdebatan kuota-antikuota pemenuhan kebutuhan domestik ternyata hanya menjadi debat kusir, sementara ekspor terus melenggang tanpa halang-rintang. maka terjawablah sudah pertanyaan “untuk siapa energy dan batu bara kita selama ini dan kita melayani siapa”.

Bukan kah seharusnya apa yang terkandung didalam tanah Kalimantan Selatan menjadi kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan bagi kita dan generasi yang akan datang, bukan dengan cara keruk habis seperti ini. Sehingga pertanyaan apakah batubara itu mensejahterakan, bukan lagi sebuah mitos belaka.