Seberapa Pentingnya Suntik Mati PLTU Batubara Pakai APBN?

Jakarta, 24 Oktober 2023 –  Pengakhiran dini operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara dinilai krusial dalam pemenuhan target transisi energi. Untuk itu, pemerintah merilis aturan pembiayaan untuk mempercepat pensiun dini PLTU batubara dan pembangunan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan. Hal tersebut tertuang di Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 103 Tahun 2023 tentang Pemberian Dukungan Fiskal Melalui Kerangka Pendanaan dan Pembiayaan dalam Rangka Percepatan Transisi Energi di Sektor Ketenagalistrikan. Aturan mulai berlaku pada tanggal diundangkan 13 Oktober 2023. Berdasarkan aturan tersebut, sumber pendanaan platform transisi energi dapat berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengapresiasi adanya peraturan tersebut. Namun demikian, terbitnya peraturan tersebut bukanlah suatu momen mengejutkan karena ketika tahun lalu Energy Transition Mechanism (ETM) dibuat, Pemerintah Indonesia telah menunjuk PT SMI sebagai ETM Country Platform Manager dan di dalam kerangka ETM tersebut disebutkan pula sumber pendanaan pensiun dini PLTU batubara bersumber dari APBN. 

“Saya kira PMK tersebut mengukuhkan secara hukum. Secara legal, hal tersebut dimungkinkan sehingga harus dianggarkan di APBN. Mengacu PMK tersebut juga, ada klausul yang menyatakan sesuai dengan kemampuan APBN. Hal-hal mengenai prioritas anggaran dan sumber pendanaan serta lainnya,” ujar Fabby Tumiwa dalam acara “Energy Corner” di CNBC Indonesia pada Selasa (24/10/2023). 

Lebih lanjut, Fabby Tumiwa memaparkan, pensiun dini PLTU batubara menjadi langkah krusial karena adanya ancaman perubahan iklim di mana Indonesia sebagai penghasil emisi terbesar ke-7 di dunia dengan mengeluarkan 1,24 Gt CO2e pada 2022. Untuk itu, Indonesia perlu ikut serta untuk menurunkan emisi. Salah satu sumber emisi terbesar di Indonesia yakni sektor energi, dengan dominasi pengoperasian PLTU batubara. Fabby berharap  dengan melakukan suntik mati PLTU batubara membuat Indonesia dapat berkontribusi dalam komitmen menurunkan emisi. 

“Pendanaan dari sumber APBN diperlukan dalam rangka membuat transaksi dari pengakhiran operasi PLTU tersebut layak secara finansial. Kita tidak ingin banyak utang, dengan APBN dimungkinkan hutangnya kecil dan transaksinya menjadi lebih visible. Mengingat sumber pendanaan untuk satu PLTU yang dipensiunkan tidak hanya dari APBN, ada juga beberapa sumber pendanaan lainnya. Tergantung nanti dari jenis transaksinya. Diharapkan masuknya dana APBN, biaya pensiun dini PLTU batubara menjadi lebih rendah,” kata Fabby Tumiwa. 

Menurut Fabby Tumiwa, pengakhiran operasi PLTU batubara merupakan satu proses yang harus direncanakan, tidak lakukan semuanya dalam satu waktu. Dasar untuk melakukan pengakhiran dini PLTU batubara sudah ditetapkan juga dalam Peraturan Presiden (Perpres) 112 Tahun 2022. Fabby menegaskan, tidak semua PLTU batubara akan dipensiunkan dini karena beberapa PLTU yang akan memasuki masa berakhir kontraknya atau usia ekonomisnya sudah habis. 

“Dalam memilih PLTU batubara mana yang akan dipensiunkan dini, beberapa hal bisa menjadi pertimbangan di antaranya penghasil emisinya tinggi dan tingkat efisiensinya rendah, serta usianya di atas 15 tahun. Sebelum 15 tahun itu biasanya pengembalian investasi dan negosiasinya akan lama. Harus diingatkan juga agar satu PLTU layak dipensiunkan perlu sumber pendanaan campuran (blended finance, red) yang artinya bukan hanya dari APBN, tetapi sumber pendanaan lainnya juga serta pendanaannya distrukturkan sehingga membuat sebuah PLTU menjadi layak secara finansial dan teknis untuk bisa dihentikan operasinya lebih awal,” tegas Fabby. 

Selain APBN, kata Fabby, komitmen pendanaan dari negara maju seperti G7 melalui kerangka  Kerjasama Transisi Energi yang Adil (Just Energy Transition Partnership, JETP)  masih ada tetapi bagaimana harus bisa direalisasikan. Salah satu pembahasan di JETP yakni mengenai perbedaan nilai pasar (market value) dengan nilai buku (book value) untuk aset PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), hal ini menjadi kendala dan menyangkut banyak hal. Di sisi lain, negara G7 juga memfokuskan terhadap pendanaan energi terbarukan. Fabby menilai, dua hal tersebut dapat dikombinasikan serta membutuhkan perubahan regulasi. Misalnya saja pensiun dini PLTU, kalau usia ekonomisnya dari 30 tahun dipangkas menjadi 20 tahun, maka 10 tahunnya bisa dikonversi menjadi pembangkit energi terbarukan. Sayangnya, belum ada aturan tersebut di Indonesia. Apabila pemerintah nantinya mengatur hal tersebut, Indonesia bisa memperoleh manfaat biaya dari pensiun dini lebih rendah dan ada peningkatan kapasitas pembangkit energi terbarukan serta investasi mengikuti tersebut. 

Pengakhiran Dini PLTU Batubara Jadi Langkah Krusial Menuju NZE

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa

Jakarta, 20 Oktober 2023 –  Pada abad ke-21 ini, perubahan iklim telah menjadi permasalahan di seluruh dunia. Upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dan mencapai Net Zero Emission (NZE) telah menjadi tujuan krusial yang harus dikejar. Untuk mencapai NZE, peralihan dari sumber energi berbasis fosil seperti batubara menjadi sumber energi bersih dan berkelanjutan menjadi langkah yang sangat penting. Oleh karena itu, pengakhiran dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara menjadi langkah krusial untuk mencapai NZE.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menuturkan, dua tahun terakhir Pemerintah Indonesia sudah lebih ambisius untuk melakukan transisi energi. Hal ini bisa dilihat dari terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) 112/2022, yang menyatakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) perlu menyusun peta jalan pengakhiran operasi pembangkit listrik tenaga uap  (PLTU) batubara dengan mendapatkan persetujuan dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian BUMN. Apabila melihat ketentuan tersebut, lanjut Fabby, maka PLTU batubara berhenti beroperasi pada 2050. 

“Pemerintah juga tengah menggodok kebijakan energi nasional (KEN) yang baru untuk menggantikan PP No 79 tahun 2014 tentang kebijakan energi nasional, revisi ini sepertinya akan menjadi peta jalan bagi Indonesia untuk melakukan transisi energi serta menjadi rencana transisi energi di sektor ketenagalistrikan. Kita juga bisa melihat PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) tengah menyiapkan rencana umum penyediaan tenaga listrik yang baru dengan mengakomodasi peta jalan untuk melakukan transisi energi dan mencapai NZE di sektor ketenagalistrikan pada 2050,” terang Fabby di acara “Market Review” yang disiarkan oleh IDX Channel pada Jumat (20/10/2023). 

Fabby menekankan, transisi energi dapat berhasil apabila terdapat investasi ataupun pendanaan sesuai kebutuhan. Paling tidak ada tiga hal yang perlu diupayakan untuk mempercepat transisi energi, di antaranya mengakselerasi pembangunan energi terbarukan, membangun infrastruktur pendukung seperti transmisi distribusi dan energy storage yang dibutuhkan untuk mendukung keandalan sistem energi, serta pengakhiran operasi PLTU lebih awal. Hal ini diperlukan agar Indonesia dapat mencapai target porsi energi terbarukan nasional sekitar 34% pada 2030. 

“Kalau tidak ada penurunan kapasitas PLTU batubara di sistem ketenagalistrikan, sukar kiranya meningkatkan bauran energi terbarukan setinggi target tersebut. Kita perlu melakukan transisi energi agar mencapai target NZE di sektor ketenagalistrikan pada 2050,” kata Fabby. 

Fabby menuturkan, terbitnya  Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 103 Tahun 2023 tentang Pemberian Dukungan Fiskal Melalui Kerangka Pendanaan dan Pembiayaan dalam Rangka Percepatan Transisi Energi di Sektor Ketenagalistrikan dapat menjadi dasar pengalokasian APBN untuk mendukung pengakhiran operasi PLTU lebih awal. Hal ini menjadi penting karena Indonesia juga telah meluncurkan Energy Transition Mechanism (ETM) Country Platform, sebuah bentuk koordinasi utama dan penggerak untuk mendorong transisi yang adil dan terjangkau di Indonesia untuk sektor energi pada tahun lalu. Pendanaan awal dari ETM berasal dari Asian Development Bank (ADB) dan Climate Investment Fund. 

Platform tersebut saat ini dipakai untuk strukturisasi pendanaan pensiun dini dua PLTU yakni PLTU Cirebon milik swasta dan PLTU Pelabuhan Ratu milik PT PLN. Apabila keduanya berhasil distrukturkan maka akan dipensiunkan pada 2035. Berdasarkan hitungan IESR, kapasitas PLTU batubara yang harus berhenti operasinya sekitar 8-9 GW. Hal ini patut dilihat mengingat sampai sekarang belum ada rencana untuk mengakhiri operasi lebih awal sebelum 2030, padahal kita perlu melakukannya. Mengacu ETM yang sudah ditetapkan, salah satu sumber pendanaan berasal dari APBN. Dengan terbitnya PMK tersebut, maka dasar hukumnya ditetapkan,” papar Fabby. 

Fabby menyatakan, untuk melakukan pensiun dini PLTU batubara perlu ada tiga hal yang patut dipertimbangkan. Pertama, keandalan pasokan listrik tidak terganggu. Kedua, apabila sebuah PLTU diakhiri maka berkontribusi signifikan terhadap emisi gas rumah kaca (GRK). Ketiga, apabila sebuah PLTU dipensiunkan maka terdapat kapasitas penggantinya dari energi terbarukan di sistem tersebut. 

“Untuk itu, agar biayanya pengakhiran operasional PLTU tidak lebih mahal, usia PLTU yang mencapai 20 tahun bisa menjadi pertimbangan untuk pensiun dini. Selain itu, teknologi PLTU batubara yang masih subcritical di mana intensitas emisi sangat tinggi dan dilakukan di sistem kelistrikan yang pasokan daya listriknya cukup (overcapacity),” tegas Fabby. 

Indonesia – Tiongkok Perlu Rumuskan Kemitraan Pembiayaan Transisi Energi di KTT Belt and Road Initiative

press release

Jakarta, 17 Oktober 2023 – Menandai 10 tahun peluncuran Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative, BRI), Tiongkok kembali menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi Kerjasama Internasional BRI atau Belt and Road Forum yang ketiga di Beijing pada tanggal 17-18 Oktober 2023. Tiongkok mengusung tema “Kerja Sama BRI yang Berkualitas Tinggi: untuk Pembangunan dan Kemakmuran Bersama” pada KTT tahun ini. Institute for Essential Services Reform (IESR) yang turut diundang dalam rangkaian agenda KTT BRI tersebut, mengharapkan adanya terobosan baru dalam kemitraan BRI Indonesia-Tiongkok, terutama untuk pembiayaan transisi energi, di antaranya untuk energi terbarukan, pengakhiran dini operasional PLTU batubara, industri hijau serta kolaborasi teknologi energi terbarukan yang erat untuk  mempercepat transisi energi.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa dalam sambutannya pada Seminar Tingkat Tinggi  Membangun Visi Baru untuk Jalur Sutera Hijau di Beijing yang diselenggarakan oleh BRI International Green Development Coalition (BRIGC) and Foreign Environmental Cooperation Center (FECO), Kementerian Ekologi dan Lingkungan Tiongkok, mengungkapkan Indonesia membutuhkan sokongan pendanaan yang besar, sekitar USD 1 triliun, dari negara-negara maju dan negara lainnya, salah satunya Tiongkok, untuk mencapai net-zero emission pada 2060.

“Pembiayaan merupakan hal yang krusial, yang berperan sebagai tulang punggung transisi ini. Opsi pembiayaan yang mudah diakses dan terjangkau dapat mempercepat transisi rendah karbon secara global, meningkatkan penerapan teknologi hijau, menghentikan penggunaan aset padat emisi, dan mengoptimalkan portofolio aset energi,” ungkap Fabby.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa

IESR memandang Tiongkok dapat mendukung Indonesia dalam memenuhi kebutuhan pendanaan untuk mempercepat transisi energi. 

“Melalui BRI ini, Tiongkok dan Indonesia dapat membentuk kemitraan pembiayaan transisi energi. Kemitraan ini perlu melibatkan lembaga keuangan, penyedia teknologi, dan pemerintah,  sehingga dapat membuka lebih banyak lagi pembiayaan domestik, memacu inovasi, dan mendorong kemakmuran ekonomi bersama,” jelas Fabby. 

Fabby meyakini bahwa pengembangan energi terbarukan menjadi tiket untuk memuluskan upaya penurunan emisi global yang akan berkontribusi dalam mencegah krisis iklim yang lebih parah. Tidak hanya itu, pemanfaatan energi terbarukan secara masif juga akan meningkatkan keamanan energi Indonesia. 

Dari sisi teknologi, Tiongkok juga memimpin dunia dalam pengembangan energi terbarukan, terutama PLTS. Pada peta jalan dekarbonisasi sistem energi Indonesia untuk mencapai target Persetujuan Paris yakni bebas emisi pada 2050, IESR menemukan Indonesia memerlukan pemanfaatan energi surya melalui PLTS hingga 80% dari sistem energi di Indonesia pada 2050.

“Menurut kajian Deep Decarbonization IESR pada 2030, kapasitas energi terbarukan perlu mencapai 138 GW, di mana PLTS mendominasi. Di sisi lain, Tiongkok menguasai sekitar 90% kapasitas manufaktur panel surya global dan setengah dari kapasitas manufaktur turbin angin global. Oleh karena itu, potensi pasar energi terbarukan yang masif di Indonesia dapat dipenuhi oleh perusahaan Tiongkok dan di saat bersamaan perlu terjadi pembangunan kapasitas manufaktur energi terbarukan serta transfer teknologi ke Indonesia. Kerjasama bilateral kedua negara dapat memfasilitasi dan mengakselerasi terwujudnya hal tersebut,” terang Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, IESR.

Deon menambahkan bahwa Tiongkok sudah aktif berinvestasi di sektor energi, industri, dan infrastruktur di Indonesia. Hal ini menjadi peluang bagi kedua negara untuk memperkuat kerjasamanya dengan mengalihkan rencana investasi yang saat ini masih berpusat pada dukungan terhadap energi fosil, menjadi pembangunan industri energi terbarukan.

IESR dan Ford Foundation Menyerukan Pemusatan Keadilan dalam Kemitraan Transisi Energi

press release

Jakarta, 19 September 2023 – Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Ford Foundation di Indonesia menyerukan kepada pemerintah Indonesia tentang pentingnya mengedepankan prinsip keadilan dalam upaya transisi energi di Indonesia, khususnya pada kemitraan transisi energi berkeadilan (Just Energy Transition Partnership atau JETP).

JETP adalah mekanisme pembiayaan inovatif yang bertujuan untuk mempercepat transisi energi yang dipimpin negara dari bahan bakar fosil, termasuk batubara, ke sumber energi terbarukan. JETP pada dasarnya menghubungkan paket keuangan yang terdiri dari pembiayaan konsesi (pinjaman lunak) dan hibah dari negara-negara donor, dengan inisiatif transisi energi di negara-negara Selatan.

Dalam laporan yang diluncurkan secara digital oleh IESR dan Ford Foundation hari ini, disebutkan bahwa pendanaan JETP yang dijanjikan tidak cukup untuk menutupi biaya seluruh proses transisi. Sebaliknya, dana ini berfungsi sebagai pendanaan awal untuk mengkatalisasi dan memobilisasi sumber pendanaan lainnya.

Laporan tersebut menyoroti hasil dan rekomendasi dari The JETP Convening, Exchange and Learning from South Africa, Indonesia, and Vietnam yang diselenggarakan pada 25-28 Juni 2023 lalu di Jakarta. Acara ini diselenggarakan oleh Ford Foundation, Institute for Essential Services Reform (IESR), dan African Climate Foundation.

“Karena pendanaan awal JETP memiliki batasan waktu, maka penting untuk menetapkan pencapaian dan proyek yang masuk akal serta dapat dicapai dalam jangka waktu yang disepakati dan mengembangkan strategi untuk memanfaatkan sumber pendanaan lain untuk menutupi biaya untuk mencapai target tahun 2030,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Fabby juga menambahkan bahwa instrumen pembiayaan seperti pinjaman lunak, pinjaman komersial, ekuitas, dana jaminan, hibah dan instrumen lainnya harus dikaji secara cermat agar tidak terjadi ‘jebakan utang’ di masa depan. 

 “Pemerintah harus terus mengadvokasi permintaan hibah dan pinjaman lunak yang lebih besar untuk mencapai target yang disepakati tanpa menambah beban bagi negara penerima,” kata Fabby.

Hal ini ditegaskan Edo Mahendra, Kepala Sekretariat JETP Indonesia saat menjadi pembicara dalam diskusi panel bertajuk ‘Safeguarding the “Just” in Just Energy Transition Partnerships (JETP) and Other Emerging Climate Finance Models’ pada acara Climate Week tanggal 18 September 2023 di New York, Amerika Serikat

“Komponen pendanaan tertinggi masih berasal dari pinjaman komersial dan investasi dengan tingkat bunga non-konsesi. Oleh karena itu, penting untuk membangun kemitraan dan kolaborasi antara pemerintah, organisasi filantropi, dan sektor swasta,” kata Edo.

Ford Foundation di Indonesia memandang bahwa filantropi mempunyai peran penting dalam mendukung prinsip keadilan baik melalui pemerintah maupun langsung kepada masyarakat yang terkena dampak. Mereka mempunyai kemampuan untuk bertindak lebih cepat dibandingkan pemerintah dan menjembatani kesenjangan antara pemerintah dan masyarakat. Filantropi juga dapat mendukung pengembangan sumber daya manusia dengan memberikan bantuan teknis, peningkatan kapasitas, pelatihan, dan pertukaran pengetahuan.

Prinsip berkeadilan juga harus diterapkan untuk memitigasi dampak transisi energi terhadap masyarakat. Dukungan kepada inisiatif sosial-ekonomi alternatif di bidang-bidang ini penting dilakukan agar gagasan keadilan memihak kepada seluruh kelompok masyarakat. Hal ini termasuk memberikan peningkatan keterampilan dalam peralihan dari bahan bakar fosil ke sumber energi terbarukan, mendidik dan membantu pemerintah daerah untuk menyesuaikan strategi dan rencana pembangunan ekonomi mereka untuk jangka panjang, serta menciptakan pendanaan yang didedikasikan untuk mengatasi dampak peralihan dari penggunaan batu bara.

Peralihan dari bahan bakar fosil ke sumber daya rendah karbon tidak hanya berdampak pada perekonomian di tingkat lokal tetapi juga di tingkat regional atau bahkan nasional. Masyarakat yang tinggal di daerah yang bergantung pada bahan bakar fosil harus beradaptasi dengan lingkungan baru, serta menyesuaikan keterampilan dan pengetahuannya yang mungkin sulit dilakukan dalam waktu singkat.

Alexander Irwan, Direktur Regional Ford Foundation di Indonesia, mengatakan penerapan JETP harus memenuhi prinsip dasar unsur keadilan.

“Elemen keadilan sosial harus dimasukkan dalam diskusi dan rencana transisi. Konsep keadilan harus menjadi pusat perhatian, memastikan transisi yang adil bersifat inklusif bagi semua kelompok atau komunitas, khususnya pekerja, anak-anak, perempuan, dan komunitas lokal yang sangat bergantung pada rantai pasokan bahan bakar fosil,” kata Alex.

Komitmen Indonesia Terhadap Transisi Energi Pengaruhi Peluang Pembiayaan

press release

Jakarta, 18 September 2023 – Transisi energi di sektor ketenagalistrikan yang mengedepankan prinsip berkeadilan dan secara biaya terjangkau bagi masyarakat memerlukan kombinasi faktor strategis, komitmen jangka panjang, kebijakan yang mengarah pada peluang investasi untuk pengembangan energi terbarukan dan inovasi teknologinya. Hal ini diungkapkan oleh Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, Institute for Essential Services Reform (IESR).

“Semua bentuk investasi, terutama untuk infrastruktur energi yang masa operasinya mencapai lebih dari dua dekade, memerlukan kepastian hukum dan kebijakan jangka panjang terkait investasi tersebut. Hal ini penting agar pengembang proyek energi dan lembaga keuangan dapat memperhitungkan risiko dari proyek tersebut. Apalagi, proyek energi terbarukan relatif memerlukan investasi besar di awal dibandingkan sumber energi lainnya. Dengan komitmen target jangka panjang dan juga sinergi dari berbagai kebijakan dan regulasi yang ada, maka tingkat resiko investasi dapat ditekan sehingga proyek energi terbarukan tetap bankable dengan pendanaan bunga rendah,” jelas Deon.

Febrio Nathan Kacaribu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Republik Indonesia dalam Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2023 mengatakan bahwa setiap transisi yang dilakukan oleh negara berkembang seperti Indonesia harus berlangsung secara adil dan terjangkau. Ia menilai, untuk mencapai Updated Nationally Determined Contribution (NDC) atau NDC yang dimutakhirkan sebesar 29% tanpa syarat (dengan usaha sendiri) pada 2030 di sektor energi mencapai Rp3.900 triliun. Sementara kebutuhan finansial untuk Enhanced NDC (ENDC) dengan target penurunan emisi tanpa syarat sebesar 31,89%, saat ini masih dalam proses estimasi.

Febrio memaparkan, pihaknya telah melakukan beberapa terobosan dalam upaya pembiayaan transisi energi di Indonesia di antaranya dengan memperluas investasi melalui sukuk hijau yang total mobilisasi investasi dari penerbitan sukuk hijau mencapai USD 6,54 miliar dari periode 2018-2022, serta implementasi beberapa kerangka kerja regulasi dalam Energy Transition Mechanism (ETM) telah dilakukan. Febrio menekankan kolaborasi untuk blended finance (pendanaan campuran) dengan sektor swasta semakin berpeluang besar.

“Salah satu hambatan dari sektor swasta (untuk berinvestasi di transisi energi-red) adalah kurangnya pemahaman yang sama atau taksonomi. Tahun ini, dengan Indonesia sebagai ketua ASEAN, salah satu yang disepakati adalah kegiatan transisi juga akan mencakup pengakhiran dini operasional PLTU batubara yang termasuk dalam taksonomi keuangan transisi. Terdapat ketentuan hijau dengan batasan tertentu yang dapat dibiayai sektor swasta, misalnya, jika pensiun dini sebelum 2040, maka sektor swasta bergabung (membiayai-red),” ungkap Febrio.

Dadan Kusdiana, Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) mengatakan tren biaya energi terbarukan cenderung menurun sementara energi fosil, seperti batubara semakin meningkat. Menurutnya, meskipun kebutuhan investasi untuk bertransisi energi sangat besar, namun Indonesia memiliki potensi energi terbarukan dan berbagai bentuk pembiayaan yang juga berasal dari berbagai organisasi internasional.

“Investasi yang besar (untuk transisi energi-red) sebenarnya menjadi peluang untuk mentransisi sektor energi.  Memang akan ada peningkatan biaya, namun kita akan merasakan manfaat dari penurunan biaya energi terbarukan dalam periode jangka yang panjang,” jelas Dadan.

Jonathan Habjan, Konselor Ekonomi Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia mengatakan transisi energi bukan proses yang mudah, dan melibatkan banyak orang dalam jangka waktu yang panjang sehingga perlu dilakukan dengan benar dan efisien 

“Tentu ini akan memakan biaya yang besar, membutuhkan banyak usaha, dan mengubah cara bisnis dalam banyak hal,” ungkapnya.

Jonathan menambahkan untuk memastikan bahwa transisi energi berlangsung secara adil, maka perlu melibatkan masyarakat yang tergolong rentan termasuk kelompok masyarakat yang masih bekerja di industri batubara.

Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) bekerja sama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) menyelenggarakan Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2023 pada 18-20 September 2023.

Transformasi Sektor Ketenagalistrikan Menjadi Langkah Strategis dalam Mempercepat Pengurangan Emisi

press release

Jakarta, 18 September 2023 – Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) mendorong Indonesia untuk mempercepat transformasi sektor ketenagalistrikan. Hal ini menjadi fokus diskusi dalam Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2023 yang diselenggarakan oleh ICEF dan IESR bekerja sama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM). IESR dan ICEF menganggap transisi energi di sektor ketenagalistrikan merupakan langkah strategis yang secara beriringan menurunkan emisi di sektor lainnya seperti sektor transportasi dan industri.

“Fokus saat ini semestinya ada pada pengembangan energi terbarukan untuk menjadi tulang punggung energi primer di Indonesia. Inovasi teknologi dalam hal pembangkitan energi dari energi terbarukan yang potensial seperti biomassa, geothermal, hidro, surya, angin, dan lainnya perlu meningkat,” ungkap Bambang Brodjonegoro, Ketua ICEF.

Bambang menyoroti bahwa Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen yang jelas untuk bertransisi energi yang disuarakan secara aktif melalui berbagai forum internasional dan diplomatik, dengan tekad untuk mendorong lebih banyak kerja sama dan investasi ramah lingkungan untuk transisi energi.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arifin Tasrif mengatakan dalam sambutannya pada IETD 2023 bahwa transisi energi membutuhkan transformasi yang signifikan dari infrastruktur, khususnya untuk negara berkembang. Menurutnya, hal tersebut menjadi tantangan tersendiri dalam proses transisi energi di Indonesia.

“Ketidaktersediaan infrastruktur yang mendukung, investasi yang terbilang tinggi dengan pendanaan yang terbatas menjadi beberapa tantangan transisi energi di Indonesia. Indonesia berkolaborasi dengan negara lain untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut untuk menyediakan teknologi yang bersaing, pembiayaan yang kompetitif, akses yang mudah untuk pembiayaan yang berkelanjutan, serta peningkatan kapasitas sumber daya manusianya,” jelas Arifin.

Yudo Dwinanda Priaadi, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, turut menjelaskan, “Pendanaan kita dapatkan dengan trust, oleh karena itu program-program yang berjalan juga harus selaras dengan rencana global. Saat ini pendanaan JETP sedang diperjuangkan dan masih terus dimatangkan melalui diskusi antara pemerintah Indonesia dan IPG di New York, AS.” 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dan ICEF menyebut salah satu hal istimewa dalam IETD 2023 ialah pertama kalinya diselenggarakan bersama oleh Kementerian ESDM. Ia juga menekankan agar transisi energi berjalan adil, aman, dan bermanfaat bagi seluruh warga negara, maka memerlukan perencanaan yang matang dan melibatkan seluruh kelompok masyarakat. Menurut Fabby, transisi energi di sektor ketenagalistrikan menjadi sektor strategis yang mudah untuk pengurangan emisi karena 3 hal seperti kelayakan teknologi pengganti (energi terbarukan-red), integrasi jaringan listrik yang bisa direncanakan, dan manfaat ekonomi dari semakin murahnya energi terbarukan. 

“Faktor teknologi tersebut mencakup integrasi energi terbarukan, solusi penyimpanan energi, interkoneksi serta fleksibilitas sistem tenaga listrik. Kemudian, integrasi jaringan listrik di mana pembangkit listrik dapat dengan mudah diintegrasikan ke dalam jaringan listrik yang sudah ada. Sumber energi terbarukan seperti angin dan matahari dapat ditambahkan secara bertahap, sehingga memudahkan peningkatan produksi energi ramah lingkungan tanpa gangguan signifikan terhadap pasokan energi. Selain itu, ada juga manfaat ekonomi di mana biaya teknologi energi terbarukan yang semakin kompetitif dengan bahan bakar fosil,” tutup Fabby.