Perencanaan Komprehensif Diperlukan untuk Pengembangan Energi Surya Skala Utilitas

Dianugerahi potensi energi surya yang mencapai 20.000 GW, pemanfaatan energi surya dalam skala utilitas atau skala besar masih sangat kecil di Indonesia. Tercatat hingga tahun 2020, jumlah kapasitas terpasang energi surya sebesar 186 MW. Terkhusus untuk PLTS skala utilitas, jumlah lelang yang terjadi selama ini masih bersifat sporadis dan belum terstruktur. Agar akselerasi energi surya semakin masif, diperlukan perencanaan yang lebih terstruktur dan komprehensif untuk memastikan ketersediaan proyek. Reformasi kebijakan ini tentu menuntut adanya komitmen dan kepemimpinan politik yang kuat dari pemerintah saat ini.

Ikut menandatangani dan meratifikasi Persetujuan Paris, Indonesia memiliki target untuk mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025. Sayangnya, hingga saat ini capaian bauran energi baru mencapai sekitar 12%. Dalam jangka waktu pendek ini, Indonesia harus menambah kapasitas energi terbarukannya. Diungkapkan Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal Aneka EBT dan Konservasi Energi, Kementerian ESDM dalam webinar peluncuran laporan “Hitting Record-Low Solar Electricity Prices in Indonesia” bahwa dibutuhkan usaha paling tidak 4 kali lipat untuk mencapai target bauran energi 23%.

“Saat ini kita sedang berusaha mencapai target 23%. Dari sektor kelistrikan kita sedang menyusun RUPTL yang baru yang mengakomodasi porsi EBT yang lebih besar, angkanya sampai 51%,” jelas Dadan.

Cita Dewi, Executive Vice President Divisi Energi Baru dan Terbarukan PT PLN, menyambung bahwa kehadiran dan kontribusi PLTS menjadi salah satu pilihan utama untuk peningkatan EBT ke depan di samping hydro.

“Kami senang sekali melihat perkembangan (teknologi PLTS) saat ini, khususnya untuk sisi intermitensi yang semakin berkurang. Dampaknya semakin bersaing dan tarifnya cenderung turun. Baik negara dan PLN bisa mendapatkan keuntungan,” tuturnya.

Arah komitmen pemerintah yang semakin mantap untuk mengakselerasi energi terbarukan merupakan suatu pertanda baik. Namun, menimbang kondisi Indonesia saat ini yang harus mengejar target kapasitas terpasang energi terbarukan dalam waktu singkat, perlu strategi khusus demi terciptanya ekosistem surya yang dewasa.

Daniel Kurniawan, peneliti spesialis fotovoltaik sekaligus penulis laporan ini memaparkan penyebab PLTS IPP perkembangannya kurang pesat di Indonesia salah satunya karena perencanaan sistem ketenagalistrikan yang kurang ambisius untuk memasukkan PLTS di dalamnya.

“Lelang PLTS selama ini kami lihat masih bersifat sporadis, atau beli putus, dan tidak memiliki skala besar untuk memaksimalkan manfaat keekonomian. Dalam hal ini penetapan target lelang dalam misalnya 5 tahun ke depan penting. Pemerintah dapat membantu dengan membuat studi kelayakan atau pembebasan lahan,” tuturnya.

Aturan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) masih menjadi hambatan untuk akselerasi industri surya di Indonesia karena harga panel produksi dalam negeri lebih mahal, namun efisiensinya lebih rendah. Pengusaha pun agak kesulitan untuk mendapat bantuan modal internasional karena secara kualitas panel buatan dalam negeri ini belum teruji kualitasnya. Untuk menangani isu ini, pemerintah perlu mempertimbangkan pemisahan lelang TKDN dan non-TKDN sesuai kesiapan industri lokal.

Melina Gabriella, Staff Program Transformasi Energi IESR, yang juga ikut menulis laporan ini menambahkan bahwa untuk mencapai harga listrik PLTS yang terjangkau Indonesia dapat belajar dari negara-negara dengan harga lelang PLTS murah seperti Brazil, India, dan Uni Emirat Arab.

“Beberapa pembelajaran yang bisa kita ambil dari negara-negara tersebut antara lain komitmen dan kepemimpinan yang kuat dari pemerintah yang diturunkan dalam produk kebijakan misal standar kualifikasi dan PPA, serta transparansi proses dan kejelasan aturan. Pembentukan satu lembaga khusus untuk mengurusi proses lelang perlu juga dipertimbangkan. Selain itu pemerintah Indonesia juga perlu meninjau kembali peraturan pendukung seperti TKDN dan kebijakan penetapan tarif,” jelas Melina.

Integrasi surya pada program penyediaan listrik nasional menjadi kunci pengembangan energi surya. Maka perencanaan lelang yang terstruktur dan terukur serta komprehensif perlu dilakukan oleh pemerintah. Target nasional untuk energi surya perlu ditetapkan dan dibuat strategi pencapaiannya.

Gigih Udi Atmo, Koordinator Penyiapan Usaha Ketenagalistrikan, Dirjen Ketenagalistrikan, KESDM, mengapresiasi laporan terbaru dari IESR ini, dan menyatakan saat ini pemerintah sedang fokus untuk mengejar target bauran energi terbarukan 23% pada 2025.

“Kita perlu lihat mengapa kita perlu mengakselerasi surya. Paling tidak ada dua target besar yaitu 2025 bauran EBT 23% dan net-zero emission. Maka konteksnya adalah bagaimana surya dapat berkontribusi untuk tercapainya target-target yang ada,”

Salman Baray, Country Director Indonesia ACWA Power, membagikan pengalamannya mengikuti lelang PLTS di berbagai tempat baik Indonesia maupun luar negeri.

“Sudah banyak investor yang melirik Indonesia untuk dijadikan tempat berinvestasi, namun dari sisi regulasi dan dukungan pemerintah perlu ada perbaikan-perbaikan tertentu. Misalnya, membantu dalam proses lelang lahan, insentif pajak, aturan terkait TKDN, serta kemudahan untuk mendapatkan pendanaan lokal,” Salman menutup penjelasannya.

 

Setumpuk Pekerjaan Rumah Pemerintah untuk Mengembangkan Pasar Kendaraan Listrik Indonesia

Jakarta, 5 Agustus 2021, Pasar kendaraan listrik di Indonesia masih belum tergarap dengan baik, meskipun dari segi industri terdapat kemajuan yang baik. Perkembangan industri kendaraan listrik di Indonesia secara khusus diatur dalam Perpres 55/2019 yang memberi landasan hukum untuk pengembangan kendaraan listrik. Disahkannya aturan ini merupakan hal yang baik untuk memberikan kepastian hukum sekaligus menunjukkan komitmen pemerintah dalam mendukung pengembangan kendaraan listrik di Indonesia. Dua tahun sejak disahkannya Perpres 55/2019, terdapat perkembangan positif dari sisi industri yang semakin terintegrasi mulai dari industri baterai dengan dibentuknya Indonesia Battery Corporation (IBC), dan beberapa manufaktur mobil dan baterai yang menyatakan ketertarikannya untuk berinvestasi di Indonesia. 

 

Kementerian Perindustrian menargetkan pada tahun 2030 penetrasi kendaraan listrik akan mencapai 600 ribu kendaraan roda empat dan 2,45 juta kendaraan roda dua. Untuk mencapai target penetrasi ini perlu membangun pasar dengan menumbuhkan minat untuk mengadopsi kendaraan listrik di masyarakat. Minat masyarakat untuk memiliki kendaraan listrik banyak dipengaruhi dengan harga dari kendaraan listrik itu sendiri. Perbedaan harga antara kendaraan listrik dengan mobil Internal Combustion Engine (ICE) saat ini cukup signifikan yang membuat minat masyarakat untuk mengadopsi kendaraan listrik.

 

Untuk menumbuhkan pasar kendaraan listrik, Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang bahwa pemerintah dapat mengambil beberapa langkah berikut seperti menerapkan sejumlah insentif misal dengan diskon pajak dan keleluasaan untuk memakai rute tertentu. 

 

Tidak hanya itu, edukasi tentang teknologi dan keuntungan secara ekonomi dari memiliki kendaraan listrik perlu semakin digalakkan.Teknologi yang relatif baru ini masih belum dikenal masyarakat dengan baik. Di kalangan pemilik maupun peminat kendaraan listrik pun ada semacam range anxiety yakni perasaan kuatir tidak bisa sampai di tujuan dengan daya baterai yang dimiliki mobilnya. Keberadaan fasilitas pengisian daya yang belum merata antar satu tempat dengan tempat lain juga menjadi pertimbangan tersendiri. Memastikan ketersediaan fasilitas pendukung yaitu stasiun pengisian daya juga menjadi hal penting untuk mendukung adopsi kendaraan listrik.

 

Selain mengenalkan teknologi dan memastikan ketersediaan fasilitas pendukung, masyarakat perlu juga diajak membandingkan ongkos kepemilikan kendaraan (total ownership cost) antara kendaraan konvensional dan kendaraan listrik. 

 

“Perbedaan signifikan ada pada biaya perawatan dan biaya bahan bakar per kilometer yang terhitung lebih hemat pada kendaraan listrik. Namun seringkali calon konsumen tidak menghitung sampai sejauh itu sebelum membeli kendaraan. Hal ini baik untuk mengedukasi masyarakat sekaligus promosi kendaraan listrik,” tutur Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

 

Terkait dengan insentif yang akan diberikan pada pemilik kendaraan listrik, Fabby menekankan pemerintah harus memikirkan sungguh-sungguh bentuk insentif yang akan diberikan pada kendaraan listrik, mengingat kendaraan listrik ini sebenarnya tergolong barang mewah. Indonesia dapat merujuk pada beberapa negara seperti Cina dan Norwegia terkait jenis insentif yang diberikan untuk kendaraan listrik.

Perempuan dan Energi: Memastikan Keadilan dan Kesetaraan Gender dalam Bidang Energi

Energi adalah kebutuhan pokok bagi semua orang, termasuk perempuan. Maka patut untuk mempertimbangkan alokasi dan penyediaan energi yang memenuhi kebutuhan masing-masing gender tersebut. Sayangnya, sektor energi kerap dipandang sebagai sektor yang bias gender pada satu gender tertentu (pria) karena banyak pekerjaan di sektor energi yang melibatkan pekerjaan fisik maupun perhitungan teknis. Sebagai upaya mengarusutamakan perspektif gender dalam sektor energi, NZMates mengundang tiga narasumber untuk berbagi pengalamannya menjadi pekerja perempuan di sektor energi.

Beti Rattekanan, Kasubbid Ekonomi dan SDA II Bappeda Maluku, mengamini bahwa masih ada stigma bahwa energi adalah urusan laki-laki, baik di rumah tangga maupun pada badan regulasi. Padahal menurutnya, pada level rumah tangga justru perempuanlah yang banyak beraktivitas di dekat energi, mulai dari memasak hingga peralatan rumah tangga lainnya. 

“Perempuan itu bahkan menjadi pengambil keputusan dalam penggunaan energi yang lebih efisien di rumah tangga,” tutur Beti.

Program Manager Akses Energi Berkelanjutan, IESR, Dr.Marlistya Citraningrum menegaskan pentingnya inklusivitas di bidang energi. Hal ini disebabkan adanya peningkatan kebutuhan pokok manusia dari semula hanya sekedar sandang, pangan, papan menjadi sandang, pangan, papan, energi, dan konektivitas. Terkhusus bagi perempuan, ketersediaan energi yang handal akan memenuhi kebutuhan dasar, kebutuhan produktif dan kebutuhan sosialnya sekaligus.

“Energi itu bisa memberi makna berbeda untuk perempuan. Misalnya dengan adanya listrik, bukan hanya mendapat penerangan, namun dengan penerangan tersebut perempuan dapat melakukan kegiatan yang bernilai ekonomi misal menenun, menangkap ikan, dan seterusnya. Adanya akses energi juga membantu perempuan untuk menghadiri perkumpulan komunitas atau rapat kampung yang umumnya dilakukan pada malam hari,” jelas Marlistya.

Marlistya menambahkan bahwa terdapat kecenderungan perbedaan pilihan kebutuhan yang nyata antara laki-laki dan perempuan terhadap energi.

“Dalam satu kesempatan, kami bertanya pada warga suatu desa tentang sarana apa yang mereka butuhkan jika desanya sudah dialiri listrik, kebanyakan bapak-bapak menginginkan mesin pengolah kopi (karena mayoritas adalah petani kopi), sementara para ibu lebih memilih penerangan yang layak untuk anak-anaknya belajar di malam hari,”

Maryam Karimah, Renewable Energy Technical Specialist NZMates, menyatakan bahwa hadirnya perempuan pada sektor energi yang saat ini masih didominasi oleh laki-laki akan memberi sudut pandang baru dan pertambahan nilai pada keputusan-keputusan yang diambil.

“Setiap proyek energi itu harus memenuhi beberapa aspek kriteria seperti kelayakan secara teknis dan ekonomis, harus bisa diterima secara sosial dan politik, juga yang tidak kalah penting harus aman bagi lingkungan. Kebutuhan multidisiplin ini membutuhkan berbagai perspektif keilmuan dan sosial, maka keberadaan perempuan dalam bidang energi sangat penting,” tutur Maryam.

Resep Mencapai Net-Zero Emission di Kawasan Asia Pasifik

Jakarta, 7 Juli 2021 – Transformasi energi sudah berlangsung di beberapa negara. Teknologi yang tersedia semakin terjangkau dan mudah ditemukan makin mempercepat proses transisi energi. Asia Pasifik menyumbang lebih dari 50% konsumsi energi global. Di sisi lain, sekitar 10% penduduknya masih belum memiliki akses ke layanan listrik dasar. Kebutuhan untuk menyediakan akses energi yang andal dan menjaga komitmen untuk menuju sistem energi net-zero membuat berbagai organisasi internasional merasa penting untuk membahasnya.

Asia Pacific Climate Week secara khusus membahas isu bagaimana percepatan teknologi dan kebijakan untuk mencapai net-zero emission pada tahun 2050 tanpa mengabaikan permintaan dan pertumbuhan energi. Hongpeng Liu, Direktur Komisi Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Asia dan Pasifik, menekankan bahwa peningkatan populasi dan pertumbuhan ekonomi berarti peningkatan permintaan energi juga. Karena sektor energi menyumbang 65% dari emisi GRK, langkah strategis tentu diperlukan untuk memastikan bahwa permintaan energi terpenuhi sementara di sisi lain emisi yang berasal dari sektor energi dijaga.

“Kami baru saja meluncurkan studi berjudul ‘Laporan Tema Transisi Energi menuju pencapaian SDG 7 dan emisi nol bersih pada tahun 2050’. Dari studi ini, kami memiliki sebelas rekomendasi untuk semua pihak termasuk pemerintah, bisnis dan komersial, dan juga konsumen,” tutur Liu

Rekomendasi tersebut termasuk penggunaan energi terbarukan secara masif, dan peningkatan efisiensi energi. Diyakini bahwa kombinasi energi terbarukan dan efisiensi energi akan membawa kita mencapai target Persetujuan Paris. Efisiensi energi dianggap sebagai salah satu cara yang mudah untuk mengurangi emisi dengan mengelola jumlah energi yang kita konsumsi. Sebagian besar produsen peralatan elektronik telah memproduksi peralatan rumah tangga dengan efisiensi tinggi seperti lemari es dan pendingin ruangan (AC). Pertanyaan selanjutnya adalah ‘bagaimana kita bisa meningkatkan efektivitas teknologi yang kita ketahui’

Dari sisi pelanggan, kesadaran akan isu perubahan iklim membuat mereka memahami pentingnya menggunakan energi terbarukan dan melakukan efisiensi energi. Hal ini membuat mereka cenderung memilih peralatan yang berefisiensi tinggi.

“Pasar untuk peralatan rumah tangga berefisiensi tinggi tumbuh sebagai tanggapan atas kesadaran masyarakat pada perubahan iklim. Namun di Indonesia saat ini situasi grid sedang oversupply sehingga pemerintah cenderung mendorong kita untuk mengkonsumsi lebih banyak energi daripada menghemat,” Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform menjelaskan.

Fabby juga menambahkan bahwa kesadaran akan isu perubahan iklim mengarah pada pembangunan gedung hijau di mana beberapa properti baru sekarang diunggulkan karena telah tersertifikasi sebagai bangunan hijau.

Hafiza Yob, Senior Assistant Director Energy Commission Malaysia menjelaskan bahwa transformasi pasar ada dalam agendanya.

“Kesadaran umum terus terbentuk, sekarang persepsi orang tentang peralatan efisiensi tinggi ada di dalamnya. Tapi kita masih perlu mengurangi persepsi bahwa peralatan berefisiensi tinggi pasti mahal. Jadi kita perlu bekerja keras untuk memastikan bahwa peralatan dengan efisien tinggi tersedia dengan harga yang terjangkau,” katanya.

Komitmen pemerintah untuk menuju net-zero emission sangat penting karena menjadi dasar dari rencana pembangunan lebih lanjut. Hal ini ditegaskan oleh Nguyen Cuc, Koordinator Ozon Nasional dan Wakil Kepala Departemen Perubahan Iklim, Kementerian Sumber Daya Alam dan Lingkungan Vietnam. “Kami baru saja mengirimkan NDC terbaru kami yang menyoroti beberapa sektor seperti energi, industri, dan transportasi. Kami melihat kerja sama pemerintah penting untuk meningkatkan teknologi yang kami miliki saat ini,” pungkasnya.

Kementerian ESDM Janjikan kebijakan Suportif untuk Sistem Energi yang Lebih Hijau

Jakarta, 1 Juli 2021, Untuk mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 23% yang kini baru di angka 11,2%, pemerintah Indonesia saat ini sedang mengkaji sejumlah regulasi terkait energi terbarukan, khususnya PLTS. Revisi ini dijanjikan akan menjadi peraturan yang progresif untuk pengembangan tenaga surya di Indonesia.

Mustaba Ari Suryoko, Kasubdit Pengawasan Pengembangan Infrastruktur Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Ditjen Energi Baru Terbarukan, dan Konservasi Energi, Kementerian ESDM, dalam Asian Solar Summit 2021, menjelaskan bahwa untuk mempercepat penyebaran energi terbarukan, pemerintah Indonesia melakukan revisi Peraturan Menteri No 49/2018 tentang PLTS atap, terkait dengan tarif nett-metering.

“Tarif nett-metering akan menjadi 1:1, yang sebelumnya hanya 1:0,65 dan juga  periode restart yang lebih baik dari sebelumnya setiap tiga bulan, dalam Permen mendatang periode restart menjadi enam bulan,” tambah Ari.

Indonesia adalah negara besar dengan sumber energi terbarukan yang melimpah. Studi terbaru Institute for Essential Services Reform (IESR) menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi teknis PLTS sebesar 20.000 GWp. Terlepas dari banyaknya sumber energi terbarukan, surya menjadi sektor yang mudah dikembangkan karena dapat dipasang secara modular, dan tersedia di seluruh negeri.

Selain itu, Mustaba juga menyampaikan perkembangan peraturan presiden tentang energi terbarukan terkait pembelian listrik oleh PLN, dan beberapa skema yang diberikan untuk mendapatkan harga terbaik.

“PLN sebagai Badan Usaha Milik Negara juga sedang membahas RUPTL baru yang akan memberi porsi yang lebih besar untuk energi terbarukan hingga 48% total pembangkit listrik. Meningkat signifikan dari RUPTL sebelumnya yang hanya memberi porsi 30% energi terbarukan,” imbuhnya.

Nicolas van den Abeele, Kepala Pengembangan Bisnis ENGIE, mengapresiasi upaya pemerintah untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan yang berfokus pada tenaga surya. Karena pasar Indonesia sedang berkembang dan potensi besar untuk pasar tenaga surya tersedia secara luas. Inisiatif dari pemerintah dalam mengkaji dan merevisi beberapa kebijakan menjadi kunci untuk mendorong penyebaran tenaga surya di Indonesia.

“Meskipun potensi pasar yang besar di Indonesia untuk mengintegrasikan tenaga surya skala besar, terutama di jaringan Jawa – Bali – Sumatera, peraturan terkait PLTS terkesan tidak konsisten dan kurang jelas terkait dengan perjanjian jual beli listrik, dan harga listrik yang berbeda dari masing-masing perusahaan,” kata Nicolas.

Nicolas juga menyoroti kewajiban untuk memenuhi persyaratan kandungan lokal (Tingkat Komponen Dalam Negeri/TKDN) untuk panel surya sebagai suatu kendala. 

“Kami mengerti dan maklum bahwa pemerintah Indonesia ingin mengembangkan industri lokal, namun persyaratan ini membuat investor asing enggan datang, karena pada tahap ini belum terbukti industri lokal memiliki kapasitas produksi yang cukup, juga kualitasnya belum teruji,” katanya.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menyoroti perubahan sikap pemerintah dan berharap ini menjadi awal yang baik untuk mengubah sistem energi Indonesia menjadi lebih bersih dan berkelanjutan. Dia juga mengemukakan bahwa saat ini pemerintah Indonesia ‘gagal’ menangkap manfaat ekonomi dari tenaga surya, karena biaya pemasangan PV turun hingga 90% dalam sepuluh tahun terakhir.

“Sebelumnya, PLTS  dipandang sebagai teknologi mahal yang tidak dapat bersaing dengan bahan bakar fosil, yang telah berubah sekarang. Solar cukup kompetitif sekarang namun penyebarannya masih sangat lambat di Indonesia. Semoga komitmen pemerintah yang terlihat dari upaya merevisi beberapa regulasi dapat menjadikan Indonesia sebagai  pengembangan PLTS berikutnya,” kata Fabby.

Banyak pihak yang tertarik dengan pengembangan tenaga surya di Indonesia, namun yang menjadi persoalan saat ini adalah jumlah proyek yang siap didanai. Target pemerintah untuk mencapai 23% energi terbarukan pada tahun 2025 dan target yang lebih tinggi dalam RUPTL mendatang harus diterjemahkan ke dalam perencanaan proyek yang lebih matang.

Potensi yang besar dan (kini) didukung oleh komitmen pemerintah untuk mengembangkan energi terbarukan telah menarik bank multilateral dan bilateral untuk ambil bagian dalam pembiayaan proyek-proyek energi terbarukan di Indonesia. Tidak hanya perbankan, lembaga keuangan lainnya juga berkeinginan untuk berinvestasi dalam pembiayaan proyek-proyek energi terbarukan.

Melengkapi diskusi, Irman Boyle, Executive Vice President PT Indonesia Infrastructure Finance, menyampaikan pandangannya tentang potensi dan tantangan pengembangan energi terbarukan di Indonesia,

“Pada dasarnya dari sisi ekuitas dan hutang banyak pihak yang tertarik untuk membiayai proyek energi terbarukan namun hingga saat ini belum ada cukup perencanaan proyek yang siap didanai. Oleh karena itu pemerintah (Kementerian ESDM dan EBTKE) serta PLN, perlu ‘mengerjakan pekerjaan rumah’ untuk merencanakan dan memastikan target-target yang ada terejawantahkan dalam perencanaan proyek yang matang,” kata Irman. 

Potensi Dampak Risiko Iklim dan Finansial pada Sektor Perbankan Indonesia, Apabila Batubara menjadi Aset Terdampar

Isu Krusial untuk dibahas pada KTT G20

 

Berdasarkan Gugus Tugas Pengungkapan Keuangan Terkait Iklim (Task Force on Climate-related Financial Disclosures/TCFD), risiko transisi merupakan salah satu risiko keuangan yang dapat timbul dari proses penyesuaian menuju ekonomi rendah karbon, baik dari sisi kebijakan/legalitas, teknologi, pasar, dan reputasi. Salah satu dampak finansial dari risiko tersebut adalah aset terdampar, di mana aset mengalami devaluasi bahkan menjadi tidak dapat digunakan. Sebagai negara penghasil batu bara, kajian ini dapat menjadi pengingat bagi Indonesia yang berisiko merugi jika tidak mempertimbangkan potensi nilai aset terdampar (stranded assets) di masa mendatang. Oleh karena itu, semua pihak terutama investor dan lembaga keuangan harus memperhatikan risiko ini dan berhati-hati dalam mengambil keputusan investasi. 

Kontribusi batubara dalam bauran energi nasional masih tinggi. Dengan sektor ketenagalistrikan yang masih menjadi konsumen batubara domestik terbesar, pemerintah masih enggan beranjak dari pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU). PLTU kemungkinan akan menjadi aset terdampar karena biaya investasi yang lebih kompetitif dari teknologi pembangkit listrik energi terbarukan. Dengan adanya prioritas harga termurah (merit order) maka utilisasi PLTU dalam sistem tenaga listrik akan berkurang.

Pemerintah juga masih melihat industri hilir batubara sebagai peluang yang menarik untuk meningkatkan nilai tambah batu bara. Padahal, industri ini kemungkinan akan menimbulkan risiko aset terdampar di masa depan, karena kelayakan ekonomi dari proyek-proyek ini masih diragukan dengan perlunya berbagai insentif dari pemerintah. Industri hulu/pertambangan batubara juga berpotensi menjadi aset terdampar dimana cadangan batubara yang ada seharusnya tidak lagi di eksploitasi. 

Aset terdampar dari industri batubara secara langsung akan berdampak negatif pada sektor keuangan yang terlibat dalam pembiayaan proyek-proyek tersebut. Tren global yang menjauh dari proyek pembiayaan batubara diperkirakan akan meningkatkan permintaan sumber pembiayaan dalam negeri, termasuk dari sektor perbankan. Hal ini dapat semakin meningkatkan risiko dan dampak terhadap sistem keuangan domestik. Lebih lanjut, jika risiko ini tidak dikelola dengan baik, dapat berdampak lebih luas pada stabilitas keuangan melalui berbagai mekanisme transmisi.

Menanggapi munculnya risiko terkait iklim (climate-related risk), pemerintah Indonesia telah mengembangkan kebijakan dan peraturan untuk mendorong keuangan berkelanjutan. Namun dalam pelaksanaannya masih difokuskan pada upaya memanfaatkan peluang yang muncul. Sementara itu, upaya mitigasi risiko masih rendah. Indonesia harus mulai menggali pelajaran dari respon yang telah dilakukan di tingkat global untuk meningkatkan pemanfaatan keuangan berkelanjutan menuju mitigasi iklim. 

Kajian ini merekomendasikan berbagai pemangku kepentingan untuk menghindari risiko aset terdampar dari proyek batubara. Pemerintah harus memberikan sinyal yang jelas dalam menerapkan kebijakan iklim agar pelaku ekonomi dapat mengantisipasinya. Bank sentral dan regulator keuangan harus melakukan penelitian komprehensif seperti penilaian risiko keuangan terkait iklim, dan mengungkapkannya dengan mengikuti rekomendasi TCFD. Sementara itu, lembaga keuangan/investor harus mengelola investasi dan portofolio yang terpapar risiko terkait iklim, serta mengungkapkan informasi risiko tersebut kepada publik. Informasi ini penting untuk menghindari kesalahan harga atau nilai aset, yang mengarah pada mis-alokasi modal.

Risiko transisi bukan merupakan masalah satu negara saja, sehingga perlu juga di arusutamaan melalui berbagai cara termasuk melalui forum diskusi internasional. Momentum kepemimpinan Indonesia pada KTT G20 2022 dan Menkeu RI sebagai co-chair Coalition of Finance Ministers for Climate Action 2021-2023 dapat digunakan sebagai media diskusi dan meningkatkan kesadaran negara-negara global terhadap masalah ini.

Aspek Kualitas Akses Energi yang Diterima Masyarakat Harus Mulai Diperhitungkan

Jakarta, 18 Juni 2021, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral meluncurkan Program Patriot Energi sebagai salah satu upaya untuk melistriki desa-desa daerah tertinggal, terluar, terdepan (3T) termasuk daerah transmigrasi. Program Patriot Energi ini mengundang 100 pemuda pemudi untuk menerima pelatihan dan kemudian ditugaskan ke berbagai wilayah di Indonesia selama 5 bulan – 1 tahun.

Tugas para Patriot Energi ini antara lain untuk memetakan potensi energi terbarukan, membantu program de-dieselisasi PLN (persero), dan membantu kemandirian listrik desa, termasuk mendampingi dan melatih masyarakat setempat untuk mengoperasikan dan merawat instalasi energi terbarukan yang akan digunakan untuk melistriki desa tersebut.

Dipaparkan Menteri ESDM Indonesia, Arifin Tasrif, bahwa saat ini Indonesia bersama dengan semua negara di dunia sedang berusaha untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang salah satunya dihasilkan oleh sektor energi. Namun di sisi lain, pemerintah juga terus berusaha memenuhi kewajibannya untuk memberikan akses listrik pada seluruh masyarakat. 

“Maka kita pun berupaya untuk mewujudkan kemandirian energi berbasis energi hijau,” tutur Arifin Tasrif dalam sambutannya.

Upaya pemerintah untuk melistriki semua daerah di desa melalui berbagai upaya patut untuk diapresiasi. Inisiatif ini perlu ditindaklanjuti dengan memikirkan aspek keberlanjutan dan kualitas akses energi yang diterima masyarakat. Definisi ‘rasio elektrifikasi’ yang digunakan pemerintah saat ini masih terbatas pada terhubung atau tidak terhubung. Kualitas dari listrik yang terhubung seperti kestabilan tegangan, frekuensi mati listrik, keterjangkauan biaya belum diperhitungkan. 

Banyak daerah di Indonesia hanya menikmati listrik kualitas rendah misal listrik yang tidak menyala 24 jam, dan hanya mampu untuk penerangan dan peralatan elektronik dengan daya sangat rendah. Listrik yang ada belum dapat digunakan untuk kegiatan ekonomi produktif. Padahal untuk mendorong akses energi yang berkelanjutan dan berkualitas, listrik yang ada mestinya bisa mendorong produktivitas ekonomi masyarakat. 

Pekerjaan rumah pemerintah selanjutnya adalah memastikan setiap warga mendapatkan akses listrik yang tidak hanya tersambung, namun juga berkualitas. Pekerjaan yang menanti pemerintah meliputi perbaikan definisi ‘rasio elektrifikasi’, adanya peta jalan, serta alokasi biaya dan SDM. Memastikan adanya biaya perawatan, sumber daya manusia yang akan mengelola instalasi listrik energi terbarukan di daerah akan membuat program elektrifikasi berkelanjutan. Akses energi berkualitas harus menjadi paradigma pembangunan Indonesia untuk mencapai energi berkeadilan.

 

Justru Sampaikan Pesan Bahwa Batubara itu Intermittent dan Mahal! Bukan Energi Terbarukan

ACEF side event

Evidence-based Communications to Propel the Energy Transition

Komunikasi menjadi salah satu instrumen kuat yang bisa digunakan untuk membangun kesadaran masyarakat terhadap transisi energi dan energi terbarukan. Adapun cara menggunakan alat ini dalam menjangkau berbagai golongan masyarakat, tidak hanya orang yang kesehariannya bergelut di dunia energi, menjadi topik perbincangan yang menarik dalam Side Event Asia Clean Energy Forum 2021 berjudul Evidence-based Communications to Propel the Energy Transition yang diselenggarakan oleh Anggota konsorsium Clean, Affordable and Secure Energy for Southeast Asia” (CASE) bekerja sama Asian Development Bank.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) menjelaskan bahwa komunikasi memainkan andil yang penting dalam mencapai tujuan CASE. Adapun tujuan CASE diantaranya membangun dialog yang konstruktif dengan para pemangku kepentingan yang berasal dari sektor non energy  dan menciptakan lebih banyak diskusi publik yang mendukung percepatan transisi energi.

Christiane Rossbach, Business Director, Multilateral, Sustainability, Agri Food and Health di Edelman dan Co – lead for CASE Communication Team, dalam presentasinya menekankan bahwa hal yang paling penting dalam mengomunikasikan transisi energi adalah dengan mendefinisikannya, sebagai misi krusial yang patut diketahui oleh masyarakat yang dituju.

“Apa peran komunikasi untuk mendorong transisi energi ke depan dengan membuat pemangku kepentingan menyadari transisi energi memberikan manfaat bagi mereka. Mereka ini adalah para pengambil keputusan, pemangku kepentingan non-energi, keuangan, entitas bisnis, para konsumen yang mampu memberikan pengaruh dengan banyak terlibat dalam pertemuan publik atau senang menyatakan pendapatnya, meskipun mereka bukan pengambil keputusan tapi mereka nyatanya lebih berpengaruh dalam menentukan arah bisnis, ”ujar Christiane.

Lebih lanjut, dia menjelaskan, selama pandemi, konsumsi konten daring berlipat ganda, oleh karena itu, perlu lebih teliti memilih bukti atau argumen mana yang paling cocok untuk audiens tertentu. Pendekatan yang ia sarankan dalam menyampaikan pesan pentingnya transisi energi agar terjadi peningkatan kesadaran, mendorong keterlibatan, dan menciptakan diskusi adalah dengan cerita bertutur.

“Di luar fakta dan angka, cerita bertutur merupakan cara yang kuat dalam menyampaikan suatu pesan. Otak manusia terprogram untuk memproses dan menyimpan informasi dalam bentuk cerita. Cerita akan merangsang indera kita secara emosional dan intelektual; bahkan dapat memberikan ‘wajah’ pada suatu isu sehingga dapat membantu pendengarnya terhubung secara empati, ”tambahnya.

Menyoal tentang narasi transisi energi, Renato Redentor Constantino Executive Director of Institute for Climate and Sustainable Cities (ICSC) dari Filipina berbagi pandangannya. Menurutnya narasi yang perlu disampaikan baik oleh organisasi non pemerintah maupun pemerintah adalah bahwa transisi energi sedang berlangsung.

“Tujuan pendaratan kita yaitu energi bersih yang akan dominan. Pertanyaannya sekarang, seberapa cepat kita sampai di sana? Bisakah kita tiba lebih cepat sehingga dapat memberikan manfaat energi modern dan bersih, terjangkau, dan handal ke meja ke ruang rumah suatu keluarga. Organisasi non pemerintah tidak perlu merasa sebagai satu-satunya pihak yang memiliki niat baik dalam menyuarakan energi bersih, sehingga seakan memonopoli narasi ini. Kita perlu menyadari bahwa pemerintah juga mempunyai mimpi tentang energi aman yang bersih, terjangkau, dan andal sebagai tujuan utama mereka, ”imbuh Constantino.

Berbeda dengan Filipina yang mengalami kemajuan dalam mengomunikasikan narasi, Gandabhaskara Saputra, Outreach and Engagement Adviser CASE Indonesia, mengungkapkan bahwa sebagian besar ranah pemberitaan di Indonesia masih didominasi oleh batubara.

“Merupakan hal yang menantang untuk membawa percakapan transisi energi melalui berbagai diskusi partisipatif dan advokasi publik selama 5-10 tahun terakhir. Menjadi hal yang sulit diterima oleh masyarakat karena transisi energi tidak mereka alami secara langsung dalam kehidupan sehari-hari serta selama mereka masih memiliki akses ke energi, ” urainya.

Di sisi lain, Markus Steigenberger, Deputy Executive Director of Agora Energiewende memandang perlu pula merancang penelitian yang sejalan dengan agenda politik.

“Masalah yang sering kita hadapi adalah, setelah penelitian selesai akan tetapi agenda politik sudah bergerak maju. Tentu saja sudah terlambat. Maka apapun yang Anda katakan menarik bagi pembuat kebijakan ini tetap tidak relevan bagi mereka,”jelasnya.

Menurutnya ada 2 hal yang perlu dilakukan yakni antisipasi strategis dengan memprediksi situasi politik dua atau beberapa tahun mendatang dan mengaitkan pada penelitian atau bukti yang relevan.

“Kami sudah harus mulai memikirkan tentang komunikasinya, sebelum kami benar-benar memulai penelitian yang sesungguhnya,”

Selanjutnya, menentukan metodologi yang terintegrasi dan inklusif dengan melibatkan stakeholder sedini mungkin dalam riset.

“Kami melibatkan pemangku kepentingan terkait untuk duduk bersama. Kami berbagi dan membuat transparansi data dan asumsi. Kami mengundang mereka untuk berbagi pandangan dan pendapat mereka. Hal ini sangat membantu dalam menciptakan rasa memiliki,” jelasnya.

Menurutnya, melalui cara ini, tanpa peluncuran kajian secara formal pun telah membantu mengkomunikasikan hasil riset kepada kalangan stakeholder yang terlibat dan relevan tersebut.

Rana Adib, Executive Secretary of REN21, menuturkan bahwa untuk menggerakkan suatu narasi perlu pula untuk melihat dari dua sisi, yakni dari energi terbarukan dan juga dari energi fosilnya. Mengutip laporan terbaru yang REN 21 rilis, selama satu dekade terakhir terjadi peningkatan konsumsi energi final di energi terbarukan yang semula hanya 9 persen menjadi 11 persen. Ironisnya, konsumsi final energi fosil justru tidak mencatat perubahan yang signifikan, hanya bergerak dari semula 80.3 persen menjadi 80.2 persen. Fakta ini menunjukkan bahwa perlu ada dorongan yang kuat kepada pemerintah dan pelaku bisnis untuk menargetkan pemanfaatan energi terbarukan di segala sektor dengan segera.

“Kita masih sangat jauh dari jalur. Energi terbarukan telah menunjukkan terutama di sektor listrik sebagai energi yang dapat diandalkan, mempunyai teknologi yang matang, dan biaya terendah. Namun, saat ini belum cukup hanya dengan mengatakan dukungan terhadap energi terbarukan, juga perlu memberikan pesan yang jelas tentang pelarangan bahan bakar fosil,”tegasnya pula.

Senada, Renato memandang, mengkomunikasikan narasi yang didukung dengan bukti konkret perlu bagi pengembangan energi terbarukan dan  penghentian penggunaan energi fosil.

“Kenyataan yang perlu kita komunikasikan dengan lebih baik adalah bahwa batubara sebenarnya bersifat intermiten, umumnya tidak dapat diandalkan, mahal dan tidak aman,” tutupnya.

Menghadiri Musrembang Kabupaten Paser, IESR Beri Paparan Bertransisi Menuju Pembangunan Ekonomi Hijau

Jakarta, 1 April 2021, Institute for Essential Services Reform (IESR) secara daring memberikan pemaparan tentang Transisi Menuju Pembangunan Ekonomi Hijau Kabupaten Paser, Kalimantan Timur dalam Musrenbang dan Konsultasi Publik RPJMD 2021-2026 Kabupaten Paser (1/4). Kesempatan ini merupakan tindak lanjut dari pertemuan IESR dengan Bappeda Kalimantan Timur dan Kabupaten Paser di tahun 2020.

Di hadapan Bupati Paser dan jajarannya, IESR mendorong pemerintah Paser untuk tidak lagi mengandalkan batubara baik di sektor energi maupun ekonomi, melainkan mulai melakukan diversifikasi ekonomi untuk peningkatan ekonomi Paser seperti pengembangan industri diantaranya industri pertanian (padi, jagung, bawang merah), industri pariwisata, dan industri energi terbarukan.

Transisi Energi Terjadi, Kontribusi Ekonomi dari Sektor Batubara Diprediksi Akan Turun

Selama ini, Paser menggantungkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada batubara. Hal ini menjadikan Paser rentan terhadap kontraksi ekonomi terutama karena kondisi permintaan batubara ekspor yang cenderung menurun, akibat adanya fenomena transisi energi yang diadopsi oleh negara tujuan ekspor batubara dari Kabupaten Paser. Terutama karena 80 persen produksi batubara Paser diperuntukkan untuk ekspor sehingga pertumbuhan ekonomi Paser sangat dipengaruhi oleh Harga Batubara Acuan (HBA).

“Negara tujuan ekspor batubara seperti  Cina, India, Korea, dan Jepang  sangat ambisius dalam melakukan transisi energi. Selain itu, banyak negara untuk mengatasi ancaman krisis iklim berpindah dari energi fosil ke energi terbarukan. Diperkirakan di tahun 2050 nanti permintaan batubara dunia akan turun 40-90 persen. Tentu penurunan permintaan ini akan terjadi secara bertahap dalam waktu dekat. Hal ini perlu diwaspadai oleh daerah yang selama ini menjadi penghasil batubara terbesar, seperti Kalimantan Timur,” ungkap Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Fakta ini diakui pula oleh HM Aswin, Kepala Bappeda Kaltim, “Meski struktur PDRB Kaltim masih didominasi oleh sektor pertambangan dan penggalian, harga batubara yang kian menurun dan rendahnya permintaan batubara dari negara tujuan ekspor tetap membuat pertumbuhan ekonomi dari sektor batubara minus 4, 58 di Kalimantan Timur.”

Kontribusi sektor batubara pada PDRB Paser sangat besar, lebih dari 70 persen, namun PDRB per kapita kabupaten Paser relatif stagnan dalam satu dekade terakhir. Hal ini mengindikasikan bahwa daya ungkit dari industri pertambangan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi sudah sangat terbatas. Untuk itu pengembangan sektor ekonomi baru perlu dilakukan.

“Produksi batubara relatif stagnan, namun kegiatan produksi ini 95 persennya dilakukan oleh satu perusahaan saja. Sehingga di tahun 2016 terjadi penurunan produksi sektor pertambangan, khususnya batubara, menyebabkan pertumbuhan ekonomi Kabupaten Paser negatif tahun 2016 (Diskominfo Paser, 2019),” imbuh Fabby.

Hal senada disampaikan oleh Ketua DPRD Kabupaten Paser, Hendra Wahyudi, dalam kesempatan yang sama saat menyampaikan pokok-pokok pikiran DPRD dalam rangka penyusunan RKPD Kabupaten Paser  tahun 2022 dan Konsultasi Publik RPJMD 2021-2026. Ia  menegaskan bahwa kontraksi ekonomi semasa COVID-19 sangat terasa di Paser dengan pertumbuhan ekonomi minus 2,77 di tahun 2020.

“Kami menyarankan untuk mengambil langkah strategis dengan memaksimalkan sektor ekonomi non tambang seperti industri pertanian, pengolahan dan perdagangan sehingga tidak terlalu bergantung pada industri pertambangan dan penggalian,”ungkapnya.

Industri Pertanian Paser Termasuk Dalam Fokus Pembangunan Hijau

Analisis IESR menunjukkan  bahwa sektor pertanian, perikanan dan perburuan menjadi penyerap tenaga kerja lebih banyak dibandingkan pertambangan yang hanya menduduki peringkat keempat. Selain itu, sektor pertanian ini juga tidak terlalu  mengalami fluktuasi ekonomi yang signifikan bila dibandingkan dengan  sektor pertambangan.

Arahan Bappeda Kalimantan Timur yang memposisikan Paser sebagai sentra pertanian dan pangan Ibukota Negara Baru (IKN) terutama komoditas padi, bawang merah, dan cabai membuat Paser perlu  meningkatkan infrastruktur yang menunjang industri pertanian dan melakukan perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B).

Peningkatan produktivitas lahan padi dapat pula meningkatkan penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian. Hitungan peningkatan produktivitas lahan menjadi 7 ton/ha dan asumsi jumlah lahan tetap, maka Kabupaten Paser dapat menyerap sekitar 9.479 pekerja. Angka ini setara dengan jumlah pekerja di sektor pertambangan sehingga dapat  menyerap tenaga kerja terdampak akibat penurunan aktivitas pertambangan.

Tidak hanya itu, melalui hasil perhitungan IESR, Paser juga memiliki potensi energi terbarukan yang  sangat besar, dengan berturut produksi teknis PLTS sebesar hampir 81 ribu GWh/tahun, energi air  721 GWh/tahun, dan pumped hydro storage (PHS), 3,5 ribu GWh/tahun.  Pengembangan sektor listrik berbasis energi terbarukan akan mampu untuk  menyuplai listrik IKN dan daerah lain di sekitar Paser.

IESR juga mengungkapkan bahwa memaksimalkan potensi sektor pariwisata di Paser akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Pemerintah Paser dapat menaikkan anggaran sektor pariwisata untuk menarik lebih banyak jumlah wisatawan. Selain itu  perhatian terhadap akses infrastruktur dan akses jalan menjadi penting untuk mendorong berkembangnya sektor pariwisata.

“Kabupaten Paser mempunyai dana CSR sebesar 58 miliar di tahun 2020. Dana ini dapat dimanfaatkan untuk untuk pengembangan UMKM dan SDM lebih maksimal lagi,” ulas Fabby.

Paparan Direktur Eksekutif IESR

Menurutnya, proses transformasi ekonomi membutuhkan perencanaan yang matang. Pemerintah Paser harus mempersiapkan kajian atau studi yang lebih komprehensif terhadap dampak transisi energi pada industri batubara, ekonomi lokal, lingkungan dan kesehatan sehingga Paser mampu membuat peta jalan transformasi ekonomi Paser. Hal lain yang Paser perlu persiapkan dan lakukan pendalaman adalah diversifikasi ekonomi, mekanisme pendanaan dan kebijakan pendukungnya. 

Bupati Paser dalam sambutannya menyampaikan pula bahwa pihaknya akan memprioritaskan perhatiannya di bidang pertanian.

“Saya berharap dinas pertanian bisa menyusun rencana kerja untuk meningkatkan program pertanian yang ada di Paser. Kita punya lahan luas yang terdapat di 139 desa. Mengaktifkan lahan ini dengan teknologi pertanian yang modern akan membuka peluang kerja bagi pemuda. Pertanian akan menjadi andalan selama kami menjabat,” janji Bupati Paser, Fahmi Fadli.