Integrasi Kapasitas Energi Terbarukan Lebih Besar Memerlukan Reformasi Sistem Energi

press release

Jakarta, 19 September 2023 – Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) mendorong Indonesia melakukan reformasi sistem ketenagalistrikan yang mampu mengintegrasikan energi terbarukan, terutama surya dan angin atau yang lebih dikenal sebagai Variable Renewable Energy (VRE) atau variabel energi terbarukan, dengan kapasitas yang lebih besar melalui pengoperasian sistem ketenagalistrikan yang fleksibel, memperkuat kapasitas perkiraan (forecasting) VRE dan revitalisasi infrastruktur jaringan. 

Setidaknya ada tiga hal kunci yang perlu dipertimbangkan. Pertama, insentif bagi pemain yang terlibat di dalam pengoperasian sistem tenaga listrik yang fleksibel. Kedua, transparansi di dalam proses pengadaan, baik itu pembangkit energi terbarukan maupun infrastruktur jaringan. Ketiga, reformasi regulasi yang dapat mengakomodasi pengoperasian sistem ketenagalistrikan yang fleksibel serta mendorong adopsi energi terbarukan yang lebih besar.

Peluang untuk mereformasi sistem ketenagalistrikan Indonesia dengan lebih banyak kapasitas energi terbarukan perlu dukungan investasi yang mumpuni pula. Direktur Hilirisasi Mineral dan Batubara, Kementerian Investasi dan BKPM RI, Hasyim Daeng Barang, mengatakan minat investor terhadap pengembangan energi terbarukan di Indonesia mulai terbangun.  Untuk itu, pihaknya berupaya menjembatani kebutuhan investor, khususnya terkait inisiasi pengembangan proyek energi baru terbarukan dengan melakukan koordinasi dan menghubungkan pihak investor dengan pihak yang berkepentingan terkait.

“Kementerian Investasi/BKPM juga berupaya untuk memberikan informasi yang komprehensif kepada investor melalui penyusunan penawaran proyek yang dapat diinvestasi (Investment Project Ready to Offer) dengan keluaran berupa dokumen pra feasibility study terkait proyek strategis di daerah,” jelas Hasyim dalam pelaksanaan hari-ke 2, Indonesia Energy Transition Dialogue 2023 pada Selasa (19/9/23).

Selain itu, BKPM menilai bahwa disamping mendorong investasi pada sektor potensial/prioritas, urgensi keberlanjutan tetap merupakan tanggung jawab seluruh sektor perekonomian.

Di dalam presentasinya, Senior Advisor Programme Manager International Energy Agency (IEA), Michael Waldron, mengenalkan enam tahapan integrasi variabel energi terbarukan di dalam sistem ketenagalistrikan. Menurut Michael, Indonesia, dengan bauran variabel energi terbarukan-nya yang saat ini masih berada di bawah 1%, berada di dalam tahap satu dari integrasi variabel energi terbarukan. Hal ini berarti pengoperasian variabel energi terbarukan masih memberikan dampak yang sangat minor terhadap sistem ketenagalistrikan. Namun, perencanaan ke depannya perlu tetap mempertimbangkan bauran variabel energi terbarukan yang lebih tinggi, apalagi biaya pembangkitan variabel energi terbarukan memiliki tren yang semakin menurun selama satu dekade terakhir.

Menyoal harga sistem ketenagalistrikan dan biaya investasi di Indonesia,  Michael menilai masih berada di atas harga yang ditetapkan oleh pasar internasional. Hal ini membuat keekonomian pembangunan energi terbarukan tidak cukup menarik di Indonesia. Ia mendorong agar Indonesia menurunkan harga melalui reformasi kontrak dan operasional dalam sistem tenaga listrik untuk menarik lebih banyak investasi serta membangun integrasi jaringan listrik antar pulau juga penting bagi Indonesia yang menghubungkan sumber energi terbarukan dengan pusat beban atau permintaan energi. Reformasi kontrak dan operasional, ia menambahkan, juga perlu menyasar pembangkit listrik konvensional, seperti PLTU batubara, yang sebetulnya dapat berperan di dalam hal pengoperasian sistem ketenagalistrikan yang fleksibel.

Menurutnya, kemajuan interkoneksi di ASEAN serta pengoperasian sistem energi yang fleksibel di Indonesia akan mempercepat penurunan emisi dan meningkatkan penghematan biaya. 

“Sistem energi Indonesia dapat mempersiapkan porsi energi terbarukan yang lebih besar melalui penerapan kontrak baru, memberikan insentif untuk investasi di jaringan listrik, mengembangkan strategi fleksibilitas sistem, serta mengadaptasi perencanaan dan operasi jaringan listrik untuk memaksimalkan porsi variasi energi terbarukan dan menetapkan visi untuk jaringan listrik pintar,” ungkap Michael.

General Manager PLN Unit Induk Pusat Pengatur Beban Jawa, Madura, dan Bali (PLN UIP2B Jamali), Munawwar Furqan, mengungkapkan pembangkit dengan variasi energi terbarukan saat ini berlokasi di Sulawesi, terdiri dari 5 pembangkit energi terbarukan dengan total 170 MW, di antaranya Likupang SPP 15 MW, Sumulata SPP (2 MW), Sidrap WPP kapasitas 77 MW, Tolo (Jeneponto) kapasitas 66 MW. Namun demikian, Munawwar menyebutkan pihaknya telah mengidentifikasi beberapa tantangan dari pengoperasian sistem energi yang mengakomodasi variasi energi terbarukan, di antaranya sifat intermitensi energi terbarukan yang berpengaruh terhadap sistem, keandalan dan frekuensi yang berubah-ubah.

“Beberapa strategi yang dilakukan untuk mengendalikan intermitensi variasi energi terbarukan seperti merevisi kode jaringan (grid code) untuk bisa diterapkan bagi pengguna jaringan, prakiraan dan pengurangan beban (forecasting and load curtailment) untuk kestabilan sistem, serta memasang sistem penyimpanan energi baterai. Kapasitas perkiraan menjadi hal penting untuk pengoperasian pembangkit dengan variasi energi terbarukan agar bisa mengatur variabilitas serta mengantisipasinya,” jelasnya. 

Manajer Program Transformasi Energi IESR, Deon Arinaldo, menyebut pihak terkait perlu menginventarisasi data perkiraan cuaca sehingga dapat membuat perkiraan (forecasting) yang lebih akurat dan perencanaan investasi pembangkit energi terbarukan yang lebih efisien. 

“Kolaborasi dengan pihak lain seperti BMKG untuk perkiraan cuaca penting dan potensial. Aktual kondisi cuaca di masing-masing tempat harus dilakukan. Ketersediaan data perkiraan cuaca, radiasi surya untuk publik penting karena akan bermanfaat dan menguntungkan banyak pihak. Data yang akurat menjadi basis fleksibilitas sistem sehingga bisa melihat kebutuhan baterai, variasi energi terbarukan dan lain-lain,” sebut Deon.

Menyoroti penyimpanan energi untuk mendukung integrasi energi terbarukan, Indonesia melalui Indonesia Battery Corporation (IBC) juga semakin serius pada rencana Battery Energy Storage System (BESS) atau teknologi untuk menyimpan energi listrik dengan menggunakan baterai khusus. BESS akan dapat menyimpan energi berlebih yang didapat dari sistem energi baru terbarukan untuk menyuplai beban ketika sumber energi terbarukan tidak dapat menghasilkan energi.

“Ada banyak faktor yang membuat proyek BESS berhasil, mulai dari terkait teknologi, daya saing, harga, inovasi dan pertumbuhan pasar. Harga baterai terus turun saat ini diperkirakan di bawah US$200/kWh dan harga perkiraan terus menurun, jadi kita optimis pembangunan BESS menjadi momen tepat bagi masa depan Indonesia,” sebut VP Business Development Indonesia Battery Corporation (IBC), Bayu Yudhi Hermawan.

IBC sendiri membangun industri terintegrasi dari hulu hingga hilir untuk memproduksi sel baterai untuk kendaraan listrik baik mobil dan motor. Indonesia memiliki potensi besar sebagai produsen nikel terbesar di dunia, yang merupakan bahan baku utama untuk baterai kendaraan listrik. 

“Untuk itu, saat ini IBC menjalankan proyek berbasis nikel, utamanya untuk sisi hilir yakni ekosistem kendaraan listrik dan baterai. Berkaitan investasi kapabilitas, kita yakin dapat menjadi negara yang bisa bersaing dengan negara lain. Sumber daya kita nomor satu dunia terkait cadangan dan produsen nikel,” sebut Bayu.

Komitmen Indonesia Terhadap Transisi Energi Pengaruhi Peluang Pembiayaan

press release

Jakarta, 18 September 2023 – Transisi energi di sektor ketenagalistrikan yang mengedepankan prinsip berkeadilan dan secara biaya terjangkau bagi masyarakat memerlukan kombinasi faktor strategis, komitmen jangka panjang, kebijakan yang mengarah pada peluang investasi untuk pengembangan energi terbarukan dan inovasi teknologinya. Hal ini diungkapkan oleh Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, Institute for Essential Services Reform (IESR).

“Semua bentuk investasi, terutama untuk infrastruktur energi yang masa operasinya mencapai lebih dari dua dekade, memerlukan kepastian hukum dan kebijakan jangka panjang terkait investasi tersebut. Hal ini penting agar pengembang proyek energi dan lembaga keuangan dapat memperhitungkan risiko dari proyek tersebut. Apalagi, proyek energi terbarukan relatif memerlukan investasi besar di awal dibandingkan sumber energi lainnya. Dengan komitmen target jangka panjang dan juga sinergi dari berbagai kebijakan dan regulasi yang ada, maka tingkat resiko investasi dapat ditekan sehingga proyek energi terbarukan tetap bankable dengan pendanaan bunga rendah,” jelas Deon.

Febrio Nathan Kacaribu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Republik Indonesia dalam Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2023 mengatakan bahwa setiap transisi yang dilakukan oleh negara berkembang seperti Indonesia harus berlangsung secara adil dan terjangkau. Ia menilai, untuk mencapai Updated Nationally Determined Contribution (NDC) atau NDC yang dimutakhirkan sebesar 29% tanpa syarat (dengan usaha sendiri) pada 2030 di sektor energi mencapai Rp3.900 triliun. Sementara kebutuhan finansial untuk Enhanced NDC (ENDC) dengan target penurunan emisi tanpa syarat sebesar 31,89%, saat ini masih dalam proses estimasi.

Febrio memaparkan, pihaknya telah melakukan beberapa terobosan dalam upaya pembiayaan transisi energi di Indonesia di antaranya dengan memperluas investasi melalui sukuk hijau yang total mobilisasi investasi dari penerbitan sukuk hijau mencapai USD 6,54 miliar dari periode 2018-2022, serta implementasi beberapa kerangka kerja regulasi dalam Energy Transition Mechanism (ETM) telah dilakukan. Febrio menekankan kolaborasi untuk blended finance (pendanaan campuran) dengan sektor swasta semakin berpeluang besar.

“Salah satu hambatan dari sektor swasta (untuk berinvestasi di transisi energi-red) adalah kurangnya pemahaman yang sama atau taksonomi. Tahun ini, dengan Indonesia sebagai ketua ASEAN, salah satu yang disepakati adalah kegiatan transisi juga akan mencakup pengakhiran dini operasional PLTU batubara yang termasuk dalam taksonomi keuangan transisi. Terdapat ketentuan hijau dengan batasan tertentu yang dapat dibiayai sektor swasta, misalnya, jika pensiun dini sebelum 2040, maka sektor swasta bergabung (membiayai-red),” ungkap Febrio.

Dadan Kusdiana, Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) mengatakan tren biaya energi terbarukan cenderung menurun sementara energi fosil, seperti batubara semakin meningkat. Menurutnya, meskipun kebutuhan investasi untuk bertransisi energi sangat besar, namun Indonesia memiliki potensi energi terbarukan dan berbagai bentuk pembiayaan yang juga berasal dari berbagai organisasi internasional.

“Investasi yang besar (untuk transisi energi-red) sebenarnya menjadi peluang untuk mentransisi sektor energi.  Memang akan ada peningkatan biaya, namun kita akan merasakan manfaat dari penurunan biaya energi terbarukan dalam periode jangka yang panjang,” jelas Dadan.

Jonathan Habjan, Konselor Ekonomi Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia mengatakan transisi energi bukan proses yang mudah, dan melibatkan banyak orang dalam jangka waktu yang panjang sehingga perlu dilakukan dengan benar dan efisien 

“Tentu ini akan memakan biaya yang besar, membutuhkan banyak usaha, dan mengubah cara bisnis dalam banyak hal,” ungkapnya.

Jonathan menambahkan untuk memastikan bahwa transisi energi berlangsung secara adil, maka perlu melibatkan masyarakat yang tergolong rentan termasuk kelompok masyarakat yang masih bekerja di industri batubara.

Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) bekerja sama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) menyelenggarakan Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2023 pada 18-20 September 2023.

Transformasi Sektor Ketenagalistrikan Menjadi Langkah Strategis dalam Mempercepat Pengurangan Emisi

press release

Jakarta, 18 September 2023 – Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) mendorong Indonesia untuk mempercepat transformasi sektor ketenagalistrikan. Hal ini menjadi fokus diskusi dalam Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2023 yang diselenggarakan oleh ICEF dan IESR bekerja sama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM). IESR dan ICEF menganggap transisi energi di sektor ketenagalistrikan merupakan langkah strategis yang secara beriringan menurunkan emisi di sektor lainnya seperti sektor transportasi dan industri.

“Fokus saat ini semestinya ada pada pengembangan energi terbarukan untuk menjadi tulang punggung energi primer di Indonesia. Inovasi teknologi dalam hal pembangkitan energi dari energi terbarukan yang potensial seperti biomassa, geothermal, hidro, surya, angin, dan lainnya perlu meningkat,” ungkap Bambang Brodjonegoro, Ketua ICEF.

Bambang menyoroti bahwa Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen yang jelas untuk bertransisi energi yang disuarakan secara aktif melalui berbagai forum internasional dan diplomatik, dengan tekad untuk mendorong lebih banyak kerja sama dan investasi ramah lingkungan untuk transisi energi.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arifin Tasrif mengatakan dalam sambutannya pada IETD 2023 bahwa transisi energi membutuhkan transformasi yang signifikan dari infrastruktur, khususnya untuk negara berkembang. Menurutnya, hal tersebut menjadi tantangan tersendiri dalam proses transisi energi di Indonesia.

“Ketidaktersediaan infrastruktur yang mendukung, investasi yang terbilang tinggi dengan pendanaan yang terbatas menjadi beberapa tantangan transisi energi di Indonesia. Indonesia berkolaborasi dengan negara lain untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut untuk menyediakan teknologi yang bersaing, pembiayaan yang kompetitif, akses yang mudah untuk pembiayaan yang berkelanjutan, serta peningkatan kapasitas sumber daya manusianya,” jelas Arifin.

Yudo Dwinanda Priaadi, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, turut menjelaskan, “Pendanaan kita dapatkan dengan trust, oleh karena itu program-program yang berjalan juga harus selaras dengan rencana global. Saat ini pendanaan JETP sedang diperjuangkan dan masih terus dimatangkan melalui diskusi antara pemerintah Indonesia dan IPG di New York, AS.” 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dan ICEF menyebut salah satu hal istimewa dalam IETD 2023 ialah pertama kalinya diselenggarakan bersama oleh Kementerian ESDM. Ia juga menekankan agar transisi energi berjalan adil, aman, dan bermanfaat bagi seluruh warga negara, maka memerlukan perencanaan yang matang dan melibatkan seluruh kelompok masyarakat. Menurut Fabby, transisi energi di sektor ketenagalistrikan menjadi sektor strategis yang mudah untuk pengurangan emisi karena 3 hal seperti kelayakan teknologi pengganti (energi terbarukan-red), integrasi jaringan listrik yang bisa direncanakan, dan manfaat ekonomi dari semakin murahnya energi terbarukan. 

“Faktor teknologi tersebut mencakup integrasi energi terbarukan, solusi penyimpanan energi, interkoneksi serta fleksibilitas sistem tenaga listrik. Kemudian, integrasi jaringan listrik di mana pembangkit listrik dapat dengan mudah diintegrasikan ke dalam jaringan listrik yang sudah ada. Sumber energi terbarukan seperti angin dan matahari dapat ditambahkan secara bertahap, sehingga memudahkan peningkatan produksi energi ramah lingkungan tanpa gangguan signifikan terhadap pasokan energi. Selain itu, ada juga manfaat ekonomi di mana biaya teknologi energi terbarukan yang semakin kompetitif dengan bahan bakar fosil,” tutup Fabby.

IETD 2023 : Memampukan Percepatan Transformasi Sektor Ketenagalistrikan di Indonesia

Jakarta, 13 September 2023 – Indonesia Clean Energy Forum (ICEF)  dan Institute for Essential Services Reform (IESR) bekerja sama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan kembali menyelenggarakan Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2023  pada 18-20 September 2023 dengan tema “Memampukan Percepatan Transformasi Sektor Ketenagalistrikan di Indonesia”. Baik ICEF maupun IESR sepakat bahwa transisi energi di Indonesia adalah sebuah keniscayaan, menimbang Indonesia telah berkomitmen untuk  berkontribusi secara global terhadap pengurangan emisi melalui ratifikasi Persetujuan Paris pada UU No. 16/2016.

Direktur Eksekutif ICEF dan IESR, Fabby Tumiwa dalam Media Briefing “Mempersiapkan Transisi Energi Indonesia dan Antisipasi Implikasinya serta Peluncuran Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2023” mengatakan bahwa tema IETD 2023 berfokus pada sektor ketenagalistrikan yang merupakan  sektor strategis untuk bertransformasi menuju energi terbarukan. Ia menyebut, saat ini transisi energi di sektor ketenagalistrikan telah didukung dengan ketersediaan teknologi, adanya potensi pendanaan internasional seperti Just Energy Transition Partnership (JETP), serta kerangka kebijakan pendukung seperti Perpres No. 112/2022.

Menurutnya, transisi energi merupakan proses yang kompleks dan mempunyai implikasinya yang besar sehingga memerlukan dialog multi-stakeholder agar dapat mengantisipasi dan memitigasi dampak transisi energi di Indonesia, salah satunya melalui penyelenggaraan IETD 2023 tersebut.

“Pemerintah Indonesia sedang meninjau draft dokumen dokumen perencanaan dan kebijakan investasi komprehensif dari Just Energy Transition Partnership (JETP) di mana ada sejumlah target yang disepakati, seperti puncak emisi kelistrikan 290 juta ton CO2 dan 34% bauran energi terbarukan pada 2030, serta mencapai nol emisi karbon (net zero emission/NZE) sektor kelistrikan pada 2050. Untuk itu, kita perlu memastikan semua rencana dan target ini tercapai dengan proses yang adil serta mendapat dukungan seluruh pihak,” jelas Fabby Tumiwa.

Gigih Udi Atmo, Direktur Konservasi, Direktorat Jenderal Energi Terbarukan dan Konversi Energi (EBTKE), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyoroti salah satu upaya bertransisi energi yakni dengan pengembangan energi terbarukan. Menurutnya, integrasi energi terbarukan membutuhkan ekspansi jaringan yang dapat mengakomodasi energi terbarukan tersebut.

“Konektivitas melalui ekspansi jaringan (grid) menghubungkan pusat beban dengan sumber energi terbarukan akan sangat strategis ke depan. Yang paling bisa dilaksanakan pada waktu dekat adalah interkoneksi antara Pulau Sumatera dan dan Pulau Jawa untuk memampukan evakuasi dari energi terbarukan berbasis surya, air, panas bumi yang ada di Sumatera, bisa melistriki permintaan (demand) yang ada, di Jawa. Pasokan listrik di Jawa juga bisa digunakan sebagian melistriki sumber demand yang ada di Sumatera. Jadi, pertukaran daya, keseimbangan energi antara dua jaringan paling besar di Indonesia ini bisa dioptimalkan,” ujar Gigih. 

Gigih menambahkan untuk mencapai target nol emisi karbon (net zero emission/NZE), jika  ada dukungan internasional maka pengakhiran operasional PLTU batubara dapat dipercepat. Tipe dukungan internasional seperti jenis pembiayaan berupa hibah atau pinjaman lunak menjadi penentu proses pengakhiran operasional PLTU batubara dengan memanfaatkan pembiayaan yang murah untuk mengakselerasi pemulihan investasi sehingga aset PLTU batubara bisa berhenti operasi lebih awal tanpa melanggar kontrak kerjasama yang sudah ada

Manajer Program Transformasi Energi IESR, Deon Arinaldo menuturkan, rencana dan strategi transisi energi yang telah disusun pemerintah perlu didukung dan dikritisi agar prosesnya berjalan lebih cepat dan lebih mulus dengan strategi dan program yang lebih baik. Terlebih, dekarbonisasi sektor kelistrikan akan menjadi penggerak bagi dekarbonisasi sektor lainnya. 

“Dalam melakukan proses transisi energi yang terpenting juga perlu memberikan ruang bagi semua aktor untuk berkontribusi secara nyata mengembangkan energi terbarukan. Artinya bukan hanya industri besar, tetapi juga pemerintah daerah, pelaku bisnis kecil menengah dan komunitas perlu berperan serta. Dalam hal ini juga, strategi akses penyediaan energi terbarukan juga patut diperhatikan dan menjadi bagian transisi berkeadilan,” kata Deon.   

Dalam Forum Diskusi Media: Transisi Energi Indonesia, IESR dan ICEF juga mengumumkan peluncuran The-6th Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) yang akan diselenggarakan pada 18 – 20 September mendatang. Acara ini menjadi platform penting untuk berdiskusi, berbagi ide, dan menghasilkan solusi nyata dalam mendukung transisi energi di Indonesia. IETD 2023 juga akan menyatukan para pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat umum, untuk membahas tantangan dan peluang dalam perubahan menuju energi yang lebih bersih dan berkelanjutan.

 

Transformasi Ekonomi akan Mitigasi Dampak Transisi Energi di Daerah Penghasil Batubara

press release

Jakarta, 1 September 2023 – Institute for Essential Services Reform (IESR), lembaga think tank  terkemuka di bidang energi dan lingkungan yang  berbasis di Jakarta, Indonesia, merilis laporan mengenai potensi dampak transisi energi terhadap daerah penghasil batubara di Indonesia. Laporan berjudul Just Transition in Indonesia’s Coal Producing Regions, Case Studies Paser and Muara Enim ini menemukan bahwa diversifikasi dan transformasi ekonomi harus segera direncanakan untuk  mengantisipasi dampak sosial dan ekonomi dari penurunan industri batubara seiring dengan rencana pengakhiran operasi PLTU dan meningkatnya komitmen transisi energi dan mitigasi emisi dari  negara-negara yang jadi tujuan ekspor batubara selama ini.

IESR merekomendasi  pemerintah pusat dan daerah untuk menyadari potensi dampak transisi energi pada ekonomi dan pembangunan daerah-daerah penghasil batubara  dan mulai merencanakan transformasi ekonomi secepatnya di daerah penghasil batubara tersebut. 

Studi ini  mengambil lokasi penelitian di Kabupaten Paser, Provinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan, merekomendasikan untuk memanfaatkan Dana Bagi Hasil (DBH) batubara dan  program corporate social responsibility (CSR) untuk merencanakan dan mendukung proses transformasi ekonomi,  serta perluasan akses dan partisipasi publik untuk transisi yang berkeadilan.  DBH batubara menyumbang 20% dari total anggaran pendapatan pemerintah Muara Enim pada tahun 2023, dan 27% dari total pendapatan pemerintah Paser pada tahun 2013-2020.

“Perencanaan transformasi ekonomi pasca tambang batubara perlu mengedepankan kegiatan-kegiatan ekonomi yang lebih banyak memberikan multiplier effect (efek berganda) ke masyarakat lokal. Selain itu, perlu diperhatikan juga dampak potensi penurunan produksi batubara pada sektor ekonomi informal yang selama ini tidak terekam dalam analisis ekonomi makro,” jelas Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.

Kajian ini juga menemukan meski industri pertambangan batubara rata-rata  menyumbang 50% dan 70% terhadap PDRB selama sepuluh tahun terakhir di Muara Enim dan Paser, tapi nilai ekonomi yang besar tersebut tidak berkontribusi signifikan pada pendapatan pekerja industri batubara. Sebanyak 78% dari nilai tambah menjadi surplus perusahaan, dan  hanya sekitar 20% dari nilai tambah dialokasikan untuk pekerja.

“Selain itu, industri pertambangan batubara menimbulkan dampak sosial dan lingkungan yang tidak sedikit pada masyarakat di sekitarnya, misalnya degradasi kualitas udara dan air, perubahan sumber penghidupan masyarakat, ketimpangan ekonomi, serta meningkatnya konsumerisme dan pencari rente,” ungkap Julius Christian, periset utama kajian ini, yang juga adalah Manajer Riset IESR.

Menurutnya, karena perbedaan kepentingan, pengetahuan, dan akses informasi, masing-masing pihak di daerah menyikapi tren transisi energi ini dengan perspektif yang beragam. Perusahaan batubara, misalnya, lebih menyadari risiko transisi energi terhadap bisnis mereka dibandingkan pemerintah dan masyarakat awam. 

Baik perusahaan maupun pemerintah daerah mulai melakukan berbagai inisiatif transformasi ekonomi. Akan tetapi, masyarakat lokal justru lebih skeptikal terhadap potensi penurunan batubara karena mereka melihat peningkatan produksi beberapa waktu belakangan,” kata Martha Jesica, Analis Sosial dan Ekonomi, IESR.

Namun, menurutnya, perubahan perspektif juga tengah berlangsung di masyarakat dan perusahaan industri batubara. Masyarakat mulai memiliki visi untuk diversifikasi ekonomi dan perusahaan batubara mulai mengembangkan bisnis di bidang lain. Ia berharap pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan dapat mendorong kesadaran yang lebih luas dan menginisiasi perubahan struktural terhadap upaya transformasi ekonomi.

IESR dalam laporan Just Transition in Indonesia’s Coal Producing Regions, Case Studies Paser and Muara Enim merekomendasikan untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan di daerah penghasil batubara memerlukan: pertama, perencanaan diversifikasi dan transformasi ekonomi yang menyeluruh dengan melibatkan para pemangku kepentingan dan partisipasi masyarakat. Kedua, menggunakan dana DBH dan program CSR untuk membiayai proses transformasi ekonomi yang mampu menarik lebih banyak investasi ke sektor ekonomi berkelanjutan. Ketiga, memperluas akses terhadap pendidikan dan pelatihan untuk mempersiapkan tenaga kerja yang berdaya saing di sektor yang berkelanjutan serta meningkatkan literasi keuangan bagi masyarakat. Keempat, meningkatkan partisipasi seluruh elemen masyarakat, terutama kelompok rentan, dalam perencanaan dan pembangunan daerahnya. 

“Semua hal terkait dengan transisi di daerah penghasil batubara ini perlu masuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) pemerintah pusat maupun provinsi masing-masing untuk memberikan dukungan dan arahan yang jelas bagi pemerintah daerah,” kata Ilham Surya, Analis Kebijakan Lingkungan, IESR.

Transformasi Ekonomi akan Mitigasi Dampak Transisi Energi di Daerah Penghasil Batubara

press release

Jakarta, 1 September 2023 – Institute for Essential Services Reform (IESR), lembaga think tank  terkemuka di bidang energi dan lingkungan yang  berbasis di Jakarta, Indonesia, merilis laporan mengenai potensi dampak transisi energi terhadap daerah penghasil batubara di Indonesia. Laporan berjudul Just Transition in Indonesia’s Coal Producing Regions, Case Studies Paser and Muara Enim ini menemukan bahwa diversifikasi dan transformasi ekonomi harus segera direncanakan untuk  mengantisipasi dampak sosial dan ekonomi dari penurunan industri batubara seiring dengan rencana pengakhiran operasi PLTU dan meningkatnya komitmen transisi energi dan mitigasi emisi dari  negara-negara yang jadi tujuan ekspor batubara selama ini.

IESR merekomendasi  pemerintah pusat dan daerah untuk menyadari potensi dampak transisi energi pada ekonomi dan pembangunan daerah-daerah penghasil batubara  dan mulai merencanakan transformasi ekonomi secepatnya di daerah penghasil batubara tersebut. 

Studi ini  mengambil lokasi penelitian di Kabupaten Paser, Provinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan, merekomendasikan untuk memanfaatkan Dana Bagi Hasil (DBH) batubara dan  program corporate social responsibility (CSR) untuk merencanakan dan mendukung proses transformasi ekonomi,  serta perluasan akses dan partisipasi publik untuk transisi yang berkeadilan.  DBH batubara menyumbang 20% dari total anggaran pendapatan pemerintah Muara Enim pada tahun 2023, dan 27% dari total pendapatan pemerintah Paser pada tahun 2013-2020.

“Perencanaan transformasi ekonomi pasca tambang batubara perlu mengedepankan kegiatan-kegiatan ekonomi yang lebih banyak memberikan multiplier effect (efek berganda) ke masyarakat lokal. Selain itu, perlu diperhatikan juga dampak potensi penurunan produksi batubara pada sektor ekonomi informal yang selama ini tidak terekam dalam analisis ekonomi makro,” jelas Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.

Kajian ini juga menemukan meski industri pertambangan batubara rata-rata  menyumbang 50% dan 70% terhadap PDRB selama sepuluh tahun terakhir di Muara Enim dan Paser, tapi nilai ekonomi yang besar tersebut tidak berkontribusi signifikan pada pendapatan pekerja industri batubara. Sebanyak 78% dari nilai tambah menjadi surplus perusahaan, dan  hanya sekitar 20% dari nilai tambah dialokasikan untuk pekerja.

“Selain itu, industri pertambangan batubara menimbulkan dampak sosial dan lingkungan yang tidak sedikit pada masyarakat di sekitarnya, misalnya degradasi kualitas udara dan air, perubahan sumber penghidupan masyarakat, ketimpangan ekonomi, serta meningkatnya konsumerisme dan pencari rente,” ungkap Julius Christian, periset utama kajian ini, yang juga adalah Manajer Riset IESR.

Menurutnya, karena perbedaan kepentingan, pengetahuan, dan akses informasi, masing-masing pihak di daerah menyikapi tren transisi energi ini dengan perspektif yang beragam. Perusahaan batubara, misalnya, lebih menyadari risiko transisi energi terhadap bisnis mereka dibandingkan pemerintah dan masyarakat awam. 

Baik perusahaan maupun pemerintah daerah mulai melakukan berbagai inisiatif transformasi ekonomi. Akan tetapi, masyarakat lokal justru lebih skeptikal terhadap potensi penurunan batubara karena mereka melihat peningkatan produksi beberapa waktu belakangan,” kata Martha Jesica, Analis Sosial dan Ekonomi, IESR.

Namun, menurutnya, perubahan perspektif juga tengah berlangsung di masyarakat dan perusahaan industri batubara. Masyarakat mulai memiliki visi untuk diversifikasi ekonomi dan perusahaan batubara mulai mengembangkan bisnis di bidang lain. Ia berharap pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan dapat mendorong kesadaran yang lebih luas dan menginisiasi perubahan struktural terhadap upaya transformasi ekonomi.

IESR dalam laporan Just Transition in Indonesia’s Coal Producing Regions, Case Studies Paser and Muara Enim merekomendasikan untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan di daerah penghasil batubara memerlukan: pertama, perencanaan diversifikasi dan transformasi ekonomi yang menyeluruh dengan melibatkan para pemangku kepentingan dan partisipasi masyarakat. Kedua, menggunakan dana DBH dan program CSR untuk membiayai proses transformasi ekonomi yang mampu menarik lebih banyak investasi ke sektor ekonomi berkelanjutan. Ketiga, memperluas akses terhadap pendidikan dan pelatihan untuk mempersiapkan tenaga kerja yang berdaya saing di sektor yang berkelanjutan serta meningkatkan literasi keuangan bagi masyarakat. Keempat, meningkatkan partisipasi seluruh elemen masyarakat, terutama kelompok rentan, dalam perencanaan dan pembangunan daerahnya. 

“Semua hal terkait dengan transisi di daerah penghasil batubara ini perlu masuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) pemerintah pusat maupun provinsi masing-masing untuk memberikan dukungan dan arahan yang jelas bagi pemerintah daerah,” kata Ilham Surya, Analis Kebijakan Lingkungan, IESR.

Atur Strategi untuk Tingkatkan Pendanaan JETP

press release

Jakarta, 29 Agustus 2023 – Penundaan  dokumen perencanaan dan kebijakan investasi komprehensif (comprehensive investment and policy plan, CIPP) yang semula dijadwalkan  Agustus 2023 menjadi akhir tahun 2023, dipandang Institute for Essential Services Reform (IESR)  perlu dilakukan untuk penyempurnaan dokumen CIPP tersebut  untuk memenuhi target yang disepakati dan merumuskan  kerjasama transisi energi yang adil (Just Energy Transition Partnership/JETP), serta membuka konsultasi publik yang lebih luas. 

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa mengatakan, untuk meraih target menurunkan emisi puncak gas rumah kaca (GRK) yang ditetapkan dalam JETP hingga 290 MT CO2 tahun 2030, mencapai bauran energi terbarukan menjadi 34 persen tahun 2030, dan mencapai emisi nol bersih (Net Zero Emission, NZE) pada tahun 2050, setidaknya diperlukan dana sebesar USD 130 – 150 miliar.

Salah satu strategi adalah dengan melakukan penurunan kapasitas PLTU melalui pensiun dini atau pensiun secara alami sebelum 2030. IESR memperkirakan penurunan kapasitas PLTU dapat mencapai 8,6 GW perlu dilakukan secara bertahap hingga 2030. Ini tidak termasuk penurunan kapasitas PLTU off-grid, di luar wilayah usaha PLN. 

“Hingga saat ini, minat IPG dan GFANZ untuk menyediakan pendanaan pensiun dini PLTU sangatlah rendah, padahal pengurangan PLTU diperlukan untuk meningkatkan penetrasi energi terbarukan,” kata Fabby. 

IESR memperkirakan biaya pensiun dini tersebut mencapai USD 4 miliar, di bawah nilai perkiraan yang diberikan oleh PLN sebelumnya. Menurut Fabby, IPG harus mau menyediakan pendanaan pensiun dini PLTU sebagai konsekuensi keterlibatan mereka dan mempertahankan kredibilitas JETP itu sendiri. 

Selain itu, IESR memandang penyempurnaan dokumen CIPP akan memperjelas jumlah dana yang dibutuhkan untuk proyek prioritas, di antaranya seperti pengembangan pipeline proyek energi terbarukan. Berdasarkan studi IESR, kebutuhan pendanaan untuk transisi energi hingga 2050 apabila ingin sesuai dengan target Persetujuan Paris, investasi yang perlu dikeluarkan Indonesia senilai  USD 1,3 triliun atau rata-rata USD 30 miliar hingga USD 40 miliar setiap tahun. Sementara itu, apabila hanya sampai 2030 dibutuhkan paling tidak USD 130 miliar.

IESR memandang alokasi porsi hibah di dalam skema JETP perlu ditingkatkan untuk mendukung aspek transisi berkeadilan yang luas serta transformasi aktor utama agar bisa mengimplementasikan CIPP yang ambisius dalam waktu dekat. Setidaknya porsi hibah diperlukan sekitar 10%-15% atau USD 2 miliar hingga USD 3 miliar dalam skema JETP untuk mengeksekusi transisi energi di Indonesia.  IESR menyadari bahwa meningkatkan alokasi hibah dalam skala yang diusulkan memerlukan kerja sama dan komitmen kuat baik dari pemerintah Indonesia maupun dari mitra internasional dalam JETP. Melalui kolaborasi yang erat, pihak-pihak yang terlibat diharapkan dapat membantu memenuhi kebutuhan finansial ini dan memastikan keberhasilan transisi energi yang berkelanjutan di Indonesia.

“JETP perlu mendukung proses transisi energi di Indonesia, tidak hanya sekedar menentukan proyek prioritas untuk mencapai target saja. Karena JETP membutuhkan perubahan sistemik, maka butuh peningkatan kapasitas aktor utama seperti PLN dan kementerian/lembaga terkait, pendanaan hibah untuk menyusun perubahan-perubahan regulasi/kebijakan, serta juga mendukung aktor yang terdampak jika JETP diimplementasikan nanti, misalnya pekerja di tambang batubara atau masyarakat umum di dekat proyek PLTU,” terang Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, IESR.

IESR juga menekankan pentingnya melibatkan konsultasi publik yang lebih luas dalam proses pengambilan keputusan terkait JETP. Membuka kesempatan bagi berbagai pemangku kepentingan untuk memberikan masukan akan memastikan bahwa proyek ini mencerminkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat secara lebih akurat. Transparansi dan partisipasi masyarakat yang lebih besar akan memperkuat legitimasi JETP dan menghasilkan hasil yang lebih berkelanjutan.

“Sebagai penerima manfaat yang paling besar, publik, saya pikir, berhak untuk memberikan masukan terhadap dokumen CIPP. Publik yang lebih memahami kondisi riil di lapangan, sehingga partisipasi mereka akan memastikan bahwa aspek transisi berkeadilan yang merupakan salah satu semangat dari JETP dapat terefleksikan. Di awal proses penyusunan dokumen ini, kesekretariatan JETP hanya menggelar satu sesi FGD yang dibuka untuk komunitas masyarakat sipil. Harapannya, di leg kedua proses penyusunan dokumen ini, jumlah sesi FGD bisa ditingkatkan menjadi lebih dari sekali. Tak kalah penting, draf dokumen ini musti bisa dibagikan terlebih dahulu agar dapat dipelajari sebelum sesi FGD,” ungkap Raditya Wiranegara, Analis Senior IESR.

Indonesia Perlu Sinergi Kebijakan dan Strategi untuk Mempercepat Transisi Energi

press release

Bali, 29 Agustus 2023 – Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama konsorsium Energy Transition Policy Development Forum (ETP) menyelenggarakan diskusi untuk menjembatani antara kebijakan dan praktis dalam transisi energi di Indonesia. Diskusi ini merupakan bagian dari ASEAN Energy Business Forum yang diselenggarakan pada 25 Agustus 2023 di Nusa Dua, Bali, Indonesia. 

Terdapat perwakilan sejumlah entitas bisnis antara lain Quantum Power Asia, Suncable, PT TML Energy dan  Asosiasi Produsen Biofuel di Indonesia (APROBI). Sedangkan perwakilan dari Pemerintah Indonesia antara lain; Kementerian Keuangan, Kementerian Investasi/BKPM, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Pemerintah Provinsi Bali dan Perusahaan Listrik Negara (PLN). 

Perwakilan bisnis dan pembuat kebijakan yang hadir berdiskusi bersama akan tantangan, ekspektasi dan bagaimana mereka bisa bekerja sama untuk mensukseskan transisi energi di indonesia. Salah satu tantangan yang dihadapi oleh kedua pihak adalah pendanaan. Di satu sisi, bisnis belum mendapatkan insentif dalam proyek-proyek energi terbarukan dan subsidi energi di Indonesia menyebabkan energi terbarukan tidak bisa berkompetisi dengan harga bahan bakar fosil. Di lain sisi, pemerintah juga membutuhkan pendanaan untuk mengadakan proyek energi terbarukan. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) mendorong pemerintah Indonesia untuk mengambil contoh kebijakan dan strategi terbaik yang pernah dilakukan oleh negara lain untuk mengakselerasi energi terbarukan. Namun strategi atau kebijakan tersebut masih harus diadaptasi dengan kearifan-nasional untuk mengakomodasi situasi yang kompleks di sektor energi di Indonesia. 

“Indonesia membutuhkan ekosistem energi yang bisa mendukung investasi dan kerjasama. Kita harus cerdik dan kita membutuhkan inovasi dan pendekatan yang berbeda dari PLN untuk mendukung transisi energi. Dalam posisinya saat ini PLN yang harus mempersiapkan ekosistem dan didukung dengan kebijakan dan regulasi yang disediakan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk menarik lebih banyak investasi dan pendanaan publik dan swasta. Meskipun sektor swasta dan pemerintah kerap memiliki ekspektasi yang berbeda, tetapi kita harus tetap melangkah maju dengan berbagai keterbatasan yang ada,” ujar Fabby. 

Dalam laporan Indonesia Sustainable Finance Outlook (ISFO) 2023, IESR menilai masih ada resiko investasi dari pengadaan proyek energi terbarukan yang diakibatkan oleh tarif yang kurang menarik. Hal ini disebabkan rendahnya minat  investor swasta pada proyek energi terbarukan, serta kurangnya transparansi. Indonesia memerlukan reformasi pada lingkungan investasi yang bisa mendukung proyek energi terbarukan, salah satunya kebijakan dan regulasi yang transparan, berdampak jangka panjang dan memberikan kepastian berusaha. Reformasi ini akan meningkatkan  kepercayaan investor swasta dan lembaga keuangan  internasional atas proyek energi terbarukan di Indonesia. 

“Bisnis di Indonesia memiliki keinginan yang tinggi untuk mendukung pengembangan energi terbarukan. Namun, stabilitas dan konsistensi kebijakan harus ditetapkan terlebih dahulu untuk mempersingkat proses negosiasi antara pemerintah dan investor swasta. Hal lainnya yang harus direformasi yaitu menyelaraskan agenda transisi energi antara satu badan dengan yang lain, harmonisasi kebijakan transisi energi antara pemerintah pusat dan daerah, serta inter-konektivitas,” terang Fabby Tumiwa.

Bali NZE 2045: Komitmen Bali untuk Listrik Ramah Lingkungan

press release

Bali, 28 Agustus 2023 – Institute for Essential Services Reform mendorong dan mendukung komitmen Pemerintah Provinsi Bali untuk merealisasikan inisiatif Bali Net Zero Emissions (NZE) 2045. Salah satu upaya yang signifikan dalam inisiatif ini yakni dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan di Pulau Dewata. Dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan merupakan langkah strategis dalam perjalanan Bali untuk mencapai tujuan netral karbon. Langkah ini memiliki dampak yang signifikan dalam mengurangi jejak karbon dan membantu menjaga keindahan alam Bali yang semakin rentan terhadap perubahan iklim.

“Bali saat ini telah memiliki rencana pembangunan rendah karbon berwawasan lingkungan dengan prinsip nangun sat kerthi loka Bali serta berbagai peraturan yang menyasar dekarbonisasi misalnya Peraturan Gubernur Bali tentang Energi Bersih dan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai. Komitmen ini menjadi bekal penting bagi Bali untuk mewujudkan visi NZE 2045 dengan dukungan dari berbagai pihak, dan dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan menjadi elemen penting mengingat sumber emisi dominan di Bali berasal dari sektor energi, termasuk listrik,” terang Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan pada Bali Job Fair and Education Expo yang diselenggarakan oleh Dinas Ketenagakerjaan dan ESDM Provinsi Bali . 

Dalam kesempatan yang sama, diselenggarakan pula lokakarya khusus untuk menggalang dukungan multipihak dalam mencapai Bali NZE 2045. Dalam lokakarya hari pertama, dibahas perkembangan rencana pembangunan daerah rendah karbon dan peta jalan dekarbonisasi sistem ketenagalistrikan Bali, sedangkan lokakarya hari kedua dan ketiga difokuskan pada penyiapan sumber daya yang andal dan pembiayaan berkelanjutan untuk Bali NZE 2045.

“Untuk menuju dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan, terdapat sejumlah strategi yang secara aktif telah didorong IESR, di antaranya pemetaan potensi teknis PLTS atap untuk bangunan pemerintah, fasilitas publik, hotel, restoran serta pelaku bisnis lainnya, identifikasi skema pembiayaan inovatif untuk adopsi energi terbarukan, analisis pasar untuk memahami perilaku calon pengguna PLTS atap, termasuk motivasi dan pilihan pembelian, dan analisis hosting capacity untuk mengetahui keandalan sistem dengan penetrasi energi terbarukan skala besar dan tersebar,” kata Marlistya Citraningrum. 

IESR yang telah secara aktif bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Bali sejak 2019 mendata potensi teknis energi terbarukan di Bali terbilang besar mencapai 143 GW, di antaranya potensi teknis PLTS terpasang di daratan sebesar 26 GWp (20% potensi) dapat dikembangkan dengan penyimpan daya hidroelektrik terpompa (pump hydro energy storage, PHES) yang potensinya sekitar 5,8 GWh. Selain itu, IESR bekerja sama dengan Center of Excellent Community Based Renewable Energy (CORE) Universitas Udayana mengidentifikasi  potensi energi terbarukan lainnya di Nusa Penida seperti energi surya, biodiesel (CPO, jathropa, rumput laut), biomassa dan energi angin, serta potensi penyimpan energi seperti baterai dan pumped-hydro energy storage (air laut). Saat ini, kerja sama lebih lanjut dilakukan oleh IESR dan CORE Universitas Udayana untuk studi kasus Nusa Penida dalam memenuhi kebutuhan energinya dengan 100 persen  energi terbarukan – di mana saat ini sumber energi di Nusa Penida sudah dipenuhi 30%-nya dengan energi terbarukan, yaitu PLTS dengan baterai.

Sebelumnya, Pemerintah Provinsi Bali telah mendeklarasikan Rencana Aksi Bali Menuju Bali Net Zero Emissions 2045 yang didukung oleh mitra utama Institute for Essential Services Reform (IESR), World Resources Institute (WRI) Indonesia, New Energy Nexus Indonesia. Dalam acara ini juga hadir mitra pendukung dari lembaga filantropi global dan nasional, yaitu Bloomberg Philanthropies, IKEA Foundation, Sequoia Climate Foundation, ClimateWorks Foundation, Tara Climate Foundation, dan Viriya ENB.

Tentang Bali Net Zero Emission 2045

Inisiatif Bali Net Zero Emissions 2045 terdiri dari berbagai upaya yang bertujuan untuk pembangunan rendah karbon di Bali melalui transisi ke energi terbarukan, mobilitas terintegrasi dan rendah karbon, dan kewirausahaan iklim; yang semuanya diarahkan untuk mencapai Bali Net Zero Emissions pada 2045. Inisiatif ini mendorong aksi kolaboratif dan kerja sama antara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Bali, berbagai mitra, komunitas, dan pemangku kepentingan di Bali untuk mempercepat adopsi energi bersih dan mendorong partisipasi aktif masyarakat Bali dalam agenda pembangunan rendah karbon. Pihak-pihak yang terlibat meliputi lembaga internasional, organisasi nirlaba, lembaga penelitian independen, sektor swasta, termasuk kewirausahaan dan bisnis perintis, lembaga akademik, asosiasi, dan komunitas lokal. Mitra utama inisiatif ini adalah Institute for Essential Services Reform (IESR), World Resources Institute (WRI) Indonesia, dan New Energy Nexus Indonesia.

Tentang Institute for Essential Services Reform (IESR)

Institute for Essential Service Reform (IESR) adalah organisasi think tank yang secara aktif mempromosikan dan memperjuangkan pemenuhan kebutuhan energi Indonesia, dengan menjunjung tinggi prinsip keadilan dalam pemanfaatan sumber daya alam dan kelestarian ekologis. IESR terlibat dalam kegiatan seperti melakukan analisis dan penelitian, mengadvokasi kebijakan publik, meluncurkan kampanye tentang topik tertentu, dan berkolaborasi dengan berbagai organisasi dan institusi.