Mendukung Pengurangan Emisi di Sektor Transportasi

Kendaraan Listrik

Jakarta, 20 Februari 2023 – Dekarbonisasi sektor transportasi menjadi salah satu agenda utama untuk mencapai target emisi nol bersih Indonesia pada tahun 2060. Sektor transportasi merupakan penghasil emisi GRK terbesar kedua (23%), dimana transportasi darat menyumbang 90% emisi sektor ini, dengan total emisi di sektor energi mendekati 600 MtCO2eq pada tahun 2021 (IESR, IEVO 2023).

Dalam skenario rendah karbon yang sesuai dengan target Paris Agreement (LCCP), emisi dari transportasi di Indonesia perlu diturunkan menjadi 100 MtCO2eq pada tahun 2050. Sementara itu, dalam perhitungan IESR seluruh sektor energi, termasuk transportasi, harus mendekati nol emisi pada tahun 2050 agar kenaikan suhu global tetap berada di bawah 1,5 °C. Untuk mencapai hal tersebut, elektrifikasi transportasi dan pemanfaatan bahan bakar berkelanjutan perlu diprioritaskan.

Salah satu cara melakukan dekarbonisasi transportasi darat yakni meningkatkan penggunaan kendaraan listrik. Adanya penggantian komponen mesin pembakar internal (Internal Combustion Engine/ICE) dengan kendaraan listrik tidak hanya menjadi solusi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), tetapi juga menjadi pilihan yang lebih ekonomis. Hal ini lantaran efisiensi energi teknologi kendaraan listrik yang tinggi. Kendaraan listrik diproyeksikan mewakili lebih dari 60% kendaraan yang terjual secara global pada tahun 2030. Untuk itu, perlu dipersiapkan dengan matang infrastruktur pendukung kendaraan listrik di Indonesia, seperti stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU). 

Namun demikian, sebagian masyarakat masih meragukan atau bahkan berpendapat bahwa kendaraan listrik tidak dapat menjadi solusi pengurangan emisi GRK. Pasalnya, sumber listrik untuk pengisian kendaraan listrik masih berasal dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil, khususnya di Indonesia yang sekitar 67% listriknya berasal dari pembangkit listrik berbahan bakar batubara (PLTU). Selain itu, proses pembuatan baterai kendaraan listrik juga sangat memakan energi dan menghasilkan GRK dalam jumlah tinggi.

Dalam hal ini, dekarbonisasi sektor transportasi perlu dilihat secara optimis dari perspektif jangka panjang. Penggunaan sumber listrik untuk kendaraan memang menjadi tantangan besar untuk meningkatkan utilisasi kendaraan listrik. Untuk itu, rencana pengembangan kendaraan listrik harus diintegrasikan dengan peta jalan dekarbonisasi multisektor karena adopsi kendaraan listrik yang tinggi berpotensi membantu sektor lain, yaitu sektor ketenagalistrikan.

Kondisi Sektor Ketenagalistrikan

Salah satu penyebab lambatnya pengembangan energi terbarukan di Indonesia yakni terjadinya kondisi kelebihan pasokan listrik. Apalagi sistem kelistrikan tersebut memiliki cadangan daya margin cadangan (reserve margin) yang tinggi, diperkirakan mencapai 56% pada tahun 2022, sedangkan margin cadangan tipikal berdasarkan RUPTL PLN berada pada kisaran 15-40%. Kondisi tersebut bisa dikatakan terjadi karena overestimasi permintaan dan efek pandemi global.

Sayangnya, sebagian besar pembangkit baru yang beroperasi yakni PLTU yang tidak dapat beroperasi secara fleksibel karena terkendala kesepakatan take or pay. Sementara itu, beberapa unit PLTU, terutama yang telah berusia lebih tua, memiliki keterbatasan untuk beroperasi secara fleksibel karena kemampuan teknisnya, seperti laju ramp-rate yang lambat, beban minimum yang tinggi, dan waktu start-up yang lama.

Berdasarkan permasalahan tersebut, setidaknya perlu ada peningkatan permintaan listrik atau penghentian pembangkit berbahan bakar fosil, dengan atau tanpa intervensi, untuk memungkinkan penetrasi energi terbarukan yang lebih tinggi. Berkaitan dengan hal tersebut, pengembangan pemanfaatan kendaraan listrik dengan strategi yang tepat dapat digunakan sebagai salah satu upaya meminimalisir permasalahan sistem tenaga listrik.

Di lain sisi, tingkat adopsi kendaraan listrik yang tinggi berpotensi menyerap kelebihan pasokan listrik dari pembangkit listrik yang beroperasi. Dalam laporan Deep Decarbonization of Indonesia’s Energy System yang diterbitkan Institute for Essential Services Reform (IESR), kebutuhan elektrifikasi transportasi akan mencapai 136 TWh pada tahun 2030 (sekitar 28,6% dari total permintaan listrik). Dengan kata lain, elektrifikasi sektor transportasi dapat menjadi pendekatan strategis untuk mengurangi masalah kelebihan pasokan dan memberi ruang bagi lebih banyak energi terbarukan dalam sistem tenaga. Selain itu, elektrifikasi akan secara signifikan mengurangi emisi GRK langsung dan meningkatkan ketahanan energi melalui pengurangan impor bahan bakar.

Nilai Kendaraan Listrik dalam Sistem Tenaga Listrik

Pada dasarnya kendaraan listrik merupakan baterai berkapasitas besar yang terhubung ke motor listrik dan roda. Sederhananya, baterai tersebut menjadi aset penyimpanan energi untuk melakukan mobilitas. Kendaraan listrik saat ini memiliki kapasitas baterai rata-rata sekitar 40 kWh yang dapat dipandang sebagai aset berharga untuk sistem kelistrikan. Kapasitas tersebut cukup besar mengingat unit baterai penyimpanan rumah biasanya memiliki kapasitas tidak lebih dari setengah kendaraan listrik. Oleh karena itu, setiap nilai tambah kendaraan listrik perlu diaktifkan melalui integrasi jaringan dan kendaraan (VGI).

Berbagai skema VGI telah dikembangkan, sebut saja aliran energi satu arah (V1G), aliran energi dua arah (V2G), kendaraan ke bangunan (V2B), dan lainnya. Strategi integrasi yang sesuai dapat memberikan keuntungan, baik kepada pemilik kendaraan listrik maupun operator jaringan listrik. Misalnya, operator jaringan dapat menerapkan tarif pengisian berbeda pada jam pengisian tertentu yang akan mempengaruhi perilaku pengisian daya pemilik EV melalui skema V1G. Operator jaringan dapat menjaga beban puncak, menghindari biaya operasi tambahan atau kebutuhan penambahan kapasitas. Sebagai imbal baliknya, pemilik kendaraan listrik akan mendapatkan insentif tarif pengisian rendah selama waktu beban puncak.

Dalam implementasi lebih lanjut, VGI dapat dipromosikan menjadi V2G. Armada kendaraan listrik secara kolektif dapat bertindak seperti sistem penyimpanan energi stasioner (Energy Storage System/ESS) di mana operator jaringan dapat membeli listrik dari baterai kendaraan listrik untuk dipasok ke jaringan saat dibutuhkan. Namun implementasinya akan membutuhkan regulasi terkait interkoneksi.

Selain regulasi, VGI akan membutuhkan pengembangan infrastruktur pendukung yang relevan dengan peta jalan pengembangan sektor ketenagalistrikan. Mempertimbangkan tingkat penetrasi energi terbarukan, tingkat adopsi kendaraan listrik, dan profil beban saat ini, VGI dapat mulai diimplementasikan melalui insentif tarif rendah pada malam hari sehingga pemilik kendaraan listrik melakukan pengisian daya di rumah sepanjang malam. Namun, begitu sistem tenaga memiliki penetrasi PLTS  yang tinggi (seperti yang direncanakan pemerintah untuk masa depan), akan ada suplai listrik yang tinggi di siang hari. Bukankah kita perlu menyiapkan lebih banyak infrastruktur pengisian publik? Atau ada strategi lain?

Kelebihan Pasokan Listrik, PLN Perlu Evaluasi Megaproyek 35 GW

Jakarta, 8 Februari 2023 – PLN saat ini tengah dilanda krisis kelebihan pasokan listrik. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut, termasuk pandemi dan resesi global. Ditambah lagi, terdapat megaproyek PLTU batubara 35 Gigawatt yang telah digagas sejak tahun 2015 yang baru beroperasi 47% di tahun 2022. Namun terdapat pula beberapa miskonsepsi mengenai krisis ini. Dalam perbincangan di acara Energy Corner CNBC (6/2/2023), Herman Darnel Ibrahim, anggota Dewan Energi Nasional, dan Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), mengupas beberapa miskonsepsi tersebut.

Menurut Herman, sudah umum bagi jasa penyedia listrik, termasuk PLN, untuk menyediakan persentase reserve margin atau cadangan daya pembangkit terhadap beban puncak. Jika menilik negara lain, 40-50% menjadi acuan normal bagi reserve margin untuk mengantisipasi pertumbuhan dan pemeliharaan. Pada 2022 sendiri, tercatat pertumbuhan listrik sebesar 6,15% (termasuk dari produsen listrik swasta), dan diperkirakan akan terus meningkat pada tahun-tahun ke depan.

“Di pulau Jawa sendiri mungkin memang reserve marginnya 60%, sementara di tempat lain kekurangan daya. Jadi dalam dua tahun ke depan, diperkirakan sudah tidak ada overcapacity,” jelas Herman

Masuknya permintaan listrik di luar PLN dalam angka pertumbuhan listrik dinilai oleh Fabby kurang mencerminkan realisasi pertumbuhan di dalam PLN yang kurang dari 5%. Ia menganggap situasi kelebihan pasokan saat ini terjadi karena ketidaksesuaian proyeksi permintaan yang menjadi basis perencanaan 35 GW dan realisasinya. “Dari 35 GW yang telah direncanakan, sebesar 5,4 GW belum kontrak dan belum mendapatkan pendanaan. Alangkah baiknya apabila jumlah tersebut dapat dibatalkan atau dialihkan ke energi terbarukan,” jelas Fabby.

Herman dan Fabby setuju bahwa perlu adanya evaluasi dari PLN di berbagai aspek. Pertama, harus menajamkan prediksi pertambahan permintaan listrik, sekaligus memperhitungkan pasokan listrik dari pembangkit swasta. Hal ini bisa mengurangi kemungkinan kelebihan kapasitas, yang bisa berakibat biaya yang harus ditanggung pemerintah, atau kenaikan tarif ke pelanggan. 

Kedua, adanya evaluasi kontrak jual beli daya dengan produsen listrik swasta terutama yang menggunakan klausul take or pay. 80% dari kelebihan suplai listrik datang dari take or pay swasta, dan tiap GWnya membebani negara sebesar Rp3 triliun.

Ketiga, perlu adanya evaluasi jadwal antar proyek. Kecenderungan yang sering terjadi adalah penyelesaian proyek disesuaikan dengan masa jabatan pemerintah, sehingga tidak sesuai dengan pertumbuhan permintaan listrik, namun justru terjadi pertambahan kapasitas secara tiba-tiba.

“Jadwal COD (tanggal operasi komersial) harusnya ditentukan PLN, bukan masa jabatan pemerintah. Lazimnya, proyek direncanakan tahun per tahun agar tidak terjadi undercapacity maupun overcapacity,” ujar Herman.

“Sisa 5,4 GW ini penting untuk dipantau. Proyek ini paling banyak didanai oleh Tiongkok, sementara sejak beberapa tahun yang lalu, Tiongkok sudah tidak membiayai proyek PLTU lagi, sehingga apabila sudah pasti tidak dapat pendanaan, lebih baik dibatalkan atau dialihkan ke energi terbarukan. Evaluasi kemudian penting untuk memberi kestabilan pasokan dan harga yang terjangkau,” tutup Fabby.

Implementasi B35 di Februari 2023, Apa yang Perlu Diperhatikan Pemerintah?

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa

Jakarta, 7 Februari 2023 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana mengimplementasikan program Mandatori Biodiesel 35 persen (B35) di bulan Februari 2023.  Diharapkan program ini dapat mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sekitar 34,9 juta ton CO2e. Menanggapi kebijakan ini, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menjelaskan salah satu alasan pengembangan bahan bakar nabati mulai dilakukan karena permintaan bahan bakar minyak (BBM) yang terus meningkat dan terjadi penurunan produksi minyak mentah di Indonesia. Hal ini diungkapkannya dalam webinar yang diselenggarakan oleh Satya Bumi dan Sawit Watch pada Sabtu, 4 Februari 2023 dengan tema “Problematika Minyak Goreng, CPO Bagi Pangan vs Energi”. 

“Persoalan pengembangan bahan bakar nabati (BBN) di Indonesia bisa dikelompokkan dalam beberapa isu, di antaranya harga domestik versus harga pasar, persoalan offtaker (pemasok kebutuhan industri atau pasar-red), termasuk intervensi negara. Penggunaan BBN ini mulai digalakkan mengingat sebagian besar bahan bakar minyak (BBM) impor sehingga mengakibatkan neraca perdagangan mengalami defisit, terjadinya pelemahan nilai tukar dan risiko keamanan pasokan energi,” terang Fabby Tumiwa. 

Fabby memaparkan, penggunaan minyak sawit dalam BBN memiliki dampak terhadap lingkungan. Mengutip beberapa studi selama 10 tahun terakhir, ujar Fabby, program BBN di Indonesia berkorelasi dengan deforestasi, ancaman terhadap keanekaragaman hayati, dan memperburuk perubahan iklim yang terjadi. Berdasarkan studi Biofuels Development and Indirect Deforestation (2023), peningkatan permintaan BBN dari CPO diikuti dengan peningkatan luasan kebun kelapa sawit, dari periode 2014-2022 luas kebun kelapa sawit meningkat sampai 4,25 juta ha. 

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa dalam webinar yang diselenggarakan oleh Satya Bumi dan Sawit Watch pada Sabtu (4/2/2023)

“Penggunaan BBN diklaim sebagai salah satu strategi untuk memangkas emisi gas rumah kaca, dan itu dibandingkan dengan mensubstitusi minyak diesel oleh bahan bakar nabati. Klaim ini perlu diuji, benarkah demikian? Untuk itu perlu ada metodologi perhitungan emisi GRK yang baku, sehingga klaim pemerintah untuk substitusi ke BBN terbukti memiliki manfaat penurunan emisi GRK,” kata Fabby. 

Di sisi lain, Fabby menuturkan, terdapat dampak sosial dalam perkembangan BBN yakni mendukung ekonomi nasional dan lokal, seperti mengurangi defisit neraca perdagangan, membuka lapangan kerja dan meningkatkan nilai output petani. Meski demikian, terdapat pula dampak negatif ataupun kendala perkembangan BBN yang patut diperhitungkan yaitu konflik lahan, korupsi, posisi petani yang lemah dan kondisi kerja yang buruk. Untuk itu, Fabby menjelaskan, apabila Indonesia ingin produksi BBN maka terdapat potensi bahan baku non CPO yang bisa digunakan. 

“Beberapa potensi bahan baku non CPO seperti tanaman non pangan (nyamplung, kemiri sunan, malapari dengan potensi lahan 250.000 ha atau sekitar 280.000 kilo liter biodiesel/tahun, kaliandra dengan potensi lahan 2.771.000 ha), limbah minyak (minyak jelantah dengan potensi 2,7 juta ton/tahun dan lemak hewan, ikan, tail-oil, limbah sawit dengan potensi 1,2 juta ton/tahun) dan limbah pertanian atau perkebunan (sekam padi dengan potensi 151 juta ton/tahun, bonggol jagung dengan potensi 31 juta ton/tahun, bagas tebu dengan potensi 8 juta ton/tahun dan limbah sawit dengan potensi 70 juta ton/tahun,” tegas Fabby.

Fabby menekankan beberapa rekomendasi untuk memastikan keberlanjutan bahan bakar nabati, seperti memperjelas tujuan pengembangan, pemanfaatan dan menetapkan parameter yang jelas untuk mengukur keberhasilan, diperlukan adanya peta jalan pengembangan BBN yang ditautkan dengan program di Kementerian/Lembaga lainnya, menetapkan persyaratan NDPE dan/atau sertifikasi ISPO pada semua CPO untuk produksi FAME di program BBN, serta memprioritaskan co-processing untuk BBN pengganti bensin. 

Direktur Bioenergi, Ditjen Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian ESDM, Edi Wibowo, menuturkan terdapat dukungan pelaksanaan program biodiesel yakni kecukupan pasokan biodiesel dengan kapasitas produksi terpasang 17,2 juta kilo liter, pemerintah menyediakan insentif dari BPDPKS, menyiapkan dukungan kebijakan untuk menjamin sustainability program, penerapan standar nasional dan petunjuk teknis. Berdasarkan data Kementerian ESDM, total alokasi 2022 sebanyak 11,02 juta kilo liter terdiri dari realisasi implementasi biodiesel tahun 2022 dengan produksi 11,8 juta kilo liter, penyaluran domestik 10,5 juta kilo liter, ekspor 372 ribu kilo liter dan insentif yang dibayarkan dari penyaluran tersebut sekitar Rp22,1 triliun. 

“Substitusi BBM ke BBN adalah upaya strategis dalam upaya penghematan devisa akibat menurunnya impor minyak solar, peningkatan nilai tambah Crude Palm Oil (CPO), membuka lapangan kerja, sekaligus menurunkan emisi gas rumah kaca dan meningkatkan bauran energi baru terbarukan di Indonesia. Tak hanya itu, pengadaan biodiesel (B35) tahun 2023 didasarkan arahan Presiden dalam rapat kabinet pada 6 Desember 2022 dan hasil rapat komite pengarah (komite pengarah) pada 27 Desember 2022,” papar Edi. 

Sinergi dan Investasi Nasional demi Energi Terbarukan

Jakarta, 6 Februari 2023 – Jalan menuju target Indonesia bebas emisi masih cukup berliku dan panjang. Salah satu aksi pemerintah dalam mendukung upaya ini adalah dengan membuat regulasi untuk mendorong implementasi energi terbarukan. Kenyataannya, antara target, regulasi, dan implementasi seringkali tidak selaras. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam segmen Market Review di kanal IDX (24/01/2023) menyatakan bahwa pada tahun 2022, terdapat target untuk perkembangan energi terbarukan sebesar 1000 MW yang tidak tercapai. 

“Terdapat beberapa faktor mengapa target ini tidak tercapai, yang pertama adalah faktor pelemahan ekonomi yang menyebabkan permintaan listrik belum tumbuh optimal. Faktor lain adalah pandemi, yang menyebabkan beberapa proyek mengalami keterlambatan,” jelas Fabby.

Lebih lanjut, Fabby menjelaskan bahwa Peraturan Pemerintah no. 79/2014 yang diturunkan pada Perpres 22/2017 telah menetapkan target bauran energi terbarukan nasional 23% pada tahun 2025. Untuk mencapai target ini, Fabby memperkirakan bahwa perlu ada pertumbuhan energi terbarukan sebesar 3-4 Gigawatt tiap tahunnya. Kenyataannya, sejak PP no. 79/2014 ditetapkan, rata-rata energi terbarukan hanya bertambah 15% dari 3-4 GW, yaitu sekitar 400-500 MW. 

Permasalahan ini juga kemudian mengakar dari infrastruktur energi negara itu sendiri. Sumber energi Indonesia masih bergantung pada fosil, yakni sekitar 86%. Untuk merubah struktur ini, penting pula untuk mempertimbangkan pertumbuhan permintaan energi di Indonesia. Permintaan energi yang semakin meningkat ini harus kemudian diupayakan memakai energi bersih. Menurut perhitungan IESR, transisi energi di Indonesia memerlukan pendanaan sekitar 1,4 miliar dolar. Dana ini mencakup energi terbarukan dan pembaruan infrastruktur energi. 

Mengenai persepsi ekonomis masyarakat, Fabby menilai bahwa energi fosil masih dipandang lebih hemat karena saat ini batubara masih disubsidi oleh pemerintah. Penetapan Domestic Market Obligation pada tahun 2017 membatasi harga batubara menjadi 70 dolar/ton meskipun harga di luar lebih tinggi dari itu. Insentif semacam inilah yang patutnya turut diberikan pada perkembangan energi terbarukan. Namun, hal ini juga terhalang oleh kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).

“PLTS telah menjadi sumber energi terbarukan yang paling hemat, namun di Indonesia justru menjadi mahal. Dibandingkan 10 tahun lalu, harga PLTS sudah menurun 90%. Kebijakan TKDN justru menjadi disinsentif yang bisa mencegah investor untuk berinvestasi dan membuat PLTS menjadi lebih terjangkau,” tutup Fabby.

Transisi Energi Indonesia di Mata Jurnalis

Peneliti Senior IESR, Raden Raditya Yudha Wiranegara di peluncuran laporan Indonesia Energy Transition Outlook 2023

Jakarta, 17 Januari 2023Transisi energi menuju energi terbarukan seakan keras mengaung dalam momentum G20 2022. Pasalnya, Pemerintah Indonesia menempatkan transisi energi sebagai salah satu isu prioritas di bawah kepemimpinannya di G20. Pemberitaannya di media massa, menggunakan kata kunci “transisi energi” di Brandwatch.com, meningkat dari 346 di 2017 menjadi lebih dari 79 ribu di 2022. 

Institute for Essential Services Reform (IESR) senantiasa berupaya berkontribusi untuk mempopulerkan transisi energi dengan berbagai kajian dan kegiatan advokasinya. Salah satunya adalah dengan menerbitkan laporan utamanya yang mendorong dan mengukur proses transisi energi di Indonesia berjudul Indonesia Energy Transition Outlook (IETO). Dipublikasikan setiap tahun sejak 2017, IETO 2023 merupakan jilid ke-6. Sebelumnya laporan ini berjudul Indonesia Clean Energy Outlook di 2017, namun berubah nama menjadi Indonesia Energy Transition Outlook pada tahun 2020.  

Peluncuran IETO disambut baik oleh berbagai pihak, di antaranya para jurnalis di media massa yang mempunyai peran penting sebagai penyampai informasi kepada publik. 

Sugiharto, wartawan ANTARA, menuturkan IETO merupakan salah satu laporan  penting yang berkembang semakin baik dari tahun ke tahun dan menjadi  referensi dalam penulisan jurnalistik karena memuat berbagai data dan informasi tentang program transisi energi yang dijalankan oleh Indonesia.

“Dengan laporan IETO yang lengkap datanya maka kami sebagai jurnalis cukup sering menjadikannya sebagai referensi penulisan, terutama terkait keragaman data di luar pemerintahan,” terang Sugiharto. 

Di sisi lain, Sugiharto menilai, perkembangan transisi energi di Indonesia belum terlalu agresif. Padahal Indonesia punya banyak potensi energi terbarukan yang sangat mumpuni untuk memenuhi kebutuhan energi di dalam negeri. Hambatan regulasi dan pendanaan menjadi tantangan bagi pengembangan transisi energi di Indonesia yang perlu diatasi.

“Dilihat dari bauran energi terbarukan yang masih rendah, pemerintah perlu agresif merealisasikan ambisi transisi energi di Indonesia,” ujar Sugiharto. 

Aditya Putra, wartawan Harian Kompas, menjelaskan IETO yang menjabarkan tantangan transisi energi di Indonesia dan langkah strategis ke depannya. Menurutnya hal ini menarik untuk diketahui oleh publik.

“Data-data yang tersaji di dalam IETO bisa membuat publik semakin memperhatikan transisi energi, termasuk yang mungkin selama ini terlewat oleh jurnalis atau tidak diungkap secara berkala ke publik oleh pemerintah misalnya soal bauran energi terbarukan dalam energi primer yang menurun. Makin menjauh target yang telah ditetapkan,” jelas Aditya.

Aditya berharap keberadaan laporan seperti IETO 2023 dapat mengawal komitmen dan implementasi dari agenda dan rencana transisi energi pemerintah. Senada dengan Aditya, Vindry Florentin, wartawan Koran Tempo, memaparkan integrasi data yang komprehensif membahas transisi energi di laporan IETO menjadi rujukan bagi media. Terlebih, kata Vindry, data yang dibagikan pemerintah juga belum lengkap dan terintegrasi. 

Menyoal perkembangan transisi energi di Indonesia, Efri Ritonga, wartawan senior  Koran Tempo, memaparkan bahwa transisi energi terus berjalan walaupun masih lambat.  Aksi-aksi inisiatif masyarakat untuk memulai transisi energi, seperti penggunaan PLTS atap di hunian, maupun pengembangan energi terbarukan skala besar masih terkendala. Selain itu, penggunaan bahan bakar fosil masih menjadi primadona karena alasan harga, ketersediaan, dan keterjangkauan. Terlebih, sebagian masyarakat juga belum mengenal isu transisi energi. 

“Terdapat beberapa penyebab isu transisi energi belum begitu dikenal banyak masyarakat. Pertama, belum banyak informasi atau sosialisasi mengenai praktik transisi energi yang bisa dimulai dari diri sendiri, misalkan, dengan menggunakan kompor listrik, memasang PLTS atap, dan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi berbahan fosil atau beralih ke kendaraan listrik. Kedua,  soal kepraktisan dan biaya. Contohnya di sektor transportasi, harga mobil elektrik  masih sangat mahal, dan ketersediaan charging station masih minim,” ujar Efri dan Vindry. 

Waktu Terus Berlalu, Sudahkah Transisi Energi Indonesia Bergerak Maju?

Perjalanan transisi energi Indonesia memasuki masa-masa kritis mengingat waktu yang ada semakin pendek. Target terdekat Indonesia adalah untuk mencapai 23% bauran energi terbarukan pada tahun 2025. Sementara, kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JETP) yang dikomitmenkan pada KTT G20 2022  menargetkan 34% energi terbarukan pada tahun 2030.

Dalam rentang waktu yang semakin pendek ini, progres transisi energi di Indonesia sayangnya masih tersendat. Kerangka kesiapan untuk bertransisi (Transition Readiness Framework) yang dikembangkan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) sejak tahun 2020 mencatat di tahun 2022 tidak ada perkembangan signifikan dari berbagai sektor transisi energi di Indonesia. Komitmen politik dan kebijakan bertransisi energi, serta iklim investasi untuk pembangkit energi terbarukan termasuk dalam kategori rendah. Hal ini dapat diartikan sebagai tantangan dalam pengembangan energi terbarukan sekaligus faktor yang perlu diperhatikan agar Indonesia tidak  gagal mencapai target-targetnya.

Tidak dipungkiri terdapat peningkatan kapasitas terpasang energi terbarukan tiap tahunnya. Namun penambahan kapasitas ini tidak cukup cepat untuk memenuhi target-target kapasitas energi terbarukan Indonesia dalam upaya membatasi kenaikan rata-rata suhu bumi di bawah 1,5 derajat celcius. 

Mengapa penting bagi Indonesia mencapai target-target energi terbarukannya? Indonesia masuk dalam sepuluh besar negara penghasil emisi terbesar di dunia. Maka, Indonesia memiliki tanggungjawab untuk mengurangi emisi gas rumah kacanya secara signifikan. Emisi Indonesia didominasi oleh dua sektor yaitu alih guna lahan dan sektor energi.

Dari sektor energi, emisi dapat dikurangi secara drastis dengan berfokus pada sektor ketenagalistrikan dengan menambah porsi pembangkit energi terbarukan, dan beralih pada sistem elektrik (elektrifikasi) bagi kendaraan dan industri.  

Indonesia Energy Transition Outlook 2023 melihat terdapat kesempatan untuk menambah kapasitas energi terbarukan pada tahun 2023. Adanya bantuan internasional untuk mengurangi emisi khususnya dari sektor energi harus menjadi katalis untuk penambahan kapasitas energi terbarukan sekaligus sarana pembuatan portofolio untuk menarik lebih banyak investasi untuk energi terbarukan. Untuk mencapai status bebas emisi pada tahun 2050, Indonesia membutuhkan 25-30 juta dolar Amerika per tahun untuk bertransisi.

Perubahan sistematis untuk memperbaiki iklim investasi diperlukan. Setidaknya terdapat tiga poin yang perlu diperbaiki menurut pengembang energi terbarukan yaitu perlu adanya FiT (Fit in Tariff), insentif fiskal, dan pinjaman berbunga rendah.

PR Panjang Transisi Energi Pemerintah Indonesia

Jakarta, 12 Januari 2023 – Transisi energi, secara definisi, adalah upaya perubahan suplai energi dari yang sebelumnya bergantung pada batubara ke energi yang lebih bersih. Upaya inilah yang terus didorong pemerintah Indonesia untuk menuju negara yang mandiri dan tahan energi. Namun, sebelum meraih hal tersebut, masih banyak tugas yang harus dipenuhi pemerintah Indonesia.

Handriyanti Diah Puspitarini, Manajer Riset Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam acara Ruang Publik KBR: Transisi Energi di Indonesia, Sampai di Mana? yang diselenggarakan oleh Berita KBR (10/01) menjelaskan bahwa kajian IESR mengenai transisi energi memantau kesiapan publik lewat survei, dan kesiapan pemerintah lewat riset.

“Kesiapan publik (bottom up) sudah mendukung pengadaan energi yang lebih bersih, namun berdasarkan kerangka kesiapan transisi yang dikaji dalam Indonesia Energy Transition Outlook 2023, pemerintah (top down) masih punya banyak hal yang harus ditingkatkan, terutama dari segi komitmen dan regulasi,” ungkap Handriyanti.

Sementara dalam kesempatan yang sama, Raden Raditya Yudha Wiranegara, Peneliti Senior IESR menyatakan bahwa dari sisi bahan bakar fosil, pemerintah masih belum memperhatikan emisi karbon yang dihasilkan oleh industri pertambangan, minyak, dan gas. 

“Pemerintah masih memantau emisi karbon dioksida (CO2) saja, dibandingkan metana yang memerangkap panas 29-30x lebih besar. Padahal, apabila terjadi pengurangan akan gas metana sebesar 30% saja, akan membantu mengurangi kenaikan suhu sebesar 0,5°C,” tegas Raditya.

Handriyanti dan Raditya kemudian membahas mengenai tren adopsi kendaraan listrik yang meningkat. Harganya yang masih tinggi kemudian memunculkan usulan pemerintah untuk subsidi kendaraan ini, yang diharapkan akan mendorong permintaan publik dan menurunkan harga kendaraan listrik pada akhirnya. 

Namun menurut mereka,  terdapat beberapa titik resistensi masyarakat mengenai transisi energi dan penggunaan kendaraan listrik ini. Pertama adalah paradigma bahwa bahan bakar fosil lebih hemat dibandingkan energi terbarukan. Padahal, harga tersebut merupakan hasil dari intervensi pemerintah berupa price capping, subsidi, dan kompensasi. Dampaknya, ketika harga minyak dunia tinggi, tentu ini akan membebani APBN. Kedua, adanya range anxiety yang artinya ketakutan akan kurangnya daya kendaraan listrik dalam melakukan perjalanan jauh. 

“Pemerintah kemudian harus menyiasati ini dengan memperbanyak stasiun pengisian daya di titik-titik perjalanan jauh seperti di pemberhentian tol,” ungkap Raditya.

Handriyanti dan Raditya membagi pembahasan kemajuan dan tugas pemerintah dalam soal transisi energi dari sisi tekno ekonomi, regulasi, dan pendanaan. Mereka menyampaikan bahwa harga teknologi energi terbarukan semakin terjangkau tiap tahunnya, misalnya seperti harga modul surya 70% lebih murah dibandingkan 7-10 tahun lalu dan diprediksi dapat lebih menurun lagi. Regulasi yang baik seperti Perpres 112/2021 yang menetapkan menteri untuk membuat peta jalan pemensiunan PLTU perlu didukung. Namun, regulasi ini masih harus dipantau pelaksanaannya dan diperbaiki, terutama mengingat pendanaan batubara dan fosil 10 kali lebih besar dibandingkan pendanaan energi terbarukan. 

“Keberadaan forum-forum internasional seperti G20 telah mendorong Indonesia untuk membuat komitmen menuju transisi energi dan menarik pembiayaan untuk upaya terkait. Diharapkan, pembiayaan ini bisa membantu Indonesia mencapai target bauran energi terbarukan 23% pada tahun 2025,” pungkas keduanya.

Jalan Panjang Perubahan Kebijakan Energi Indonesia

Jakarta, 20 Desember 2022 – Perkembangan energi terbarukan di Indonesia masih sangat lambat. Energi surya misalnya, data kementerian ESDM mencatat bahwa potensi energi surya di Indonesia mencapai 3300 GW. Namun pemanfaatannya masih kurang dari 1% dari besarnya potensi yang ada. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) sekaligus Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) dalam acara Inspirational Talks: Energi Terbarukan, Masa Depan Kita yang diselenggarakan oleh RESD dan Program Mentari (20/12) mengatakan terdapat sejumlah faktor yang saat ini menghambat pengembangan energi terbarukan di Indonesia.

“Mengurangi porsi energi fosil itu tidak mudah sebab sudah ada persepsi bahwa energi fosil lebih reliable dan energi terbarukan seperti surya dan angin tidak selalu tersedia (intermittent). Hal ini menjadikan energi terbarukan bukan pilihan utama ketika membuat perencanaan,” kata Fabby.

Salah satu akibat dari kebijakan ini adalah minat lembaga keuangan untuk membiayai proyek-proyek energi terbarukan rendah. Maka perkembangan energi terbarukan pun sangat lambat saat ini. 

Hal yang perlu dilakukan adalah mengubah dokumen perencanaan dan kebijakan energi berdasarkan bukti atau kajian kredibel (evidence based).  IESR melalui kajian-kajian berbasis buktinya kemudian memberikan rekomendasi pada pembuat kebijakan untuk membuat atau mengubah kebijakan untuk bertransisi menuju sistem energi yang lebih bersih. 

Meski secara kajian dan penelitian telah terbukti bahwa sistem energi yang lebih bersih akan membawa keuntungan yang lebih banyak bagi pemerintah dan masyarakat namun proses perubahan kebijakan seringkali memakan waktu panjang. Untuk itulah kemampuan advokasi dan komunikasi yang mumpuni dibutuhkan untuk mengawal dan mendesak kebijakan energi yang lebih bersih.

Fabby menuturkan bahwa penting untuk memastikan akses energi yang merata, berkualitas, dan bersih di masyarakat sebab dengan memiliki akses pada listrik, orang atau komunitas akan lebih sejahtera. Saat memiliki akses pada listrik yang berkualitas orang cenderung akan memiliki tingkat kehidupan yang lebih baik sebab dia lebih memiliki kemampuan untuk melakukan kegiatan produktif. 

Dalam penutupnya, Fabby menegaskan bahwa energi terbarukan adalah masa depan sistem energi Indonesia bahkan dunia. Maka penting untuk mempersiapkan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan masa depan terutama untuk calon angkatan kerja yang saat ini masih sekolah ataupun kuliah.

Aktivitasmu Menyumbang Pemanasan Global, Bagaimana Bisa?

Save the earth

Jakarta, 21 Desember 2022 – Terdapat 3.207 bencana alam di Indonesia terjadi sejak awal tahun 2022 sampai November 2022 lalu. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dari jumlah tersebut, setidaknya 95 persennya merupakan bencana hidrometeorologi atau bencana akibat aktivitas cuaca, seperti banjir, tanah longsor dan cuaca ekstrem. Tak hanya itu, BNPB mencatat terdapat lebih dari 3.000 bencana terjadi sepanjang 2021, didominasi peristiwa hidrometeorologi, yang diperparah adanya fenomena La Nina (menurunnya suhu air laut di Samudra Pasifik). Bencana itu juga dipicu dampak perubahan iklim. 

Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) menjelaskan, pemanasan global adalah naiknya panas suhu rata – rata permukaan bumi akibat meningkatnya kadar gas rumah kaca. Melansir laman resmi National Geographic,peningkatan suhu permukaan bumi tersebut dihasilkan oleh adanya radiasi sinar matahari menuju ke atmosfer bumi, lalu sebagian sinar ini berubah menjadi energi panas dalam bentuk sinar infra merah diserap oleh udara dan permukaan bumi. Sebagian sinar infra merah dipantulkan kembali ke atmosfer dan ditangkap oleh gas rumah kaca terutama berupa karbon dioksida, metana dan nitrogen oksida, yang menyebabkan suhu bumi meningkat.

Berdasarkan laporan terbaru United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), pemanasan global bisa sangat buruk pada 2100 jika perubahan iklim akibat tingginya emisi karbon bumi diabaikan.  Upaya penurunan emisi karbon global perlu dilakukan secara segera dan masif untuk mengatasinya. Terlebih Indonesia menduduki urutan kelima sebagai negara penghasil emisi karbon kumulatif terbanyak di dunia mencapai 102,562 GtCO2 pada tahun 2021 berdasarkan laporan Carbon Brief. Hal ini menunjukkan, Indonesia juga berperan terhadap perubahan lingkungan global.

Pemanasan global memberikan efek cukup berbahaya bagi makhluk hidup. Misalnya saja, pemanasan global membuat gletser mencair dan mengakibatkan daratan berubah menjadi laut karena volume air meningkat. Apabila pemanasan global terus berlangsung, bukan tak mungkin seluruh es di kutub akan mencair.  Studi yang dilakukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Indonesia memperkirakan bahwa setidaknya 115 pulau kecil di Indonesia berada di ambang tenggelam. Hal ini disebabkan oleh kenaikan muka air laut dan penurunan muka tanah. Organisasi penelitian dan advokasi Climate Central menghitung bahwa kenaikan permukaan laut setinggi satu meter akan membanjiri pantai utara pulau Jawa, salah satu pulau terpadat di dunia. Hal ini karena kemiringan dataran pantai yang rendah (antara 0 dan 20 derajat). Jika pemanasan global tak ditekan, manusia akan kesulitan mencari tempat tinggal apabila volume air terus meningkat.

Upaya mitigasi menjadi keniscayaan agar bumi ini tetap lestari. Langkah untuk memperlambat terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim di antaranya dengan meminimalkan aktivitas yang menyebabkan masalah tersebut. Untuk melakukan mitigasi, sebagai individu sebaiknya mengetahui aktivitas apa saja yang bisa berdampak terhadap pemanasan global. IESR meluncurkan Kalkulator Karbon Jejakkarbonku.id pada Agustus 2022 lalu. Kalkulator karbon Jejakkarbonku.id menyediakan penghitungan emisi dari 3 sektor seperti rumah tangga, makanan dan transportasi. Selain itu, IESR tetap mempertahankan fitur kompetisi untuk mendorong semangat menurunkan emisi lebih kuat. Peringkat tertinggi berarti emisi yang dihasilkan semakin kecil.