Skema Power Wheeling Akan Ciptakan Pasar Energi Terbarukan

Fabby Tumiwa

Jakarta, 28 Februari 2023 – Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menyoroti skema power wheeling yang terdapat dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). Namun, skema tersebut telah dicabut dari Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU EBET. Power wheeling merupakan mekanisme yang membolehkan perusahaan swasta atau Independent Power Producers (IPP) untuk membangun pembangkit listrik dan menjual setrum kepada pelanggan rumah tangga dan industri. Fabby memaparkan, power wheeling dibutuhkan agar selaras dengan upaya Indonesia untuk meningkatkan energi terbarukan. 

“Pemerintah telah menargetkan pencapaian bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) 23% di tahun 2025, baik untuk listrik dan bahan bakar cair. Kemudian, tahun 2021, Presiden Jokowi menetapkan adanya target NZE tahun 2060 atau lebih awal. Target ini yang mendorong terjadinya transisi energi untuk bisa melakukan dekarbonisasi di sektor energi. Konsekuensi dari hal tersebut, energi terbarukan perlu dikembangkan secara besar-besaran,” tegas Fabby Tumiwa dalam webinar “Energi Baru dan Energi Terbarukan untuk Kemakmuran Semua” yang diselenggarakan oleh Center of Economic and Law Studies (CELIOS), pada Selasa (28/2/2023).

Seiring dengan hal tersebut, Fabby menekankan konsep power wheeling bukanlah hal yang baru karena sebelumnya sudah diatur berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 1/2015 dan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 11/2021, namun aturan tersebut masih belum bisa dilaksanakan. Menurut Fabby, power wheeling dapat menciptakan pasar energi terbarukan sekaligus menjaga investasi industri/perusahaan di Indonesia. Salah satunya kelompok industri yang bergabung dalam RE100. 

Power wheeling bisa mendorong energi terbarukan karena memberikan insentif dari sisi supply dan demand. Namun demikian, power wheeling membutuhkan pengaturan lebih lanjut. Ketentuan tarif skema power wheeling di negara lain itu diatur oleh regulator, paling tidak rumusannya. Sementara aspek komersialnya diurus oleh business to business antara pihak yang ingin menggunakan dengan pemilik transmisi. Tidak hanya itu, power wheeling perlu masuk dalam undang-undang karena implikasi penerapan skema tersebut akan melibatkan sejumlah kementerian/lembaga. Untuk itu, tidak cukup hanya sampai peraturan menteri saja,” papar Fabby. 

 

Apakah Rencana Indonesia dalam Melepas PLTU Batubara Cukup Ambisius?

Pada awal tahun 1990-an, fenomena padam listrik menjadi hal yang umum di Indonesia. Pada banyak kesempatan, hal ini terjadi tanpa ada pemberitahuan lebih lanjut dari perusahaan utilitasnya, yakni PLN. Kondisi seperti ini terjadi lebih buruk di luar pulau Jawa dan Sumatra. Lahir dan dibesarkan di Kalimantan, saya mengamati fenomena ini di lingkungan sekitar rumah. Hampir setiap rumah memiliki generator listrik yang dijadikan sebagai cadangan ketika pemadaman listrik terjadi. Akan tetapi, situasi ini berubah ketika pemerintah mulai meningkatkan kapasitas terpasang pembangkit listrik sepanjang akhir tahun 90-an, yang dipelopori oleh pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

Pengembangan pembangkit listrik yang masif ini didukung oleh tersedianya batubara lokal yang melimpah dan harganya yang murah. Akibatnya, biaya pembangkit listrik ini lebih murah dibandingkan pembangkit listrik jenis lainnya. Pengembangan pembangkit listrik ini diperkuat dengan Undang-Undang (UU) Ketenagalistrikan No. 30 Tahun 2009, menggantikan UU sebelumnya Nomor 15 Tahun 1985, yang memberikan izin kepada pihak swasta dalam sektor ini. Di Indonesia, pengembangan PLTU dilaksanakan melalui tiga program yang didukung oleh pemerintah, yakni 35.000 MW dan Program Jalur Cepat Fase 1 & 2. Sampai saat ini, listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik ini berkontribusi sebesar 65% bagi ketersediaan listrik. Tidak mengeherankan jika sepertiga emisi CO2 Indonesia berasal dari sektor tersebut.

Ditambah dengan menurunnya harga pembangkit listrik energi terbarukan, PLTU akan kehilangan daya saingnya secara ekonomis. Ini merupakan situasi yang tidak asing lagi baik dalam konteks global maupun Indonesia. Studi oleh BNEF dan IESR baru-baru ini telah memproyeksikan penurunan harga dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) bahkan jauh di bawah dari harga PLTU di tahun 2023. Di tahun 2040, harga PLTS akan lebih terjangkau daripada biaya jangka pendek PLTU (short marginal running cost). Dalam merealisasikan hal itu, pemerintah telah mengeluarkan sebuah rencana untuk mempensiunkan 9.2 GW PLTU pada tahun 2030. Sebesar 5.5 GW darinya akan dipensiunkan lebih awal, sementara sisanya, dengan perkiraan sebesar 3,7 GW, akan digantikan dengan energi terbarukan. Rencana tersebut memang akan melepaskan PLTU dari bauran energi Indonesia pada tahun 2060. Walaupun inisiatif pemerintah sangat diapresiasi, rencana ini masih jauh dari kata sepadan dengan ketetapan pencapaian 1.5°C dalam Perjanjian Paris. Pertanyaan saat ini adalah bagaimana agar rancangan tersebut dapat sejalan dengan targetnya.

Berdasarkan analisis IESR, dengan mempertahankan rencana pemerintah, mempensiunkan PLTU tetap dapat dibuat sepadan dengan Perjanjian Paris. Mempertimbangkan seluruh dampak sosial dan ekonominya, jalur pensiun yang sepadan dengan 1.5°C akan membuat sekitar 21,7 GW PLTU, yang dimiliki oleh PLN dan IPP, akan dihentikan para tahun 2031-2040. Antara tahun 2041-2045, sekitar 12,5 GW dari PLTU akan dipensiunkan. Analisis ini juga menunjukkan bahwa percepatan dalam mempensiunkan PLTU merupakan hal yang dapat dilaksanakan juga menguntungkan. Dengan perginya PLTU dari campuran pembangkit listrik di Indonesia secara cepat, analisis menemukan bahwa subsidi listrik batubara dan biaya kesehatan yang dapat dihindari bisa mencapai 2-3 kali lebih besar daripada biaya aset terdampar, penonaktifan, dan kerugian pendapatan batubara negara. Ini diperkirakan bahwa biaya pensiun dari percepatan pensiun PLTU berkisar 4.3 juta dolar AS di tahun 2030 dan 28 juta dolar ASdi tahun 2045. Potongan biaya yang tampaknya besar ini tentu akan membutuhkan dukungan internasional yang signifikan, terlepas dari manfaat yang diperoleh dalam jangka panjang akan lebih besar.

Dukungan Sektor Finansial untuk Transisi Energi di Sektor Rumah Tangga

Jakarta, 9 Juni 2022 – Potensi pemanfaatan PLTS atap di sektor rumah tangga merupakan salah satu yang terbesar dalam mendorong transisi energi dan mencapai target bauran energi terbarukan Indonesia. Instrumen kebijakan yang tepat serta dukungan finansial yang menarik menjadi beberapa faktor pendukung dalam mendorong adopsi masif PLTS atap di Indonesia. 

Andriah Feby Misna, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan, menyatakan bahwa Indonesia memiliki beberapa target nasional yaitu pencapaian bauran energi terbarukan 23% pada 2025, penurunan emisi 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan luar negeri pada 2030, serta mencapai status netral karbon pada tahun 2060. 

“Untuk itu kementerian ESDM menyusun berbagai strategi seperti RUPTL hijau di PLN dan mendorong penggunaan PLTS atap di sektor rumah tangga dan memasukkannya dalam program strategis nasional. Sebagai dukungan (pada PLTS atap), kami mengeluarkan Permen ESDM No. 26/2021,” jelasnya.

Feby menambahkan bahwa jumlah pelanggan PLTS atap saat ini sebanyak 4.377 rumah tangga, dan terdapat pertumbuhan signifikan sejak dikeluarkannya peraturan menteri yang mengatur tentang pelanggan PLN yang memasang PLTS atap pada tahun 2018.  

Feby tidak memungkiri bahwa saat ini masih ada kendala dalam implementasi Permen ESDM 26/2021, namun ia mengatakan saat ini pihaknya sedang berusaha mencari win-win solution supaya aturan tersebut dapat segera berlaku.

Selain regulasi yang masih belum optimal, hambatan lain untuk pemanfaatan PLTS atap di sektor rumah tangga adalah investasi awal yang masih relatif besar bagi masyarakat. Meski demikian, masih terdapat potensi pasar yang cukup besar di sektor rumah tangga.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, menjelaskan, berdasarkan survei pasar bertahap yang dilakukan IESR sejak tahun 2019, menunjukkan potensi pasar PLTS atap sektor residensial di sejumlah kota besar Indonesia seperti Jabodetabek, Surabaya, Jawa Tengah dan Bali mencapai 34 – 116 GW.

“Potensi pasar transisi energi di sektor rumah tangga besar. Yang termasuk dalam kategori early followers dan early adopters ini perlu kita tangkap. Sebab mereka sudah cukup familiar dengan produknya (PLTS atap) dan sudah memiliki niat untuk pasang namun terkendala investasi awal yang cukup besar,” Fabby menjelaskan.

Masih dari hasil survei pasar yang sama, para responden berharap ada produk kredit dari bank dengan kisaran tenor 24 – 48 bulan dengan bunga rendah. 

Veronika Susanti, Digital Lending Division Head bank OCBC NISP menjelaskan bahwa sektor energi terbarukan menjadi salah satu perhatian dari pihak perbankan untuk mendapat pendanaan. 

“Saat ini kami memiliki program solar panel financing dengan dua skema. Pertama cicilan kartu kredit 0% dan Kredit Tanpa Agunan selama maksimal 36 bulan,” kata Veronika.

Ia menambahkan bahwa pihaknya bekerjasama dengan penyedia jasa panel surya untuk memudahkan pelanggan dalam mengakses skema pembiayaan PLTS atap ini juga untuk mempelajari teknologi sehingga makin memahami risiko dan peluang dari PLTS atap.

Fendi Gunawan Liem, pendiri dan CEO SEDAYU Solar juga menegaskan bahwa potensi sektor residensial untuk tumbuh dan berkembang sangat besar.

“Sektor residensial inikan sektor yang memiliki aturan pemasangan PLTS paling akhir, namun growth pelanggannya yang paling besar dibanding sektor lainnya,” jelas Fendi. 

Bank sebagai lembaga finansial perlu melihat PLTS atap sebagai aset berisiko rendah, untuk itu perlu mempelajari teknologi PLTS atap sehingga dapat membuat analisa risiko yang akurat. Dengan demikian bank dapat merancang skema kredit yang lebih ramah lagi dengan tenor yang lebih beragam dan suku bunga rendah.

Kompas | Daya Beli Masyarakat Turun, Insentif Tarif Listrik Diusulkan

IESR mengusulkan pemberian insentif bagi pelanggan listrik rumah tangga golongan 450 VA dan 900 VA yang tidak mampu. Insentif tersebut berupa penggratisan tarif listrik untuk pemakaian 50 kWh pertama.

Oleh ARIS PRASETYO
·4 menit baca | Kompas


JAKARTA, KOMPAS — Penurunan tarif listrik maupun subsidi tarif untuk pelanggan rumah tangga miskin diusulkan sebagai insentif di tengah wabah Covid-19. Usulan ini disampaikan menyusul kian melemahnya daya beli masyarakat akibat terhentinya aktivitas ekonomi selama siaga Covid-19.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, wabah Covid-19 di Indonesia menyebabkan penghasilan kelompok masyarakat tertentu merosot. Kelompok itu adalah yang pendapatannya berbasis harian. Di situasi seperti ini, daya beli mereka kian melemah.

”Kami mengusulkan tarif listrik diturunkan, khususnya golongan 900 volt ampere. Bahkan, kalau perlu juga golongan 1.300 volt ampere. Usulan kami besaran penurunan sedikitnya Rp 100 per kilowatt jam selama tiga sampai enam bulan ke depan bergantung pada lamanya wabah,” ujar Tulus, Senin (30/3/2020), di Jakarta.

Penurunan tarif tersebut dapat mengurangi beban ekonomi masyarakat yang rentan terdampak wabah Covid-19.

Menurut Tulus, penurunan tarif itu dapat mengurangi beban ekonomi masyarakat yang rentan terdampak wabah Covid-19. Penurunan tarif di tengah merosotnya harga minyak mentah dunia diyakini tidak akan mengganggu biaya pokok penyediaan listrik.

Harga minyak mentah dunia adalah salah satu faktor penentu tarif listrik di Indonesia, selain harga batubara, kurs rupiah terhadap dollar AS, dan inflasi.

Grafis tarif listrik di Indonesia. Empat faktor penentu tarif listrik adalah harga minyak dunia, kurs rupiah terhadap dollar AS, harga batubara, dan inflasi.

 

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, IESR sudah mengusulkan pemberian insentif bagi pelanggan listrik rumah tangga golongan 450 VA dan 900 VA yang tidak mampu. Insentif tersebut berupa penggratisan tarif listrik untuk pemakaian 50 kWh pertama.

”Mengapa batasannya 50 kWh? Dari berbagai penelitian, konsumsi listrik dalam kewajaran bagi rumah tangga miskin atau tidak mampu sebesar 40 kWh sampai 60 kWh per bulan. Jadi, negara harus menjamin hak energi kelompok tersebut,” kata Fabby.

Menurut Fabby, masyarakat golongan tersebut adalah salah satu golongan yang terdampak wabah Covid-19. Sebagian besar dari mereka bukan pekerja tetap yang mendapat upah rutin setiap bulan. Wabah Covid-19 yang sudah melemahkan aktivitas ekonomi global menyebabkan penghasilan harian mereka terganggu dan berpotensi kesulitan membayar tagihan listrik.

”Kami menghitung, kalau pembebasan tarif untuk pemakaian 50 kWh pertama per rumah tangga, dengan hitungan tarif listrik sekarang, diperlukan penambahan subsidi atau kompensasi kepada PLN sebesar Rp 2,2 triliun hingga Rp 2,3 triliun per bulan,” ucap Fabby.

Kalau pembebasan tarif untuk pemakaian 50 kWh pertama per rumah tangga, dengan hitungan tarif listrik sekarang, diperlukan penambahan subsidi atau kompensasi kepada PLN sebesar Rp 2,2 triliun hingga Rp 2,3 triliun per bulan.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa di sela-sela acara peluncuran Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), Kamis (15/11/2018), di Jakarta. ICEF adalah sebuah forum gagasan untuk mendorong transformasi menuju pemanfaatan energi rendah karbon.

 

Pada 4 Maret 2020, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengumumkan tarif listrik untuk periode April sampai Juni 2020 tidak berubah. Alasan pemerintah, selain untuk menjaga daya beli masyarakat, hampir seluruh harga energi menurun di tengah wabah Covid-19 yang melanda dunia.

Dengan demikian, tarif listrik untuk pelanggan rumah tangga dengan daya 1.300 VA dan 2.200 VA sebesar Rp 1.467 per kWh. Sementara tarif untuk rumah tangga mampu dengan daya 900 VA sebesar Rp 1.352 per kWh.

”Sampai Juni nanti tidak ada penyesuaian tarif. Ini sudah ditetapkan dengan pertimbangan kondisi keekonomian. Adanya wabah Covid-19, suka atau tidak, menyebabkan ekonomi tertekan,” ucap Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana.

Data PLN hingga 2019, jumlah pelanggan listrik PLN mencapai 74,92 juta pelanggan. Dari 38 golongan tarif pelanggan PLN, sebanyak 25 golongan adalah penerima subsidi listrik. Golongan terbesar penerima subsidi listrik adalah rumah tangga 450 VA sebanyak 27,95 juta pelanggan. Berikutnya, rumah tangga 900 VA tak mampu sebanyak 8,04 juta pelanggan.

Dalam delapan tahun terakhir, pemerintah berhasil menekan angka subsidi listrik lewat verifikasi data pelanggan. Selama kurun 2011-2014, angka subsidi listrik berkisar Rp 93 triliun hingga Rp 103 triliun. Sejak 2015 hingga 2018, anggaran subsidi berhasil ditekan menjadi Rp 45 triliun hingga Rp 56 triliun.

IKEA, Google Cs Syaratkan Listrik EBT Sebelum Investasi

Jakarta, CNBC Indonesia- Direktur Eksekutif Institute for Esesential Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat, jika pembangunan dan investasi energi baru dan terbarukan (EBT) tidak berjalan lancar, dapat berdampak pada penanaman modal asing. Pasalnya, pengembangan EBT dapat menjadi daya tarik investasi.

“Perusahaan-perusahaan multinasional banyak yang mau investasi di sini, tetapi dengan syarat listriknya menerapkan EBT,” ujar Fabby kepada media saat dijumpai di Jakarta, Selasa (31/7/2018).Lebih lanjut, Fabby menjelaskan, di seluruh dunia, perusahaan-perusahaan multinasional seperti Unilever, IKEA, Microsoft, dan Google sudah punya target untuk membeli listrik 100% dari EBT. Di Indonesia, ujar Fabby, ada perusahaan produsen sepatu NIKE dan Adidas yang sudah mulai terapkan EBT.

“Bisa tidak kita Indonesia terapkan kebijakan seperti itu? Jika ke depan mau investasi, mau tambah kapasitas, mana negara yang bisa sediakan listrik dengan EBT. Saya contoh Malaysia, Thailand, Vietnam, Myanmar, mereka bisa tarik investasi dari sini, tutup pabrik juga kalau tidak ada EBT,” ungkapnya.

“Pemerintah harus concern tentang hal ini. Ini yang mau beli itu inginnya begitu. Harus ada fleksibilitas di jaringan PLN,” tandas Fabby.

Sebagai informasi, sebelumnya, melalui Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pemerintah telah menetapkan target untuk meningkatkan bauran EBT dari 7% saat ini menjadi 23% di 2025 dan 2030, yang setara dengan 45 GW kapasitas pembangkit energi terbarukan.

Sejauh ini perkembangan EBT masih terbilang lambat, dengan kapasitas terpasang saat ini baru sebesar 9 GW atau 14% dari total kapasitas terpasangan pembangkit listrik, dan baru 20% dari total kapasitas yang menjadi target RUEN.

Adapun, meski diakui sulit tercapai, Pemerintah mengklaim tetap berkomitmen untuk mencapai target bauran energi baru terbarukan (EBT) yang sebesar 23% pada tahun 2025.

“Komitmen 23% itu kita tidak ubah sampai hari ini, yaitu tetap di tahun 2025,” tutur Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan melalui keterangan resminya, Senin (23/7/2018).

Lebih lanjut, Jonan menjelaskan, pihaknya telah melakukan beberapa inisiatif untuk mencapai target bauran EBT tersebut, seperti  mendorong PT PLN (Persero) dan Independent Power Producer (IPP) untuk masuk ke pembangkit energi terbarukan, misalnya pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP).

Inisiatif lainnya, Jonan telah meminta PLN mengganti seluruh Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dengan total kapasitas 3.200 megawatt (MW) menggunakan 100% minyak kelapa sawit.

Upaya lainnya adalah melalui penggunaan Rooftop Solar Photovoltaic (PV) atau rooftop panel surya. Jonan mengusulkan untuk menerapkan penggunaan rooftop panel surya kepada konsumen PLN jenis tertentu, seperti rumah tangga golongan 1 (R1) hingga R4 dan juga golongan bisnis.

Sumber :cnbcindonesia

Pemerintah Harus Desak Freeport Bangun Smelter di Papua

1
Menteri ESDM Sudirman Said bersalaman dengan Chairman Freeport-McMoran James R. Moffet, disaksikkan Presdir PT. Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin, Jakarta, Minggu (25/1/2015). (ANTARA FOTO/Ismar Patrizki)

VIVA.co.id – Pemerintah didesak untuk segera menuntaskan proses renegosiasi Kontrak Karya Pertambangan Mineral dan Batubara. Prosesnya harus secara transparan dan akuntabel.

“Pemerintah juga harus memperhatikan concern Pemerintah Daerah terkait keinginan agar pabrik smelter PT. Freeport dibangun di Papua,” kata Maryati Abdullah, Koordinator Publish What You Pay Indonesia, dalam keterangan persnya, Minggu 15 Februari 2015.

Mengenai kekurangan pasokan listrik, kata dia, Freeport disarankan membangun pembangkit listrik sendiri. Proyek ini bisa bekerjasama dengan pemerintah daerah untuk sekaligus memenuhi kebutuhan listrik wilayah Papua.

Sedangkan terkait kenaikan tarif royalti, sudah tepat Pemerintah menegosiasikan kenaikan tarif, karena tarif yang diberlakukan kepada Freeport selama ini terlalu kecil dan tidak sesuai dengan nilai keekonomian sektor tambang ini yang dimandatkan konstitusi untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

“Namun, Pemerintah hendaknya segera menuangkan hasil-hasil renegosiasi tersebut ke dalam bentuk amandemen kontrak, agar kekuatan hukumnya lebih mengikat,” kata Maryati.

Data PWYP menyebutkan bahwa Freeport selama 3 (tiga) tahun berturut-turut ditengarai tidak membayarkan dividennya kepada Pemerintah.

Fabby Tumiwa, ketua Dewan Pengarah PWYP Indonesia, menyampaikan bahwa berdasarkan peristiwa ini, Pemerintah harus melakukan audit terhadap seluruh laporan keuangan PT Freeport Indonesia untuk memastikan bahwa kontribusi PT Freeport Indonesia atas pengelolaan sumber daya alam kita benar-benar sesuai dengan ketentuan.

“Audit ini bisa dilakukan oleh BPK atau auditor independen yang sekaligus untuk membuktikan “klaim” PT Freepor Indonesia mengalami kerugian sehingga selama tiga tahun berturut-turut (2012, 2013 dan 2014) tidak membayarkan dividennya kepada Pemerintah,” katanya.

Data PWYP Indonesia yang bersumber dari Kementerian ESDM menggambarkan, dari total 34 KK (Kontrak Karya) dan 73 PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) yang harus direnegosiasi, Pemerintah baru menandatangani 1 Amandemen KK, selebihnya ada yang telah sepakat dan baru menandatangani MOU (26 KK, 61 PKP2B) sedangkan sekitar 19 perusahaan lainnya masih menyepakati sebagian dari isi MOU.

“Batas waktu renegosiasi KK dan PKP2B menurut Undang-Undang telah lewat, jika Pemerintah tidak segera menyelesaikan pekerjaan tersebut, maka negara berpotensi mengalami kerugian akibat tarif royalti yang masih rendah,” kata Aryanto Nugroho, Koordinator Advokasi PWYP Indonesia.

Kerugian lain, kata Aryanto, adalah  peningkatan nilai tambah ekonomi yang tertunda, serta manfaat-manfaat lain yang sejatinya dapat dioptimalkan oleh Pemerintah seperti divestasi dan pemenuhan penggunaan barang dan jasa dalam negeri. (ren)

Sumber: viva.co.id.