Dukung Proses Transisi Energi dengan Investasi dan Memobilisasi Pembiayaan Energi Bersih

Energy Transition Sharing Session Episode 3

Percepatan pemanfaatan energi terbarukan di kawasan Asia Tenggara telah menjadi perbincangan yang cukup menarik. Pertumbuhan ekonomi yang pesat dan permintaan listrik yang terus bertambah menjadi peluang emas bagi percepatan pemanfaatan energi terbarukan. Sayangnya, investasi dari pemanfaatan energi terbarukan ini mayoritas masih didukung oleh dana publik. Perlu ada stimulus untuk menarik investor berinvestasi di energi terbarukan. Terkait hal itu Indonesia perlu belajar dari Vietnam.

IESR bekerja sama dengan Enel Green Power dan Allotrope Partners mengadakan diskusi panelis pada hari Selasa, 23 Juni 2020 dengan tema memobilisasi investasi energi bersih di sektor tenaga listrik kawasan Asia Tenggara: wawasan dari Vietnam dan Indonesia (Mobilizing Clean Energy Finance and Investment to Support Energy Transition: Insight from OECD, the Philippines and Indonesia). Dalam acara ini turut menghadirkan Giandomenico Zappia, Business Development Enel Green Power-Asia Pacific dan Evan Scandling, Director of Advisory & Business Development- Southeast Asia, Allotrope Partner, juga berpartisipasi sebagai panelis: Hang Dao, Phd, Renewable Energy Advisor, CEIA Vietnam dan Gina Lisdiani, Indonesia Managing Director, Allotrope Partners.

Bila dilihat dari sisi ekonomi antara Indonesia dan Vietnam, Giandomenico menjelaskan bahwa pendapatan negara Indonesia lima kali lipat lebih banyak dari Vietnam. Namun, secara penetrasi energi terbarukan Indonesia masih tertinggal jauh dengan Vietnam. Presentase penetrasi energi terbarukan di Indonesia hanya 11% sedangkan Vietnam sebesar 49%. Bertolak belakang dengan Vietnam dalam kurun waktu sepuluh tahun terhitung dari tahun 2009 sampai 2019 penggunaan energi terbarukan di Indonesia justru menurun khususnya pada persentase penggunaan pembangkit listrik tenaga air, panas bumi, dan biomassa. Berbeda dengan Vietnam yang justru terus mengalami peningkatan penggunaan energi terbarukan khususnya pada tenaga surya dan angin.

Bila Indonesia punya PLN, maka Vietnam punya EVN (Vietnam Electricity) yang punya peran monopolistik di bidang kelistrikan. PLN mengontrol 74% aset pembangkit listrik, sedangkan penghasil listrik independen hanya seperempatnya saja dari total kapasitas. Sedangkan EVN sendiri memiliki pangsa pasar sebesar 60%. Perbedaan nyatanya di Vietnam, ada sebagian perhitungan dan penguraian operasional dari sistem operasi jaringan transmisi dan distribusi diantara perusahaan yang berbeda.

Kebijakan Indonesia terhadap teknologi terbarukan sangat menyeluruh. Kebijakan yang mendukung penggunaan energi terbarukan sangat didukung dengan baik oleh pemerintah dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Sayangnya, kebijakan tersebut tidak mengikuti perkembangan kemajuan teknologi sebelumnya.

Berbeda dengan Vietnam, dimana kebijakan yang menyeluruh hanya beberapa khususnya pada strategi pengembangan energi terbarukan   dan pembangunan pembangkit listrik. Setiap teknologi kemudian telah dipisahkan dan sangat mendefinisikan proses peraturan mulai dari konsultasi publik dan biasanya telah diberlakukan dan berlangsung beberapa tahun untuk investor bisa beradaptasi.

Dari segi investasi, terdapat perbedaan investasi energi bersih antara Indonesia dan Vietnam. Di Indonesia dari tahun 2007-2018 menurut Bloomberg New Energy Finance menyatakan bahwa Indonesia terdaftar total investasi di energi bersih sebesar 8,9 miliar dolar. Jumlah investasi tersebut sama dengan Vietnam pada kurun waktu 2013-2018 setelah pengenalan feed-in tariff.

Menurut Evan Scandling, peningkatan energi terbarukan di Vietnam juga dipengaruhi oleh permintaan dari pengguna korporasi yang menggunakan energi terbarukan. Permintaan ini menjadi poin penting dari keseluruhan rencana  pemerintah tentang bagaimana Vietnam sebagai negara menciptakan sistem energi yang akan membantu mewujudkan investasi yang besar.

Vietnam sangat mencolok dengan sistem energinya. Sebanyak 50 sampai 55 GW telah terpasang selama kurang dari sepuluh tahun. Bila diproyeksikan sepuluh tahun dari sekarang maka akan ada sekitar 135 GW. Tak hanya tenaga surya saja yang ada di Vietnam, pemerintah pun sangat mendukung dan menstimulasi adanya energi terbarukan ini

Dua tahun atau tiga tahun lalu pemerintah Vietnam membuat target 85 MW yang dinilai terlalu ambisius, mereka menggunakan feed-in tariff yang menarik bagi para pengembang dan investor. Sehingga ada aplikasi sebesar 17.000 MW yang masuk dan bisa mencapai 5000 MW kurang dari 18 bulan.

Pemerintah Vietnam tidak hanya mendukung dengan penerapan feed-in tariff, tetapi juga sepenuhnya mendukung DPPA (Direct Power Purchasement Agreement) Pilot Program. Dengan adanya DPPA Pilot Program mengizinkan sektor IPP pribadi seperti pemroduksi tenaga angin dan surya untuk menandatangani kontrak secara langsung dengan pembeli besar seperti pabrik, daerah industri atau kelompok dari pabrik yang mencari energi bersih.

DPPA Pilot Program bisa digarisbawahi sebagai kesungguhan pemerintah Vietnam untuk melihat program baru bahkan sebelum program baru itu diuji atau dibuktikan pada skala yang cukup signifikan seperti skala 1000 MW.

Evan Scandling menggarisbawahi bahwa kebijakan tentang energi terbarukan memang menjadi dasar kesuksesan pertumbuhan energi terbarukan di Vietnam, namun jangan lupakan peran dari para stakeholder.

Feed-in tariff membuat harga tenaga surya menjadi sangat menarik. Feed-in tariff memang memainkan peran kritis dalam perpindahan energi surya utamanya dan energi terbarukan. Feed-in tariff memberikan daya pikat bagi kedua belah pihak baik pengguna, pengembang, maupun investor. Meskipun feed-in tariff di Vietnam menurun 2,5% dalam kurun waktu dua tahun terakhir, hal ini tidak terlalu berpengaruh pada iklim investasi energi terbarukan di Vietnam. Karena faktor terpenting dalam penilaian investasi menurut Giandomenico adalah berhubungan dengan sinyal harga yang muncul dari pasar dan mitigasi dari risiko yang biasanya diberikan oleh pemerintah. Sinyal harga ini merupakan seberapa besar potensi untuk menjadi satu-satunya di pasar.

Faktor penting yang perlu diperhatikan oleh pemerintah Indonesia untuk mengembangkan iklim investasi menurut Gina Lisdiani adalah ketersediaan energi terbarukan. Ketersediaan energi terbarukan di suatu negara menjadi pertimbangan bagi perusahaan untuk memperluas bisnis mereka. Apabila sebuah negara tidak menyediakan fasilitas energi terbarukan mereka mungkin akan mengganti fokus mereka dari investasi untuk Filipina atau China.

Ancaman akan kekurangan listrik membuat Vietnam bergerak cepat untuk terus mengembangkan listrik dengan menggunakan energi terbarukan. Tidak seperti Indonesia, Jawa Bali mengalami surplus listrik sehingga membuat respon utilitas sangat berbeda.

Belajar dari Vietnam, maka agar Indonesia bisa melakukan percepatan pemanfaatan energi terbarukan hal pertama yang perlu dibenahi adalah kebijakan dan regulasi yang dibuat oleh pemerintah. Diperlukan kebijakan dan regulasi yang tepat, transparan, komprehensif, dan jelas sebagai tumpuan dasar pertumbuhan industri. Sebagaimana ditekankan oleh Hang Dao bahwa pemerintah yang bersikap transparan berperan besar dalam menekan pasar ke depan. Selain itu, pemerintah pusat dan lokal perlu menyatukan diri untuk mencapai satu tujuan yang sama.

Sebagai pemain utama di bidang kelistrikan, maka PLN memiliki peran yang besar dalam mendukung percepatan pemanfaatan energi terbarukan. Terlebih dengan adanya COVID-19 ini diharapkan PLN bisa meluncurkan green product.

Terkait harga listrik, Indonesia perlu belajar juga dari Vietnam. Cara yang bisa ditempuh adalah dengan adanya faktor kompetisi, adanya kompetisi membuat harga listrik bisa turun dan Vietnam telah membuktikannya. Selain itu terkait feed-in tariff, Vietnam tak hanya melakukan feed-in tariff energi surya dan angin saja, namun Vietnam memiliki lebih dari enam energi terbarukan yang berbeda dan dijalankan bersama.

Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan energi terbarukan secara pesat apabila pemerintah berkomitmen penuh untuk menggunakan energi terbarukan. COVID-19 seharusnya menjadi momentum yang tepat untuk Indonesia memperkuat komitmen penggunaan energi terbarukan.


Saksikan kembali siaran tundanya di:

Bagaimana Prospek Perkembangan Energi Bersih di Indonesia di 2020?

 

Pada Desember 2019 lalu, IESR meluncurkan laporan Indonesia Clean Energy Outlook 2020. Dalam laporan ini, disampaikan evaluasi perkembangan energi terbarukan dan efisiensi energi selama 2019, serta pandangan prospek pengembangan energi bersih di Indonesia pada 2020 ini. Bagaimana prospek perkembangan energi bersih, khususnya energi terbarukan di Indonesia pada 2020? Salah satu temuan dalam ICEO 2020 mengindikasikan investasi di bidang energi terbarukan mengalami penurunan.  Sejak 2015, realisasi investasi EBT terus menurun, padahal target investasi tahunan terus mengalami koreksi dari target Renstra KESDM 2015-2019. Bahkan target investasi EBT untuk 2019 sebesar $1,8 milyar hanya tercapai $1,5 milyar. Sepanjang 2015-2019 kapasitas pembangkit energi terbarukan (on-grid dan off-grid) bertambah 1,6 GW atau 11% dari total tambahan kapasitas terpasang pembangkit listrik sebesar 15,5 GW. Pencapaian ini jauh lebih rendah dari realisasi pada periode 2010-2014. Pada 2020 KESDM memasang target pembangkit energi terbarukan dapat bertambah 685 MW. Angka ini jauh lebih tinggi dari realisasi penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan pada 2019 sebesar 376 MW. Walaupun lebih tinggi tetapi sesungguhnya pertambahan kapasitas ini masih lebih rendah dari penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan yang ditargetkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Untuk memenuhi target RUEN, setiap tahun sejak 2020, diperlukan penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan baru sebesar 4-5 GW.

Untuk dapat mencapai target tersebut maka diperlukan investasi yang cukup, kesiapan atau kemauan off-taker dan ketersediaan proyek-proyek yang feasible. Off taker yang terbesar adalah PLN yang memasok 95% energi listrik di Indonesia. Bagaimanakah status ketiga faktor ini di 2020?

Pertama, sejauh ini Indonesia belum menjadi target utama investasi energi bersih bagi investor asing. Daya tarik investasi untuk energi terbarukan tergolong biasa-biasa saja, tidak ada yang menonjol. Beberapa faktor utama antara lain: iklim investasi makro, kualitas kebijakan dan regulasi, rencana dan realisasi pembangunan energi terbarukan, ketersediaan pendanaan, serta akses pada teknologi dan rantai pasok domestik memiliki daya tarik yang lebih rendah bagi investor asing dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang menjadi kompetitor kita. Investor berpandangan kebijakan dan regulasi tidak stabil, mudah berubah, kualitasnya rendah, dan ketidakjelasan dalam implementasinya. Hal-hal ini menyebabkan persepsi risiko investasi di sektor energi terbarukan sangat tinggi yang berakibat pada meningkatnya cost of money untuk investasi proyek energi terbarukan di negara kita.

Di 2020 ini, investor sepertinya akan mencermati langkah pemerintah memperbaiki iklim investasi energi terbarukan. Perubahan kebijakan dan regulasi yang menghambat perkembangan energi terbarukan selama tiga tahun terakhir ini ditunggu oleh para pelaku usaha. Rencana pemerintah menerbitkan aturan feed in tariff (FiT) untuk pembangkit listrik ET skala kecil dalam bentuk Peraturan Presiden menjadi angin segar bagi pelaku usaha swasta. Tapi FiT saja mungkin tidak cukup karena harga/tarif hanyalah sebagian dari hambatan pengembangan ET. Bagaimana pemerintah melalui instrumen regulasi mengalokasikan risiko-risiko tarif, kebijakan, teknologi, evakuasi daya secara berimbang untuk PLN dan pengembang, dan proses bisnis yang transparan juga menjadi perhatian para investor, khususnya investor asing. Sentimen positif akan terjadi di 2020 kalau ada realisasi komitmen politik dan produk perundangan yang signifikan di tahun ini. 

Kedua, PLN sebagai satu-satunya off-taker listrik swasta, perkembangan energi terbarukan sangat dipengaruhi oleh visi, minat, perencanaan, lelang dan eksekusi dari BUMN ini. Beban pencapaian target energi terbarukan pun sebagian besar harus dipikul oleh PLN. Untuk mencapai target 23% sesuai Perpres No. 22/2017 maka dalam lima tahun mendatang, minimal 75-80% penambahan pembangkit listrik baru harus berasal dari energi terbarukan. Pada prakteknya untuk dapat masuk ke dalam sistem ketenagalistrikan, maka proyek energi terbarukan harus masuk dalam perencanaan PLN, yaitu Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).

Pada RUPTL 2019-2028, PLN merencanakan menambah 16,7 GW pembangkit energi terbarukan dimana 8 GW direncanakan pada kurun waktu 2019-2024. Untuk mencapai target RUEN, maka kapasitas pembangkit untuk energi terbarukan harus ditambah menjadi 12-15 GW pada kurun waktu tersebut dan dilipatgandakan pada lima tahun berikutnya. Konsekuensinya untuk dapat menampung kapasitas pembangkit energi terbarukan yang lebih besar maka PLN perlu melakukan pengurangan kapasitas pembangkit-pembangkit thermal yang direncanakan atau yang telah dioperasikan 5-10 GW dalam lima tahun mendatang.

Ada perbedaan antara target KESDM untuk penambahan kapasitas terpasang pembangkit ET di 2020 sebanyak 685 MW dengan RUPTL PLN sebesar 933 MW. Perbedaan ini merupakan sinyal bahwa ada persoalan dalam perencanaan kelistrikan dan koordinasi, khususnya untuk pembangkitan ET. Bagaimana perbedaan ini akan direkonsiliasi dalam RUPTL 2020-2029 yang kemungkinan akan terbit dalam beberapa waktu kedepan juga menjadi perhatian para investor dan pengembang.

Ketiga, ketersediaan proyek-proyek energi terbarukan yang bankable dan siap didanai merupakan salah satu faktor yang penting dalam memenuhi target penambahan kapasitas pembangkit listrik. Selama ini ketersedian proyek-proyek pembangkit energi terbarukan yang bankable jumlahnya terbatas. Berbeda dengan pembangkit thermal yang berkapasitas besar, pembangkit energi terbarukan kapasitasnya bervariasi dari skala dibawah 5 MW, 5-10 MW, 10-50 MW, dan diatas 50 MW. Misalkan untuk PLTS yang direncanakan mencapai 0,9 GW, hingga 2025 nanti, dapat terdiri dari 20-50 proyek dengan ukuran rata-rata 20-50 MW per proyek. PLTB yang direncanakan hingga 0,85 GW hingga 2025 dapat terdiri dari 15-30 proyek dengan kapasitas 10-100 MW per proyek.

Jadi, prospek pengembangan energi terbarukan di 2020 sebenarnya lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dengan adanya komitmen politik dari Presiden, langkah-langkah merevisi kebijakan dan regulasi harga ET (FiT) oleh Menteri ESDM, dan dukungan jajaran direksi PLN untuk mengembangkan energi terbarukan untuk mencapai target RUEN. Walaupun demikian, aksi-aksi positif ini tidak serta merta langsung meningkatkan daya tarik investasi dan realisasi investasi pembangkit pada tahun ini. Apabila pemerintah melakukan langkah-langkah perbaikan di tahun ini, paling tidak untuk tiga aspek diatas, dampaknya pun baru akan terasa dua sampai tiga tahun mendatang, yang ditandai dengan meningkatnya minat investor dan meningkatnya stok proyek-proyek pembangkit yang siap dikembangkan secara komersial.

Pemerintah harus melihat bahwa 2020 adalah tahun untuk memulihkan kepercayaan investor, dan tahun untuk memperkokoh fondasi untuk transformasi energi yang berkelanjutan di Indonesia. Kegagalan untuk melakukan perbaikan di tahun ini dapat berujung pada hilangnya momentum positif, hengkangnya investor asing, serta hilangnya kesempatan membangun sistem energi modern yang berkelanjutan dan kompetitif secara biaya dalam jangka panjang. Kalau ini terjadi, perlu waktu lama untuk membalik keadaan.

Jakarta, 15 Januari 2020.