”Jangan Halangi Gotong Royong Masyarakat untuk Energi Bersih”

Jakarta, 21 Maret 2023 – Sebagai salah satu negara yang ikut menandatangani dan meratifikasi Persetujuan Paris pada tahun 2015, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisinya. Pada tahun 2022, menjelang KTT G20, Indonesia memperbarui komitmen penurunan emisinya dalam Enhanced NDC yang menargetkan penurunan emisi Indonesia dengan usaha sendiri  sebesar 31,89% pada 2030 dan target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2030. 

Energi surya dalam berbagai kesempatan disebut akan menjadi tulang punggung sistem kelistrikan Indonesia dalam pencapaian target bauran energ terbarukan dan penurunan emisi. Mengingat potensi teknisnya yang melimpah, kecepatan pemasangan, dan fleksibilitas ukuran yang dapat dengan mudah disesuaikan menjadikan surya sebagai pilihan yang pas untuk kondisi Indonesia saat ini yang harus meningkatkan bauran energi terbarukan dalam waktu sempit. 

Sayangnya, dalam perkembangan satu tahun terakhir, dukungan terhadap PLTS atap kurang baik dari sisi offtaker listrik (PT PLN). Sejak 2022, PT PLN melakukan pembatasan kapasitas memasang PLTS atap yaitu hanya sebesar 10%-15% dari kapasitas terpasang. Pembatasan ini berimbas pada nilai keekonomian dari PLTS atap yang menjadi kurang menarik, baik untuk konsumen maupun pengusaha PLTS atap. 

Dalam konferensi pers yang digelar Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Perkumpulan Pemasang PLTS Atap Seluruh Indonesia (PERPLATSI), Asosiasi PLTS Atap (APSA), Perkumpulan Pengguna Listrik Surya Atap (PPLSA) dan Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia (APAMSI), Fabby Tumiwa, Ketua Umum AESI menyatakan bahwa berbagai tantangan masih menghambat upaya akselerasi energi surya di Indonesia.

“PLTS skala besar di Indonesia sulit berkembang karena tidak adanya perencanaan jangka panjang di sistem ketenagalistrikan sebelum RUPTL 2021 – 2030, proses lelang yang kurang konsisten dan kurang kompetitif, skala keekonomian yang sulit tercapai karena lelang tersebar dan dalam skala kurang dari 20 MW, hingga aturan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang tidak didukung kesiapan industri dalam negeri,” tutur Fabby.

Kementerian ESDM mulai Januari 2023 melakukan revisi Peraturan Menteri ESDM 26/2021 tentang pelanggan PLN yang memasang PLTS atap. Revisi Permen ESDM 26/2021 ini menuai pro kontra salah satunya disampaikan Muhammad Firmansyah, Bendahara Umum PERPLATSI yang menyatakan bahwa poin revisi seperti peniadaan ekspor-impor listrik dari pengguna PLTS akan mengurangi minat calon pelanggan untuk beralih pada energi terbarukan. Perencanaan sistem kuota per sistem jaringan listrik juga dianggap dapat menghambat pengembangan PLTS atap. 

“Dengan diberlakukannya kuota untuk PLTS atap, hal ini seperti menunggu kematian datang. Sebab jika kuota di satu sistem sudah penuh maka pelanggan tidak bisa lagi memasang PLTS atap yang tersambung dengan jaringan tersebut,” jelas Firmansyah.

Yohanes Sumaryo, Ketua Umum PPLSA menyoroti perubahan perilaku pengguna PLTS atap. “Beberapa dari kami mulai mengubah sistem PLTS atap di rumah untuk tidak terkoneksi dengan jaringan PLN (off-grid), terutama untuk menghindari kendala perizinan dan persyaratan lain yang memberatkan. Umumnya calon pengguna juga bingung dengan aturan baru terkait pembatasan dan syarat baru seperti profil beban.” 

Menurut Yohanes, sudah banyak pengguna di kota dengan tarif daya cukup tinggi yang mulai berinvestasi baterai sehingga bisa menggunakan PLTS atap secara maksimal. Meski demikian, Permen ESDM No. 26/2021 perlu terus diperjuangkan untuk menaungi pengguna PLTS atap sebagaimana mestinya.

Tidak dilaksanakannya Permen ESDM No. 26/2021 berimbas pada berbagai sektor pendukung PLTS seperti industri panel surya yang menjadi sulit berkembang. Dikatakan Linus Sijabat, Ketua Umum APAMSI dalam kesempatan yang sama, aturan terkait TKDN masih menjadi tantangan untuk pengembangan industri panel surya dalam negeri. 

“Persoalan TKDN pada industri panel dalam negeri ini membutuhkan regulasi yang konsisten dan implementasi yang serius disertai dengan dukungan pendanaan dari pemerintah, perbankan, maupun lembaga finansial untuk meningkatkan kualitas panel surya dalam negeri dan menjadikan kualitasnya bersaing dengan panel surya impor,” katanya.

Sejak tahun 2013, APAMSI telah mengupayakan investasi dalam jumlah besar untuk memajukan industri modul surya dalam negeri namun belum berhasil karena captive market dan permintaan (demand) dari energi surya di Indonesia belum terlihat jelas.

Imbas pembatasan pemasangan PLTS atap juga dirasakan oleh masyarakat Bali. Beberapa kasus menyatakan bahwa masyarakat telah memasang sistem PLTS sesuai aturan Permen 26/2021 namun tidak dapat digunakan sepenuhnya.

“Di Bali sendiri sangat banyak kendala, contohnya instalasi PLTS yang sudah terpasang namun tidak disetujui sepenuhnya oleh PLN  sehingga sistem PLTS atap yang sudah terpasang menjadi tidak bisa digunakan sepenuhnya, padahal masyarakat memasang sesuai Permen ESDM 26/2021, yaitu 100% daya terpasang bangunan,” jelas Erlangga Bayu mewakili APSA Bali.

Banyak juga masyarakat yang bahkan sudah membayar DP (down payment) untuk pasang PLTS atap namun akhirnya membatalkan karena pembatasan kapasitas tersebut. Padahal masyarakat memasang PLTS atap dengan biaya dan kesadaran sendiri dengan motivasi untuk penghematan biaya listrik dan pelestarian lingkungan. Pembatasan kapasitas PLTS atap seakan mencekal  kontribusi nyata gotong royong masyarakat untuk pencapaian target energi terbarukan dan penurunan emisi gas rumah kaca.

Kenali Aturan Penggunaan PLTS Atap Demi Kebutuhan Energi Terbarukan

Marlistya Citraningrum

Jakarta, 21 Maret 2023 – Saat ini penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap terus didorong karena diyakini bisa memenuhi kebutuhan energi masa depan. Sebagai andalan mengejar bauran 23%  energi terbarukan di tahun 2025, PLTS atap ditargetkan bisa terpasang mencapai 3,6 Giga Watt (GW). Untuk mendukung itu, pemerintah terus gencar mempromosikan pemasangan PLTS atap baik di kalangan rumah tangga maupun industri. Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan, Institute for Essential Services Reform (IESR) memaparkan, perjalanan panjang energi surya di Indonesia. Diawali dengan pengembangan dan penelitian mengenai energi surya i sebelum tahun 1980-an. Hingga kemudian, penggunaan PLTS atap berkembang hingga sekarang.  

“Sebelum tahun 2018-an, terdapat peraturan direksi PT PLN tentang pemanfaatan energi listrik dari fotovoltaik oleh pelanggan PLN. Aturan itu berisikan mengenai instalasi PLTS atap diperbolehkan beroperasi paralel dengan jaringan PLN, ekspor kelebihan listrik diperbolehkan dengan skema net-metering, tarif 1:1,” jelas Marlistya dalam acara Zona EBT pada Selasa (21/3/2023).

Lebih lanjut, Marlistya menuturkan, setelahnya terdapat Peraturan Menteri ESDM No 49 Tahun 2018 tentang penggunaan sistem PLTS atap oleh konsumen PT PLN. Permen ESDM  tersebut mengatur mengenai diperbolehkannya instalasi PLTS atap tersambung jaringan , kapasitas PLTS atap maksimum 100 dari daya terpasang, diukur dari kapasitas inverter, ekspor kelebihan listrik diperbolehkan dengan skema net-metering, tarif 1:0,65. Selain itu, ada perhitungan offset di akhir bulan dan deposit kelebihan diperbolehkan hingga periode tiga bulan, prosedur teknis dan perizinan dijelaskan serta diberlakukan biaya paralel untuk pelanggan industri. 

“Pada dasarnya, peraturan Menteri ESDM tersebut bisa disebut sebagai peraturan PLTS atap “original”. Namun demikian, terdapat perubahan di tahun 2019, di mana instalasi PLTS atap memerlukan izin operasi dan merujuk pada Permen ESDM No 12/2019, instalasi <500 kVA tidak memerlukan izin operasi. Kemudian, biaya paralel industri untuk pelanggan industri diturunkan menjadi 5 jam/bulan dari 40 jam/bulan serta biaya darurat dihapuskan,” terang Marlistya. 

Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan, Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam acara Zona EBT pada Selasa (21/3/2023)

Dengan berbagai peraturan tersebut, kata Marlistya, terdapat pertumbuhan PLTS atap yang signifikan di rentang 2018-2020. Selain itu,  berbagai pabrik mulai memasang PLTS atap. Dengan pertumbuhan tersebut, kemudian muncul regulasi terbaru yakni Permen ESDM No 26 Tahun 2021. Aturan tersebut mengatur tentang PLTS atap tersambung jaringan diperbolehkan di semua wilayah pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum (IUPLTU), kapasitas PLTS atap maksimum 100 dari daya terpasang dengan diukur dari kapasitas inverter, ekspor kelebihan listrik diperbolehkan dengan skema net-metering, tarif 1:1, perhitungan offset dilakukan di akhir bulan dan deposit kelebihan diperbolehkan hingga periode enam bulan. 

“Sayangnya, peraturan tersebut baru diumumkan pada tahun 2022. Ketika Permen ESDM No 26 Tahun 2021 terbit, justru terdapat pembatasan kapasitas pemasangan 10-15% atau lebih rendah di seluruh wilayah Indonesia, serta tarif ekspor listrik tetap 0,65 sesuai Permen ESDM lama. Pembatasan ini bisa ditemui ketika konsumen mengajukan izin pemasangan PLTS atap di rumahnya, lalu terdapat surat balasan dari PLN yang berisikan pembatasan tersebut,” ujar Marlistya. 

Pembatasan kapasitas itu, kata Marlistya, terjadi secara universal di Indonesia hingga muncul pengaduan konsumen terkait hal tersebut melalui lembaga asosiasi. Dengan adanya kondisi tersebut, menjadikan 2022 sebagai tahun  pertama yang pengembangan PLTS atapnya justru mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Mengutip data Kementerian ESDM 2023, ujar Marlistya, pertumbuhan pelanggan PLTS atap di 2018 mencapai 609, 1.064 di 2019, 1.334 di 2020, 1.787 di 2021, dan 1.667 di 2022. 

Berpacu dalam Waktu, Mendorong Percepatan Dekarbonisasi Sistem Energi Indonesia

Deon Arinaldo

Jakarta, 14 Maret 2023 – Pemerintah Indonesia perlu ambisius lagi untuk mendorong percepatan dekarbonisasi sistem energi agar kenaikan suhu bumi tidak melebihi dari 1.5°C. Sebagai negara yang meratifikasi Persetujuan Paris, Indonesia terikat secara hukum untuk mengintegrasikan kebijakannya untuk meraih netral karbon pada 2050. Deon Arinaldo, Program Manajer Transformasi Energi, Institute for Essential Services Reform (IESR) menjelaskan, demi mendukung target global 1,5°C, emisi sistem energi Indonesia harus mencapai puncaknya sebelum tahun 2030 dan mencapai nol pada 2050. 

“Untuk itu, transisi sistem energi perlu direncanakan dan dimulai sejak awal. Sistem kelistrikan merupakan sektor yang paling siap untuk bertransisi karena pembangkit energi terbarukan tersedia dengan potensi melimpah, serta kompetitif dengan energi fosil,” terang Deon dalam acara Implementation of a Just Energy Transition in Indonesia yang diselenggarakan oleh International Institute for Sustainable Development pada Selasa (14/3/2023).

Mengutip studi IESR berjudul Deep Decarbonization of Indonesia Energy System, kata Deon, transisi sistem energi di Indonesia perlu mencapai tiga milestone di antaranya terdapat 100 GW panel surya, tidak ada PLTU baru kecuali 11 GW yang masuk dalam rencana pengembangan serta 2 GW prosumer panel surya dalam tahap pertama pada periode 2018-2030, kemudian pada tahap kedua yaitu 100% energi terbarukan, penyimpanan baterai skala utilitas, mulai memasang elektroliser 2 GW dan penyimpanan CO2 dan penangkapan karbon dari udara langsung (DAC) di periode 2030-2045, lalu pada tahap ketiga yaitu melanjutkan penggunaan 100% energi terbarukan setelah 2045.

“Untuk mencapai transisi sistem energi, energi terbarukan terutama surya mempunyai peran besar dalam pembangkitan listrik Indonesia, dalam skenario netral karbon,” papar Deon. 

Selain itu, Deon menekankan, transisi energi setidaknya membutuhkan pendekatan transformatif terhadap semua aspek, dari kebijakan, ekonomi, sosial hingga teknis. Misalnya saja dalam aspek kebijakan, setidaknya perlu mempertimbangkan langkah yang lebih jelas, tidak hanya sekadar BaU (business as usual). Indonesia sebagai negara berkembang juga bisa mengambil peran dalam transisi energi, namun di sisi lain terdapat tekanan bagi negara maju untuk menyediakan teknologi, dana dan bantuan.

“Demi mendukung target 1,5°C, tentunya perlu mengubah cara pandang kita, cara kita bekerja dan sistem energi itu sendiri. Untuk itu, diperlukan pesan yang lebih kuat dalam energy planning dan kebijakan,” jelas Deon. 

Dalam kesempatan yang sama, Satya Widya Yudha, anggota Dewan Energi Nasional (DEN) menekankan, diperlukan adanya climate finance sebagai motor utama pencapaian netral karbon. Untuk itu, Indonesia perlu bantuan negara lain dalam rangka mencapai netral karbon pada 2060 atau lebih cepat. Demi mencapai target tersebut, kata Satya, Indonesia juga mempunyai strategi untuk dekarbonisasi di pembangkitan listrik. 

“Kita mencoba masih memanfaatkan energi fosil namun dengan teknologi energi bersih. Namun demikian, kita juga terus mengakselerasi penggunaan energi terbarukan seperti kendaraan listrik dan pengembangan hidrogen. Sampai nanti waktunya energi terbarukan bisa digunakan sepenuhnya,” terang Satya. 

Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah Libatkan IESR dalam Penyusunan Rancangan Renstra Tahun 2024 – 2026

Semarang, 1 Maret 2023 – Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Tengah libatkan Institute for Essential Services Reform (IESR) sebagai peserta dalam Forum Perangkat Daerah Penyusunan Rancangan Rencana Strategis (Renstra) tahun 2024-2026. Kegiatan ini dilaksanakan di Kantor Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah, dibuka dengan sambutan Kepala Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah, Sujarwanto Dwiatmoko dan dihadiri oleh perwakilan Komisi D DPRD Provinsi Jawa Tengah, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (Sekjen DEN), perwakilan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) tingkat kab/kota Provinsi Jawa Tengah serta beberapa stakeholder terkait.

Sujarwanto Dwiatmoko berpendapat keterlibatan berbagai stakeholder dalam forum perangkat daerah menjadi sangat penting dalam landasan kebijakan daerah. Selain itu, dikeluarkannya Perpres terkait Penguatan Daerah tentang Energi Baru dan Terbarukan (EBT) menjadi arus utama pembangunan dan semangat bagi Jawa Tengah untuk membangun transisi energi bersama rakyat. Rakyat secara bergotong royong diharapkan mampu mewujudkan penyediaan energi mandiri untuk mencapai kedaulatan energi.

Pertemuan tersebut membahas empat isu strategis dan prioritas pembangunan daerah Jawa Tengah tahun 2024-2026 yang berkaitan dengan sektor ESDM yaitu 1) Perekonomian tangguh yang berdaya saing dan berkelanjutan, 2) Sumber Daya Manusia (SDM) yang berdaya saing, berkarakter dan adaptif,  3) Ketahanan Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan hidup, 4) Tata kelola pemerintahan yang dinamis.

Sujarwanto menambahkan, ada beberapa poin yang perlu ditekankan dalam isu strategis seperti perekonomian yang tangguh, SDM Jawa Tengah yang berdaya saing, berkarakter, dan adaptif.

“Ekonominya tangguh, artinya dalam ketangguhannya kita tidak hanya memiliki daya saing (competitiveness), tetapi juga berorientasi berkelanjutan. Selain itu, SDM Jawa Tengah harus berkarakter, mampu beradaptasi dan memiliki perencanaan dalam menghadapi berbagai perubahan yang disruptif, penuh ketidakpastian, kerentanan dan kompleksitas skala nasional maupun global,” lanjut Sujarwanto.

Ia juga menekankan isu strategis untuk aspek SDA dan lingkungan hidup yang meliputi salah satunya aspek ketahanan energi.

“Pada aspek ketahanan energi, khususnya EBT di Jawa Tengah harus dipercepat perkembangannya, harus ada kesepakatan dari semua unsur dan negara harus ikut terlibat di dalamnya. Ini perlu ada perubahan persepsi dan mindset yang tinggi terkait EBT dari banyak pihak,” urainya lagi.

Ia menuturkan pula tentang  empat fokus ketahanan energi daerah yang mencakup 1) Ketersediaan sumber energi (availability), 2) Keterjangkauan biaya investasi energi (affordability), 3) Kemampuan mengakses energi (accessibility) dan 4) Penerimaan masyarakat terhadap energi (acceptability).

Lebih jauh, Sujarwanto menyebutkan bahwa Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah menitikberatkan pembangunan tiga tahun akan bergerak untuk mewujudkan ekonomi yang berdaya saing. 

Energy for economy, energy for productivity”. Ini diartikan bahwa energi yang ada saat ini di masyarakat tidak hanya dinikmati untuk penerangan, tetapi juga harus bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas mereka. Semakin banyak orang per kapita mengkonsumsi energi listrik, maka akan semakin produktif,” ungkapnya.

Kemandirian energi di tingkat masyarakat terus didorong melalui program Desa Mandiri Energi yang diinisiasi oleh Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah. Program ini memanfaatkan potensi sumber energi lokal yang dimiliki setiap kab/kota di Provinsi Jawa Tengah untuk mendorong kemandirian dan kedaulatan energi. Data menunjukkan bahwa sebanyak 2353 desa atau 27,48% dari 7809 desa di Jawa Tengah sudah memiliki inisiatif kemandirian energi dan termasuk dalam kategori Desa Mandiri Energi (DME). Terdapat sekitar 36 pendamping energi yang akan ditempatkan di kab/kota untuk memperkuat DME dan kedaulatan energi Jawa Tengah.

Melalui program DME, Jawa Tengah bertekad untuk bertransisi energi bersama rakyat dan 60% energi akan dibangkitkan dari rakyat yang berada di wilayah kab/kota. Ada dua hal yang akan didorong pada program ini yaitu peningkatan edukasi masyarakat dan pembangunan EBT di daerah dan pelosok, seperti pembangunan biogas, PLTMH, Biogenic Swallow Gas (BSG) dan pompa pertanian yang dikonversi menggunakan surya dilengkapi baterai atau Pompa Air Tenaga Surya (PATS).

Imam Jauhari, perwakilan Bappeda Cilacap sepakat bahwa energi untuk kemampuan rakyat sangat penting. Senada, Sri Hartini, perwakilan Komisi D DPRD Provinsi Jawa Tengah berpendapat program pompa air dengan tenaga surya (PATS) akan dapat membantu permasalahan masyarakat. 

“Harapan kami, tentunya sinergitas antara OPD terjalin dengan baik, misal mengatasi persoalan banjir di masyarakat berarti Dinas ESDM sinergi dengan PSDA. Kemudian dari pemerintah provinsi, kab/kota harus benar-benar koordinasi bisa memenuhi kebutuhan masyarakat,”kata Sri Hartini.

Selain itu, Wahyudin Noor Aly, perwakilan Komisi D DPRD Provinsi Jawa Tengah juga menambahkan bahwa potensi yang ada di Jawa Tengah harus didorong dan ditingkatkan untuk mengejar dan mencapai target bauran energi Jawa Tengah. Menurutnya, perkembangan teknologi yang semakin pesat dan tingginya potensi SDA di Jawa Tengah, masih berhadapan dengan kurangnya praktik konservasi energi.

“Daerah harus merancang anggaran khusus untuk energi mandiri, kenapa, supaya energi ini bisa dinikmati semua warga Jawa Tengah. Satu desa bisa bikin energi sendiri, dipakai sendiri, bayar sendiri, ini akan lebih murah,” imbuh Wahyudin Noor Aly

Menurut Wahyudin Noor Aly, Dinas ESDM perlu melakukan terobosan dan memimpin dalam membuka peluang untuk menarik banyak investor. Permasalahan yang ada di daerah dan kab/kota perlu dilandaskan di Renstra dan Rencana Jangka Panjang (Renja). Sehingga, keterlibatan, keaktifan seluruh stakeholder dan dinas kab/kota berperan penting dalam menentukan rancangan Renstra dan Renja Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah.

Di sisi lain, IESR akan mendukung penuh program transisi energi di Provinsi Jawa Tengah Pada program DME, IESR akan ikut terlibat dalam pemberian edukasi kepada pendamping energi di 35 kab/kota melalui kegiatan capacity building. Melalui kegiatan peningkatan kapasitas ini, selain menambah pengetahuan juga dapat membangun kesadaran, mindset dan persepsi masyarakat untuk menggali peluang dan memanfaatkan potensi energi terbarukan di sekitar wilayah mereka.

Ikut Ber-“Gerilya” Energi Surya

Jakarta, 1 Maret 2023 – Transisi energi membutuhkan peran serta semua pihak untuk mewujudnyatakannya. Sektor pendidikan digadang-gadang menjadi salah satu pilar strategis untuk memastikan adanya tenaga ahli maupun teknisi yang siap berkiprah dalam ranah pengembangan energi terbarukan.

Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Rida Mulyana mengingatkan pentingnya transisi energi dan pemanfaatan energi surya. 

“Saat ini untuk listrik 86% dari energi fosil, dan suatu saat akan habis. Dengan adanya transisi energi, kita ingin agar kualitas akan ketahanan dan kemandirian energi nasional meningkat, tidak lagi tergantung pada energi fosil. Kita punya sumber energi terbarukan, dan itu berlimpah. Artinya kalau kita ingin transisi dari fosil ke non-fosil, sumbernya sudah ada,” kata Rida pada peluncuran program Gerilya, Rabu 1 Maret 2023.

Rida juga menambahkan alasan mendesak yang kedua adalah adanya tekanan global bahwa saat ini perubahan iklim dan cuaca susah diprediksi, bahkan di negara tropis seperti Indonesia. Hal itu, karena adanya pemanasan global, akibat banyaknya GRK yang naik dan kemudian membuat suhu bumi naik, tidak saja tinggi permukaan laut yang naik, tetapi cuaca juga tidak dapat diprediksi, dan itu sudah dirasakan.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral secara khusus membentuk GERILYA (Gerakan Inisiatif Listrik Tenaga Surya) sebagai bagian dari program Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB) hasil kolaborasi Kementerian ESDM dengan Merdeka Belajar Kampus Merdeka, Kemendikbud-Ristek

Dalam program GERILYA, mahasiswa ditempatkan pada berbagai lembaga dan perusahaan yang bergerak dalam berbagai aspek pengembangan energi surya. Dalam sambutannya pada kesempatan yang sama, Direktur Aneka Energi dan EBT, Kementerian ESDM, Andriyah Feby Misna menyatakan bahwa upaya transisi energi di Indonesia perlu diimbangi dengan ketersediaan sumber daya manusia yang kompeten dan mumpuni. 

“Untuk itu program Gerilya terus memperbaiki diri dengan memperbaiki kurikulum energi surya dan kembali bergabung pada MSIB batch keempat ini,” jelas Feby. 

Perbaikan kurikulum yang dimaksud mencakup antara lain latar belakang keilmuan peserta yang awalnya hanya dari jurusan eksakta saat ini sudah dapat diikuti oleh mahasiswa jurusan sosial humaniora. Waktu mahasiswa untuk terlibat dalam proyek juga diperpanjang menjadi empat bulan dan waktu pembekalan dipersingkat menjadi satu bulan. 

Sebanyak 2.456 pendaftar dari 280 Perguruan Tinggi di seluruh Indonesia telah diseleksi, dengan hasil 62 mahasiswa dari 34 Perguruan Tinggi dinyatakan lulus tahap seleksi GERILYA. Dari jumlah mahasiswa yang lulus tahap seleksi, 24 orang atau 38% di antaranya adalah perempuan. Hal ini merupakan wujud komitmen kesetaraan gender (gender equality) dalam pelaksanaan program GERILYA MSIB Batch 4.

 

Institute for Essential Services Reform (IESR) mendukung program Gerilya sejak batch pertama dan menyediakan wadah untuk mahasiswa belajar tentang perubahan kebijakan terkait pengembangan energi surya dari sisi masyarakat sipil melalui kajian ilmiah. Pada batch 4 ini IESR akan menjadi tempat belajar bagi empat mahasiswa Gerilya.

Meninjau Kemajuan Industri Baterai Kendaraan Listrik Indonesia

Dalam dekade ini, popularitas kendaraan listrik mengalami peningkatan signifikan terlihat dari penjualan dari tahun ke tahun yang menunjukkan pertumbuhan eksponensial. Menurut laporan Bloomberg New Energy Finance (BNEF), sudah ada hampir 20 juta kendaraan listrik di jalanan hingga akhir tahun 2021. Untuk meningkatkan efisiensi energi, memastikan pengurangan emisi gas buang, dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar minyak, kendaraan listrik telah menjadi pilihan yang menarik bagi pemangku kepentingan dan masyarakat umum. Mempertimbangkan tren yang ada dan beberapa keuntungan tambahan, Indonesia sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar, melalui Perpres 55/2019 tentang program akselerasi KBLBB (Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai), telah mengambil langkah proaktif untuk berpartisipasi dalam industri kendaraan listrik global, khususnya di sektor baterai. Sesuai dengan peraturan tersebut, Kementerian Perindustrian telah menjabarkan peta jalan industri dan persyaratan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) melalui Peraturan Menteri 20/2020.

Mulai tahun 2023, bobot Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) pada industri kendaraan listrik Indonesia telah disesuaikan. Penilaian proses perakitan yang sebelumnya 20% diturunkan menjadi 12%, sisanya 8% dialokasikan kembali ke perhitungan komponen utama, antara lain baterai (35%), motor listrik (12%), dan rangka mobil (11%). Pentingnya TKDN di Indonesia relevan dalam konteks pembelian untuk pengadaan atau proyek pemerintah. Untuk mendukung pertumbuhan industri kendaraan listrik dalam negeri dan menarik investasi, pemerintah Indonesia telah menerapkan berbagai inisiatif, termasuk Instruksi Presiden 7/2022 tentang pengadaan publik dan rencana subsidi untuk pembelian kendaraan listrik yang sesuai dengan TKDN.

Bobot persentase baterai dalam industri kendaraan listrik yang mencapai 35% membuat penggunaan baterai yang diproduksi di dalam negeri  penting untuk meningkatkan TKDN secara keseluruhan. Namun, keadaan industri baterai saat ini menimbulkan tantangan untuk produksi massal. Tim Institute for Essential Services Reform (IESR) berupaya memahami kesenjangan kemampuan teknologi dalam industri baterai dalam negeri. Untuk mencapai tujuan ini, tim melakukan wawancara eksklusif di seluruh sektor industri hulu, tengah, dan hilir. Tujuan dari wawancara ini adalah untuk mengevaluasi kesiapan industri dalam memenuhi target pemerintah dan tuntutan pasar kendaraan listrik. Asesmen komprehensif tersebut bertujuan untuk mendapatkan pemahaman menyeluruh tentang industri baterai dalam negeri.

Alur Produksi Baterai Kendaraan Listrik

 

Industri Sektor Hulu

Sektor hulu di industri kendaraan listrik Indonesia berkembang pesat, siap memenuhi permintaan pasar. Pemerintah telah memperkuat pertumbuhan ini dengan Permen ESDM 11/2019, yang mengatur pertambangan mineral dan batubara serta melarang ekspor bijih nikel. Terlepas dari kontroversi, peraturan tersebut telah mengarah pada pembangunan dua kilang nikel HPAL dan 5 lainnya dalam pengerjaan. Menurut Asosiasi Penambang Nikel Indonesia, ada permintaan tahunan sebesar 50,57 juta ton saprolit dan 1,2 juta ton bijih limonit untuk pabrik HPAL, diperkirakan akan menghasilkan hampir 1 juta MHP/MSP dan 316.000 ton produk turunan termasuk 140.000 ton Cr konsentrat, 136.000 ton Nikel Sulfat, dan 19,5 ton Cobalt Sulfat. Salah satu pengembang bahkan telah memperkenalkan teknologi pemurniannya sendiri, proses Step Temperature Acid Leaching (STAL), yang dirancang untuk memurnikan bijih limonit dengan kandungan nikel kurang dari 1,6%, menghasilkan MHP sebagai produk akhir di pabrik prototipenya.

Industri Sektor Menengah

Sektor baterai berbasis lithium mengalami pertumbuhan yang lambat karena kebutuhan investasi yang tinggi dan pengalaman yang terbatas. Selain tiga rencana investasi besar untuk produksi baterai (IBC-LG, IBC-CBL, dan Indika-Foxconn) yang sedang berlangsung, IESR telah mengumpulkan informasi tentang perusahaan yang ada dan berkembang. Perusahaan-perusahaan tersebut memiliki kapasitas produksi sel baterai berkisar antara 30 hingga 1 ribu sel per hari. Perkembangan yang menarik adalah start-up dari Universitas Sebelas Maret yang menjalin kerjasama dengan startup lain dari universitas yang sama untuk produksi bahan aktif dan prekursor.

Untuk menyelaraskan NCM atau katoda berbasis nikel NCA, proses produksi prekursor baterai sektor hulu perlu dilanjutkan di dalam negeri. Namun, perusahaan baterai lokal menggunakan LFP untuk bisnis mereka karena pertimbangan keselamatan dan siklus hidup yang panjang, meskipun memiliki densitas energi yang lebih rendah dibandingkan opsi berbasis nikel. Akibatnya, produksi nikel kelas 1 di sektor hulu Indonesia belum mencukupi kebutuhan industri katoda atau sel baterai di dalam negeri.

Sektor Hilir

Sebagai salah satu produsen sepeda motor terbesar di dunia, Indonesia tidak memiliki kendala berarti dalam merakit kendaraan listrik. Rangka merupakan komponen yang paling mapan untuk diproduksi di dalam negeri. Sementara itu, beberapa perusahaan telah memproduksi motor listrik (powertrain) dan memasok produksi motor listrik untuk BUMN.

Namun, daur ulang atau penggunaan kembali limbah sel baterai untuk belum sepenuhnya dikembangkan. Para peneliti di Universitas Gadjah Mada baru mengambil inisiatif dengan memulai pengembangan dalam skala laboratorium. Meskipun penggunaan kendaraan listrik masih terbatas di negara ini, sektor ini diharapkan menjanjikan karena potensinya untuk mengekstrak bahan langka seperti litium dan akses mudah ke logam yang diperlukan untuk produksi baterai.

Skema Power Wheeling Akan Ciptakan Pasar Energi Terbarukan

Fabby Tumiwa

Jakarta, 28 Februari 2023 – Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menyoroti skema power wheeling yang terdapat dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). Namun, skema tersebut telah dicabut dari Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU EBET. Power wheeling merupakan mekanisme yang membolehkan perusahaan swasta atau Independent Power Producers (IPP) untuk membangun pembangkit listrik dan menjual setrum kepada pelanggan rumah tangga dan industri. Fabby memaparkan, power wheeling dibutuhkan agar selaras dengan upaya Indonesia untuk meningkatkan energi terbarukan. 

“Pemerintah telah menargetkan pencapaian bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) 23% di tahun 2025, baik untuk listrik dan bahan bakar cair. Kemudian, tahun 2021, Presiden Jokowi menetapkan adanya target NZE tahun 2060 atau lebih awal. Target ini yang mendorong terjadinya transisi energi untuk bisa melakukan dekarbonisasi di sektor energi. Konsekuensi dari hal tersebut, energi terbarukan perlu dikembangkan secara besar-besaran,” tegas Fabby Tumiwa dalam webinar “Energi Baru dan Energi Terbarukan untuk Kemakmuran Semua” yang diselenggarakan oleh Center of Economic and Law Studies (CELIOS), pada Selasa (28/2/2023).

Seiring dengan hal tersebut, Fabby menekankan konsep power wheeling bukanlah hal yang baru karena sebelumnya sudah diatur berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 1/2015 dan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 11/2021, namun aturan tersebut masih belum bisa dilaksanakan. Menurut Fabby, power wheeling dapat menciptakan pasar energi terbarukan sekaligus menjaga investasi industri/perusahaan di Indonesia. Salah satunya kelompok industri yang bergabung dalam RE100. 

Power wheeling bisa mendorong energi terbarukan karena memberikan insentif dari sisi supply dan demand. Namun demikian, power wheeling membutuhkan pengaturan lebih lanjut. Ketentuan tarif skema power wheeling di negara lain itu diatur oleh regulator, paling tidak rumusannya. Sementara aspek komersialnya diurus oleh business to business antara pihak yang ingin menggunakan dengan pemilik transmisi. Tidak hanya itu, power wheeling perlu masuk dalam undang-undang karena implikasi penerapan skema tersebut akan melibatkan sejumlah kementerian/lembaga. Untuk itu, tidak cukup hanya sampai peraturan menteri saja,” papar Fabby. 

 

Kembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi untuk Transisi Energi

FT

Jakarta, 24 Februari 2023 –  PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) akan menggelar penawaran saham perdana  atau initial public offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia pada Jumat (24/2/2023). PGE akan melepas 25 persen saham dengan target perolehan dana hingga Rp 9,78 triliun. Dengan dana tersebut, PGE bakal mengembangkan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) dengan kapasitas 600 megawatt hingga 2027. Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa memaparkan, terdapat dua urgensi dari proses IPO saham PGE. Pertama, target Indonesia yang akan mengembangkan energi terbarukan dan melakukan transisi energi. Oleh karena itu, Indonesia perlu memanfaatkan semua sumber energi terbarukan yang dimiliki, apalagi Indonesia juga perlu mengurangi secara bertahap pengoperasionalan PLTU batubara sampai tahun 2050. Hal ini diungkapkannya ketika menjadi narasumber di acara Sapa Malam Indonesia, Kompas TV pada Kamis (23/2/2023).

“Urgensi yang kedua yakni mengenai PGE memiliki strategi bisnis dan perusahaan ini akan bertransformasi dari perusahaan minyak dan gas ke perusahaan energi. Salah satunya yang akan didorong pengembangan energi terbarukan, seperti panas bumi,” terang Fabby. 

Fabby mengungkapkan, Pertamina memiliki cadangan panas bumi yang cukup besar dan kualitas cadangannya cukup bagus. Hal ini lantaran Pertamina telah melakukan eksplornya sejak tahun 1980an. Lebih lanjut, Fabby menilai, selama ini cadangan tersebut tidak dapat dikembangkan secara maksimal karena beberapa faktor. Salah satu faktornya yakni pendanaan. Mengingat, pengembangan cadangan panas bumi membutuhkan investasi yang cukup besar karena harus melakukan eksplorasi (ngebor) dan memastikan berapa persen dari cadangan tersebut yang dapat digunakan untuk operasional listrik. 

“Di Indonesia, biaya pengeboran satu sumur saja memerlukan dana sekitar USD3-5 juta. Dengan tingkat rasio keberhasilan 30% dan kira-kira kita melakukan pengeboran tiga sumur maka dapat satu sumur yang berhasil untuk membangkitkan listrik sekitar 30 – 50 megawatt (MW), kita harus menghabiskan USD15 juta untuk pengeborannya. Belum mengenai infrastruktur dan sebagainya. Proses ini memakan waktu yang lama dari pengeboran sampai menjadi pembangkit listrik,” ujar Fabby. 

Menurut Fabby, Pertamina perlu mengoptimalkan potensi cadangan panas bumi yang ada. Untuk itu, Pertamina memerlukan dana. Dana tersebut bisa didapatkan dengan salah satunya melalui IPO saham. IPO menjadi langkah tepat untuk pengembangan Pertamina ke depan. 

“Indonesia memiliki potensi panas bumi terbesar di dunia, totalnya sekitar 28 gigawatt (GW) atau 28 ribu megawatt (MW), yang baru termanfaatkan sampai hari ini kurang 10%. Jika kita bisa mengembangkan ini, maka diharapkan energi  terbarukan semakin kompetitif, terutama listrik dari panas bumi yang bisa lebih murah,” papar Fabby. 

Mendukung Pengurangan Emisi di Sektor Transportasi

Kendaraan Listrik

Jakarta, 20 Februari 2023 – Dekarbonisasi sektor transportasi menjadi salah satu agenda utama untuk mencapai target emisi nol bersih Indonesia pada tahun 2060. Sektor transportasi merupakan penghasil emisi GRK terbesar kedua (23%), dimana transportasi darat menyumbang 90% emisi sektor ini, dengan total emisi di sektor energi mendekati 600 MtCO2eq pada tahun 2021 (IESR, IEVO 2023).

Dalam skenario rendah karbon yang sesuai dengan target Paris Agreement (LCCP), emisi dari transportasi di Indonesia perlu diturunkan menjadi 100 MtCO2eq pada tahun 2050. Sementara itu, dalam perhitungan IESR seluruh sektor energi, termasuk transportasi, harus mendekati nol emisi pada tahun 2050 agar kenaikan suhu global tetap berada di bawah 1,5 °C. Untuk mencapai hal tersebut, elektrifikasi transportasi dan pemanfaatan bahan bakar berkelanjutan perlu diprioritaskan.

Salah satu cara melakukan dekarbonisasi transportasi darat yakni meningkatkan penggunaan kendaraan listrik. Adanya penggantian komponen mesin pembakar internal (Internal Combustion Engine/ICE) dengan kendaraan listrik tidak hanya menjadi solusi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), tetapi juga menjadi pilihan yang lebih ekonomis. Hal ini lantaran efisiensi energi teknologi kendaraan listrik yang tinggi. Kendaraan listrik diproyeksikan mewakili lebih dari 60% kendaraan yang terjual secara global pada tahun 2030. Untuk itu, perlu dipersiapkan dengan matang infrastruktur pendukung kendaraan listrik di Indonesia, seperti stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU). 

Namun demikian, sebagian masyarakat masih meragukan atau bahkan berpendapat bahwa kendaraan listrik tidak dapat menjadi solusi pengurangan emisi GRK. Pasalnya, sumber listrik untuk pengisian kendaraan listrik masih berasal dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil, khususnya di Indonesia yang sekitar 67% listriknya berasal dari pembangkit listrik berbahan bakar batubara (PLTU). Selain itu, proses pembuatan baterai kendaraan listrik juga sangat memakan energi dan menghasilkan GRK dalam jumlah tinggi.

Dalam hal ini, dekarbonisasi sektor transportasi perlu dilihat secara optimis dari perspektif jangka panjang. Penggunaan sumber listrik untuk kendaraan memang menjadi tantangan besar untuk meningkatkan utilisasi kendaraan listrik. Untuk itu, rencana pengembangan kendaraan listrik harus diintegrasikan dengan peta jalan dekarbonisasi multisektor karena adopsi kendaraan listrik yang tinggi berpotensi membantu sektor lain, yaitu sektor ketenagalistrikan.

Kondisi Sektor Ketenagalistrikan

Salah satu penyebab lambatnya pengembangan energi terbarukan di Indonesia yakni terjadinya kondisi kelebihan pasokan listrik. Apalagi sistem kelistrikan tersebut memiliki cadangan daya margin cadangan (reserve margin) yang tinggi, diperkirakan mencapai 56% pada tahun 2022, sedangkan margin cadangan tipikal berdasarkan RUPTL PLN berada pada kisaran 15-40%. Kondisi tersebut bisa dikatakan terjadi karena overestimasi permintaan dan efek pandemi global.

Sayangnya, sebagian besar pembangkit baru yang beroperasi yakni PLTU yang tidak dapat beroperasi secara fleksibel karena terkendala kesepakatan take or pay. Sementara itu, beberapa unit PLTU, terutama yang telah berusia lebih tua, memiliki keterbatasan untuk beroperasi secara fleksibel karena kemampuan teknisnya, seperti laju ramp-rate yang lambat, beban minimum yang tinggi, dan waktu start-up yang lama.

Berdasarkan permasalahan tersebut, setidaknya perlu ada peningkatan permintaan listrik atau penghentian pembangkit berbahan bakar fosil, dengan atau tanpa intervensi, untuk memungkinkan penetrasi energi terbarukan yang lebih tinggi. Berkaitan dengan hal tersebut, pengembangan pemanfaatan kendaraan listrik dengan strategi yang tepat dapat digunakan sebagai salah satu upaya meminimalisir permasalahan sistem tenaga listrik.

Di lain sisi, tingkat adopsi kendaraan listrik yang tinggi berpotensi menyerap kelebihan pasokan listrik dari pembangkit listrik yang beroperasi. Dalam laporan Deep Decarbonization of Indonesia’s Energy System yang diterbitkan Institute for Essential Services Reform (IESR), kebutuhan elektrifikasi transportasi akan mencapai 136 TWh pada tahun 2030 (sekitar 28,6% dari total permintaan listrik). Dengan kata lain, elektrifikasi sektor transportasi dapat menjadi pendekatan strategis untuk mengurangi masalah kelebihan pasokan dan memberi ruang bagi lebih banyak energi terbarukan dalam sistem tenaga. Selain itu, elektrifikasi akan secara signifikan mengurangi emisi GRK langsung dan meningkatkan ketahanan energi melalui pengurangan impor bahan bakar.

Nilai Kendaraan Listrik dalam Sistem Tenaga Listrik

Pada dasarnya kendaraan listrik merupakan baterai berkapasitas besar yang terhubung ke motor listrik dan roda. Sederhananya, baterai tersebut menjadi aset penyimpanan energi untuk melakukan mobilitas. Kendaraan listrik saat ini memiliki kapasitas baterai rata-rata sekitar 40 kWh yang dapat dipandang sebagai aset berharga untuk sistem kelistrikan. Kapasitas tersebut cukup besar mengingat unit baterai penyimpanan rumah biasanya memiliki kapasitas tidak lebih dari setengah kendaraan listrik. Oleh karena itu, setiap nilai tambah kendaraan listrik perlu diaktifkan melalui integrasi jaringan dan kendaraan (VGI).

Berbagai skema VGI telah dikembangkan, sebut saja aliran energi satu arah (V1G), aliran energi dua arah (V2G), kendaraan ke bangunan (V2B), dan lainnya. Strategi integrasi yang sesuai dapat memberikan keuntungan, baik kepada pemilik kendaraan listrik maupun operator jaringan listrik. Misalnya, operator jaringan dapat menerapkan tarif pengisian berbeda pada jam pengisian tertentu yang akan mempengaruhi perilaku pengisian daya pemilik EV melalui skema V1G. Operator jaringan dapat menjaga beban puncak, menghindari biaya operasi tambahan atau kebutuhan penambahan kapasitas. Sebagai imbal baliknya, pemilik kendaraan listrik akan mendapatkan insentif tarif pengisian rendah selama waktu beban puncak.

Dalam implementasi lebih lanjut, VGI dapat dipromosikan menjadi V2G. Armada kendaraan listrik secara kolektif dapat bertindak seperti sistem penyimpanan energi stasioner (Energy Storage System/ESS) di mana operator jaringan dapat membeli listrik dari baterai kendaraan listrik untuk dipasok ke jaringan saat dibutuhkan. Namun implementasinya akan membutuhkan regulasi terkait interkoneksi.

Selain regulasi, VGI akan membutuhkan pengembangan infrastruktur pendukung yang relevan dengan peta jalan pengembangan sektor ketenagalistrikan. Mempertimbangkan tingkat penetrasi energi terbarukan, tingkat adopsi kendaraan listrik, dan profil beban saat ini, VGI dapat mulai diimplementasikan melalui insentif tarif rendah pada malam hari sehingga pemilik kendaraan listrik melakukan pengisian daya di rumah sepanjang malam. Namun, begitu sistem tenaga memiliki penetrasi PLTS  yang tinggi (seperti yang direncanakan pemerintah untuk masa depan), akan ada suplai listrik yang tinggi di siang hari. Bukankah kita perlu menyiapkan lebih banyak infrastruktur pengisian publik? Atau ada strategi lain?