Pemerintah dan PLN Gagal Jamin Pasokan Energi (Terkait pemadaman listrik)

Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai pemerintah dan PT PLN (Persero) telah gagal menjamin pasokan energi, menyusul pemadaman listrik yang berlangsung untuk kesekian kalinya pada saat ini.

Direktur IESR, Fabby Tumiwa, di Jakarta, Kamis, mengatakan kejadian pemadaman listrik ini telah merugikan seluruh masyarakat dan mengurangi daya saing ekonomi Indonesia. Kejadian ini merupakan kegagalan pemerintah mengatur dan mengelola sektor energi dan juga PLN menjamin penyediaan tenaga listrik kepada seluruh pelanggannya,” katanya.

IESR juga memperingatkan peluang pemadaman listrik karena kekurangan pasokan akan semakin besar di tahun 2008 dan tahun 2009. Lebih lanjut Fabby menambahkan, defisit pasokan listrik ini merupakan kesalahan akut dalam pengelolaan energi di Indonesia.

“Kejadian ini menunjukkan carut marutnya pengelolaan energi nasional. Seluruh regulasi gagal mengantisipasi masalah ini dan seharusnya ini menjadi evaluasi pemerintah untuk meninjau ulang seluruh kebijakan dan ketersediaan infrastruktur energi dan kelistrikan,” katanya.

Akibat pemadaman adalah kerugian ekonomi dan non-ekonomi bagi seluruh pelanggan listrik. Kerugian ekonomi yang secara langsung berdampak pada penurunan pertumbuhan ekonomi nasional.

Pemadaman listrik juga akan menurunkan tingkat daya saing produk barang dan jasa Indonesia, sehingga semakin sukar bagi Indonesia untuk mencapai tingkat ekonomi yang diharapkan terjadi.

IESR juga menilai, kondisi alam, misalnya cuaca buruk seharusnya tidak dijadikan alasan sebagai biang penyebab terjadinya defisit, karena seharusnya telah menjadi pertimbangan ketika merancang dan membangun pembangkit listrik.

Menurut dia, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagai pengawas sektor dan PLN memiliki kesempatan memperpanjang stok bahan bakar di sejumlah pembangkit, serta meningkatkan ketersediaan pembangkit melalui upaya-upaya perencanaan yang benar dan peningkatan kinerja operasi dan perawatan pembangkit.

IESR juga mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan DPR agar segera mengevaluasi kinerja Menteri ESDM serta memerintahkan departemen terkait melaksanakan investigasi terhadap kejadian ini dalam rangka memperbaiki pengelolaan energi nasional.

“Perlu dilakukan langkah-langkah yang komprehensif dalam kebijakan, pengaturan dan strategi untuk menjamin keamanan pasokan energi di Indonesia,” katanya.

IESR juga mendesak agar pemerintah segera melaksanakan restrukturisasi manajemen PLN, dengan mempertimbangkan memburuknya penyediaan tenaga listrik dalam lima tahun terakhir.

“Tanpa adanya tindakan korektif terhadap kebijakan dan strategi penyediaan energi nasional dan reformasi di dalam PLN, termasuk penetapan kebijakan harga energi yang rasional, maka frekuensi pemadaman listrik akan semakin besar pada tahun 2008 hingga 2009 mendatang,” kata Fabby.

http://www.alpensteel.com.

Kunci Sukses Kopenhagen : Pastikan Annex I Kurangi Emisi Cukup Besar

Ani Purwati – Elemen kunci kesuksesan perundingan iklim di Kopenhagen Desember nanti adalah kesepakatan-kesepakatan mengenai bagaimana memastikan negara-negara Annex I melakukan pengurangan emisi yang cukup besar untuk memberikan ruang atmosfir fisik bagi negara-negara berkembang.

Kedua bahwa alokasi negara-negara Annex I, “jumlah yang ditetapkan” atau “hak emisi” mencerminkan baik tingkat emesi histories dan kebutuhan dari negara-negara berkembang. Ketiga bahwa negara-negara Annex I memberikan paket keuangan dan teknologi yang ambisius untuk ditransfer kepada negara-negara berkembang untuk memungkinkan mereka mengurangi dan mengadaptasi perubahan iklim.

Demikian pernyataan Institut for Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam position paper yang disampaikan saat diskusi bersama organisasi non pemerintah (ornop) di Gedung YTKI, Jakarta, Kamis (6/8).

Negara-negara maju harus memenuhi tanggungjawab histories dan terkini mereka baik untuk penyebab-penyebab dan konsekuensi-konsekuensi perubahan iklim. IESR menilai. penyebab utama dari perubahan iklim adalah emisi oleh dan untuk negara-negara maju.

Menurut Fabby Tumiwa, Direktur IESR, dari total 1 triliun ton CO2 untuk emisi 450 ppm, lebih dari separuh atau sekitar 500 milyat ton sudah digunakan sejak berlangsungnya revolusi industri pada abad 18.

“Saat ini masih tersisa separuh lagi. Tapi perlu diingat, siapa yang menghabiskan budget emisi itu? 80 persennya adalah negara maju yang jumlahnya 15 persen dari total negara di dunia,” jelas Tumiwa.

Bila tidak ada pembatasan, penambahan jumlah emisi akan meningkatkan suhu mencapai 2o C, bahkan bisa mencapai 6-8o C. Dampaknya adalah kerusakan ekosistem bumi. Saat ini kenaikan suhu telah mencapai 0,8-0,9o C. Kalau tidak ada penurunan emisi maka tahun 2050 bisa dikatakan terjadi kiamat.

Data IESR menyebutkan, negara-negara maju yang mewakili kurang dari seperlima populasi dunia bertanggungjawab atas hampir tiga perempat dari seluruh emisi histories. Perorangan emisi histories mereka lebih dari 10 kali orang-orang di negara berkembang. Emisi per orang mereka saat ini lebih dari 4 kali orang-orang di negara-negara berkembang.

Emisi histories dari negara maju inilah yang pada dasarnya bertanggungjawab terhadap pemanasan yang terjadi sekarang dan pemanasan yang terjadi di masa yang akan datang.

Korban-korban utama dari perubahan iklim adalah orang-orang dan komunitas-komunitas di negara-negara berkembang. Negara berkembang yang tidak berperan banyak dalam menyebabkan perubahan iklim, menjadi korban pertama dan terburuk. Sekarang mereka harus membangun di bawah beban berlipat ganda yang tidak dihadapi oleh negara-negara maju dan beban itu bukan disebabkan oleh mereka- beban dari pengurangan dan adaptasi terhadap perubahan iklim.

Negara-negara berkembang yang telah didorong untuk “mengembangkan cara mereka untuk keluar dari kemiskinan”, sekarang diminta untuk tumbuh tanpa meningkatkan emisi mereka, dan untuk melakukannya dalam sebuah iklim semakin tidak ramah.

Kenyataan-kenyataan ini harus secara penuh dan adil direfleksikan dalam setiap hasil yang disepakati di Kopenhagen. Melakukan hal tersebut diwajibkan oleh prinsip-prinsip dan syarat-syarat dasar dari Konvensi Perubahan Iklim dan Rencana Aksi Bali (Bali Action Plan) yang menyerukan untuk pelaksanaan penuh, efektif dan berkelanjutan dari Konvensi itu.

Hutang Ekologis

Lebih dari itu, menurut Arimbi Heroepoetri dari DebtWatch Indonesia dalam position papernya bahwa pengabaian atas pelaksanaan hutang ekologis adalah sama dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam hal ini titik beratnya terletak pada pemanfaatan ruang hidup setidaknya ada dua hak yang harus dilihat, yaitu pertama hak untuk menentukan nasib sendiri dalam menikmati sumber daya alam dan kedua hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat serta terbebas dari kerusakan dan pencemaran lingkungan.

Hutang ekologis adalah utang yang diakumulasikan oleh negara-negara industri terhadap negara-negara Selatan atau berkembang karena perampasan sumber daya alam, timbulnya kerusakan lingkungan, dan pemakaian ruang lingkungan secara bebas untuk menimbun limbah berbahaya, seperti gas-gas efek rumah kaca, oleh negara-negara industri.

Menurut Lidy Nacpil dari Koordinator Jubilee South, hutang financial negara-negara berkembang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan hutang ekologis negara maju. Secara moneter hutang financial negara-negara Selatan adalah 3,2 triliun dolar Amerika Serikat, sedangkan hutang ekologis negara maju untuk karbon saja senilai 2,4 triliun dolar. Belum jumlah senyawa gas rumah kaca lain.

Untuk pembayaran hutang ekologis, tidak hanya dengan sejumlah uang saja, namun yang lebih penting adalah pemulihan lingkungan hidup dan sumber daya alam secara penuh atau reparation. Perlu suatu upaya gerakan bersama seluruh bangsa di dunia untuk mewujudkan pemulihan secara penuh oleh pihak-pihak yang berhutang ekologis atau negara maju.

http://www.beritabumi.or.id.

Bisnis Air : Benar-Benar Bisnis “Basah” Ketika Swasta Masuk ke Industri Air

Bisnis air berpotensi memberi keuntungan yang deras. Pihak swasta pun mulai banyak yang melirik. Siapa saja yang mengincar bisnis ini? Lantas, bagaimana negara menjamin ketersediaan air yang murah bagi masyarakat setelah pihak swasta masuk?

Matahari belum tampak ketika Kohir, 40, mengeluarkan gerobak airnya. Setiap pagi, sekitar pukul 04.30 WIB, pria asal Brebes, Jawa Tengah, itu sudah siap meluncur menjajakan air bersih di sekitar kawasan rumah susun Kemayoran. Kohir, yang tinggal di kawasan Haji Ung, Kemayoran, telah menekuni pekerjaan ini selama hampir 20 tahun. “Air di daerah ini nggak enak untuk diminum. Itu sebabnya saya jualan air,” ujar Kohir.

Keuntungan Kohir dari menjual air ini bisa dibilang lumayan. Untuk mengisi satu gerobak yang berisi 16 jeriken air, Kohir cukup mengeluarkan uang Rp2.000. Lalu ia menjual setiap jeriken air (yang berisi lima liter) seharga Rp1.000. Ayah empat anak ini mendapatkan air bersih dari keran milik Haji Sukamto, bapak kos-nya sendiri. Dalam sehari, Kohir bisa menjual lebih dari seratus jeriken air. Supaya mudah, katakanlah per hari dia bisa menjual 112 jeriken air. Jadi, keuntungan Kohir per hari Rp98.000 atau Rp2,94 juta per bulan.

Kohir adalah contoh kecil yang meneguk untung dari bisnis air. Perusahaan-perusahaan dengan kekuatan modal besar, baik asing maupun lokal, tentunya juga melihat betapa “basah”-nya bisnis air. Metito Overseas Ltd., misalnya. Investor asing asal Uni Emirat Arab (UEA) ini—lewat bendera PT Metito Indonesia—sejak 2004 memasuki ceruk bisnis air dengan mengelola air minum bagi pelabuhan. Jika dilihat dari harga jual airnya, Metito tampaknya meraup untung yang tidak sedikit.

Sebagai gambaran, tarif air minum bagi perumahan sekitar Rp2.500 per meter kubik, tetapi di pelabuhan bisa mencapai Rp12.000. Dalam bisnis air di pelabuhan itu, Metito Indonesia menggandeng PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo). Di wilayah Pelindo I, Metito melayani kebutuhan air di beberapa pelabuhan, seperti Belawan, Dumai, dan Tanjung Balai Karimun. Untuk bisnis airnya di tiga pelabuhan itu, Metito Indonesia menanam modal US$10 juta, atau pada waktu itu setara dengan Rp73,8 miliar.

Sementara itu, investor lokal yang cukup agresif mengincar bisnis air adalah Recapital Advisors. Perusahaan yang didirikan oleh Roslan P. Roeslani dan Sandiaga S. Uno ini, lewat anak usahanya, Acuatico Pte. Ltd., pada 2006 lalu mengambil alih 95% saham PT Thames PAM Jaya dari Thames Water Plc., Inggris. Thames PAM Jaya—yang telah berubah nama menjadi PT Aetra Air Jakarta—merupakan pemilik konsesi penyediaan air bersih di Jakarta bagian timur hingga 2022.

Selain Jakarta, Acuatico juga sudah mendapat konsesi baru di Pasar Kemis, Sepatan, Cikupa, Balaraja, dan Jayanti, semuanya di Kabupaten Tangerang, Banten. Nilai investasi Acuatico untuk bisnis air di Kabupaten Tangerang itu sekitar Rp515 miliar. Acuatico kini tengah mengincar beberapa daerah lainnya, seperti Solo, Semarang, Kalimantan, dan Bandung. “Kalau semuanya lancar, hingga akhir tahun ini kami ada tambahan satu konsesi lagi, sehingga menjadi tiga konsesi,” ujar Rosan P. Roeslani, presdir Recapital Investment Group.

Di Indonesia saat ini setidaknya sudah ada 25 investor swasta yang masuk ke bisnis air bersih. Itu baru bicara peluang di bisnis air bersih, belum termasuk bisnis Air Minum Dalam Kemasan (AMDK). Berdasarkan data Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (Aspadin), anggota asosiasi itu kini mencapai 165 perusahaan. Di luar Aspadin, ada 185 perusahaan AMDK lainnya yang masih aktif berproduksi. Semua perusahaan tadi, baik yang menjadi anggota Aspadin maupun tidak, menjual 600-an merek AMDK.

Di antara anggota Aspadin, PT Aqua Golden Mississippi Tbk. adalah pemain yang menguasai pasar domestik. Perusahaan yang kini sahamnya mayoritas dimiliki oleh Danone (perusahaan multinasional asal Perancis) itu menguasai lebih dari 45% pangsa pasar AMDK di Indonesia.

Pada 2008 lalu Aqua menunjukkan kinerja yang positif. Laba bersihnya meningkat 24,91% atau naik dari Rp65,91 miliar (2007) menjadi Rp82,33 miliar. Peningkatan laba bersih ini akibat naiknya pendapatan perseroan. Pendapatan perseroan pada 2008 lalu mencapai Rp2,33 triliun atau naik lebih dari 19% dibanding tahun lalu yang Rp1,95 triliun.
Munculnya pedagang kecil seperti Kohir dan banyaknya pihak swasta yang melirik bisnis air, baik itu air bersih maupun AMDK, menunjukkan bahwa air saat ini telah dipandang sebagai komoditas. Air tidak lagi sekadar barang publik (public goods), tetapi sudah menjadi komoditas ekonomi. Jika dilihat dari kinerja Aqua atau keuntungan yang diraih Kohir, maka bisa dikatakan bahwa bisnis air adalah bisnis yang benar-benar “basah”. Ke depan, bisnis ini akan makin “basah” mengingat permintaan akan air yang makin meningkat seiring dengan terus bertambahnya jumlah penduduk dan kian menurunnya kualitas air tanah.

Ketika Swasta Masuk ke Industri Air

Bisnis air, menurut Rachmat Karnadi, ketua Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (BPPSPAM), bisnis air memang menggiurkan. Apalagi jika melihat potensinya di Indonesia. Menurut dia, di Indonesia, sistem penyediaan air minum dikelola oleh masing-masing kabupaten/kota. Sampai tahun 2008 terdapat 340 Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di Indonesia dan baru bisa melayani kebutuhan sekitar 40% penduduk perkotaan dan 8% penduduk pedesaan.

Masih menurut Rachmat Karnadi, setiap tahun kebutuhan akan air bersih tumbuh 1,5%. Di sisi lain, penyediaan air bersih oleh pemerintah masih menghadapi berbagai kendala yang kompleks, mulai dari kelembagaan, teknologi, sampai anggaran.

Dari sisi anggaran untuk menyediakan air bersih bagi 80% wilayah Indonesia, pemerintah membutuhkan dana lebih dari Rp40 triliun. Sementara itu, kondisi PDAM sendiri umumnya tidak sehat dan merugi—salah satu penyebabnya adalah tingginya angka kebocoran, hampir mencapai 40%. Hal ini menunjukkan pengelolaan air di Indonesia belum profesional. Keterlibatan swasta dalam berinvestasi di sektor ini mungkin dapat menjadi salah satu solusi. Oleh karena itulah, melalui UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air, pemerintah membuka ruang bagi pihak swasta untuk bermain di sektor air.

Untuk menarik calon investor ini, kata Rachmat, pemerintah akan memastikan adanya kenaikan tarif air secara berkala. Pemerintah juga akan menjamin ketersediaan sumber air baku secara berkesinambungan. Sistem penarifan juga dibuat menarik, di antaranya, dengan mencakup biaya produksi (full cost recovery). “Seandainya pihak swasta bisa mengatasi tingkat kebocoran, bisnis air tentu akan sangat menguntungkan,” ujarnya.

Iming-iming itulah yang membuat investor baik lokal maupun asing memburu bisnis air. Beberapa investor asing yang telah menancapkan kukunya di Indonesia adalah perusahaan asal Inggris, Biwater Plc., lewat anak perusahaannya Cascal BV, Citigroup Financial Products Inc., Compagnie de Suez, Veolia Environnement (dulu Vivendi Environnement) dari Perancis, dan RWE Group, induk perusahaan Thames Water, yang berpusat di Jerman, Water Supply Company Drenthe asal Belanda, dan PT Petrosea Tbk., anak usaha Clough Group, Australia.

Masuknya swasta tentu saja akan membawa implikasi terhadap biaya penyediaan air dan harga air. Sudah menjadi fitrahnya jika perusahaan/pengusaha yang menanamkan modal ke suatu industri berharap mendapatkan keuntungan yang besar. Nah, yang harus diperhatikan adalah jangan sampai masuknya pihak swasta membuat harga air menjadi makin mahal, sehingga masyarakat makin sulit mendapatkan air, terutama masyarakat miskin.

Sangatlah penting memberi perlindungan terhadap hak atas air sebagai hak dasar umat manusia dari upaya-upaya komersialisasi air yang berlebihan serta menjamin bahwa masuknya swasta dapat memberikan kesempatan dan pelayanan yang lebih baik bagi kelompok miskin dengan harga yang terjangkau. Apalagi hal tersebut sudah diamanatkan oleh UUD 1945 Pasal 33. Oleh karena itu, kata Rachmat, meski area bisnis pengolahan air cukup luas, bukan berarti sembarang investor bisa memasuki bisnis ini. Semua wujud kerja sama pengolahan air minum di Indonesia harus melalui mekanisme tender. Ia mengingatkan bahwa undang-undang dan peraturan di Indonesia mengharuskan badan pengontrol air minum bertindak transparan. “Swasta tidak boleh semena-mena atau diberi kewenangan dan kebebasan. Mereka tetap dikontrol, termasuk tarifnya, melalui mekanisme tender,” cetus Rachmat.

Fabby Tumiwa, direktur Institute for Essential Services Reform (IESR), menilai peran swasta di sektor air memang dibutuhkan. Namun, di sisi lain, pemerintah juga wajib menjamin akses air bagi masyarakat. Saran Fabby, pertama, untuk itu pemerintah harus melakukan pengawasan dan kontrol yang ketat terhadap biaya modal dari suatu investasi swasta dalam pengusahaan sumber daya air guna mencegah pembebanan harga yang berlebihan bagi publik. Kedua, perlu mekanisme subsidi yang terarah guna menutupi kesenjangan antara tingkat kemampuan membayar masyarakat dan harga penyediaan air yang wajar.

Mekanisme ini dapat menjadi alat pemerataan keadilan jika dirancang secara baik dan tepat. Ketiga, mendorong otoritas-otoritas yang bertanggung jawab atas penyediaan dan pengusahaan air untuk menjalankan sistem yang transparan, bertanggung jawab, dan melibatkan partisipasi publik yang efektif guna menjamin checks and balances.

EVI RATNASARI, YOHANA NOVIANTI H., DAN IRWANSYAH
(redaksi@wartaekonomi.com)

http://vulcan3.sip.co.id.

Indonesia Desak ADB Kembangkan Infrastruktur Desa

NUSA DUA – Asian Development Bank (ADB) diminta mengembangkan program pembangunan infrastruktur desa. Upaya ini dinilai menjadi kunci bagi upaya pengurangan kemiskinan di Asia.

Emil menegaskan, jika ADB masih berkomitmen mengurangi kemiskinan, program itu harus secepatnya dilaksanakan. Ini mengingat desa merupakan bagian kantong-kantong kemiskinan. Dia berharap program pembangunan infrastruktur desa akan meningkatkan perekonomian masyarakat desa dan memiliki risiko kecil terhadap kerusakan lingkungan.

Mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup ini juga mengkritik model pembangunan yang keliru, terutama yang disponsori oleh lembaga-lembaga keuangan internasional seperti ADB, Bank Dunia maupun organisasi perdagangan dunia (WTO). “Karena itu, mereka sudah seharusnya meninggalkan model yang salah itu,” imbuhnya.

Koordinator Program lembaga Independent Energi dan Perubahan Iklim Institute for Essential Service Reform (IESR) Erina Mursanti justru mencurigai adanya kepentingan terselubung negara maju di balik rencana ADB dalam mewujudkan paradigma baru pembangunan di Asia.

Menurut Erina, ADB memiliki kepentingan mengembangkan skema perdagangan karbon dengan mengucurkan dana USD40 juta untuk perubahan iklim melalui program pendanaan respons bencana. “ADB itu tidak tidak tulus alias memiliki kepentingan di balik pinjaman itu. Mereka masih mau membeli emisi dari negara berkembang dan tidak perlu menurunkan emisi di negaranya,” ujarnya.
(Miftachul Chusna/Koran SI/ade)

sumber: http://economy.okezone.com.

Dua Setengah Tahun MOU Dana 10.000 MW RI-China Belum Cair Juga

By: Reynald Sori – REVIEW (27/3), Sudah dua setengah tahun berjalan sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuat nota kesepahaman (MOU) kerja sama energi antara Indonesia dan China namun tindak lanjut komitmen tersebut belumlah terlihat. Beberapa hambatan yang cukup pelik baru mulai disadari oleh Pemerintah Indonesia sejak awal 2007, dan hingga kini masih kerap muncul masalah baru dalam aspek pendanaan kerjasama energi yang nilai investasinya mencapai 5 miliar dollar AS.

Masalah terakhir, Bank of China yang menjadi pendana bagi pembangunan tiga unit PLTU Indaramayu hingga kini belum mengucurkan dana juga. Akibat ketergantungan pendanaan tersebut, operasi PLTU tersebut pun ikut tertunda. Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro sempat melansir dugaannya bahwa lambatnya pendanaan akibat konflik pembelian pesawat antara PT Merpati Airlines dengan pihak China yaitu PT Xian Aircraft, sehingga menyandera pendanaan proyek listrik 10 ribu MW.

Mengingat amat pentingnya proyek listrik ini bagi hajat hidup orang banyak, Pemerintah mestinya mampu mengevaluasi letak inti permasalahan kegagalannya. Ketimbang membuat strategi pendek atau hit and run yang akan hanya akan membuat janji Pemerintah menambah pasokan listrik 10.000 megawatt menjadi sekedar janji. Kabar terakhir, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah berangkat Rabu (18/3) minggu lalu ke China untuk menyelesaikan masalah dengan Pemerintah China. Hasilnya belum dapat diketahui hingga hari ini, namun optimisme dan kesabaran lebih nampaknya dibutuhkan. Karena MOU tingkat Presiden dan Wakil Presiden saja dapat terkatung-katung, bisa saja kini kejadian lagi.

China pertama kali minta jaminan Pemerintah RI

Dalam pidato saat penekenan MOU di Shanghai akhir Oktober 2006 itu, Presiden Yudhoyono menyatakan keyakinannya, jika dikerjakan secara benar Indonesia dalam satu dekade mendatang bisa menjadi negara dengan modal bioenergi terbesar di dunia, dengan mengundang berbagai investor, termasuk dari China, untuk bersama membangun bioenergi di Indonesia. Saat itu Yudhoyono datang setelah sebelumnya Jusuf Kalla didampingi beberapa Menteri dan Dirut BUMN melempangkan jalan kunjungan serupa sebelumnya pada Maret 2006.

Namun tak sampai setahun kemudian MOU tersebut menjadi kelihatan tak bertaji. Investor China belum mau menyepakati kontrak mengenai rekayasa, tender, dan konstruksi proyek sebelum adanya jaminan dari Pemerintah Indonesia yang mencakup keseluruhan proyek. Waktu itu China tetap minta jaminan agar jika terjadi kondisi dimana Pemerintah mengutak-atik PLN, dan membuatnya tidak sehat alias wanprestasi dalam berbisnis dengan investor energi dari China, maka para investor tak akan rugi. Pemerintah diminta menjamin semua kerugian yang berdampak bagi investor China di kondisi tersebut.

Meski saat itu Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan Anggito Abimanyu berkeras bahwa China tak perlu dituruti. Menurutnya Perpres 71/2006 dan Permen Keuangan, sudah mengatur lingkup penjaminannya secara lengkap, termasuk dalam hal kesehatan keuangan PLN dan penyediaan pasokan batu bara. Katanya, PLN bakal mampu mendanai proyek itu karena memiliki obligasi rupiah dan valuta asing, ditambah lagi dengan adanya jaminan berupa Public Services Obligation yang diberikan Pemerintah.

Akhirnya Pemerintah menaikkan level penjaminan proyek percepatan kelistrikan dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2007 tentang jaminan penuh proyek pembangkit listrik 10.000 MW dengan bahan bakar batu bara. Dengan keluarnya penjaminan penuh, pemerintah menilai terbuka peluang untuk mendapatkan pendanaan dengan bunga yang lebih murah. Peluang mendapatkan pinjaman tidak hanya dari perbankan China.

Pemerintah terlihat sudah mulai putus asa, dengan mengambil keputusan yang beresiko ini. Para pengamat menilai Pemerintah terjebak dalam tawarannya sendiri ke China. Seperti diketahui pada 2007 terjadi gejolak yang amat besar pada harga energi dunia. Dan kontraktor China keburu mendominasi pelaksanaan proyek 10.000 MW sejak awal lelang. Delapan dari 10 proyek PLTU berbahan bakar batu bara di Jawa akan dikerjakan oleh kontraktor China. Namun, sampai pembangunan proyek-proyek pembangkit itu dimulai, masalah pendanaan dengan perbankan China belum juga selesai. Perbankan China meminta penjaminan penuh dari pemerintah.

Kepada media massa, saat itu pengamat dari Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menuding Pemerintah tidak membuat perhitungan faktor risiko perencanaan yang baik dalam proyek 10.000 MW tersebut. Menurutnya, kalau dari awal jaminan penuh pemerintah sudah keluar, Indonesia akan memiliki opsi memilih paket yang lebih baik. Sekarang Indonesia terpaksa harus menerima saja paket pembangkit yang diajukan China.

Peran Peraturan Menteri Keuangan dalam menjabarkan perpres sangat penting. Menteri Keuangan perlu mempertegas adanya jaminan balik dari kontraktor atas keandalan proyek yang akan mereka bangun. Menurut Fabby, perlu dibuat indikator atas teknologi dan keandalan pembangkit sehingga bisa meminimalisasi kemungkinan kita mendapat pembangkit dengan kualitas jelek dari China.

Bahkan sejak Oktober 2007, di dalam Pemerintah sendiri keraguan akan kelancaran proyek ini mulai muncul. Saat itu, Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi J. Purwono mengkhawatirkan tanggung jawab kontraktor yang sudah terpilih untuk mengerjakan proyek dengan tidak adanya ikatan pendanaan. Menurutnya para kontraktor China telah memperoleh terlampau banyak, dengan adanya penjaminan penuh. Akan menjadi sulit sekali mengejar tanggung jawab kontraktor yang gagal memenuhi kewajiban.

Padahal, syarat lelang pengadaan pembangkit 10.000 MW jelas-jelas menyebutkan bahwa kontraktor harus menyediakan pendanaan sebesar 85 persen dalam bentuk kredit ekspor. Mestinya jika pihak kontraktornya tidak bisa menyediakan pendanaan, mesti ada sanksinya atau diadakan pembatalan kontrak.

Kini pesawat Merpati yang jadi hambatan

Nampaknya tudingan pengamat bahwa Pemerintah tidak melakukan penghitungan faktor resiko perencanaan yang benar, makin terlihat nyata. Gagapnya Pemerintah merespon diplomasi bisnis China terulang lagi. Seperti dijelaskan di awal, Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro menjelaskan tentang beban baru yang disandangnya sebagai penanggungjawab utama urusan listrik negeri ini, khususnya rencana pengadaan pembangkit 10.000 MW. Kini China berargumen bahwa karena Pemerintah tidak lagi menghormati MOU tahun 2006 tentang jual beli pesawat dengan China, maka pihak perbankan China menunda pencairan tahap pertama dari pinjaman dana pembangunan pembangkit yang nilainya sekitar 3 miliar dollar AS.

Meski pada akhir bulan lalu (27/2) Pemerintah Indonesia berjanji akan segera menyelesaikan kasus pembelian 15 pesawat jenis MA 60 oleh PT Merpati Nusantara dengan produsen pesawat asal China, yaitu Xian Aircraft Industry Company Ltd. Karena Dirut PLN Fahmi Mochtar menekankan jika masalah tersebut tidak segera diselesaikan pemerintah, pendanaan dari perbankan China untuk penyelesaian pembangunan proyek listrik 10.000 MW bisa terganggu.

Tetapi ada opini yang berbeda sebelumnya dari Sesmenneg BUMN Said Didu tentang mengapa Merpati tak membayarnya. Sebagai wakil dari pemegang saham alias komisaris BUMN penerbangan ini, Said berkeinginan Merpati tidak rugi. Ia mengungkapkan bahwa penundaan pembelian pesawat dari China dilakukan akibat melihat kondisi perusahaan yang tidak stabil. Menurutnya, kontrak yang dilakukan oleh Merpati dengan Xian Aircraft belumlah efektif. Penundaan kontrak ini diakibatkan akibat harga tiap pesawat itu terlalu mahal, sehingga diduga ada mark up yaitu sekitar USD40 juta per unit.

Sejalan dengan opini Said, PT PPA yang tengah merestrukturisasi Merpati juga telah menyatakan bahwa dari 15 unit pesawat yang dipesan, kemampuan Merpati hanya untuk memiliki 8 unit saja. Sedangkan tujuh unit sisanya mesti minta izin khusus dari Pemerintah. Bukan hanya karena faktor kondisi bleeding Merpati saat disuruh membayar, namun juga karena dimensi kebijakan MOU dengan China adalah G to G. Kalau Merpati dan Xian bisa mengambil opsi bussines to bussiness, Merpati akan menyelesaikannya.

Namun ini tentu akan kembali membuat Merpati yang baru saja mulai untung, kembali terperosok dalam jurang kerugian. Hutang lamanya saja yang masuk obyek pengelolaan PPA sudah mencapai 3 triliun rupiah ke dua BUMN lain plus biaya pembayaran PHK bagi 1.300 karyawannya. Lebih parah tentunya jika ditambahi dengan beban hutang baru beli pesawat yang nilainya kurang lebih 230 juta dollar AS.

Pemerintah tak seriusi kelanjutan krisis energi

Di sinilah pertanyaan pengelolaan energi khususnya listrik mengemuka kembali, terlebih menjelang perhelatan pergantian kekuasaan 2009 nanti. Apakah Pemerintah sekarang dapat melakukan akselerasi penyelesaian berbagai masalah terkait hanya dalam kurun waktu tak lebih dari waktu lima bulan lagi. Prakteknya waktu lima bulan akan terkorting hebat menjelang Pemilu. Bukan apa-apa, selain waktu yang berkurang akibat mayoritas Presiden, Wapres dan anggota kabinet menjadi juru kampanye Pemilu Legislatif dan Presiden, mereka juga akan kehilangan kualitas koordinasi sesamanya.

Maka itu sepertinya dibutuhkan optimisme dan kesabaran lebih dari masyarakat. Keadaan inkoordinasi dan inkonsistensi antar lembaga Departemen maupun BUMN makin memperkuat tudingan Fabby Tumiwa tentang ketiadaan perhitungan tentang resiko perencanaan proyek berdampak sebesar ini bagi bangsa Indonesia. Karena mestinya sebelum kebijakan kerjasama bilateral bernominal besar dengan negara raksasa seperti China yang diambil SBY dan JK pada 2006, semua lembaga pemerintahan yang terkait sudah melakukan assessment atas resiko perencanaan.

Sebenarnya tak sulit sama sekali mencari alasan logis bagi betapa pentingnya persiapan matang tersebut. Kebijakan 10.000 MW yang diluncurkan SBY dan JK pada 2006 adalah harapan terakhir pembangunan kelistrikan negara ini. Dua ratus juta penduduk Indonesia diberikan janji kehidupan yang lebih baik. Terlebih lagi dengan adanya krisis energi dan pangan dunia, maka sektor usaha membutuhkan pasokan listrik yang stabil. Dan sebagai catatan, permintaan listrik di Indonesia selalu naik, bahkan untuk wilayah Jawa dan Bali penggunaan listrik naik setiap tahun pada angka rata-rata 7 persen.

Belum lagi persoalan pemadaman akibat rusaknya sejumlah pembangkit ancaman pemadaman pun tak terelakkan. Bukan hanya karena tertundanya proyek 10.000 MW, gagalnya uji coba PLTU Labuan Angin dengan kapasitas 2 x 115 MW di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, oleh pabrikan China yang dijadwalkan bisa beroperasi April 2009 karena rusaknya turbin blade pada saat pengujian. Persoalan rusaknya sejumlah pembangkit di Palu, Sulawesi Tengah dan dan Jambi, Sumatera Selatan serta pemadaaman bergilir di Jawa dan Bali akibat defisit listrik menambah panjang deretan persoalan listrik di Indonesia.

Data terakhir yang ditampilkan oleh sebuah media mencatat pertumbuhan lima tahun terakhir (2003-2007) menunjukkan bahwa selain konsumsi listrik nasional tumbuh 6,7% per tahun, beban puncak tumbuh 4,8% per tahun dan kapasitas pembangkit hanya tumbuh 3,5% per tahun. Artinya, terjadi ketidakseimbangan antara penambahan kapasitas suplai dengan permintaan. Jika hal ini terus berlanjut bukan tidak mungkin rentetan persoalan baru juga akan bermunculan.

Goyahnya pondasi ekonomi global saat ini yang membuat runtuhnya industri-industri besar di dunia, memberikan dampak yang cukup penting di Indonesia. Industri manfaktur dan komoditas yang menyedot daya listrik cukup besar perlahan mulai bangkrut di Indonesia. Namun hal ini sejatinya bukan berkah, semata-mata karena krisis listrik semakin ringan dijinjing. Kita semua tahu listrik adalah perkara penting bagi infrastruktur pembangunan sebuah negara. Mestinya, kondisi krisis dimana permintaan listrik cenderung stabil menjadikan Pemerintah makin sadar untuk menepati janji pembangunan pembangkit 10.000 MW.

Padahal, Indonesia sesungguhnya merupakan negara yang kaya. Salah satu potensi energi terbesarnya adalah panas bumi. Bayangkan saja, diperkirakan potensi panas bumi di Indonesia mencapai 27.000 MW atau 40% cadangan dunia. Namun demikian, pemanfaatan energi panas bumi baru mencapai 900 MW atau 4% dari kapasitas terpasang nasional. Jika mengacu terhadap postur APBN 2009 yang hanya mengalokasikan dana sebesar Rp46 triliun untuk PLN, maka sangat tidak mungkin pengelolaan panas bumi dioptimalkan dari segi perawatan kapasitas terpasang maupun pembangunan barunya.

Ditambah lagi dengan program listrik 10.000 MW yang tak jelas kapan terealisasi, lalu sampai kapan krisis listrik ini terus berlanjut? Tentu kita hanya berharap siapapun yang berkepentingan dengan Pemilu 2009 dapat memanfaatkan program listrik sebagai prestasi atau otokritik membangun. Atau bisa juga dimanfaatkan oposisi, dan yang mayoritas parpol non partai Pemerintah lakukan, melakukan tekanan dalam kampanyenya agar Pemerintah menepati janjinya bagi masyarakat. Buat masyarakat kebanyakan tentunya konstelasi rumit proyek 10.000 MW ini bakal ditafsirkan lebih sederhana, yakni: listrik tidak mati melulu dan siapa Presiden yang mampu mencegah mati lampu. Bukan hanya menjelang Pemilu, tapi juga setelahnya.

Vox Populi, Vox Dei.
Last Updated ( Friday, 27 March 2009 03:10 )
reviewindonesia.com/economy-business/energy

Teknologi Mengantisipasi Perubahan Iklim

Eri Kartiadi – Indonesia belum juga memiliki kajian kebutuhan teknologi untuk program adaptasi dan mitigasi. Tanpa kajian tersebut, sulit menentukan orientasi teknologi yang tepat bagi Indonesia, untuk menunjang upaya antisipasi perubahan iklim.

Hal tersebut disampaikan oleh Fabby Tumiwa dari Institute for Essentials Services Reform (IESR), saat berdiskusi dengan Green Radio.

GR (Green Radio): Apa pentingnya alih teknologi dalam antisipasi perubahan iklim?

FT (Fabby Tumiwa): Hampir 80% total emisi rumah kaca berasal dari bahan bakar fosil, yaitu minyak, batubara dan gas bumi. Teknologi yang ramah lingkungan dapat menurunkan emisi tersebut. Itulah yang dibutuhkan Indonesia untuk mengatasi perubahan iklim.

Negara berkembang umumnya memakai teknologi lama, yang boros bahan bakar dan menghasilkan emisi besar. Karenanya, dibutuhkan teknologi baru yang lebih efisien dalam pemakaian sumber daya.

GR: Indonesia sudah mengkaji teknologi yang dibutuhkan?

FT: Indonesia punya dokumen ”List Greenhouse Gas Technology” yang disampaikan ke Badan dunia United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) tahun 2001. Dokumen tersebut memuat kebutuhan negara berkembang yang disodorkan ke negara maju, sebagai wujud kerjasama penanganan perubahan iklim. Sayangnya, dokumen itu belum memberikan secara rinci kebutuhan teknologi apa yang dibutuhkan Indonesia.

Sebelum pertemuan Bali akhir tahun 2007 ada kelompok kerja yang mengkaji dan menyusun kebutuhan transfer teknologi bagi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Kelompok ini diinisiasi oleh KLH dan BPPT.

Setelah disempurnakan, dokumen itu dijadikan daftar kebutuhan teknologi bagi Indonesia, dalam mengatasi sektor-sektor berpotensi menghasilkan emisi gas rumah kaca. Yaitu, sektor pembangkit energi, transportasi, industri, kelautan, kehutanan dan pertanian. Namun hingga kini, dokumen itu masih selalu diperbarui dan belum final.

GR: Apa kegunaan dokumen tersebut?

FT: Jika ada dokumen itu maka Indonesia dapat menentukan prioritas teknologi yang dibutuhkannya. Dalam perundingan-perundingan internasional yang membahas adaptasi dan mitigasi, Indonesia bisa meminta bantuan teknologi yang tepat sesuai kebutuhan, termasuk pengembangan sektornya.

Misalnya listrik, jenis pembangkit apa yang dibutuhkan. Pengolahan batu bara seperti apa yang tepat sebagai bahan bakarnya. Karena batu bara itu ada ranking teknologinya, mulai dari efisien hingga boros.

Last Updated ( Wednesday, 28 January 2009 10:11 )

http://www.greenradio.fm.

Pelanggan Listrik Rumah Tangga Perlu Diatur

JAKARTA, SELASA – Tulus Abadi, anggota Tim Peningkatan Efisiensi Ketenagalistrikan, berpendapat, kebijakan pemerintah yang mengatur penggunaan listrik bagi pelanggan industri kurang tepat. Sebab, pelanggan listrik industri hanya sekitar 40 persen.

“Seharusnya, program serupa juga diterapkan untuk pelanggan listrik rumah tangga. Konsumsi listrik pelanggan rumah tangga lebih tinggi,” kata tulus di Jakarta, Selasa (15/7).

Hal senada juga diungkapkan oleh Fabby Tumiwa, Direktur Institut for Essential Service Reform (IESR), sebuah organisasi non pemerintah di Jakarta yang melakukan kajian dan advokasi kebijakan publik di bidang energi dan lingkungan. Menurutnya, cara yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan pembedaan tarif antara biaya tarif beban puncak dipisahkan dengan beban dasar. (C10-08)

http://tekno.kompas.com.

Chinese poised to dominate RI power sector

The Jakarta Post, Jakarta | Mon, 10/08/2007 8:31 AM | Business

Ika Krismantari, The Jakarta Post, Jakarta

That “”Chinese products are everywhere”” is a statement few would deny, as you can find Chinese-made goods in just about every corner of the world at the present time.

The fact that Chinese products have proven themselves so successful in winning the hearts of consumers all over the world is largely due to their relatively low prices.

A similar situation also prevails in Indonesia. A wide variety of Chinese goods, including such things as electronics products, shoes, fabrics, children’s toys, kitchen utensils and clothing can be found almost everywhere.

Now, even our power plants are using Chinese technology.

Under the so-called fast-track program, state-owned power utility PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) is building 35 coal-fired power plants to provide an additional 10,000 megawatts (MW) of power supply over three years up until the end of 2009.

Ten coal-fired power plants with a total capacity of 6,900 MW will be built in Java, while 25 others, with a total capacity of 3,100 MW, will be built outside Java as part of the US$8 billion fast-track program.

Of the 10 projects in Java, eight have been won by Chinese companies.

A consortium led by Shanghai Electric, for example, recently kicked off the construction of the 1,050-MW Pelabuhan Ratu power plant, which is the biggest project under the fast-track program.

Aside from Shanghai Electric, a number of other Chinese companies, including one of China’s largest power companies, Harbin Power Engineering, have won projects under the fast-track program.

PLN expects to sign one more contract with another Chinese company, China National Machinery Industry Corporation (Sinomach), for the construction of the 600-MW Tanjung Awar Awar plant in East Java.

With the Chinese known for their low prices, it is easy to guess why PLN has turned to Chinese firms rather than European or Japanese ones, which have built most of the state firm’s power plants over the last few decades.

It is estimated that for a power plant with a total capacity of 1,000 MW, Chinese companies are willing to submit bids in the region of between US$700 million and $800 million, while a European company, such as France-based Alstom or Germany’s Siemens, would charge between $1 billion and $1.1 billion for such a plant.

“”As part of this fast-track program, we don’t really need high-end technology. What we need is technology that can be applied right now. I believe we can upgrade the technology later on,”” PLN president director Eddie Widiono told The Jakarta Post recently.

Aside from the price issue, he said there was no reason why PLN should not pick Chinese companies as long as their technology satisfied all the requirements.

“”We must remember that in the past, power plants were built under G-to-G (government-to-government) collaborative arrangements with some European countries. We see now that China can also produce good-quality power technology, which is able to compete with other foreign products,”” Eddie said.

Time magazine has reported that the development of China’s power technology was driven by rapid domestic industrialization, which pushed demand for electricity up by almost 61 percent from 2002 to 2005, when the government of China ordered a massive push to modernize and expand power production. The upshot of this was that many new power companies emerged.

However, with the local market becoming saturated, these companies are looking overseas for new customers. According to a Citibank report, the rate of growth in China’s power-equipment industry is expected to slow to just 3.5 percent between 2006 and 2010, forcing power companies to look for new customers in other parts of Asia and Africa.

Given that Chinese power companies import most of the required equipment, analyst Fabby Tumiwa questioned the quality of the products themselves given the fact that they were mass-produced using template-design engineering.

“”The technology for electricity is not the same as other manufacturing industries; it needs to be produced specifically for each order so as to ensure that the technology is suitable for the location where the power plant will be sited,”” he said.

PLN project coordinator M. Dalyono told the Post on Thursday that before the commencement of construction, PLN would review the designs proposed by the Chinese contractors as they were often not suitable for the location.

He also admitted that price was the main consideration in choosing the winning bidders.

“”We invited all companies to bid, not just the ones from China. But it turned out that it was they who offered really competitive prices,”” Dalyono said.

Commenting on this, Fabby said that PLN should not be considering price alone. It also needed to have regard to efficiency and maintenance costs.

“”They should have learned from the Cilacap power plant, which was constructed by China’s Chengda, that Chinese technology is less efficient compared with the technology from Japan and Europe. As it has a lower heat rate, the plant needs more coal than its Japanese or European competitors to be able to produce the same amount of electricity,”” Fabby said.

However, for PLN, it seems likely that the price tag will continues to be the most important factor, with many of the power projects located outside Java also having being awarded to Chinese companies.

The head of the government’s power-sector development program, Yogo Pratomo, said that of the 25 projects to be built outside Java, Chinese contractors had already won seven projects. Other firms were still negotiating for the remaining 15 projects.

The economic relations attache of the Chinese Embassy in Jakarta, Fang Qiuchen, told the Post that besides taking part in the crash program, Chinese investors had also been vying for power projects under Independent Power Producer (IPP) schemes with PLN.

Under such a scheme, an investor builds and operates the power plant, and then sells the electricity to PLN.

One of the biggest IPP projects awarded to a Chinese firm to date is the 2,400-MW, coal-fired power plant in Bangko, South Sumatra, where China Hua Dian has been appointed as operator.

A Shanghai Electric representative, Mi Qi Ting, said recently that he believed that Indonesia’s power sector still had a lot of room for growth, which meant that it would continue to be attractive to Chinese firms.

Regarding product quality, he said that his company has 10 years of experience in the power industry, and its technology has been acknowledged in other countries, such as Iran, Pakistan, India and Vietnam.

He said that his company intended to help develop the Indonesian electricity market, either through national or IPP projects. Shanghai Electric is the contractor for the Pelabuhan Ratu project, which is the biggest one under the fast-track program.

Indonesia, a country of more than 220 million people with 9 percent growth in electricity demand per year, represents an attractive market for power firms as currently more than 40 percent of its population in rural and remote areas lacks access to electricity.

Source: http://www.thejakartapost.com.

Hike in electricity charges unfair, NGO coalition says

The Jakarta Post, Jakarta | Tue, 01/07/2003 7:29 AM | Business

A’an Suryana, The Jakarta Post, Jakarta

A coalition of non-governmental organizations (NGOs) has strongly rejected the government’s electricity pricing policy, saying it as unfair.

Under the policy, state-owned electricity company PLN has been allowed to increase its charges by an average of 6 percent per quarter since 2001 with the aim of bringing the price to 7 U.S. cents per kilowatt hour by 2005 so that the company can enjoy profits and make new investments.

But the NGO grouping, called the Working Group on Power Sector Restructuring (WG-PSR), said on Monday that the target was unacceptable because neighboring countries in the region only charged between 5 cents and 6 cents per kWh for electricity.

“”The increase in charges will only burden the people,”” said Fabby Tumiwa, an official at WG-PSR.

The WG-PSR is a coalition of NGOs which includes high profile NGOs such as the Indonesia Corruption Watch (ICW), the Indonesian Consumers Foundation (YLKI) and the International NGO Forum for Indonesian Development (Infid).

The coalition has consistently waged a public campaign to reject the power pricing policy.

The government increased electricity charges earlier this month as the first quarterly increase for the year. The increase in electricity charges coincides with the rise in fuel prices and telephone charges, prompting protests in several cities in the country.

Currently, the Indonesian people must pay between 5 cents and 6 cents per kWh.

Fabby challenged PLN to provide a rationale for the policy.

“”The 7 U.S. cents benchmark has raised some eyebrows. Where does this price come from? PLN has always failed to provide a credible explanation for the public,”” said Fabby.

Fabby demanded the government and PLN establish an independent team to find a more fair electricity rate.

PLN president Eddie Widiono could not be reached for comment.

On previous occasions, the PLN management has said that the company could not make a profit with the current price level.

The company said that since the economic crisis hit the country in late 1997, PLN had been selling its power at a loss as the value of the rupiah had fallen against the U.S. dollar. PLN sells the power at a rupiah price, while its expenses are mostly in dollars. If the current price level is maintained, PLN would fall into bankruptcy in no time, it claimed.

The profit will also be used by PLN to cover its financial obligations to independent power producers (IPPs).

But critics have said that PLN’s financial mess is a result of massive corruption in the past including the power purchase deals with a number of IPPs, and this burden should not be passed on to the public.

Source: http://www.thejakartapost.com.