Dodd Frank Act dan Berakhirnya Era Ketertutupan di Industri Migas dan Tambang

Oleh: Morentalisa

Selama beberapa dekade perkembangan industri ekstraktif (minyak, gas dan tambang), industri ini dikenal sebagai industri yang bersifat sangat tertutup dan cenderung elitis. Tidak semua orang memiliki akses terhadap industri tersebut. Terlebih untuk industri minyak dan gas yang sulit untuk dijangkau oleh masyarakat umum.

Dapat dikatakan bahwa pengelolaan industri ekstraktif cenderung tidak transparan. Padahal transparansi merupakan yang poin cukup kritis untuk memastikan bahwa hasil pengelolaan sumber daya alam akan membawa sejumlah keuntungan bagi masyarakat.  Tanpa transparansi, pemanfaatan sumber daya alam rawan penyalahgunaan oleh penyelenggara negara yang tidak bertanggung jawab. Akibatnya, selain menyebabkan keuntungan yang harusnya bisa dirasakan oleh  masyarakat luas berkurang, minimnya transparansi bisa mendorong terjadinya konflik.  Selain itu, di banyak kasus, pengelolaan sumber daya ekstraktif yang tertutup memungkinkan pemerintah yang berkuasa menggunakan hasil tersebut untuk melanggengkan kekuasaannya. Di Burma misalnya, sudah menjadi rahasia umum jika pemerintahan Junta militer menggunakan hasil penjualan minyak, gas dan berbagai batu mulia untuk memastikan kekuasaan mereka.

Kesadaran inilah yang kemudian mendorong sejumlah inisiatif, framework, regulasi dan aturan internasional lahir guna mentransformasi pengelolaan sumber daya ekstraktif agar lebih transparan. Salah satu seruan agar industri ekstraktif menjadi lebih transparan datang dari Amerika Serikat. Negara tersebut mengeluarkan Dodd-Frank Act  yang kalau implementasinya berjalan dengan baik, akan mentransformasi model penyelenggaraan pengelolaan industri ekstraktif di banyak negara.

Sekilas Dodd-Frank Act

Dodd–Frank memiliki nama lengkap Wall Street Reform and Consumer Protection Act, merupakan regulasi tingkat federal yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Presiden Obama. Undang-undang ini didorong oleh sejumlah pihak, salah satunya adalah  Barney Frank, dari House of Representative dan Chriss Dodd dari United States Senate Committee on Banking, Housing, and Urban Affairs, sehingga UU tersebut kemudian diberi nama Dodd Frank Act

Undang-undang tersebut disahkan pada 21 Juli 2010 sebagai respon dari krisis finansial yang melanda negara tersebut pada 2008.  Secara garis besar, keberadaan undang-undang ini bertujuan untuk memperbesar peran negara terhadap aktivitas pasar untuk mencegah instabilitas. Dimana instabilitas akibat aktivitas pasar yang ‘minim’ kontrol dipercaya sebagai penyebab terjadinya krisis keuangan.  Kehadiran UU tersebut kemudian berusaha untuk mereformasi dan mentransformasikan sifat dari pasar derivative Amerika yang cenderung bebas tersebut.

UU tersebut mengatur pembentukan sebuah badan independen yang akan mengawasi pelaksanaan UU Perlindungan Konsumen tersebut  yakni The Consumer Financial Protection Bureau.  Selain itu, UU tersebut berusaha untuk mendorong terbentuknya  sistem peringatan dini (Advance Warning System) terhadap gejolak yang terjadi di pasar modal yang dilakukan dengan jalan membentuk badan yang secara khusus  bertanggung jawab terhadap pengelolaan dampak dan penanggulangan krisis yakni The Financial Stability Oversight Council.

UU  tersebut juga akan mengatur Reformasi Mortgage System  dengan menerapkan sejumlah peraturan, semisal dengan menerapkan kewajiban ‘mampu bayar’ bagi semua pihak yang ingin melakukan pinjaman dan kredit perumahan. Salah satu dari upaya reformasi ini juga melingkupi aanya penyediaan jasa konsultasi mengenai mortgage serta menerapkan peraturan yang ketat bagi mortgage dengan harga lebih tinggi.  Selain itu, Dodd Frank akan menaikkan standard “hedge fund”  yang  merupakan dana investasi pribadi yang dapat digunakan dalam berbagai asset. Hedge fund ini  dapat digunakan pula dalam berbagai strategi investasi untuk  menjaga dana para investor dari kemerosotan yang mungkin terjadi di pasar, sembari memaksimalkan keuntungan dari upswing pasar.  

Ada banyak aspek lain yang juga diatur dalam UU tersebut, namun alasan mengapa Dodd Frank Act disebut-sebut  akan mempengaruhi sektor ekstratif adalah karena bunyi salah satu klausul di dalamnya. Klausul tersebut secara garis besar berujar bahwa Amerika akan mendorong transparansi di sektor ekstraktif  dan mendorong peningkatan kesadaran untuk tidak menggunakan conflict mineral dalam industri, terutama industri manufaktur.

Dodd-Frank Act dan Meluasnya Seruan Transparansi di Sektor Ekstraktif 

Ya Dodd-Frank Act memang memberikan lampu hijau pada gerakan transparansi di berbagai belahan dunia terutama untuk sektor ekstraktif. Melalui salah satu klausul dalam UU tersebut, yakni dalam Energy Security Through Transparency Act (ESTTA), di dalam Section 1504 , disebutkan bahwa setiap perusahaan minyak, gas dan tambang, yang terdaftar di dalam U.S. Securities and Exchange Commission  (SEC) harus  melaporkan secara publik dana yang mereka bayarkan kepada pemerintah. Undang-Undang tersebut mengaharuskan perusahaan-perusahaan atau setiap pihak yang terlibat dalam upaya pengelolaan minyak, gas dan tambang untuk melaporkan pembayaran mereka ke negara dan memposting laporan tersebut secara online.  

Lahirnya UU tersebut akan berlaku terhadap semua perusahaan minyak, gas dan juga mineral yang tercatat/terdaftar di dalam US stock exchange. Setiap data yang dilaporkan oleh perusahaan kepada pasar bursa akan dicantumkan di situs pasar bursa AS.  Hal ini sangat penting, mengingat dari 50 perusahaan besar dunia yang bergerak di sektor perminyakan dan gas, sekitar 29 dari 32 diantaranya merupakan perusahaan minyak dan gas besar dunia yang terdaftar di NYSE sehingga memiliki kewajiban untuk melaksanakan Dodd-Frank Act. Perusahaan tersebut memiliki home countries disejumlah negara, termasuk, Kanada, Rusia, Cina, Brazil, dsb, namun host country atau negara tempat perusahaan tersebut beroperasi banyak terdapat di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

UU tersebut mengharuskan perusahaan-perusahaan seperti Chevron, Unocal, ConocoPhilipps untuk melaporkan pendapatan mereka kepada SEC. Adapun hal-hal yang harus mereka laporkan adalah : 1) tipe dan jumlah pembayaran kepada setiap negara,  2) tipe dan jumlah pembayaran yang dilakukan di tiap proyek , dan 3) sejumlah aliran pendapatan dan pembayaran lain seperti pajak, royalty, fee, serta bonus yang mereka bayarkan setiap penandatangan kontrak.

UU tersebut mengharuskan dan mewajibkan perusahaan untuk melaporkan pembayaran mereka dengan aturan sebagai berikut: mencantumkan total pendapatan berdasarkan kategori, kurs yang digunakan untuk melakukan pembayaran, periode pembayaran, segmentasi yang melakukan pembayaran, pemerintah yang menerima pembayaran tersebut, proyek yang terkait dengan pembayaran tersebut, serta berbagai kategori lain yang dianggap terkait dengan kepentingan publik. Data-data di atas cukup inci dan  membuka jalan bagi publik untuk memperoleh akses terhadap informasi yang jelas dan komprehensif atas pembayaran yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor ekstraktif kepada pemerintah. Dengan adanya informasi ini, masyarakat menjadi lebih bisa mengawasi arus pendapatan negara.

Dodd-Frank dan Trend Mendorong Transparansi di Sektor Ekstraktif

Mencermati perkembangan yang terjadi di Amerika, sejumlah inisiatif serupa juga mulai diinisiasi oleh negara-negara lain yang memiliki pasar modal cukup besar, semisal Hongkong, Kanada dan Uni Eropa.  Di Eropa, inisiatif ini mulai dibicarakan secara intensif pada 2010. Sekitar akhir 2010, European Commission mengadakan sebuah konsultasi untuk mendiskusikan kemungkinan lahirnya UU serupa bagi perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Eropa. Proses konsultasi yang diadakan pada bulan Oktober-Desember 2010 tersebut diberi nama Consultation on Financial Reporting on a Country-by-Country Basis by Multinational Companies. Tujuan dari konsultasi tersebut adalah untuk mendapatkan pandangan dari berbagai pemangku kepentingan mengenai laporan keuangan perusahaan-perusahaan transnasional yang dilakukan negara per negara.   Regulasi tersebut rencananya akan menjadikan Dodd Frank sebagai bagian dari keseluruhan regulasi dan menambahkan sejumlah peraturan sehingga menjadi Dodd Frank plus.  Sementara itu, Parlemen Inggris telah mengeluarkan sebuah motion yang mempertimbangkan adanya kebutuhan untuk mendorong transparansi dalam melaporkan pembayaran oleh perusahaan.

Di Kanada, telah ada sejumlah diskusi untuk mendorong harmonisasi peraturan yang berlaku di Kanada dengan Dodd-Frank Act. Pada bulan Januari 2011 telah diselenggarakan sebuah pertemuan yang melibatkan sejumlah pemangku kepentingan untuk melihat bagaimana kemungkinanan Kanada untuk mengharmonisasi regulasi pelaporannya dengan sejumlah kebutuhan yang terdapat di dalam Dodd-Frank.  Jika harmonisasi dengan Dodd-Frank tersebut berhasil, maka hal tersebut akan memberikan pengaruh yang sangat besar di dalam dunia investasi pertambangan mengingat dua per tiga perusahaan tambang dunia terdaftar di bursa saham Kanada. Selain itu, ada lebih dari 25 negara penghasil mineral di seluruh dunia, dimana perusahaan-perusahaan tambang Kanada tercatat sebagai investor paling besar.

Adanya inisiatif seperti EITI dan Dodd Frank Act menjadi penanda bahwa era ketertutupan yang selama ini mendominasi karakter industri tambang sudah tidak relevan. Seruan agar perusahaan-perusahaan ekstraktif menjadi lebih transparan sudah menggema di berbagai negara. Indonesia harus mampu menggunakan momentum ini untuk mendorong transformasi yang lebih komprehensif di sektor ekstraktif. Perusahaan tidak bisa lagi secara sembunyi-sembunyi melakukan pembayaran guna melancarkan usaha mereka. Di satu sisi, pemerintah akan  menjadi semakin sulit untuk menyembukan keuntungan yang diperoleh dari sektor migas dan tambang.

 Sumber:

Kebijakan Subsidi BBM Salah Kaprah, Terlebih Lagi Spanduknya

Oleh: Fabby Tumiwa

Dalam perjalanan menuju salah satu resort di  kawasan Pelabuhan Ratu, kendaraan yang kami tumpangi harus mengisi kembali bahan bakar setelah menempuh perjakanan dari Jakarta. Kami pun masuk ke sebuah SPBU yang berada di kawasan Cisolok, kira-kira 5 kilo meter dari pusat kota ibu kota kabupaten Sukabumi, Pelabuhan Ratu.

Kawasan wisata yang terkenal dengan mitos Nyai Roro Kidul ini sesungguhnya tidak terlalu jauh dari ibu kota Jakarta, kira-kira 3,5 sampai 4 jam berkendara jika kondisi lalu lintas tidak terlalu padat.

Ketika sedang mengisi bensin itulah, saya membaca spanduk dan setelah merenung sesaat, dan celingak celinguk memperhatikan kondisi SPBU saya merasa spanduk yang terpampang di depan saya penuh dengan kejanggalan.

Mungkin sebagian besar dari pembaca telah melihat isi spanduk yang sama berulang kali dalam beberapa waktu belakangan ini. Spanduk dengan pesan yang sama telah terpasang di hampir seluruh Stasiun Pengisian Bahan Bakar (SPBU) di Jawa dan Bali.

 

Gambar 1. Spanduk Sosialisasi Premium sebagai BBM bersubsidi

Spanduk  berisi “pesan moral” yang disebarkan ke ribuan SPBU bukanlah tanpa biaya. Sangat mungkin biaya untuk menyebarkan spanduk semacam ini diambil dari anggaran sosialisasi untuk mendukung pembatasan BBM yang ada di Kementerian ESDM. Berapa besarnya dan siapa yang ketiban rejeki proyek sosialisasi ini, wallahualam!

Kembali ke pertanyaan diatas, apa yang salah dengan spanduk yang dibuat dan diterbitkan oleh Kementerian ESDM ini?

Pertama, pesan yang tertulis pada spanduk ini keliru. Coba bacalah dengan teliti. “Premium adalah BBM bersubsidi, hanya untuk golongan tidak mampu.” Adalah benar bahwa “Premium,” merek dagang bensin Pertamina yang memiliki kadar oktan/RON 88 adalah produk bahan bakar minyak yang selama ini disubsidi oleh pemerintah, tetapi jika dibaca cermat kalimat  “Hanya untuk golongan tidak mampu,” sungguh sebuah pernyataan yang kurang pas, bahkan salah kaprah.

Mengapa? Karena prakteknya selama puluhan tahun mereka yang mengkonsumsi bahan bakar minyak bermerk dagang “Premium” adalah pemilik kendaraan pribadi atau kendaraan umum yang sama sekali sukar dikategorikan sebagai “kaum dhuafa” alias yang rakyat tidak mampu.

Mengapa demikian? Karena kebijakan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang selama ini diberikan kepada pemilik kendaraan bermotor, dengan menganut asas compensated demand, alias berapa pun kebutuhan BBM bersubsidi pasti dipenuhi oleh pemerintah, dengan mengambilkan biaya pemenuhan tersebut dari pos subsidi APBN.

 

Gambar 2. Stasiun SPBU

Dari semula kebijakan BBM bersubsidi tidak bertujuan untuk memberikan jaminan akses bahan bakar kepada orang miskin atau kaum dhuafa, melainkan dibuat untuk menyubsidi golongan berpendapatan menengah bahkan kelompok kaya. Akibatnya siapapun boleh membeli bahan bakar subsidi, karena tidak ada pembatasan atau sanksi yang diberikan kepada para pelahap BBM subsidi.

Wacana untuk membatasi volume bahan bakar subsidi baru muncul dalam dua tahun terakhir lebih karena adanya tekanan fiskal terhadap APBN, sehingga diusulkan agar subsidi BBM dibatasi pada volume tertentu. Sementara itu pangkal persoalan yaitu subsidi yang salah sasaran dan tidak berdimensi keadilan ekonomi justru lepas dari perhatian perhatian penyelenggara negara. BBM bersubsidi menjadi “candu” yang menimbulkan dampak negatif terhadap ekonomi, lingkungan dan ketahanan energi bangsa ini.

Kajian Bank Dunia (2011) dengan mengutip hasil data Sensus Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2009, menguatkan pernyataan diatas. Menurut kajian tersebut sekitar 90% BBM bersubsidi dinikmati oleh 50% rumah tangga berpendapatan tertinggi dari Indonesia. Adapun golongan rumah tangga berpendapatan miskin atau sangat miskin, hampir-hampir tidak mengkonsumsi BBM bersubsidi.

Secara hitung-hitungan kasar, dari 160 triliun rupiah subsidi BBM yang dihabiskan pada tahun 2011 lalu, sekitar 144 triliun rupiah dinikmati oleh kelompok rumah tangga berpendapatan menengah keatas.

Kedua, bacalah kalimat paling akhir, “Terima kasih telah menggunakan BBM non-subsidi.” Untuk dapat mengkritisi kalimat tersebut, perhatikan gambar ke-2 yang berlokasi di SPBU yang sama.  Kalau dicermati seluruh lajur pompa pengisian di SPBU ini, hanya dapat ditemui jenis bahan bakar “Premium” dan “Bio Solar,” yang keduanya adalah merek dan jenis BBM yang mendapatkan subsidi.

Andaikata pun ada orang pemilik kendaraan yang tergerak oleh pesan spanduk yang ambruladul ini, si empunya kendaraan tidak akan dapat melaksanakan niat tulusnya untuk mendukung seruan pemerintah dengan membeli BBM non subsidi, produk dan jenis ini tidak tersedia di SPBU ini.

Tidak seluruh SPBU Pertamina menjual BBM subsidi seperti Pertamax. Menurut Mochammad Harun, VP Communication Pertamina, dari 3061 SPBU Pertamina yang ada di Jawa dan Bali, hingga akhir 2011 baru 2065 SPBU yang menjual Pertamax. Sedangakan di Bali, dari 178 SPBU yang ada, baru 78 yang menjual Pertamax.

Dengan kondisi demikian, tidak terbayang dampak yang akan terjadi, jika kebijakan pembatasan BBM bersubsidi dilakukan pada 1 April 2012 mendatang.

Dari dua gambar diatas, kita bisa sedikit mengungkap dua hal: Pertama, kebijakan subsidi BBM selama ini carut marut, demikian juga rencana untuk membatasi peredaran BBM bersubsidi yang tidak menyentuh akar persoalan subsidi BBM, yaitu kebijakan yang salah sasaran, tidak adil serta memboroskan keuangan negara.

Pemerintah dan DPR punya pilihan yang lebih baik, menaikkan harga BBM bersubsidi ke tingkat harga Rp. 6000 per liter, dan melakukan automatic pricing adjustment hingga tingkat harga tertentu, untuk mengurangi subsidi BBM secara bertahap. Perbaiki infrastruktur dalam 1 hingga 2 tahun mendatang, sehingga rakyat memiliki opsi bahan bakar yang lebih murah dibandingkan BBM, misalnya Bahan Bakar Gas (BBG), sehingga diversifikasi energi terjadi secara berkesinambungan.

Pada saat yang bersamaan, anggaran dari pengurangan subsidi BBM dialokasikan untuk memberikan perlindungan dan jaminan kesehatan, pangan, perumahan, dan lapangan kerja bagi rakyat miskin, pembangunan infrastruktur ekonomi serta diversifikasi sumber energi non-BBM.

Kedua, komunikasi kebijakan publik yang dilakukan pemerintah sangat buruk yang tergambar dari isi pesan di spanduk dan pemasangannya. Komunikasi yang buruk ini menyebabkan rakyat kehilangan kepercayaan terhadap kemampuan pemerintah dalam menyusun kebijakan publik yang efektif, efisien dan melindungi kepentingan rakyat. Sudah waktunya pemerintah mengevaluasi dan memperbaiki cara-cara komunikasi publiknya.

Kalau memang diperlukan, pemerintah menggunakan jasa konsultan komunikasi professional yang dapat membantu komunikasi kebijakan publik yang komunikatif, isi yang tepat dan tidak membodohi rakyat. Jangan hanya sibuk memoles citra yang semakin coreng moreng karena ketidakmampuan pemerintah untuk merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan yang berpihak pada kepentingan rakyat dan bangsa.

*) Penulis adalah Direktur Eksekutif IESR, penulis buku Citizen Guide for Energy Subsidy in Indonesia (IISD, 2011).

Dari Pertamina ke BPMigas – Sebuah Perjalanan Yang Belum Selesai

Oleh: Morentalisa Hutapea 

Pertamina itu sapi perah pemerintah! Imej tersebut telah melekat kuat selama berpuluh-puluh tahun institusi tersebut berdiri. Selain itu, istilah Pertamina itu lahan basah, juga menjadi rahasia umum yang tak perlu dibantah. Memang, dalam industri perminyakan yang menjadi sumber utama keuangan negara, Pertamina telah menjadi pemain utama. Berdasarkan UU No 8 tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minjak dan Gas Bumi Negara, Pertamina memiliki peran selain sebagai pengatur juga sebagai pelaksana usaha migas di Indonesia.  Sehingga ‘kekuasaan’ dan otoritas yang dimiliki oleh Pertamina sangat besar.

Posisi Pertamina yang memiliki otoritas dan kontrol penuh terhadap industri migas membuat BUMN ini menjadi tidak efektif dan sarang korupsi dari berbagai tokoh dan pejabat. Berdasarkan rekam proses pembuatan UU Nomor 22 Tahun 2001, sejumlah fraksi di DPR menilai bahwa korupsi di tubuh Pertamina telah sedemikian parah sehingga membutuhkan restrukturisasi. Fraksi PPP misalnya menilai bahwa UU No 8/1971 yang telah menempakan Pertamina sebagai satu-satunya perusahaan (negara) yang diserahi tugas mengelola sumber daya migas, memiliki sejumlah kelemahan:[1]

  1. Memberikan peluang monopoli yang sangat besar kepada BUMN Pertamina sehingga membuat BUMN tetrsebut menjadi tidak efisien karena tidak adanya pesaing
  2. Memberikan beban yang sangat besar kepada Pertamina karena harus menjalankan fungsinya sebagai profi maker tetapi juga harus mengemban misi sosial politik dan pemerintah
  3. UU tersebut membuat fungsi pemerintah dalam pengelolaan industri migas menjadi rancu, karena pemerintah bukan saja sebagai regulator tapi juga sebagai pelaku usaha sehingga dikhawatirkan bersikap tidak objektif dalam suatu persaingan dan menimbulkan birokrasi dalam operasi perusahaan minyak,

Sementara itu fraksi Bulan Bintang melihat bahwa restrukturisasi industri migas penting dilakukan karena Pertamina kinerjanya dianggap tidak lagi mampu untuk memaksimalkan potensi industri migas bagi Indonesia. Lagi-lagi muncul anggapan bahwa  Pertamina merupakan sapi perah bagi praktik korupsi, kolusi dan neppotisme sejumlah pejabat negara beserta keluarganya.  Sekalipun Pertamina memonopoli industri migas, Pertamina selalu mengalami kerugian. [2]

Pandangan-pandangan ini kemudian mendorong lahirnya  semangat reformasi sektor migas Indonesia dan mendorong terbentuknya sebuah institusi baru yang bergerak beriringan dengan Pertamina yakni: BPMigas.

Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP Migas), sesuai namanya, memiliki peran sebagai pelaksana sekaligus Pembina kegiatan hulu migas di Indonesia. Kegiatan hulu yang menjadi kewenangan BPMigas mencakup kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. BPMigas memiliki kewenangan terhadap masalah pengawasan Production Sharing Contract (PSC), yang menjadi model kontrak bagi industri migas di Indonesia. Dengan kata lain, kontrak-kontrak antara pemerintah Indonesia dengan semua perusahaan migas yang ada di Indonesia diawasi oleh BPMigas.

Sebelum BPMigas lahir,  berdasarkan PSC atau Kontrak Bagi Hasil, Pertamina menjadi wakil pemerintah yang memiliki fungsi untuk membagi hasil produksi bersih menurut suatu persentase tertentu. Hasil produksi bersih merupakan selisih antara hasil penjualan produksi migas (lifting) dengan biaya pokok atau biaya operasinya. Nilai produksi bersih yang akan dibagi oleh pemerintah dengan kontraktor migas disebut sebagai Equity to be Split (ETBS). Dimana perhitungan bagi hasil antara pemerintah dengan perusahaan migas itu dilakukan setiap tahun.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 kemudian di desain untuk memecah kekuasaan Pertamina di sektor hulu dan hilir. Regulasi industri migas sektor hulu diserahkan pada BP Migas dan sektor hilir kepadaBadan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi  (BPH Migas).  Namun secara umum fungsi dan tugas serta badan personalia yang masuk ke BP Migas merupakan “pindahan” dari unit koordinasi kontraktor asing (BKKA) yang sebelumnya ada di Pertamina.[3]  Dimana BP Migas berfungsi untuk melakukan pengawasan terhadap Kegiatan Usaha Hulu.  Selain UU Nomor 22 tahun 2001 kerangka hukum kebijakan hulu migas didasarkan atas Peraturan Pemerintah RI Nomor 35 Tahun 2004 tentang kegiaktan usaha hulu migas, serta perubahannya pada PP nomor 24 Tahun 2005; Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas; Pearaturan Menteri ESDM serta Peraturan BPMIGAS.

Kritik Terhadap Lahirnya BP Migas

Pada intinya, semangat reformasi pada 1997-1998 mendorong munculnya kesadaran bahwa keberadaan Pertamina sebagai aktor tunggal dalam regulasi migas di Indonesia membawa implikasi negatif yang cukup besar. Sekalipun demikian, kehadiran BP Migas sebagai aktor yang memainkan peran sebagai regulator di sisi hulu tidak sepenuhnya mendapat respon positif.  Salah satu kritik yang muncul sehubungan dengan lahirnya BPMigas adalah semakin rumitnya proses birokrasi di sektor hulu migas di Indonesia.  Sebelum UU Nomor 22. Tahun 2011 lahi,r atau pada saat UU No. 8 Tahun 1971 masih berlaku proses birokrasinya adalah sebagai berikut:  investor->Pertamina->Pemboran sumur.  Setelah BPMigas lahir, proses yang ada semakin bertamabah menjadi Investor->Ditjen Migas->BP Migas->Bea Cukai->Pemda->Pemboran sumur [4]

Pasca eksplorasi, investor diwajibkan untuk melakukan Rencana Pengembangan (Plan of Development). Pengawasan BP Migas dalam POD, WPB dan AFE dianggap berbelit-belit dan lambat sehingga menyebabkan produksi turun. (Alur perubahan struktur dalam industri migas setelah hadirnya BPMigas dapat di download di  UU Nomor 22 Tahun 2001 dan Peran BP Migas dalam Regulasi Industri Migas di Indonesia-

Kritik lain juga muncul dari Indonesia Petroleum Asscoiation (IPA). Di dalam sejumlah media, asosiasi perusahaan minyak ini menyesalkan  kondisi berbelit-belit yang muncul sebagai akibat dari kehadiran BPMigas. IPA berpendapat bahwa untuk mencapai pertumbuhan produksi, proses persetujuan dan regulasi ini perlu dipercepat. Urusan birokrasi dalam setiap proses yang membutuhkan izin BPMigas dianggap terlalu lambat. (Tempo Online, 2004). Pandangan yang sama juga dijelaskan oleh pengamat perminyakan, Kurtubi.  Menurut Kurtubi, dengan  keberadaan BP Migas, proses investasi bisa menghabiskan waktu hingga 5 tahun sebelum akhirnya bisa melakukan pengeboran. Dimana perusahaan harus bertemu Ditjen Migas, BP Migas, berurusan dengan Bea Cukai, hingga melobi pemerintah daerah. Sementara, dengan UU migas yang lama, yaitu UU 8 Tahun 1971, rata-rata waktu yang dibutuhkan hanya sekitar 3 bulan. Hal tersebut dikarenakan para investor akan langsung bertemu Direktur Pertamina dan apabila proses lobby telah dilakukan, langsung melakukan penandatangan kontrak dan dapat langsung melakukan proses eksplorasi/eksploitasi.

Salah satu persoalan lain yang juga banyak mengundang kritik terkait keberadaan BP Migas adalah terkait penggantian biaya cost recovery. Pada hakikatnya, biaya operasi yang timbul dalam pelaksanaan kontrak PSC adalah diganti atau ditanggung oleh pemerintah. Kontraktor membayar terlebih dahulu (menalangi) nilai pengeluaran untuk biaya operasi tersebut. Selain menyediakan dana, kontraktor wajib menyediakan teknologi, peralatan dan keahlian yang diperlukan bagi eksplorasi dan eksploitasi migas tersebut dan menanggung semua risiko yang timbul daripadanya. Penggantian biaya operasi oleh Pemerintah tersebut dalam perhitungan bagi hasil disebut sebagai Cost Recovery.

Sayangnya banyak indikasi bahwa proses penggantian ini digunakan untuk kepentingan-kepentingan pribadi pegawai perusahaan. Misalnya saja biaya yang dikeluarkan untuk bermain golf yang kemudian di klaim untuk dimintakan gantinya kepada pemerintah.  Besarnya biaya cost recovery yang harus dibayarkan oleh pemerintah kepada perusahaan akan membuat bagian keuntungan pemerintah menjadi lebih kecil. Oleh karena itu, banyak seruan kepada BPMigas untuk memperketat rancangan cost recovery. Hanya saja di banyak kalangan usahawan migas, ketentuan pengawasan terhadap KKS eksplorasi saat ini dianggap berlebihan dan kontra-produktif serta mengakibatkan penundaan dalam keseluruhan proses eksplorasi. Rekomendasi IPA adalah bahwa BPMIGAS hendaknya mempertimbangkan penyederhanaan proses manajemen KKS eksplorasi. Hal ini akan mempercepat pengeboran sumur eksplorasi yang  diperlukan dan  mengurangi biaya.

Sejumlah pengamat menilai bahwa peran BPMigas sebagai pengawas cost revovery belum maksimal dikarenakan kendala kapasitas. Dimana BPMigas dianggap tidak memiliki pengalaman terjun di sektor hulu industri migas secara langsung. Oleh karena itu, ketika penghitungan biaya dalam operasi migas, BPMigas kesulitan untuk menentukan besaran biaya riil yang dikeluarkan. Maryati Abdullah, aktivis yang bekerja untuk isu-isu keterbukan anggaran, berpendapat bahwa terkait dengan peran BPMIGAS dalam menentukan dan mengawasi cost recovery, BPMIGAS dianggap gagal untuk meningkatkan mutu Sistem Pengendalian Internal BPMIGAS. Hal tersebut terlihat dengan membengkaknya biaya cost recovery sebagai akibat dari klaim biaya penggantian yang tidak sesuai tempatnya.

Pada akhirnya lahirnya praktik KKN menjadi alasan utama bagi restrukturisasi usaha migas Indonesia. Diharapkan dengan membentuk  BPMigas dapat menghilangkan praktik-praktik monopoli Pertamina serta mendorong Pertamina dapat tumbuh menjadi perusahaan negara yang lebih baik. Hanya saja tampaknya institusi baru yang diharapkan jadi pembaharu ini belum menjalani fungsinya dengan maksimal dan memberikan kepuasan kepada semua pihak.  Semoga dalam perjalannya ke depan, institusi ini akan semakin diperlengkapi dan memperlengkapi diri sehingga dapat mengawal industri migas menjadi lebih baik.  Reformasi dan restrukturisasi industri migas Indonesia masih dalam perjalanan panjang untuk mencapai tujuan akhir: memberikan kemakmuran yang sebesar-besarnya kepada masyarakat Indonesia.


[1] Pandangan Umum Fraksi Partai Persatuan Pembangunan terhdap Rancangan Undang-Undangn tentang Minyak dan Gas Bumi, disampaikan oleh juru bicara FPPP DPR-RI: H Achmad Farial, Jakarta, 15 Februari 2001.

[2] Pandangan Umum Fraksi Partai Bulan Bintang atas Rancangan Undang-Undang Tentang Miyak dan Gas Bumi, dibacakan oleh Ir. Darmansyah Husein, dalam Risalah Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undangan Tentang Minyak dan Gas Bumi.

[3] Hanan Nugroho, “Deregulasi Setengah Hati: Tinjauan Terhadap Restrukturisasi Sektor Energi Indonesia,” Dipresentasikan di Seminar Akademik Tahunan Ekonomi I, Pasca Sarjana Ekonomi Universitas Indonesia & Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, Jakarta, 8-9 Desember 2004.

[4] Harya Dwi Nugraha, UU No. 22 Tahun 2001: Benarkah Berpihak pada Investor Asing? http://www.ilc.insancendekia.org

Meja Negosiasi Bagi Seorang Youth

Perubahan iklim merupakan fenomena yang bukan hanya diperbincangkan, namun, lebih dari itu. Perubahan iklim merupakan realitas yang harus dihadapi oleh makhluk hidup tak terkecuali manusia. Ini adalah dampak dari pemanasan global akibat naiknya gas rumah kaca (GRK).

Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim (COP UNFCCC) ke-17 yang berlangsung di Durban Afrika Selatan selama merupakan salah satu upaya yang dilakukan dunia internasional untuk menekan laju perubahan iklim. Konferensi yang dihadiri 194 negara tersebut, berlangsung  dari tanggal 28 November – 9 Desember 2011 dengan tambahan dua hari hingga tanggal 11 Desember 2011.

Dalam konferensi ini pemerintah Indonesia juga mengirimkan delegasi muda untuk menghadiri COP 17. Pengiriman delegasi muda yang berjumlah tiga belas pemuda dengan tiga mentor, dimaksudkan agar para generasi muda mengetahui tata cara berdiplomasi dan sebagai upaya pemberdayaan generasi muda. Salah seorang delegasi ini adalah saya, Ferry Arida Setyawan, pelajar kelas XII jurusan Ilmu Sosial di SMA N 1 Sragen, Jawa Tengah. Keikutsertaan saya merupakan hasil seleksi serta dukungan dari Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dan The Climate Reality Project Indonesia (TCRPI).

Merupakan kesempatan yang sangat berharga untuk dapat mengikuti konferensi internasional  PBB untuk perubahan iklim ini, yang tidak semua orang dapatkan, terlebih saya yang berasal dari daerah. Setelah mewakili Indonesia dalam konferensi ini, banyak hal baru yang saya dapatkan. Mulai dari pengetahuan mengenai perubahan iklim, pengalaman yang berharga, hingga network.

Sebelum menghadiri konferensi, Saya menjalani pembekalan selama tiga hari, 28-30 November 2011. Selama pembekalan yang dibuat secara santai namun memberikan banyak ilmu. Saya memperoleh pembelajaran mengenai jurnalistik, fotografi, videografi, hingga belajar tentang tata cara berdiplomasi dan negosiasi. Tak ketinggalan pula, dan yang terpenting adalah pengetahuan perubahan iklim dari Ibu Amanda Katili (DNPI) dan seluk beluk UNFCCC dari Ibu Eka Melissa (Kantor Presiden RI) serta pendalaman Kebudayaan Budaya Indonesia dari Ibu Debrah (Yayasan Visi Anak Bangsa). Dan untuk memantapkan pembekalan, kami juga melakukan simulasi sidang PBB. Di sela pembekalan saya dan delegasi yang lain  juga melakukan kunjungan ke TransTv.

Dalam konferensi internasional PBB ini, kami menggunakan pink badge, yang mana ini merupakan badge prestisius. Dengan  badge  ini saya dapat mengikuti seluruh sidang negosiasi PBB maupun pertemuan yang diadakan oleh organisasi.

Bersama Dr. Armi Susandi MT, wakil ketua kelompok kerja DNPI, saya berkesempatan mengobservasi International Convention Centre (ICC), tempat konferensi berlangsung. Dari beliau saya mendapatkan penjelasan mengenai posisi Indonesia dalam konferensi maupun dengan negara lain.

Di Paviliun Indonesia saya beserta delegasi muda Indonesia lainnya berkesempatan mennyelenggarakan “International Children and Youth Session/ICYS”. Dari namanya sudah bisa ditebak kalau ini merupakan acara yang ditujukan untuk pemuda. Namun sayang acara yang sudah kami rencanakan tidak berjalan begitu mulus, sebab di hari yang sama para pemuda melakukan long march dan setelah itu ada beach party. Meski tidak semua youth hadir, acara tetap berjalan dengan sedikit penyesuaian dan akhirnya dapat berjalan dengan lancar.

Hal yang paling ditunggu pun tiba, yaitu mengamati proses negosiasi. Saya bersama Adelin Abas (Gorontalo), Atika Putri (Sulawesi), Dina Danumira (Papua), dan Dian Anggraini (mentor/TCRPI) mengikuti negosiasi the Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention/AWG-LCA, dimana saya berada di sebuah negosiasi yang membahas isu adaptasi. Karena peserta negosiasi yang melebihi kuota, maka ketua pimpinan negosiasi memutuskan memindah negosiasi ruang ke yang lebih besar, dari Rock Ash Room ke Safsaf Willow Room. Dan ini membuat proses negosiasi molor setengah jam dari jadwal.

Proses negosiasi berjalan alot dan lebih didominasi negara-negara maju, seperti Amerika dan Kanada. Sangking alotnya negosiasi, maka negosiasi ditunda sementara dan dilanjutkan lagi satu setengah jam kemudian. Namun sayang saya dan delegasi lainnya tidak dapat mengikuti karena ada kegiatan lain.

Selain itu saya mendapat kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang yang berkompeten di bidangnya, dari berbagai negara, baik dari pemerintah maupun NGO. Di salah satu booth NGO, Plant for the Planet, yang memfokuskan pada peran remaja dalam perubahan iklim, saya memperoleh pengalaman yang menarik. Yakni setelah berbincang-bincang dengan aktivis Plant for the Planet dan mengisi data, saya diperkenalkan dengan atasannya dan diberi sebuah buku secara cuma-cuma yang notabennya dijual dan hasil penjualan digunakan untuk penghijauan.

Sebuah pengalaman dan pengetahuan yang tak cukup hanya diungkapkan dengan tulisan, namun mampu untuk diimplementasikan dengan tindakan. Meski hasil COP 17 tidak seperti yang diharapkan oleh seluruh negara peserta, namun suatu kemajuan yang baik untuk melanjutkan tindakan nyata dalam menekan laju perubahan iklim.

 

Sabtu, 24 Desember 2011

Ferry Arida Setyawan,

Indonesia Official Youth Delegates  for COP 17/CMP 7
Anggota Sobat Esensial IESR

Kami Berduka!

Segenap staf dan pengurus Institute for Essential Services Reform (IESR) menyampaikan duka cita yang sedalam-dalamnya atas jatuhnya para korban, baik tewas dan terluka di Pelabuhan Sape, Bima akibat penembakan dan aksi brutal aparat kepolisian.

Kami juga berduka terhadap rakyat yang menjadi korban praktek-praktek kekerasan aparat keamanan dan para centeng partikelir perusahaan pertambangan dan perkebunan di seluruh Indonesia.

Berbagai insiden kekerasan dan pelanggaran hak-hak asasi manusia yang berkaitan dengan aktivitas pertambangan dan perkebunan yang semakin tinggi intensitasnya belakangan ini, seharusnya membuat para penyelenggara negara meninjau kembali orientasi ekonomi dan investasi serta kebijakan di kedua sektor ini.

IESR juga berpandangan sudah saatnya penyelenggara negara mengembangkan sebuah kerangka kebijakan yang terintegrasi di sektor pertambangan dan perkebunan di Indonesia yang meliputi sejumlah pilar: perlindungan hak-hak asasi manusia, hak penghidupan yang layak bagi penduduk lokal dan masyarakat adat, mitigasi dampak sosial dan lingkungan, mekanisme penyelesaian konflik dan kompensasi, pengumpulan dan pengelolaan pendapatan dari industri pertambangan dan perkebunan, mekanisme pengawasan dan kepatutan, dan sebagainya.

Untuk itu, IESR mendesak penyelenggara negara (pemerintah dan DPR) untuk melaksanakan evaluasi menyeluruh terhadap operasi proyek pertambangan dan perkebunan yang sudah berjalan, serta menetapkan moratorium ijin pertambangan dan perkebunan baru sampai seluruh proses evaluasi dan kerangka kebijakan yang terintegrasi selesai dilakukan.

Pemuda Dalam Konferensi Perubahan Iklim di Paviliun Indonesia

Udara dingin menerpa menyambut tiga belas Delegasi Resmi Pemuda Indonesia saat menginjakkan kaki di Bandara Internasional King Shaka Durban, Afrika Selatan. Delegasi Pemuda Indonesia yang terdiri dari Adelin Abas (Gorontalo), Adeline (DKI Jakarta), Atika (Sulawesi), Bonni (Jambi), Dina (Papua), Ferry (Jawa Tengah), Hadi (DKI Jakarta), Maya (Sumatera Selatan), Mirantha (Kalimantan Tengah), Nada (Jawa Barat), Nadia (DKI Jakarta), Nugroho (Jawa Timur), dan Tama (DKI Jakarta) datang ke Durban untuk menghadiri UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) COP-17. Konferensi yang berlangsung dari 28 November-9 Desember 2011 dihadiri oleh seluruh negara anggota PBB, untuk membahas solusi dari perubahan Iklim.

Sebelum berangkat ke Durban, para delegasi Pemuda Indonesia mendapat pembekalan selama tiga hari, seperti pengetahuan dasar perubahan iklim, jurnalistik, fotografi, videografi, hingga simulasi persidangan PBB. Semua ini dilakukakn agar para delegasi siap untuk menerima pengetahuan baru saat mengikuti konferensi.

Pemerintah Indonesia merupakan salah satu pelopor yang mengikutsertakan pemuda dalam COP, seperti halnya dalam COP-15 Kopenhagen, Denmark dan COP-16 di Cancun, Mesiko tahun 2009 dan 2010 lalu. Kontribusi pemuda dinilai penting karena mereka merupakan penerus bagi negosiator Indonesia dalam konferensi internsional. Selain mengirimkan delegasi pemuda, pemerintah juga membuka pameran yang bertempat di “Paviliun Indonesia” yang berlokasi di South Plaza Marque, kompleks Durban Exhibition Centre.

Ini merupakan kali pertama pemerintah membuka Paviliun Indonesia dalam UNFCCC COP, dengan tema “Indonesia, Solutions for the World” dengan memfokuskan pada 4 pilar: Forestry and Biodiversity Solutions, Power and Energy Solutions, Innovation and Investment Solutions, Climate Resilience Solutions. Pada Paviliun ditampilkan berbagai pencapaian Indonesia dalam menyikapi perubahan iklim.

Di awali dengan welcome speech oleh Duta Besar Indonesia untuk Afrika Selatan, Sjahril Sabaruddin, kemudian dilanjutkan dengan pembukaan Paviliun Indonesia secara resmi oleh Ir. Rachmat Witoelar, 6/12. Pada pembukaan ini dihadiri pula oleh Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, M.B.A. (Menteri Lingkungan Hidup), Prof. Hironori Hamanaka (Kepala Institute for Global Environmental Studies), Masahiko Horie (Duta Besar Jepang untuk Lingkungan Global) .

Dalam pembukaan Paviliun, dua Delegasi Pemuda Indonesia, Nada dan Nadia menampilkan tari merak asal Jawa Barat dengan apiknya. Dilanjutkan dengan ppeluncuran buku Ir. Rachmat Witoelar “Rachmat Witoelar on Climate Change” merupakan alih bahasa dari buku “Rachmat Witoelar dan Perubahan Iklim” serta buku “Soul Views on Climate Change” yang berisi kumpulan foto serta pengalaman para pemenang lomba fotografi tingkst SLTA nasional yang diselenggarakan oleh DNPI. Dan acara ditutup dengan  persembahan lagu daerah “Yamko Rambe Yamko” dari para delegasi muda.

Selain itu di Paviliun Indonesia, Delegasi Pemuda Indonesia menyelenggarakan “International Children and Youth Session”. Dengan mengenakan pakaian adat asal daerah masing-masing delegasi, acara dibuka dengan penampilan Nada dan nadia dengan tari merak. Kemudian dilanjutkan dengan movie screening “Bumiku”  yang dibintangi oleh salah satu delegasi, Nada, dan putra Rhoma Irama , Adam Ghifari. Film ini menceritakan tentang pemahaman akan perubahan iklim di Sukoharjo yang dikemas dengan media wayang beber. Selesai menonton film, kemudian dilakukan movie discussion dengan pemeran utama, Nada. Dan acara ditutup dengan persembahan lagu daerah “Yamko Rambe Yamko” dan “Rasa Sayange” dari selurh delegasi pemuda.

Kontribusi Delegasi Pemuda Indonesia dalam COP 17 serta acara yang dibuat oleh delegasi muda ini, juga menarik perhatian UNICEF ontuk melakukan wawancara dengan mereka. Tidak hanya acara yang dibuat oleh pemerintah ataupun delegasi pemuda saja yang diselenggarakan di Paviliun Indonesia, melainkan juga dari NGO dan pemerintah negara sahabat maupun dari PBB sendiri.

Paviliun Indonesia juga dikunjungi oleh Managing Director of Wold Bank, Sri Mulyani beserta rombongan. Pada kesempatan yang sama Ibu Sri Mulyani juga mengungkapkan kebanggaannya terhadap delegasi pemuda, walaupun masih muda namun mampu mengikuti rangkaian acara pada konferensi internasional PBB. Menteri Lingkungan Hidup Malaysia dan swiss pun juga berkunjung ke Paviliun Indonesia.

Penulis + Foto: Ferry Arida Setyawan, Sobat Esensial IESR.

Gas Rumah Kaca Baru di Kyoto Protokol?

Salah satu hasil dari Durban adalah adanya usulan amandemen untuk Annex A dan Annex B di Kyoto Protokol. Jika Annex B adalah sederetan daftar negara-negara beserta dengan target penurunan emisi di waktu tertentu, maka Annex A adalah daftar gas rumah kaca yang diakui oleh Protokol Kyoto sebagai gas rumah kaca yang paling berbahaya dan signifikan untuk diperhitungkan. Sebuah gas rumah kaca diusulkan untuk menjadi salah satu gas rumah kaca yang patut diperhitungkan, yaitu Nitro Triflorida (NF3).

Nitro Triflorida adalah sebuah senyawa yang memiliki potensi pemanasan global (Global Warming Potential) hingga 17000 kali dari senyawa karbon dioksida yang selalu menjadi pembanding. Nitro Triflorida yang dikatakan memiliki umur tinggal di atmosfir antara 550-740 tahun (Prather, Michael dan Hsu, Juno, 2008) ini digunakan untuk memproduksi beberapa barang seperti televisi LCD, sirkuit komputer, serta solar sel dengan lapisan tipis.

Hasil Durban Sangat Jauh dari Kata ‘Cukup’

Konferensi Para Pihak untuk UNFCCC ke-17 (COP 17) di Durban, Afrika Selatan berakhir sudah. Sebuah proses yang lama (lebih dari 2 minggu) dengan banyak sekali perdebatan, terutama di hari-hari terakhir, mengakibatkan COP 17 harus memperpanjang masa negosiasi hingga lebih dari 20 jam. Walaupun masih banyak perdebatan di sana-sini, akhirnya diambil sebuah keputusan bahwa harus ada sebuah perjanjian legal mengenai perubahan iklim secepat mungkin, namun tidak lebih dari tahun 2015. Untuk mencapai hal tersebut, sebuah kelompok baru akhirnya dibentuk, dengan nama Ad hoc Working Group on the Durban Paltform for Enhanced Action (AWG-DPEA).

Seluruh Negara, termasuk 35 negara-negara industry, setuju akan adanya periode kedua dari Protokol Kyoto, terhitung semenjak tanggal 1 Januari 2013. Walau demikian, masih harus ada kejelasan mengenai jumlah emisi yang harus direduksi, dan selambat-lambatnya harus diserahkan untuk tinjauan di tanggal 1 Mei 2012.

Sebuah paket untuk menunjang Negara-negara berkembang kemudian disepakati. Paket tersebut adalah Green Climate Fund, Adaptation Committee yang dirancang untuk meningkatkan koordinasi kegiatan adaptasi di skala global, serta Mekanisme Teknologi, yang akan beroperasi penuh di tahun 2012.

Di area Green Climate Fund, beberapa Negara sudah memberikan jaminannya untuk menyuntikkan dana ke Green Climate Fund. Sebuah Standing Committee juga telah disepakati untuk dibentuk, dengan fungsi untuk memberikan gambaran mengenai pendanaan iklim dengan konteks UNFCCC, serta memberikan asistensi pada Konferensi Para Pihak (COP). Standing Committee ini memiliki 20 anggota, dengan distribusi anggota yang seimbang antara Negara maju dan Negara berkembang. Begitu pula dengan program kerja untuk pendanaan jangka panjang; juga disepakati. Program kerja ini akan meliputi cara-cara untuk memobilisasi sumber pendanaan.

Untuk Adaptasi, Komite Adaptasi sudah ditetapkan, dimana terdapat 16 anggota yang akan melapor kepada Konferensi Para Pihak (COP) mengenai upaya mereka untuk mengkoordinasi kegiatan-kegiatan adaptasi di skala global. Skema ‘loss and damage’ pun juga disepakati di Durban, terutama untuk proteksi terhadap Negara-negara yang paling rentan akan bencana akibat dari peristiwa-peristiwa cuaca ekstrim akibat dari perubahan iklim.

Di sisi teknologi, mekanisme teknologi akan beroperasi penuh di tahun 2012. Kerangka kerja dari operasional Mekanisme tersebut juga telah disepakati – Climate Technology Centre and Network  (CTCN), bersama dengan prosedur yang jelas dalam pemilihan host.

Pihak Pemerintah masing-masing Negara juga setuju di Durban, untuk membentuk sebuah mekanisme pasar yang baru untuk mendampingi Negara-negara maju dalam memenuhi target atau komitmen mereka di bawah Konvensi. Rincian dari mekanisme ini akan dilakukan di tahun 2012.

Walaupun beberapa hasil  menunjukkan positif, namun hasil ini tentu saja belum cukup untuk membatasi kenaikan temperatur bumi sampai dengan 2o C. Masih banyak hal yang harus didorong, terutama di sisi Negara maju, untuk menyelamatkan bumi ini, dan pada saat yang bersamaan, memberikan kesempatan bagi Negara berkembang lainnya untuk membangun. Komitmen penurunan emisi mereka, harus diperjelas.

Lebih dari pada itu, dibutuhkan political will dari masing-masing Negara untuk menerapkan apa pun yang telah disepakati di Durban. Karena jelas saja, hasil Durban sangat jauh dari kata ‘cukup’.

Working Group Baru Dibentuk : AWG-DPEA

Sesuai dengan mandat yang diluncurkan di Bali Action Plan, AWG LCA (Ad hoc Working Group on Long-term Cooperation Action) akan habis masa kerjanya di tahun 2012. Namun tentu saja, ada begitu banyak pekerjaan yang masih harus diselesaikan, untuk menjembatani pekerjaan yang tersisa. Itu sebabnya, sebagai gantinya, Preside COP Afrika Selatan, sesuai dengan persetujuan Negara yang lain membentuk AWG-DPEA (Ad hoc Working Group on Durban Platform on Enhanced Action).

Mandat dari AWG-DPEA adalah untuk merumuskan legal outcome yang kemudian akan menjadi basis negosiasi. Substansi yang akan bahas di working group ini adalah Mitigasi, Adaptasi, dan Transfer Teknologi, transparansi, capacity building, beberapa isu teknikal dan juga yang menyangkut aspek social-ekonomi. Mandat ini akan ada di bawah Konvensi dan berlaku untuk seluruh Negara yang meratifikasi Konvensi; demikian pula legal outcome yang akan dihasilkan.

AWG-DPEA akan mulai dijalankan di pertengahan tahun 2012, dengan masa berlaku selambat-lambatnya sampai pada tahun 2015. Sebagai peralihannya, AWG-LCA diputuskan untuk diperpanjang selama satu tahun, sampai COP 18 berakhir, dimana setelahnya AWG-DPEA akan meneruskannya dan melaporkan hasil kerjanya pada Konferensi Para Pihak (COP).