IETD 2020: Memanfaatkan momentum pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19 untuk mengakselerasi transisi energi rendah karbon

Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) akan menyelenggarakan Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) tahun ketiga mulai tanggal 7 hingga 11 Desember 2020 secara virtual dengan fokus pada pemanfaatan momentum pemulihan ekonomi pasca covid untuk mendorong pengembangan energi terbarukan guna mengakselerasi transisi energi di Indonesia.

Ditengah berbagai diskusi tentang strategi untuk pulih dari krisis akibat pandemi, penting bagi Indonesia untuk memiliki agenda pemulihan ekonomi hijau (green economy). Dengan agenda ini, Indonesia diharapkan dapat membangun perekonomian yang lebih tangguh dan berkelanjutan kedepannya, sekaligus dapat memprioritaskan pemanfaatan energi terbarukan sembari mengurangi porsi energi fosil. Untuk itu, penyusunan paket-paket pemulihan perlu dilakukan dengan bijak dan inovatif agar dapat menarik modal dari berbagai sumber. Indonesia juga perlu meningkatkan kerangka investasi  energi terbarukan untuk menarik minat investor swasta yang lebih tinggi guna membantu mendukung pemulihan ekonomi yang berkelanjutan di Indonesia.

Dalam sesi selama lima hari ini, para pembicara dan panelis dari berbagai institusi ternama, baik dari dalam maupun luar negeri, akan berbagi pandangan dan pendapatnya lewat serangkaian diskusi-diskusi dan dialog-dialog seputar tema utama IETD 2020. Pada akhirnya, lewat IETD 2020 ini kita berharap untuk dapat juga memfasilitasi diskusi transisi energi nasional, mulai dari bedah hambatan dan tantangan, hingga memikirkan solusi untuk melakukan akselerasi transisi energi yang berkeadilan di Indonesia.

Daftar dan ikuti dialog nya di ietd.info

Konservasi Air Wudhu di dua Pondok Pesantren NU, sebagai bentuk kepedulian kurangi Krisis Iklim

 

Suhu bumi terus meningkat lebih dari 1 derajat celcius, dibandingkan dengan tahun 1900 mengakibatkan adanya perubahan iklim. Berbagai pihak dari beragam kelompok berinisiatif untuk ikut mengambil langkah untuk menjaga kenaikan suhu bumi supaya tidak lebih dari 2℃ bahkan untuk menurunkan suhu bumi. Salah satunya adalah Nahdlatul Ulama. 

Dalam program IESR Bicara Energi, M. Ali Yusuf, Ketua LPBI NU (Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama), mengatakan bahwa aksi untuk merespon perubahan iklim ini didasari oleh beberapa pandangan dalam Islam, salah satunya tentang relasi manusia dengan alam. Dikatakan Ali Yusuf bahwa “Allah adalah Tuhan untuk semesta alam, bukan hanya untuk manusia. Jadi manusia itu hidup berdampingan dengan alam (tidak bisa dipisahkan). Maka jika alamnya rusak, maka kehidupan manusia pun akan terancam.”

Untuk merespon perubahan iklim yang terjadi saat ini, LPBI NU memiliki beberapa program yang banyak dilakukan di pesantren-pesantren Nahdlatul Ulama yang jumlahnya mencapai 2400 dan tersebar di seluruh Indonesia. 

Beberapa program tersebut antara lain:

  1. Pengurangan Risiko Bencana (PRB) dengan Gerakan Hijau dan Konservasi Energi Terbarukan
  2. Konservasi Air
  3. Konservasi Pesisir
  4. Penerbitan buku-buku terkait isu lingkungan dan perubahan iklim

Secara khusus Ali Yusuf menjelaskan tentang program konservasi limbah. Program yang masih bersifat rintisan dan swadaya ini berawal dari isu limbah sampah di pesantren. Jika PBNU memiliki 2400 pesantren dan di satu pesantren penghuninya bisa mencapai 15000 santri maka dapat dibayangkan berapa banyak produksi limbah dan sampah yang ada di satu pesantren, kalikan dengan banyaknya pesantren yang ada. 

“Kita mengawali program ini dengan kajian bersama untuk membangun awareness santri-santri ini tentang bagaimana limbah ini dapat menghasilkan energi terbarukan seperti biogas yang bahkan dapat menghasilkan listrik,” ungkap Ali Yusuf.

Karena program ini bersifat swadaya dari masing-masing pesantren, maka capaian masing-masing pesantren berbeda-beda. Ada yang memang sudah bisa memproduksi dan memanfaatkan energi terbarukan ini, namun ada juga yang belum mampu memproduksi, dan baru di level awareness saja.

Salah satu program yang patut mendapatkan apresiasi adalah konservasi air wudhu yang dilakukan di dua pesantren di Pasuruan, Jawa Timur. Secara singkat program ini mengolah kembali air buangan wudhu, dan menjadikannya air minum alkali. 

“Air wudhu itukan bebas deterjen, pembuangannya juga sendiri, tidak bercampur dengan air bekas mandi atau yang lain. Lebih daripada itu, air wudhu itukan penuh dengan doa, sayang sekali kalau terbuang sia-sia.”

Sebelum menutup sesi obrolannya dengan IESR, Ali Yusuf berpesan bahwa masing-masing kita perlu memiliki empati untuk menjaga lingkungan masing-masing.

‘Masing-masing kita ini memiliki tanggung jawab untuk menjaga bumi. Kalau kita biarkan begini terus bumi rusak, bukan tidak mungkin bumi akan hilang suatu saat nanti.’

“Juga untuk pemerintah, masyarakat perlu dilibatkan dalam penyusunan kajian risiko, supaya tahu perubahan apa saja yang pernah terjadi di lingkungannya. Selain itu pemerintah juga perlu mensosialisasikan dokumen-dokumen tentang Perubahan Iklim. Karena (pemerintah) kita seringkali puas ketika sudah menyetujui suatu dokumen. Namun seringkali informasi ini tidak sampai ke masyarakat,” pungkas ketua LPBI NU ini.

Simak perbincangan lengkapnya di IESR Bicara Energi:

Indonesia Harus Siapkan NDC Ambisius Agar Sejalan dengan Deklarasi Silesia

Deklarasi Solidaritas dan Transisi Berkeadilan Silesia (Silesia Declaration)

Mengenal Silesia

Silesia atau sering juga disebut sebagai Silesia Atas merupakan sebuah provinsi di Polandia dengan ibukota Katowice.  Sebagai wilayah dengan tingkat populasi tertinggi di Polandia, Silesia mengandalkan 85% listriknya dari PLTU sehingga sangat bergantung pada industri batubara. Tercatat di tahun 2017, total produksi batubara tahunannya sebesar 59 juta ton. Industri ini juga menyerap sekitar 73 ribu orang atau mewakili 4,2% dari total pekerjaan di wilayah ini di 2019. Jumlah ini jauh merosot dibandingkan pada 1990, dengan jumlah pekerja 400 ribu orang.

Tidak dipungkiri, aktivitas penambangan batubara yang berjalan sejak abad ke-19 ini melahirkan masalah lingkungan yang signifikan. Gas metana yang dilepas pada saat produksi batubara semakin memperparah kondisi iklim dunia. Hal lain yang menjadi perhatian dunia, selain kerusakan alamnya, adalah polusi udara. Merujuk pada data IQAir, di 2019, salah satu kota di Silesia, Goczalkowice Zdroj, bahkan menjadi kota terpolusi di negara-negara Uni Eropa (UE). Secara tidak langsung, Silesia berkontribusi terhadap sekitar 48 ribu orang, kebanyakan lansia, meninggal secara prematur setiap tahun akibat penyakit yang terkait dengan polusi udara. Udara yang kotor telah mempersingkat harapan hidup warga Polandia rata-rata sekitar 9 bulan.

Silesia Mau Berubah

Pada COP24 tahun 2018 yang dilaksanakan negaranya sendiri, tepatnya di Katowice, Polandia berkomitmen berubah menuju negara yang bertransformasi ke energi yang ramah lingkungan. Hal ini juga menjadi upaya negaranya untuk memenuhi Kesepakatan Paris untuk membatasi pemanasan global dalam skenario 1,5 – 2°C di tahun 2050.

Ada 3 fokus yang ingin pemerintah Polandia capai yakni inovasi di bidang teknologi yang ramah lingkungan, mengutamakan perubahan yang berorientasi pada sumber daya manusia melalui solidaritas dan transformasi yang berkeadilan, serta memperbaiki alam dengan melakukan manajemen hutan multifungsi secara berkelanjutan. Kepresidenan Polandia mengkonsepkan janjinya ini dalam Deklarasi Solidaritas dan Transisi Berkeadilan Silesia (Silesia Declaration). Sebanyak 45 perwakilan negara yang hadir di COP24, termasuk Indonesia bersepakat untuk mengadopsi Deklarasi Solidaritas dan Transisi Berkeadilan Silesia, yang ditandatangani langsung oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo

Pentingnya Deklarasi Solidaritas dan Transisi Berkeadilan Silesia 

Semua negara di dunia seharusnya sudah menyadari bahwa transisi energi membawa konsekuensi yang amat mahal dan mengancam sistem ekonominya bila tidak direncanakan dengan matang. Betapa tidak, proses beralihnya suplai energi dari bahan bakar fosil ke sistem energi terbarukan yang lebih efisien, rendah karbon, dan berkelanjutan akan berdampak pada industri energi fosil yang selama ini menjadi sumber pendapatan bagi negara yang kaya sumber daya tidak terbarukan dan lebih dari 10 juta pekerja di dunia.

Deklarasi Solidaritas dan Transisi Berkeadilan Silesia memuat 7 hal penting yang menjadi arahan negara di dunia untuk mempersiapkan proses transisi energinya. Secara ringkas, Deklarasi Silesia menekankan bahwa proses transisi energi yang efektif dan inklusif bagi para pekerja akan dapat terjadi dengan membangun infrastruktur yang mampu bertahan terhadap perubahan iklim, meningkatkan kapasitas kelembagaan dalam menciptakan lapangan kerja yang ramah lingkungan, menegaskan tersedianya kesempatan kerja yang lebih luas di energi terbarukan, memitigasi tantangan yang dihadapi oleh industri energi fosil sehingga dapat memastikan masa depan yang layak bagi pekerja terdampak, dan membuka dialog sosial untuk mempromosikan banyaknya keuntungan dari lapangan kerja hijau atau ramah lingkungan.

Sepuluh negara G20 yang mewakili negara di dunia menandatangani Deklarasi Solidaritas dan Transisi Berkeadilan Silesia adalah Argentina, Kanada, Uni Eropa, Prancis, Jerman, Jepang, Korea Selatan, UK, Amerika dan Indonesia.

Pengaruh Deklarasi Solidaritas dan Transisi Berkeadilan Silesia Terhadap Strategi dan Kebijakan Energi Tiap Negara

Climate Transparency Report 2020 – sebuah laporan penilaian aksi iklim dari negara – negara G20 yang paling komprehensif di dunia, yang akan segera diluncurkan pada 18 November secara global merangkum respon beberapa negara dalam menjawab komitmennya pada Deklarasi Solidaritas dan Transisi Berkeadilan Silesia.

Kanada membentuk gugus tugas untuk mempersiapkan pekerja di industri batubara memasuki era transisi energi. Di tahun 2019, sebanyak 150 juta dolar Kanada dipersiapkan bagi komunitas terdampak.

Jerman mengadopsi coal exit law di Juli 2020 yang memuat peta jalan untuk lepas dari ketergantungan pada batubara . Negara ini juga menyiapkan 40 miliar euro sebagai dana kompensasi bagi wilayah penghasil batubara yang terdampak.

Uni Eropa membuat wadah berbagi informasi, pengetahuan, dan pengalaman dari wilayah penghasil batubara yang sedang melakukan transisi energi kepada masyarakat luas. Uni Eropa juga menyiapkan mekanisme Transisi Berkeadilan yang bertujuan mengumpulkan dana sedikitnya 100 juta euro di 2021-2027.

Afrika Selatan memprioritaskan transisi berkeadilan pada Rencana Pembangunan Nasionalnya (2012). Komisi Perencanaan Nasional telah memulai proses dialog sosial untuk menyusun peta jalan transisi berkeadilan.

Bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia berkomitmen dalam Kontribusi (penurunan emisi gas rumah kaca) yang Ditetapkan secara Nasional (Nationally Determined Contribution/NDC) untuk memenuhi Kesepakatan Paris. NDC Indonesia memiliki target penurunan emisi sebesar 29% dari Business as Usual (BaU) 2030 dengan upaya sendiri dan sampai dengan 41% dengan bantuan internasional. Namun aksi mitigasi untuk energi fosil dalam NDC, menurut kajian Institute for Essential Services Reform (IESR), tidak memperlihatkan keambisiusan.

Climate Transparency Report 2020 mencatat Indonesia bahkan semakin menggenjot industri batubaranya. Hal ini terlihat dari :

  1. Peningkatan kapasitas PLTU sebesar lebih dari 10 GW selama 2015-2019 dari 24.4 GW menjadi 34.7 GW (Statistik ketenagalistrikan, 2019; Mulyana, 2020).
  2. Meningkatnya konsumsi batubara untuk kelistrikan domestik sebesar 36.5 juta ton selama 2015-2019 dari 61.4 juta ton menjadi 97.9 juta ton (Dirjen Minerba, 2020)
  3. Dalam RUPTL PLN 2019-2028, Indonesia berencana untuk menggandakan kapasitas pembangkit listrik batubara saat ini dengan membangun tambahan 27,1 GW kapasitas PLTU dalam dekade berikutnya. Ini mengindikasikan pangsa batubara dalam bauran listrik menjadi semakin meningkat (PLN, 2019). Di Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN 2019-2038), pemerintah memproyeksikan pada tahun 2038, kapasitas terpasang PLTU batubara dapat mencapai 91 GW (sepertiga dari total kapasitas terpasang) dan pangsa batubara dalam bauran kelistrikan akan tetap 47% (Ditjen Ketenagalistrikan, 2019).
  4. Pemerintah Indonesia juga memberi kelonggaran bagi industri batubara untuk berkembang dengan hilirisasi batubara, memberikan jaminan pinjaman, pembebasan pajak, royalti, dan penetapan batasan harga batubara.

Selaras dengan NDC yang tidak ambisius maka langkah Indonesia untuk mengarah pada tujuan Deklarasi Solidaritas dan Transisi Berkeadilan Silesia masih sangat jauh. Untuk itu IESR mendorong pemerintah untuk memperbaharui NDCnya dengan melakukan aksi mitigasi di bidang energi seperti, moratorium PLTU baru dan penonaktifan PLTU berdasarkan usia operasi, penggantian pembangkit listrik termal dengan pembangkit energi terbarukan, peningkatan bauran energi terbarukan secara optimal di sistem ketenagalistrikan Jawa-Bali dan Sumatera tanpa mengurangi keandalan sistem, peningkatan fuel economy pada kendaraan bermotor (mobil dan motor) sesuai dengan standar Global Fuel Economy Initiative (GFEI), peningkatan pemanfaatan electric vehicle (EV) di Indonesia dan peningkatan efisiensi energi dari penerangan dan peralatan rumah tangga.

Ikuti peluncuran profil Indonesia:

 

Ini 5 Cara Jadikan Kamu Generasi Sadar Transisi Energi

Jika energi fosil sudah tak lagi tersedia, bagaimana kita memastikan keberlanjutan energi di bumi?

 

Saat ini, mungkin kamu merasa menggunakan energi fosil adalah sah-sah saja. Untuk apa sibuk ganti jalur ke energi terbarukan? Toh, sampai sekarang hidup kita aman-aman saja kok. Kalau panas, tinggal hidupkan AC. Gelap, nyalakan lampu. Atau, saat bangun telat dan harus segera ke kampus, tinggal tarik gas, motor langsung melaju ke tempat tujuan.
Tapi pernahkan kita membayangkan ketika energi fosil yang menjadi bahan bakar semua teknologi yang kita gunakan untuk mempermudah hidup kita itu, dilarang penggunaannya karena semakin tidak ekonomis dan memparah iklim dunia? Belum lagi dampak bawaannya seperti peningkatan gas rumah kaca yang berujung pada krisis iklim yang menimbulkan bencana bagi kehidupan manusia. Di masa itu akan jamak terjadi cuaca yang ekstrim, munculnya berbagai penyakit baru, banjir, kekeringan, dan kelaparan.
Lebih buruknya lagi, dunia sedang mengarah ke tahapan tersebut. Jika tidak ada antisipasi yang nyata dari pemerintah dan dari diri sendiri, maka seperti itulah gambaran masa depan kita, Indonesia. Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk mengantisipasinya? Berikut 5 cara yang bisa kamu terapkan dalam kehidupanmu sehari-hari.

1. Mulai akrabkan dirimu dengan isu transisi energi dan ikut gaungkan, agar pemerintah lari cepat susun strategi tepat dalam pengembangan energi terbarukan!

Meski kelak bahan bakar fosil (batu bara, minyak, dan gas) sudah tidak populer lagi karena dunia mengalami transisi energi, tidak berarti hidupmu mundur ke masa zaman prasejarah. Indonesia punya potensi besar di energi yang bisa menggeser keberadaan energi fosil. Energi ini dikenal sebagai energi terbarukan seperti pada air, bayu, surya dan bioenergi.

Araújo (2014) mendefinisikan transisi energi sebagai proses transformasi dalam suplai energi berbasis bahan bakar fosil menuju sistem energi yang lebih efisien, rendah karbon, dan berkelanjutan dengan energi terbarukan.Transisi saat ini mendorong tercapainya tujuan mitigasi perubahan iklim global dalam membatasi pemanasan global dalam skenario 1,5-2°C di tahun 2050.

Sayangnya, Menurut Agus Praditya Tampubolon, salah seorang peneliti di Institute for Essential Services Reform (IESR) yang juga penulis laporan pembelajaran berjudul National Energy Plan (RUEN): Existing Plan, Current Policies Implication and Energy Transition Scenario, di Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang pemerintah susun, target pengembangan energi terbarukan hanya kecil, 23 persen di tahun 2025, berarti sisanya masih menggunakan energi fosil. Hingga tahun 2020, pencapaian target itu masih sebatas 15 persen. Bandingkan dengan India yang punya target 42 persen energi terbarukan di tahun 2022, dan sudah tercapai 18 persen. Indonesia kalah jauh. Supaya bisa mengejar ketertinggalan, mari kita dorong agar para pemangku kebijakan dan berbagai pihak harus duduk bersama untuk merumuskan ulang RUEN yang memuat porsi energi terbarukan lebih masif, termasuk strategi pencapaiannya.

2. Jadikan aktivitas jalan kaki, bersepeda, menaiki kereta, bus atau moda transportasi publik lainnya sebagai gaya hidup kekinian

Selain memang untuk berpartisipasi dalam pengurangan penggunaan karbon, lifestyle ini juga cara untuk membiasakan diri sebelum kendaraan berbahan bakar minyak tidak beroperasi lagi. Lho kok bisa? Tentu saja ini mungkin terjadi, menilik di Kesepakatan Paris termuat perjanjian bahwa di tahun 2035-2040 tidak boleh lagi ada penjualan kendaraan konvensional, berbasis bahan bakar minyak, melainkan beralih ke kendaraan listrik yang lebih ramah lingkungan.

Pasalnya, perkembangan ekonomi sejalan dengan naiknya kebutuhan akan transportasi. Di Indonesia sendiri, 90 persen kendaraan di Indonesia menggunakan bahan bakar minyak yang berkontribusi terhadap peningkatan emisi rumah kaca yang berbahaya bagi kehidupan manusia.

Julius Christian Adiatma, periset di IESR dan penulis seri kedua dari lima seri laporan studi mengenai Peta Jalan Transisi Energi Indonesia yang berjudul A Transition Towards Low Carbon Transport in Indonesia: A Technological Perspective menekankan jika pemerintah tidak melakukan sesuatu untuk menyiasati hal ini misalnya dengan (lagi-lagi) menyiapkan strategi transisi energi yang holistik, seperti menyediakan pola transportasi barang dan orang yang ramah lingkungan, pengembangan kendaraan listrik, bahan bakar nabati, dan peraturan pendukung lainnya, maka akan terjadi kerugian ekonomi yang besar akibat sistem distribusi yang tidak terencana dengan baik. Bayangkan berapa banyak kang paket yang kelelahan karena mengantar barang orderanmu sambil berjalan kaki? hujan-hujanan lagi…

3. Pikirkan baik-baik karirmu ke depan, jangan sampai terjebak di industri yang mau tutup!

Bila melihat perkembangan di dunia internasional dengan tren transisi energinya, salah satu industri energi fosil yang paling terdampak adalah pertambangan batubara.

Deon Arinaldo, salah seorang periset di IESR yang juga merupakan penulis laporan telaah Energy Transition in Power Sector and the Implication to Coal Industry menjelaskan bahwa negara pengekspor batu bara dari Indonesia seperti Cina mempertimbangkan untuk membatasi penggunaan batubara karena menghasilkan polusi udara dan melindungi batubara domestiknya. Sementara Indonesia adalah salah satu negara pengekspor batubara terbesar. Cadangan batubara Indonesia saja sebesar 26,2 miliar ton.

Bayangkan bila pemerintah tidak melihat tren ini dan menyiapkan langkah-langkah pencegahan menjelang pertambangan batubara tutup seiring dengan munculnya berbagai inovasi dan teknologi di bidang energi terbarukan. Ratusan ribu orang akan kehilangan mata pencahariannya. Jangan sampai kamu salah satunya!

4. Pertimbangkan bangunan rumah impian masa depanmu yang menggunakan lebih banyak energi terbarukan dan adaptif terhadap perubahan iklim

Studi IESR pada tahun 2019 menunjukkan bahwa sistem yang menggunakan 43% energi terbarukan akan menurunkan biaya operasi dan investasi (sistem) sepuluh tahun lebih rendah daripada sistem berbasis bahan bakar fosil yang ditetapkan pada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2018. Tentu saja, hal ini akan dirasakan oleh semua konsumen energi terbarukan, baik di bidang industri maupun rumah tangga.

Kamu pun bisa menjadi bagian dari transisi energi dan adaptasi perubahan iklim ini dengan memperhatikan bangunan rumah impianmu. Nah, mulailah merancang konstruksi rumah yang aman bencana, misalnya menyiapkan tempat penyimpanan air yang cukup bila terjadi musim kering berkepanjangan. Bangun atap yang kuat untuk menahan terpaan hujan lebat. Persiapkan perahu karet bila sewaktu-waktu rumahmu kebanjiran. Terpenting, pilih peralatan elektronik yang hemat energi, atap yang mampu memantulkan cahaya sehingga tidak perlu menghidupkan lampu sepanjang hari, dan memasang panel surya untuk memenuhi kebutuhan energi dalam rumah. Terakhir, yah, jangan jomblo…

5. Perbanyak makan protein nabati dibandingkan protein hewani

Memang sih, praktek pertanian dan peternakan tidak membutuhkan banyak energi dibanding dengan sektor lain tapi bidang ini mengeluarkan banyak gas rumah kaca, terutama dari kotoran ternak. FAO mencatat 14,5 persen gas rumah kaca dihasilkan dari peternakan, terutama peternakan sapi. Poore and Nemece menghitung 17.7 kg karbondioksida dihasilkan dari produksi 50-gram daging sapi, sementara peternakan ayam menghasilkan 2.9 kg karbondioksida untuk produksi 50-gram daging ayam.

Kamu bisa mulai dengan mengurangi mengkonsumsi daging sapi, dan menggantinya dengan daging ayam, atau yang paling baik lagi beralih ke protein nabati yang bersumber dari kacang-kacangan.

Tentu, kedepannya pemerintah perlu memikirkan hal ini juga saat mempersiapkan strategi yang jelas dalam menghadapi transisi energi. Dengan demikian, akan terbentuk pertanian dan peternakan dengan standar ramah lingkungan.


Want to deepen your knowledge about the energy transition? How is Indonesia’s preparation regarding the energy transition?

Join our third annual Indonesia Energy Transition Dialogue, Virtual Conference on December 7 – 11 2020. Submit your application now at ietd.info

Subscribe now to prove you are a part of energy transition generation!

Mengadopsi “Resep Surya” India dan Vietnam untuk Indonesia

 

“Energi surya adalah raja (solar power is king),”

demikian salah satu kesimpulan dari laporan World Energy Outlook 2020 dari International Energy Agency (IEA). Secara global, harga listrik dari energi surya telah menjadi yang terendah dibandingkan dengan sumber energi fosil dan sumber energi terbarukan lain. Pertumbuhan tahunan pembangkit listrik tenaga surya terus memimpin dari tahun ke tahun, dan IEA memperkirakan di tahun 2040 pertumbuhannya akan mencapai 200 GW/tahun, dua kali lipat dari pertumbuhan saat ini. 

 

Belajar dari India

India merupakan salah satu pemain terdepan energi surya di dunia. Sejak tahun 2000an, pemerintah India telah menggarap energi surya secara serius. Misi Surya Nasional (National Solar Mission) dideklarasikan oleh India pada tahun 2010, dengan target “hanya” 20 GW pada tahun 2022. Selain komitmen politik yang kuat, target yang jelas, serta turunan kebijakan dan regulasi yang mendukung, terbukanya pasar energi surya global yang berkontribusi pada penurunan harga modul surya kemudian mendorong India untuk merevisi target tersebut menjadi 100 GW, dan ditambah kembali menjadi 200 GW dengan tenggat waktu yang sama. 

“Resep surya” India yang membuat mereka berhasil mengembangkan energi surya hingga puluhan dan akan mencapai ratusan gigawatt mencakup:

  1. Komitmen politik dan kebijakan yang konsisten dengan target jangka panjang yang jelas dan terarah. Dengan adanya komitmen ini, pengembang lokal dan internasional memiliki keyakinan untuk membangun PLTS di India karena mampu memproyeksikan bisnis mereka dalam 10 sampai 20 tahun mendatang. Selain itu, banyaknya pengembang yang tertarik membangun PLTS juga meningkatkan daya saing, banyak dari mereka yang mampu menawarkan harga energi surya rendah. Pemerintah India juga menetapkan ketentuan Renewable Purchase Obligation (RPO), di mana setiap negara bagian wajib menetapkan target  energi terbarukan sebagai prioritas yang harus dicapai. Pemerintah negara bagian juga membantu pencapaian target ini dengan mempermudah akuisisi lahan atau perizinan.
  2. Implementasi kebijakan dalam program dan proyek yang lebih nyata. Pemerintah India membuat satu perusahaan milik negara yang khusus membantu pencapaian Misi Surya Nasional, yaitu Solar Energy Corporation of India Limited (SECI). Dengan misi sangat spesifik ini, SECI bertanggung jawab akan penyaluran bantuan pembiayaan untuk pengembangan PLTS melalui berbagai skema, misalnya viability gap fund (VGF) untuk PLTS skala besar, pembukaan solar park, dan skema khusus, seperti skema canal-top (PLTS di atas kanal/saluran air). 
  3. Tersedianya dukungan pembiayaan melalui National Clean Energy and Environmental Fund (NCEEF), pendampingan finansial kepada pengembang proyek dan optimalisasi pendanaan secara publik.
  4. Proses pengadaan (procurement) yang efektif dan menciptakan daya saing. Dengan desain yang baik, dilakukan transparan, serta dibuat dalam skala besar, lelang terbalik (reverse auction) yang diadopsi pemerintah India mampu menghasilkan harga pembangkitan yang jauh lebih murah dibandingkan dengan energi fosil.  

Meski demikian, terdapat juga beberapa risiko yang harus digarisbawahi, di antaranya penundaan pembayaran dari offtaker (perusahaan listrik), curtailment (keterbatasan penyerapan energi surya ke jaringan), fluktuasi mata uang asing, proses akuisisi lahan dan bangunan yang terkadang menemui kendala, serta beberapa perubahan kebijakan dan regulasi yang juga bisa bervariasi di masing-masing negara bagian. 

Simak diskusi daring IESR #GigawattClub episode pertama di tautan berikut:


 

Belajar dari Vietnam

Di Asia Tenggara, Vietnam saat ini dikenal sebagai solar power house karena menunjukkan perkembangan yang signifikan dalam waktu singkat. Hingga 2019, Vietnam berhasil meningkatkan kapasitas total PLTS (skala besar dan PLTS atap) hingga lebih dari 5 GW, dari sekitar 100 MW pada 2017. Akhir tahun ini, kapasitas terpasang mereka diprediksikan akan mencapai 10 GW. Untuk PLTS skala besar, waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk konstruksi dan commissioning juga sangat cepat, yakni 275 hari.

Apa “resep surya” Vietnam sehingga bisa mencatatkan perkembangan yang masif ini? Terdapat beberapa kesamaan strategi Vietnam dan India untuk mendorong energi surya mereka, juga beberapa langkah inovatif yang disesuaikan dengan konteks negara, yaitu:

  1. Pemerintah Vietnam merespon ancaman krisis listrik di masa depan dengan memastikan keamanan pasokan energi dari energi terbarukan. Energi surya menjadi pilihan Vietnam karena lebih cepat dibangun, melibatkan banyak pihak untuk investasinya sehingga tidak membebani anggaran negara dalam jangka panjang, dan harga teknologi surya yang semakin lama semakin rendah akan berkontribusi pada penurunan harga energi secara keseluruhan.
  2. Selain untuk mengamankan pasokan energi, energi surya juga menjadi strategi pemerintah Vietnam untuk pembangunan hijau, menumbuhkan ekonomi dalam negeri, dan upaya keluar dari jebakan negara berpendapatan rendah (middle-income trap).
  3. Adanya kebijakan yang tepat, konsisten, dan menarik, salah satunya dengan penetapan feed-in-tariff (FiT). Sejak 2017 hingga saat ini, pemerintah Vietnam merancang dan menerapkan FiT dengan desain adaptif yang disesuaikan dengan lokasi serta perkembangan pasar surya dalam negeri. Dengan kepastian regulasi dan dukungan pemerintah, proyek-proyek surya di Vietnam dinilai menarik secara ekonomi dengan IRR pada angka belasan. Pengguna PLTS atap rumahan dan bangunan komersial juga dapat menikmati FiT ini sehingga penggunaan PLTS atap dilihat sebagai investasi yang menguntungkan.
  4. Terbukanya akses pada sumber pembiayaan, di mana pengembang dapat memobilisasi pembiayaan dari berbagai sumber, termasuk pendanaan asing.
  5. Adanya berbagai insentif dan kemudahan, misalnya pembebasan tarif impor barang, termasuk modul surya, dan pembebasan pajak penghasilan untuk pengembang selama 4 tahun pertama dan diskon di tahun-tahun berikutnya. Selain itu, pemerintah juga membebaskan sewa tanah untuk proyek-proyek PLTS tertentu sampai dengan 14 tahun.
  6. Perusahaan listrik negara (EVN) mendukung pemanfaatan energi surya secara masif dan memiliki beberapa skema yang ditujukan untuk target berbeda-beda; misalnya platform EVNSolar untuk pengguna PLTS atap, dan direct/corporate PPA (power purchase agreement), di mana penjualan listrik dimungkinkan antar pihak tanpa terlebih dahulu menjualnya ke EVN.
  7. Dukungan lembaga pembiayaan dan perbankan dalam bentuk skema pembiayaan menarik, misalnya soft loan. 

Simak diskusi daring IESR #GigawattClub episode kedua di tautan berikut:


 

“Resep Surya” yang bisa diadopsi oleh Indonesia

Meski memiliki potensi energi surya yang tinggi, pertumbuhan energi surya di Indonesia terbilang lambat, termasuk karena iklim investasi yang kurang mendukung. “Resep surya” India dan Vietnam yang dapat diadopsi ke dalam konteks Indonesia di antaranya:

  1. Adanya komitmen politik yang kuat dengan target dan perencanaan yang strategis dan jelas. Konsistensi kebijakan dan adanya target serta rencana jangka panjang dianggap sebagai sinyal kepastian untuk pengembang.
  2. Proses dan prosedur administrasi yang lugas, sederhana, dan transparan.
  3. Jaminan ketersediaan jaringan dan penyerapan, sehingga tidak terjadi curtailment. 
  4. Reformasi subsidi listrik dan tarif listrik, dengan mempertimbangkan potensi aset terdampar (stranded assets) dari energi fosil dan keekonomian energi terbarukan termasuk energi surya saat ini. Untuk penyediaan listrik perdesaan, PLTS dapat menjadi alternatif penyediaan akses energi yang least-cost dan untuk menggantikan PLTD berbahan bakar diesel. PLTS atap juga bisa menjadi pengganti subsidi listrik untuk kelompok masyarakat miskin dan rentan miskin.
  5. Perlunya skema inovatif untuk mendorong pemanfaatan energi surya bagi beragam sektor, seperti direct PPA yang memungkinkan sektor komersial atau industri (C&I) untuk menjual atau mendapatkan listrik energi terbarukan secara langsung dari perusahaan lain.  
  6. Untuk PLTS skala besar, pemerintah perlu menyediakan lokasi atau kawasan eksklusif (solar park) atau membantu pengembang untuk mengakuisisi atau menyewa lahan dengan biaya rendah. Solar park ini perlu terintegrasi dengan kegiatan ekonomi atau industri terdekat.
  7. Perlunya strategi sosialisasi dan peningkatan kesadaran atau minat berbagai kalangan. Sebagai sumber energi yang demokratis, peran serta pemerintah di berbagai tingkat, masyarakat, kelompok industri dan komersial akan membantu peningkatan pemanfaatan energi surya dengan sumber-sumber pembiayaan yang beragam. Lembaga keuangan juga dapat berpartisipasi secara aktif untuk menyediakan skema pembiayaan yang menarik. 

Jadi bisakah Indonesia segera menyusul India dan Vietnam masuk ke dalam Gigawatt Club energi surya?

 

Indonesia Merdeka dari Energi Kotor

Dalam rangka merayakan Hari Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ke 75 Tahun, 17 Agustus 1945 – 17 Agustus 2020, Institute for Essential Services Reform mengajak kaum muda Indonesia dan rekan – rekan jurnalis untuk menyumbangkan ide, gagasan, dan kreatifitas mereka dalam bentuk karya: Video Inovasi, Fotografi (Photo story), dan Jurnalisme Kreatif dalam sebuah rangkaian kegiatan Transisi Energi Ideathon 2020.

Mengangkat tema besar Indonesia Merdeka dari Energi Kotor.

Kegiatan ini bertujuan untuk membangun kembali kesadaran serta kepedulian masyarakat akan pentingnya kedaulatan energi di Indonesia, dengan mulai beralih dari energi kotor (fosil) sekaligus mempromosikan potensi energi terbarukan yang melimpah di negeri ini. Semua karya akan dilombakan dalam bentuk karya tulis, audio dan visual yang dapat diikuti oleh seluruh warga negara Indonesia mulai dari usia remaja.

Video Inovasi

Terbuka untuk umum, 17 – 30 tahun. Warga negara Indonesia

Diperkenankan untuk berpartisipasi secara individu atau secara berkelompok dengan jumlah anggota maksimal 5 orang

Menciptakan sebuah karya Video berdurasi minimal 3 menit dan maksimal 10 menit. Karya video dapat berupa Animasi, non-animasi, atau gabungan dari keduanya dengan mengusung gagasan besar bagaimana Indonesia Merdeka dari Energi Kotor.

Wajib mencamtumkan sumber data/informasi dari publikasi atau hasil studi IESR selama tiga tahun terakhir.

Photo Story

Terbuka untuk umum, berusia 17 tahun keatas. Warga negara Indonesia

Setiap peserta diharapkan mengirimkan sedikitnya lima foto, dengan mencantumkan caption (judul foto) dan narasi cerita minimal 250 kata, dengan menangkap momen energi (bersih) atau dikemas dengan narasi yang mendukung transisi energi di Indonesia

 

Jurnalisme Kreatif

Kategori lomba ini dikhusukan bagi para jurnalis/wartawan di Indonesia, dengan mengangkat tema besar tentang energi terbarukan di Indonesia. Karya lomba dapat berupa:

  • Artikel/Opini
  • News feature
  • In-depth report

Para peserta diharapkan dapat memberikan sebuah perspektif baru dalam tulisannya, dan mendukung proses transisi energi di Indonesia. Wajib mencantumkan sumber data/referensi dari hasil laporan atau studi dari IESR dengan hasil wawancara atau pernyataan dari narasumber yang ahli dalam bidangnya (khusus untuk in-depth report)

Rangkaian kegiatan ini akan dibuka hingga batas akhir pengumpulan pada 31 Agustus 2020, dan peserta (video dan foto) di ajak untuk juga berkampanye secara mandiri melalui kanal media sosial mereka untuk mendapatkan kesempatan memenangkan hadiah dalam kategori juara favorit.

Hadiah yang ditawarkan dari Transisi Energi Ideathon 2020 ini adalah kesempatan untuk memenangkan uang tunai senilai total Rp. 54.000.000.

Untuk informasi lebih lanjut dan pendaftaran dapat mengunjungi laman s.id/Indonesia-MerdekadariEnergiKotor

Tempo.co | Green Stimulus, Key in Indonesian Post-COVID-19 Economic Recovery

The coronavirus has undeniably hit hard the global economy. As the spread of the virus has started to show declining trends in many countries, many governments around the world prepare to get their economies back on track. In Indonesia, the government has started to reopen the economy since June, albeit the country’s on-going battles against the virus.

To help the country recover from the pandemic-caused economic downturn, the Indonesian government through Government Regulation No. 23/2020 on the national economic recovery program has allocated Rp 318 trillion (USD 21.28 billion) as economic stimulus packages. Almost half of the stimulus (Rp 152 trillion) will go to state-owned enterprises (SOEs), with Pertamina (state oil and gas company) together with PLN (state power utility) will get 65% of the money. The government will also provide tax incentives for businesses (Rp 63 trillion), fund placements for local banks (Rp 35 trillion), subsidies for biodiesel (Rp 2,78 trillion), a stimulus for the tourism industry (Rp 25 trillion), and loan interest subsidies for MSMEs (Rp 34.15 trillion).

While well-intentioned, the government failed to see the opportunity to use the stimulus to rebuild the Indonesian economy towards a low carbon economy. The Indonesian government, like many other governments, often sees the economic recovery and climate issue as mutually exclusive. On the contrary, history shows us how South Korea successfully kickstarted its economy after the financial crisis in 2008 – 2009 by investing 80% of its USD 38 billion stimulus packages in green projects. In March 2020, in a wave of economic recovery efforts following the COVID-19 crisis, the South Korean government introduced back the similar stimulus packages dubbed as the Korean version of Green New Deal (GND). With this GND, South Korea became the first East Asian country committed to carbon neutrality by 2050.

The decision made by the South Korean government was not without careful calculation. The green projects such as renewable energy, energy efficiency, and clean transport projects are some of shovel ready projects that can speed up the economic recovery as well as get people back to work immediately. In fact, green projects are more labor-intensive than fossil fuel projects. A study in 2017 shows that every USD 1 million invested in energy efficiency and renewable energy creates 7.72 and 7.49 jobs respectively, compared to 2.65 jobs in fossil fuels. As the government desperately needs to revive the economic activities and create jobs, more focus should be put on green projects to help Indonesia ramp up the economy while building our resilience to climate change.

Skeptics might say that low carbon development is too expensive to be pursued at this challenging time. This view was largely true in the case of the 2008/2009 economic crisis. But with the plummeting costs of clean technologies such as solar PV, wind turbines, electric vehicles (EV), and batteries in recent years, the shift from a carbon-intensive economy to a low carbon economy will be within our reach. Contrary to conventional wisdom, the low carbon development can actually bring higher economic growth than the high carbon one as revealed by Bappenas in 2019. In addition, more international financial institutions shy away from fossil fuel projects such as coal projects as they see the risk of these projects becoming stranded assets in the not too distant future. The government, therefore, should at least listen to those financial experts and make sure that the public funds allocated to PLN and other businesses will be invested in “the future” rather than “the past”.

The green stimulus is key to not only bounce back the economy but also fight against the Coronavirus pandemic in a country where millions of people still live without access to electricity and clean cooking fuels. Without electricity, the government will find it more difficult to provide the much-expected COVID-19 vaccine to people in rural areas as the vaccine requires cold storage all the time. The decentralized clean energy resources such as solar and wind energy, therefore, will be more practical than large, dirty fossil fuel power plants for this service. In addition, the use of decentralized renewable energy technologies in rural areas will also give children in those areas their right to quality education which has been largely overlooked by the government’s online learning program during the COVID-19 pandemic.

Meanwhile, clean cooking as well as clean transport programs will surely help improve both indoor and outdoor air quality in Indonesia. The better air quality will lead to fewer people with respiratory diseases, making Indonesian people less vulnerable to novel viruses such as Coronavirus.

The COVID-19 crisis should not then compromise the transition to a more advanced, carbon-neutral economy. Instead, it should reinforce the commitment that the government has made to climate actions as the government’s response to today’s crisis will decide whether we can eventually prevent a more catastrophic climate crisis in the future.

In this unprecedented time, the government is then offered with a unique opportunity to build back better: by investing in green and sustainable projects and driving transformation in the Indonesian industries. As more industries are seeking financial assistance from the government in response to the crisis, the government of Indonesia should stress that any taxpayer money would be given away with conditions. For some, it could mean increased fuel-efficiency standards and for others, it could require business diversification away from fossil fuels and into renewable energy.

As we recover from the Coronavirus crisis that has brought a massive shock to our economy, it is imperative that we build back better. And it is only with government leadership, we can turn this rough time into the opportunity to build a resilient and sustainable economy and prevent our short-sightedness in seeing climate risks from jeopardizing our future.

Pamela Simamora is research coordinator at the Institute for Essential Services Reform, a think tank focuses on energy transition issues in Indonesia. This article is the author’s personal view.

Also published on Tempo.co

Energi Terbarukan Sebagai Strategi Green Economic Recovery Pasca-COVID19



Akselerasi pembangunan energi terbarukan sebagai strategi green economic recovery pasca-COVID19

Pandemi virus corona menciptakan krisis global yang belum pernah terjadi pada generasi abad ini. Ketika tulisan ini dibuat, terdapat 3,308 juta orang yang terkena wabah ini, dengan kematian mencapai 234 ribu lebih di seluruh dunia. Hingga akhir Maret lalu terdapat lebih dari 100 negara yang menerapkan lockdown atau partial lockdown, yang berdampak pada kehidupan milyaran orang.

Aktivitas ekonomi di berbagai tingkatan lokal, nasional, global melambat drastic bahkan terhenti. Disrupsi logistik terjadi di berbagai negara, jaringan rantai pasok terkoyak, aktivitas produksi dan konsumsi mengalami stagnasi, permintaan energi anjlok, dan sebagai akibatnya kesempatan kerja pun semakin pupus dan tingkat pengangguran meningkat, demikian juga kemiskinan meningkat. 

The coronavirus lockdown is saving lives but destroying livelihoods,” kata Tim Harford, dalam artikelnya di Financial Times, 2 April 2020. International Monetary Fund (IMF) memperkirakan ekonomi global akan anjlok minus 3% tahun ini.

Indonesia juga terkena dampak sosial dan ekonomi dari wabah virus corona. Pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini akan jauh lebih rendah dari target yang dicanangkan tahun lalu. Kementerian Keuangan memprediksi ekonomi kita menghadapi ketidakpastian dan kemungkinan hanya tumbuh minus 0,4% – 2,3%. Sejumlah lembaga internasional memprediksi ekonomi Indonesia bisa tumbuh 1%-2,5%, tetapi berbagai prediksi tersebut tergantung pada faktor seberapa buruk dampak pandemi serta efektivitas respon pemerintah mengatasi perlambatan ekonomi dan besaran stimulus yang dialokasikan untuk memacu pemulihan ekonomi.  

Sejauh ini pemerintah merespon pandemi virus corona dengan tiga strategi: pertama, membatasi penyebaran virus corona lewat kebijakan PSBB; kedua, memperkuat fasilitas dan pelayanan kesehatan untuk menghadapi pandemi; ketiga, meredam dampak ekonomi yang diakibatkan karena aktivitas ekonomi yang melambat dengan memperkuat jaring pengaman sosial dan dukungan fiskal terhadap dunia usaha dan UMKM yang terdampak. Ketiga strategi ini terlihat dalam perubahan dan realokasi belanja dalam APBN 2020 yang mengalami penghematan anggaran K/L, realokasi belanja, dan perluasan pemanfaatan dana desa, serta tambahan anggaran untuk belanja penanganan COVID-19 yang diatur dalam Perpu No. 1/2020.

Jika diamati, respon pemerintah sejauh ini baru berorientasi pada penanganan krisis dan dampak krisis saat ini. Sejauh ini belum terlihat adanya strategi untuk melakukan pemulihan ekonomi pasca-COVID-19. Dampak dari Pandemi COVID-19 memberikan tantangan yang lebih besar bagi pemerintah untuk mencapai target pembangunan nasional, antara lain: menciptakan pertumbuhan ekonomi tinggi yang berkualitas, menciptakan pemerataan ekonomi, mengurangi kemiskinan, dan membangun infrastruktur secara merata di seluruh Indonesia.

Kapasitas fiskal untuk pemerintah juga berkurang dengan menurunnya sumber-sumber penerimaan dari pajak dan pendapatan non-pajak. Pulihnya sumber penerimaan negara ditentukan oleh pulihnya ekonomi dunia dan ekonomi Indonesia yang masih tidak menentu. Oleh karena itu pilihan strategi pemulihan menjadi sangat instrumental dalam rangka optimalisasi sumber daya dan dana yang terbatas untuk menghadapi krisis multi-dimensi tersebut, sekaligus berupaya mencapai target-target pembangunan yang telah direncanakan.

Tantangan yang dihadapi tidak saja berkaitan dengan dampak yang dihasilkan oleh pandemi. Dunia, termasuk Indonesia pada saat yang bersamaan menghadapi ancaman perubahan iklim dan menurunnya kualitas dan daya dukung lingkungan. Ancaman-ancaman tersebut, jika tidak diatasi, dapat menjadi penghambat tercapainya pembangunan yang berkeadilan dan berkelanjutan dalam jangka panjang, serta dapat memperbesar risiko dan biaya yang harus dikeluarkan dalam menghadapi krisis serupa dengan pandemi COVID-19, bahkan yang lebih besar, di masa depan. Oleh karena itu otoritas kebijakan perlu mempertimbangkan pemanfaatan sumber daya dan kapasitas fiskal secara optimal untuk menghadapi krisis dan tantangan multidimensi dalam merumuskan strategi pemulihan ekonomi.

Di sisi lain pandemi COVID-19 menciptakan peluang bagi Indonesia masuk ke dalam jalur pertumbuhan ekonomi rendah karbon (low carbon economy) yang dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi tinggi dan berkelanjutan. Pertumbuhan ekonomi 5,6% sampai 2024 dan selanjutnya rata-rata 6% sampai 2045. Jalur ini memberikan pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dari pendekatan business as usual seperti saat ini. Walaupun demikian pertumbuhan tinggi dapat terjadi dengan syarat jika aktivitas pembangunan mengintegrasikan mitigasi perubahan iklim untuk mengurangi emisi gas rumah kaca 41% pada 2030, termasuk di dalamnya adalah pemanfaatan energi terbarukan mencapai 23% bauran energi primer hingga 2030 (Bappenas, 2019).

Untuk itu dalam menyusun paket stimulus pemulihan ekonomi pasca-pandemi, Presiden Joko Widodo harus mengintegrasikan transisi energi menuju sistem energi yang mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, akselerasi pengembangan energi terbarukan, penciptaan lapangan kerja dalam jangka pendek, dan penguatan industri energi terbarukan nasional, serta penurunan emisi gas rumah kaca. Dengan pengintegrasian ini, diharapkan stimulus fiskal yang disiapkan oleh pemerintah dapat menciptakan dampak pada ekonomi dalam waktu singkat dan meletakan fondasi pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang berkelanjutan.

Strategi ini sejalan dengan rekomendasi Managing Director International Monetery Fund (IMF), Kristalina Georgieva yang disampaikan di Petersberg Climate Dialogue, yang menyatakan bahwa kebijakan fiskal yang dikeluarkan pemerintah untuk menghadapi virus corona perlu diharmonisasikan dengan tindakan untuk mengatasi perubahan iklim dan memastikan pemulihan (ekonomi) yang berkelanjutan secara lingkungan. 

Untuk itu IESR mengusulkan kepada pemerintah untuk melakukan green economic recovery pasca-COVID19 melalui Program Surya Nusantara. Ini adalah program untuk memasang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap sebesar 1 GWp yang dilakukan di 500-600 ribu rumah tangga miskin penerima subsidi listrik masing-masing sebesar 1,5 kWp – 2 kWp yang on grid. Program dimulai persiapannya di 2020 dan dilaksanakan di 2021 dan dapat dilanjutkan hingga 2025 untuk mendukung tercapainya target 6,5 GW dari energi surya sebagaimana target Perpres No. 22/2017 tentang RUEN.

Program Surya Nusantara membutuhkan stimulus anggaran sebesar 15 triliun di tahun pertama, dapat semakin berkurang dari tahun ke tahun seiring dengan penurunan harga modul surya. Sumber anggarannya berasal dari APBN dan selanjutnya dapat diperluas ke APBD. Sebagian besar dari dana ini akan dinikmati oleh industri dan pelaku usaha serta pekerja domestik, yang akan berputar di dalam ekonomi Indonesia.

Program ini diperkirakan dapat menyerap 30 ribu pekerja secara langsung dan tidak langsung selama setahun penuh. Untuk eksekusinya, diperlukan tenaga kerja terampil sebagai installater dan untuk melakukan O&M. Penyiapan tenaga kerja terampil dapat dilakukan dengan melakukan pelatihan yang tersertifikasi. Pelatihan ini dapat diintegrasikan dengan Program Prakerja. Pelaksanaan pelatihan dilakukan melalui bekerja sama dengan Balai Latihan Kerja, BUMN dan perusahaan EPC yang akan menampung tenaga kerja untuk melaksanakan program ini.

Program Surya Nusantara dapat memberikan berbagai manfaat bagi ekonomi Indonesia, antara lain: pertama, penyerapan tenaga kerja hingga 30 ribu yang akan mengurangi tekanan pengangguran; kedua, penghematan subsidi listrik Rp. 1,3 triliun per tahun dan akan semakin bertambah jika program ini diperluas dan dilakukan sampai 2025. Dengan penurunan subsidi dari program tahun pertama, secara kasar investasi yang dikeluarkan pemerintah akan kembali dalam waktu 10-12 tahun; ketiga, adanya potensi mitigasi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 1,05 juta ton/tahun yang dapat berkontribusi pada target penurunan 29% emisi GRK dalam nationally determined contribution (NDC); keempat, merangsang tumbuhnya industri photovoltaic nasional dan terbukanya pasar dan investasi untuk industri pendukung PLTS; dan kelima, terbukanya pasar PLTS Atap.  IESR memperkirakan potensi PLTS Atap untuk rumah tangga di Jawa-Bali saja mencapai 12 GW. Pemanfaatan PLTS Atap oleh rumah tangga. bangunan komersial dan industri akan mengurangi tekanan terhadap PLN untuk berinvestasi menambah kapasitas pembangkit.

Program Surya Nusantara, jika dilakukan dapat menjadi contoh nyata green economic recovery in action, yang menunjukan kepemimpinan Indonesia merespon krisis di kawasan Asia Tenggara dan di tingkat dunia. 

 

[*] Penulis adalah Direktur Eksekutif IESR, Email: fabby@iesr.or.id

Energi untuk Memasak Selama #dirumahaja: Tetap Nyaman dengan Energi Bersih Terbarukan 

PT Pertamina baru – baru ini merilis catatan adanya peningkatan konsumsi LPG nonsubsidi rumah tangga di wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten secara signifikan (MOR III) dengan adanya penerapan kebijakan dan imbauan physical distancing oleh pemerintah demi mencegah penyebaran dan penularan #Covid19 lebih luas. Aktivitas di rumah, termasuk memasak, meningkat karena anjuran tersebut. Menurut catatan Pertamina, terjadi peningkatan rata-rata konsumsi hingga 23% untuk produk LPG non subsidi Bright Gas 5,5 kg, dan 12 kg di wilayah Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan. Menyikapi hal ini, pemerintah dalam berbagai kesempatan menyatakan bahwa pasokan LPG dipastikan tetap terjaga untuk mengantisipasi kenaikan permintaan dari masyarakat. 

Selain LPG, adakah sumber energi lain yang bisa kita gunakan untuk keperluan memasak di rumah?

Ada alternatif bahan bakar #cleancooking yang selain bersih, juga bisa memanfaatkan sumber energi terbarukan di sekitar kita, yaitu:

Biogas

Biogas bisa didapatkan dengan memanfaatkan limbah dari kotoran ternak dan sampah/limbah organik yang kemudian difermentasi dan menghasilkan gas untuk menyalakan api pada kompor gas maupun kebutuhan penerangan. 

Mama Seni dari Sumba menggunakan biogas dari kotoran ternak dan bertani dengan slurry (produk sampingan dari biogas), beliau kini telah menjadi petani dan pengusaha perempuan yang sukses di desanya. Di Semarang, Ibu Suwanti menggunakan limbah tahu untuk usaha makanan rumahannya, yang selain menghemat biaya bahan bakar, juga membuat tetangganya senang karena tak lagi mencium bau limbah tahu yang kurang sedap. Dengan menggunakan biogas, kedua perempuan ini mampu menjadi pengusaha yang sukses dan menjadi panutan untuk masyarakat 

Jika ingin mengembangkan biogas mini rumahan yang cocok untuk Anda yang ingin punya biogas tapi tidak memiliki ternak, Yayasan Rumah Energi memberikan contoh penggunaan biogas rumah dalam skala kecil.

Tungku Sehat Hemat Energi (TSHE)

TSHE merupakan teknologi tungku bersih yang menyasar 40% rumah tangga di Indonesia yang masih menggunakan biomassa tradisional untuk memasak (misalnya kayu). Dengan menggunakan kayu cacah, pelet kayu, atau pelet serbuk gergaji; TSHE didesain untuk menghasilkan asap dan partikulat yang lebih sedikit, sehingga polusi dalam ruangan dapat berkurang. Kondisi memasak yang lebih bersih berdampak positif pada perempuan dan anggota keluarga lain, yang selama ini banyak mengalami gangguan kesehatan terkait pernapasan. TSHE juga memanfaatkan bahan organik buangan dari sekitar rumah, misalnya tempurung kelapa, sehingga dapat menghemat biaya energi rumah tangga. 

Sejak 2019, mitra IESR yang tergabung dalam Strategic Partnership Green and Inclusive Energy, yaitu Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, juga telah melakukan program peningkatan kesadaran masyarakat tentang energi bersih di Jawa Tengah, termasuk salah satunya melatih dan memberdayakan rumah tangga lokal untuk memproduksi TSHE.  

Kompor Surya (Solar Cooker)

Solar cooker merupakan inovasi #cleancooking yang dikembangkan terutama untuk masyarakat di perdesaan yang kesulitan mengakses gas atau listrik, juga untuk mengurangi deforestasi atau penggunaan kayu bakar secara berlebihan. Dengan desain kompor yg memusatkan panas dari matahari, pengguna dapat memasak atau menghangatkan makanan di dalamnya. 

Kompor Listrik dan Kompor Induksi

Kedua jenis kompor ini juga merupakan salah satu pilihan #cleancooking, keduanya menggunakan listrik sebagai sumber energi. Yang perlu diperhatikan adalah daya dan kualitas listrik yang kita miliki, juga keamanan jaringan listrik di rumah; karena daya yang diperlukan kompor ini cukup besar (~1000 Watt).

Nah, lebih bagus lagi jika sumber energi listrik rumah kita berasal dari PLTS atap, agar sumber listrik untuk memasaknya juga bersih dan sekaligus hemat! Baca-baca dulu soal PLTS atap di sini ya:

Jaringan Gas Rumah Tangga (Jargas)

Jargas merupakan jaringan pipa yang dibangun dan dioperasikan untuk penyediaan dan pendistribusian gas bumi bagi rumah tangga. Jargas disalurkan ke rumah tangga dari sumber gas terdekat, sehingga meminimalkan distribusi. Selain itu, penggunaan jargas juga dapat mengurangi impor gas untuk LPG. Memang tidak setiap daerah dapat menjadi sasaran jargas. Informasi lebih lanjut bisa merujuk ke akun media sosial PT Pertamina dan PGN, yang mengoperasikan jargas di Indonesia.

Jangan lupa tetap berhemat energi di rumah ya! 

 

Salam hangat,

Institute for Essential Services Reform