Seberapa Pentingnya Suntik Mati PLTU Batubara Pakai APBN?

Jakarta, 24 Oktober 2023 –  Pengakhiran dini operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara dinilai krusial dalam pemenuhan target transisi energi. Untuk itu, pemerintah merilis aturan pembiayaan untuk mempercepat pensiun dini PLTU batubara dan pembangunan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan. Hal tersebut tertuang di Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 103 Tahun 2023 tentang Pemberian Dukungan Fiskal Melalui Kerangka Pendanaan dan Pembiayaan dalam Rangka Percepatan Transisi Energi di Sektor Ketenagalistrikan. Aturan mulai berlaku pada tanggal diundangkan 13 Oktober 2023. Berdasarkan aturan tersebut, sumber pendanaan platform transisi energi dapat berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengapresiasi adanya peraturan tersebut. Namun demikian, terbitnya peraturan tersebut bukanlah suatu momen mengejutkan karena ketika tahun lalu Energy Transition Mechanism (ETM) dibuat, Pemerintah Indonesia telah menunjuk PT SMI sebagai ETM Country Platform Manager dan di dalam kerangka ETM tersebut disebutkan pula sumber pendanaan pensiun dini PLTU batubara bersumber dari APBN. 

“Saya kira PMK tersebut mengukuhkan secara hukum. Secara legal, hal tersebut dimungkinkan sehingga harus dianggarkan di APBN. Mengacu PMK tersebut juga, ada klausul yang menyatakan sesuai dengan kemampuan APBN. Hal-hal mengenai prioritas anggaran dan sumber pendanaan serta lainnya,” ujar Fabby Tumiwa dalam acara “Energy Corner” di CNBC Indonesia pada Selasa (24/10/2023). 

Lebih lanjut, Fabby Tumiwa memaparkan, pensiun dini PLTU batubara menjadi langkah krusial karena adanya ancaman perubahan iklim di mana Indonesia sebagai penghasil emisi terbesar ke-7 di dunia dengan mengeluarkan 1,24 Gt CO2e pada 2022. Untuk itu, Indonesia perlu ikut serta untuk menurunkan emisi. Salah satu sumber emisi terbesar di Indonesia yakni sektor energi, dengan dominasi pengoperasian PLTU batubara. Fabby berharap  dengan melakukan suntik mati PLTU batubara membuat Indonesia dapat berkontribusi dalam komitmen menurunkan emisi. 

“Pendanaan dari sumber APBN diperlukan dalam rangka membuat transaksi dari pengakhiran operasi PLTU tersebut layak secara finansial. Kita tidak ingin banyak utang, dengan APBN dimungkinkan hutangnya kecil dan transaksinya menjadi lebih visible. Mengingat sumber pendanaan untuk satu PLTU yang dipensiunkan tidak hanya dari APBN, ada juga beberapa sumber pendanaan lainnya. Tergantung nanti dari jenis transaksinya. Diharapkan masuknya dana APBN, biaya pensiun dini PLTU batubara menjadi lebih rendah,” kata Fabby Tumiwa. 

Menurut Fabby Tumiwa, pengakhiran operasi PLTU batubara merupakan satu proses yang harus direncanakan, tidak lakukan semuanya dalam satu waktu. Dasar untuk melakukan pengakhiran dini PLTU batubara sudah ditetapkan juga dalam Peraturan Presiden (Perpres) 112 Tahun 2022. Fabby menegaskan, tidak semua PLTU batubara akan dipensiunkan dini karena beberapa PLTU yang akan memasuki masa berakhir kontraknya atau usia ekonomisnya sudah habis. 

“Dalam memilih PLTU batubara mana yang akan dipensiunkan dini, beberapa hal bisa menjadi pertimbangan di antaranya penghasil emisinya tinggi dan tingkat efisiensinya rendah, serta usianya di atas 15 tahun. Sebelum 15 tahun itu biasanya pengembalian investasi dan negosiasinya akan lama. Harus diingatkan juga agar satu PLTU layak dipensiunkan perlu sumber pendanaan campuran (blended finance, red) yang artinya bukan hanya dari APBN, tetapi sumber pendanaan lainnya juga serta pendanaannya distrukturkan sehingga membuat sebuah PLTU menjadi layak secara finansial dan teknis untuk bisa dihentikan operasinya lebih awal,” tegas Fabby. 

Selain APBN, kata Fabby, komitmen pendanaan dari negara maju seperti G7 melalui kerangka  Kerjasama Transisi Energi yang Adil (Just Energy Transition Partnership, JETP)  masih ada tetapi bagaimana harus bisa direalisasikan. Salah satu pembahasan di JETP yakni mengenai perbedaan nilai pasar (market value) dengan nilai buku (book value) untuk aset PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), hal ini menjadi kendala dan menyangkut banyak hal. Di sisi lain, negara G7 juga memfokuskan terhadap pendanaan energi terbarukan. Fabby menilai, dua hal tersebut dapat dikombinasikan serta membutuhkan perubahan regulasi. Misalnya saja pensiun dini PLTU, kalau usia ekonomisnya dari 30 tahun dipangkas menjadi 20 tahun, maka 10 tahunnya bisa dikonversi menjadi pembangkit energi terbarukan. Sayangnya, belum ada aturan tersebut di Indonesia. Apabila pemerintah nantinya mengatur hal tersebut, Indonesia bisa memperoleh manfaat biaya dari pensiun dini lebih rendah dan ada peningkatan kapasitas pembangkit energi terbarukan serta investasi mengikuti tersebut. 

Pengakhiran Dini PLTU Batubara Jadi Langkah Krusial Menuju NZE

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa

Jakarta, 20 Oktober 2023 –  Pada abad ke-21 ini, perubahan iklim telah menjadi permasalahan di seluruh dunia. Upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dan mencapai Net Zero Emission (NZE) telah menjadi tujuan krusial yang harus dikejar. Untuk mencapai NZE, peralihan dari sumber energi berbasis fosil seperti batubara menjadi sumber energi bersih dan berkelanjutan menjadi langkah yang sangat penting. Oleh karena itu, pengakhiran dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara menjadi langkah krusial untuk mencapai NZE.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menuturkan, dua tahun terakhir Pemerintah Indonesia sudah lebih ambisius untuk melakukan transisi energi. Hal ini bisa dilihat dari terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) 112/2022, yang menyatakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) perlu menyusun peta jalan pengakhiran operasi pembangkit listrik tenaga uap  (PLTU) batubara dengan mendapatkan persetujuan dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian BUMN. Apabila melihat ketentuan tersebut, lanjut Fabby, maka PLTU batubara berhenti beroperasi pada 2050. 

“Pemerintah juga tengah menggodok kebijakan energi nasional (KEN) yang baru untuk menggantikan PP No 79 tahun 2014 tentang kebijakan energi nasional, revisi ini sepertinya akan menjadi peta jalan bagi Indonesia untuk melakukan transisi energi serta menjadi rencana transisi energi di sektor ketenagalistrikan. Kita juga bisa melihat PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) tengah menyiapkan rencana umum penyediaan tenaga listrik yang baru dengan mengakomodasi peta jalan untuk melakukan transisi energi dan mencapai NZE di sektor ketenagalistrikan pada 2050,” terang Fabby di acara “Market Review” yang disiarkan oleh IDX Channel pada Jumat (20/10/2023). 

Fabby menekankan, transisi energi dapat berhasil apabila terdapat investasi ataupun pendanaan sesuai kebutuhan. Paling tidak ada tiga hal yang perlu diupayakan untuk mempercepat transisi energi, di antaranya mengakselerasi pembangunan energi terbarukan, membangun infrastruktur pendukung seperti transmisi distribusi dan energy storage yang dibutuhkan untuk mendukung keandalan sistem energi, serta pengakhiran operasi PLTU lebih awal. Hal ini diperlukan agar Indonesia dapat mencapai target porsi energi terbarukan nasional sekitar 34% pada 2030. 

“Kalau tidak ada penurunan kapasitas PLTU batubara di sistem ketenagalistrikan, sukar kiranya meningkatkan bauran energi terbarukan setinggi target tersebut. Kita perlu melakukan transisi energi agar mencapai target NZE di sektor ketenagalistrikan pada 2050,” kata Fabby. 

Fabby menuturkan, terbitnya  Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 103 Tahun 2023 tentang Pemberian Dukungan Fiskal Melalui Kerangka Pendanaan dan Pembiayaan dalam Rangka Percepatan Transisi Energi di Sektor Ketenagalistrikan dapat menjadi dasar pengalokasian APBN untuk mendukung pengakhiran operasi PLTU lebih awal. Hal ini menjadi penting karena Indonesia juga telah meluncurkan Energy Transition Mechanism (ETM) Country Platform, sebuah bentuk koordinasi utama dan penggerak untuk mendorong transisi yang adil dan terjangkau di Indonesia untuk sektor energi pada tahun lalu. Pendanaan awal dari ETM berasal dari Asian Development Bank (ADB) dan Climate Investment Fund. 

Platform tersebut saat ini dipakai untuk strukturisasi pendanaan pensiun dini dua PLTU yakni PLTU Cirebon milik swasta dan PLTU Pelabuhan Ratu milik PT PLN. Apabila keduanya berhasil distrukturkan maka akan dipensiunkan pada 2035. Berdasarkan hitungan IESR, kapasitas PLTU batubara yang harus berhenti operasinya sekitar 8-9 GW. Hal ini patut dilihat mengingat sampai sekarang belum ada rencana untuk mengakhiri operasi lebih awal sebelum 2030, padahal kita perlu melakukannya. Mengacu ETM yang sudah ditetapkan, salah satu sumber pendanaan berasal dari APBN. Dengan terbitnya PMK tersebut, maka dasar hukumnya ditetapkan,” papar Fabby. 

Fabby menyatakan, untuk melakukan pensiun dini PLTU batubara perlu ada tiga hal yang patut dipertimbangkan. Pertama, keandalan pasokan listrik tidak terganggu. Kedua, apabila sebuah PLTU diakhiri maka berkontribusi signifikan terhadap emisi gas rumah kaca (GRK). Ketiga, apabila sebuah PLTU dipensiunkan maka terdapat kapasitas penggantinya dari energi terbarukan di sistem tersebut. 

“Untuk itu, agar biayanya pengakhiran operasional PLTU tidak lebih mahal, usia PLTU yang mencapai 20 tahun bisa menjadi pertimbangan untuk pensiun dini. Selain itu, teknologi PLTU batubara yang masih subcritical di mana intensitas emisi sangat tinggi dan dilakukan di sistem kelistrikan yang pasokan daya listriknya cukup (overcapacity),” tegas Fabby. 

Tantangan Ketenagalistrikan Indonesia, Bagaimana Menanggulangi Kelebihan Pasokan Listrik?

Fabby Tumiwa di Kompas Bisnis dengan topik ‘PLN Kelebihan Listrik, Negara Jangan Sampai Rugi’ pada Rabu (11/10/2023)

Jakarta, 11 Oktober 2023 –  Indonesia, salah satu negara berkembang terbesar di dunia, tengah menghadapi tantangan dalam sektor ketenagalistrikan. Perusahaan Listrik Negara (PLN), yang bertanggung jawab atas pasokan listrik, kini dilanda kelebihan pasokan listrik (oversupply). Beberapa faktor kompleks telah berkontribusi pada situasi tersebut di antaranya megaproyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara sebesar 35 gigawatt, yang diumumkan pada tahun 2015. Hal tersebut diungkapkan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa dalam program acara Kompas Bisnis dengan topik ‘PLN Kelebihan Listrik, Negara Jangan Sampai Rugi’ pada Rabu (11/10/2023).

Fabby Tumiwa memaparkan, PLN memiliki perencanaan 10 tahun melalui proyeksi kelistrikan dan besaran kapasitas pembangkit yang harus dibangun. Berkaca dari penyediaan listrik di Indonesia, kata Fabby, sebelum 2014 pasokan listrik mengalami defisit karena pembangunan listriknya tertinggal dibandingkan laju pertumbuhan. Oleh karena itu, terdapat program 35 ribu gigawatt (GW) pada 2015 dengan target kebutuhan ekonomi akan mencapai 7% berdasarkan rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) sehingga kebutuhan listrik diproyeksikan tumbuh sekitar 8%. 

“Di dalam perjalanannya, sejak 2015 pertumbuhan ekonomi kita tidak pernah mencapai 7%, rata-rata sekitar 5%. Sementara itu, pertumbuhan listrik sampai tahun 2019 tidak pernah mencapai 5% per tahun, hal ini menjadi persoalan karena implementasi dari program 35 GW sudah berjalan, tetapi nyatanya proyeksi tersebut tidak terlalu tepat,” ujar Fabby Tumiwa.

Lebih lanjut, Fabby menegaskan, kondisi oversupply tersebut menjadi beban karena kontrak listrik PLN menerapkan skema take or pay. Artinya, listrik yang dipakai atau tidak yang diproduksi produsen listrik swasta (IPP), PLN tetap harus membayar sesuai kontrak.  Menurut Fabby, untuk mengatasi kelebihan pasokan listrik, dari sisi supply telah mulai teratasi. Hal ini bisa dilihat dari rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2021-2030 di mana ada lebih dari 13 GW kapasitas pembangkit yang telah dipangkas. Untuk menghindari kasus serupa, ujar Fabby, IESR telah merekomendasikan agar dari kapasitas pembangkit sekitar 3 GW yang telah ada di pipeline berpotensi untuk dihentikan. 

Fabby Tumiwa
Fabby Tumiwa di Kompas Bisnis dengan topik ‘PLN Kelebihan Listrik, Negara Jangan Sampai Rugi’ pada Rabu (11/10/2023)

“Informasi dari PLN, setiap 1 GW PLN bisa rugi sekitar Rp3 triliun, namun demikian setiap pembangkit memiliki kontrak yang berbeda.  Memang tidak ada cara lain untuk menyerap kelebihan listrik, kita harus menaikkan permintaan listrik. Permintaan kenaikan listrik pada 2022 terlihat sudah mulai tinggi, sekitar 5,5%. Namun demikian, kita perlu mengejar dengan pertumbuhan di atas 7% melalui permintaan listrik dari rumah tangga maupun industri,” tegas Fabby. 

Fabby menjelaskan, kelebihan listrik terbesar di Sumatera dan Jawa, menyerap konsumsi listrik lebih dari 90% secara nasional. Sebagian besar di Jawa, rasio elektrifikasi dengan rata-rata 100%. Tetapi, terdapat kesenjangan rasio elektrifikasi di bagian Indonesia bagian timur seperti NTT, NTB dan Papua.

“Yang sekarang terjadi rasio elektrifikasi belum 100% di luar Jawa, sedangkan kelebihan listriknya di Jawa. Persoalannya, bukan sekadar kapasitas pembangkit tetapi juga pembangunan jaringan listrik ke daerah pelosok yang cukup mahal. Sebagai gambaran, untuk memberikan akses listrik ke satu rumah di daerah 3T maka diperlukan antara Rp10 juta – Rp100 juta namun daya beli rumah tangga cukup rendah,” ujar Fabby.

 

Menilik Pasar Karbon Indonesia: Tantangan, Peluang dan Jalan untuk Masa Depan

Kemajuan pesat dalam penetapan harga karbon di Indonesia telah mencapai tonggak penting. Peraturan Presiden (Perpres) 98/2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) menjadi landasan pembangunan infrastruktur dan kerangka pelaksanaannya. Lahirnya regulasi NEK merupakan respon terhadap Pasal 6 Persetujuan Paris yang memperbolehkan para pihak memperdagangkan karbon guna menurunkan emisi. Beberapa instrumen yang ditawarkan dalam peraturan ini, terdiri dari perdagangan karbon, pembayaran berbasis hasil, dan pajak karbon, yang telah dua kali tertunda dan diperkirakan akan diluncurkan pada tahun 2025. Di antara semua instrumen tersebut, perdagangan karbon diidentifikasi sebagai instrumen yang matang dengan mekanisme cap-and-trade yang memungkinkan institusi untuk mengklaim emisi intensif tinggi mereka dengan membeli kredit dari aktivitas lain yang menyediakan stok karbon.

Untuk memperkuat pelaksanaan perdagangan karbon berdasarkan Undang-Undang 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bertugas menyelenggarakan dan mengawasi perdagangan karbon di pasar karbon. Hanya dalam waktu 7 bulan, OJK menerbitkan peraturan perdagangan karbon melalui pertukaran karbon dan resmi meluncurkan pasar karbon pada 26 September 2023. Artinya, pembiayaan merupakan salah satu solusi untuk menjembatani kesenjangan dalam pencapaian target iklim dan berperan penting dalam meningkatkan kesadaran akan dampak buruk perubahan iklim, khususnya bagi sektor bisnis.

Sebelumnya, Indonesia telah mengenal Pasar Karbon Sukarela (Voluntary Carbon Market, VCM) sejak beberapa dekade terakhir sebelum memutuskan untuk membentuk pasar karbon wajib untuk memenuhi target Kontribusi Nasional (Nationally Determined Contribution, NDC) untuk sektor-sektor tertentu. Misalnya, proyek Lahan Gambut Sumatera Merang yang berhasil menjual 3 juta kredit karbon kepada perusahaan-perusahaan besar dan Indonesia Climate Exchange (ICX), sebuah platform perdagangan, diciptakan untuk membangun ekosistem bagi sektor swasta dengan skema sukarela.

Pada tahap pertama perdagangan karbon, 99 PLTU yang mencakup 86% pembangkit listrik tenaga batubara di Indonesia berpartisipasi dalam skema cap and trade. Setiap PLTU mempunyai jatah maksimum atau kuota emisi yang ditetapkan berdasarkan kriteria kinerja dan unit sebelumnya. Bagi mereka yang mengeluarkan emisi kurang dari ambang batas, mereka dapat menukarkan sisa kuota ke perusahaan lain yang melebihi batas maksimum. Ketika emisi PLTU telah melebihi kuota yang diberikan, maka mereka harus mengurangi emisi tersebut dengan membeli kuota dari PLTU lain atau membeli kredit karbon.

Keberhasilan program percontohan ini, meskipun memerlukan beberapa perbaikan, telah mendorong sektor-sektor lain untuk mempertimbangkan perdagangan karbon dan memperluas penerapannya di luar sektor energi, sambil menunggu diterbitkannya peta jalan perdagangan karbon yang saat ini sedang dibahas di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.

Dengan terbentuknya pasar karbon, maka produk perdagangan yang akan diperjualbelikan adalah kuota karbon dari sektor yang memenuhi syarat yang disebut PTBAE-PU dan kredit karbon atau SPE-GRK. PTBAE-PU hanya dapat diperjualbelikan oleh sektor wajib yang mempunyai batas maksimum emisi emisi, sedangkan kredit dapat diberikan dari berbagai proyek, misalnya proyek restorasi gambut dan energi terbarukan, di mana seluruh peserta dapat membeli kredit tersebut untuk menghindari emisi. Untuk berpartisipasi dalam pertukaran karbon, semua entitas, baik penghasil emisi atau bukan, harus mendapatkan izin dari National Standard Registry (SRN), sebuah platform yang dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai database emisi nasional dan memvalidasi kredibilitas produk dan peserta yang terlibat dalam pertukaran karbon. Dengan besarnya harapan, pemantauan dan evaluasi emisi yang cermat dapat dengan mudah diintegrasikan antar sektor dalam satu platform dan meningkatkan akuntabilitas dan transparansi data yang diperlihatkan kepada publik.

Peluncuran pertukaran karbon hanya satu bulan setelah OJK mengeluarkan peraturannya telah menimbulkan beberapa pertanyaan, salah satunya adalah apakah Indonesia cukup siap untuk mengelolanya. Dengan tidak adanya ekosistem pasar yang komprehensif, diperlukan perencanaan dan implementasi yang matang oleh pemerintah, khususnya regulator dan kementerian terkait. Meski antusiasme ditunjukkan oleh 13 transaksi dengan total volume setara 459.914 metrik ton CO2 dengan harga satuan sekitar USD 4,51 yang didominasi oleh BUMN pada hari pertama peluncurannya, pembelajaran dari beberapa sistem perdagangan emisi (ETS) ), seperti Tiongkok, menunjukkan bahwa dibutuhkan waktu yang cukup lama, hampir satu dekade, untuk membangun ekosistem pasar yang kuat dan matang. Validasi, kredibilitas, dan transparansi data merupakan aspek fundamental yang patut diwaspadai oleh berbagai pemangku kepentingan, antara lain OJK, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dan lainnya. Integrasi pasar antara perdagangan karbon sektor tenaga listrik dan sektor kepatuhan yang akan datang dengan pasar karbon yang baru dirilis harus diterapkan untuk mencapai satu sistem dan mekanisme penetapan harga yang sama, karena pihak sukarela mendominasi pasar saat ini.

Penting juga untuk menjaga keseimbangan antara pasokan dan permintaan di pasar guna menjaga antusiasme pasar dan menjamin kelancaran transaksi. Mengingat pengalaman awal Skema Perdagangan Emisi Uni Eropa (EU ETS), di mana kelebihan pasokan menyebabkan harga karbon mendekati nol pada tahun 2007, maka tindakan pencegahan harus diambil untuk mencegah harga karbon menjadi tidak kompetitif. Selain itu, pasar karbon akan segera memungkinkan perusahaan-perusahaan di luar Indonesia untuk berpartisipasi dalam perdagangan karbon, yang dapat menyebabkan kebocoran karbon jika harga tidak kompetitif dan perusahaan-perusahaan dalam negeri tidak mendapatkan manfaat dari insentif yang diberikan oleh pasar karbon.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) yang mengatur kuota dan ambang emisi di bidang ketenagalistrikan harus membatasi emisi yang diperbolehkan oleh setiap perusahaan pemilik pembangkit listrik. Dengan rencana kuota maksimal 85% pada tahun 2024, diharapkan dapat mendorong setiap operator untuk menyusun strategi penurunan emisi. Saat ini, kuota masih didasarkan pada intensitas emisi dan rata-rata emisi tahun sebelumnya, sehingga dapat menyebabkan alokasi yang lebih tinggi pada tahun berikutnya. Oleh karena itu, pemantauan berkala diperlukan untuk mengurangi kuota emisi setiap pembangkit listrik.

Pasar karbon juga membuka peluang untuk menginformasikan prinsip-prinsip taksonomi hijau secara luas, terutama kepada lembaga keuangan, investor, dan pemilik proyek. Hal ini dapat memungkinkan identifikasi apakah suatu proyek dapat diperdagangkan di pasar karbon dan termasuk dalam klasifikasi taksonomi hijau. Hal ini dapat meningkatkan transparansi dalam penilaian dan kepercayaan sekaligus membantu investor dan lembaga keuangan dalam memobilisasi pendanaan untuk proyek-proyek berkelanjutan. Namun, koordinasi dan kesepakatan kelembagaan lebih lanjut juga diperlukan untuk mencapai hal ini.

Meskipun pasar karbon di Indonesia masih tergolong baru, penerapannya yang efektif diharapkan dapat mendorong perubahan perilaku industri, khususnya pada sub-sektor pembangkit listrik dan sektor energi secara keseluruhan. Penyebaran informasi kepada khalayak yang lebih luas penting untuk menarik lebih banyak pembeli dan pedagang untuk berpartisipasi dalam pertukaran karbon di luar sektor energi. Pada tahap awal ini, diperlukan insentif dari pemerintah karena untuk bisa lolos kriteria ‘hijau’, diperlukan proses tambahan yang menimbulkan biaya tambahan dan berpotensi menjadi beban, sehingga membuat pasar karbon menjadi tidak menarik. Pasar ini juga menciptakan peluang bagi Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pendanaan iklim, sekaligus mendorong peluncuran pajak karbon sebagai alat pelengkap yang penting. Pemantauan dan evaluasi berkala diperlukan untuk menjaga semua kegiatan pada jalur yang benar, sementara peningkatan dan pengembangan lebih lanjut diperlukan agar pasar memenuhi syarat di tingkat internasional.

Hijrah ke Energi Bersih untuk Atasi Polusi Udara di Jabodetabek

Jakarta, 6 Oktober 2023 – Polusi udara telah menjadi masalah serius yang dialami warga Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Banten (Jabodetabek) beberapa waktu ke belakang. Kondisi yang tidak ideal tersebut perlu mendapat perhatian dan penanganan secara serius karena pencemaran lingkungan di Jakarta, khususnya dapat menjadi potret pembangunan Indonesia yang memberikan ekses negatif terhadap lingkungan. Manajer Program Transformasi Energi, Institute for Essential Services Reform (IESR) Deon Arinaldo memaparkan, polusi udara berdampak terhadap kesehatan manusia, menyebabkan penyakit pernafasan, gangguan reproduksi, kanker dan kematian prematur. Mengutip data Our World in Data, kata Deon, polusi udara dari penggunaan energi fosil, terutama batubara, menjadi sumber tertinggi dan dapat menyebabkan kematian prematur. Indikator dari penyebab kematian per unit listrik yang dibangkitkan. Angka kematian yang digunakan adalah dari polusi udara dan juga peluang accident di rantai pasok.

“Sumber energi lainnya seperti minyak, yang tidak lebih baik juga dari batubara. Biomassa sebenarnya jauh lebih bersih namun masih ada dampaknya ketika melakukan pembakaran yang menghasilkan PM. Sementara itu, energi angin dan surya jauh lebih sedikit menjadi penyebab polusi udara karena biasanya hanya bersumber ketika pembangunan infrastrukturnya saja,” terang Deon di acara Majelis Ulama Indonesia (MUI) bertajuk “Gerakan Hijrah Energi dan Wacana Pengendalian Pencemaran Udara” pada Jumat (6/10/2023).

Menurut Deon, saat ini sistem energi di Indonesia masih didominasi energi fosil. Untuk itu, transformasi energi perlu dimulai secara sistematis dan sesegera mungkin di seluruh sektor. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi energi terbarukan di Indonesia tercatat sekitar 3.686 GW. Dengan melimpahnya dan dimanfaatkannya energi terbarukan dapat dijadikan modal utama dalam melakukan transisi energi. Meski demikian, potensi tersebut belum termanfaatkan secara maksimal. 

Dalam rencana ketenagalistrikan nasional (RUKN), kapasitas PLTU batubara akan mencapai puncak di 2030 dan berkurang sesuai dengan masa operasi yang direncanakan  (natural retirement). Perpres 112/2022 telah mengatur moratorium pembangunan PLTU baru kecuali yang sudah ada di pipeline atau terkait PSN/hilirisasi. PLTU baru yang terkecuali dibatasi umur operasi di 2050,” ujar Deon. 

Deon menegaskan, beberapa strategi mitigasi polusi udara yang bersumber dari PLTU yaitu penerapan efisiensi energi serta perilaku hemat energi, pembatalan PLTU yang masih dalam rencana dibangun dan diganti sumber energi bersih, percepatan pengakhiran masa operasional PLTU yang ada serta pengetatan standar baku mutu emisi PLTU, pemasangan alat kontrol polusi udara dan pengawasannya. 

Sekretaris Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) KLHK, Tulus Laksono menuturkan,  saat ini terdapat satuan petugas (Satgas) yang melakukan pengawasan ketat dilakukan di berbagai sektor, termasuk industri yang menjadi sumber polusi. Tugas penting dari satgas yaitu mengidentifikasi sumber pencemaran dan pengawasan langsung di lapangan, memberikan supervisi dan koordinasi kewilayahan. Dalam status pengawasan industri di Jakarta, kata Tulus, saat ini terdapat tujuh industri dalam pengawasan, 34 proses sanksi administrasi dan delapan industri dikenakan sanksi.

“Berdasarkan data kami, penyebab polusi udara di Jabodetabek berasal dari asap kendaraan bermotor sebesar 44%, 34% dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), dan sisanya disumbangkan oleh sektor industri. Sejak 17 Agustus 2023 lalu, KLHK telah membuka layanan uji emisi bagi pemilik kendaraan bermotor sebagai upaya pengawasan dan mengontrol emisi gas buang. Hasilnya, terdapat sekitar 100-150 kendaraan bermotor yang melakukan uji emisi di kantor KLHK setiap hari, namun rata-rata per hari yang tidak lolos sekitar 20%,” jelas Tulus. 

Selain itu, Tulus memaparkan, pihak satgas juga mengawasi pembakaran terbuka di 57 lokasi yang tersebar di Jakarta, Depok, Tangerang Selatan, Kabupaten Tangerang, serta Kabupaten dan Kota Bogor. Kegiatan pembakaran tersebut berupa pembakaran sampah, kebun, kabel, dan pembuatan arang. Sebelum penindakan, pemantauan dilakukan melalui 15 stasiun pemantau kualitas udara yang tersebar di wilayah Jabodetabek. Sehubungan polusi udara, kata Tulus, KLHK juga telah menghimbau sejumlah perusahaan untuk mulai beralih dari energi fosil ke energi terbarukan dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Misalnya saja Pertamina Geothermal Energy and Star Energy akan mengembangkan geothermal dengan kapasitas 5.553 GW, PLN Nusantara akan mengembangkan energi bayu dengan kapasitas 600 GW, serta PT Bukit Asam dan PLN Nusantara dengan kapasitas 4.930 GW. 

“Di sisi lain, saat ini  masih terdapat beberapa industri di Jakarta yang menggunakan batu bara. Industri tersebut memiliki boiler yang menggunakan batubara. Total batubara yang dibakar sekitar 15.741 ton/bulan. Kami sudah berdiskusi dengan Dinas Perhubungan DKI agar meminta industri tersebut melakukan transisi energi. DKI juga akan menghimbau industri kecil yang masih menggunakan kayu bakar maupun batubara untuk beralih ke energi bersih,” papar Tulus. 

Mewujudkan Demokratisasi Energi melalui Energi Surya

Jakarta, 5 Oktober 2023 – Energi menjadi kebutuhan pokok manusia bukan hanya untuk menunjang aktivitas sehari-hari namun yang lebih penting untuk meningkatkan aktivitas produktif. Energi surya merupakan sumber energi terbarukan yang dapat mewujudkan  demokratisasi energi.

Energi surya memenuhi beberapa aspek untuk demokratisasi energi seperti ketersediaan sumber dayanya sepanjang tahun, dan fleksibilitas skala pemasangannya. Untuk tujuan yang lebih mulia, dengan memasang panel surya,  penggunanya ikut berkontribusi pada pengurangan emisi dari sektor energi. Beragam alasan ini menunjukkan bahwa motivasi untuk menggunakan PLTS dapat bervariasi.

Hal ini sejalan dengan temuan survey pasar yang dilakukan Institute for Essential Services Reform (IESR), yang salah satunya menggali motivasi para responden untuk menggunakan PLTS. Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR, dalam Seminar ‘Kebijakan dan Rencana Aksi Energi Surya Sebagai Wujud Komitmen EBT Menuju Indonesia’, Kamis 5 Oktober 2023, menjelaskan bahwa motivasi dapat bervariasi dari satu daerah ke daerah lain.

“Pelaku UMKM di Jawa Tengah memilih PLTS atap karena tertarik dengan penghematannya sehingga uang tagihan listriknya dapat dialokasikan untuk hal lain. Sementara itu, pelaku bisnis di Bali memiliki kesadaran tinggi untuk memelihara harmoni dengan alam. Selain itu, mereka akan mendapatkan branding positif sebagai entitas bisnis yang ramah lingkungan,” kata Marlistya.

Untuk meningkatkan minat masyarakat dalam menggunakan energi surya, perlu diupayakan beberapa hal oleh pemangku kepentingan antara lain pemerintah dalam menciptakan ekosistem pendukung tumbuhnya energi terbarukan.

Tiga hal yang harus diupayakan untuk mendorong partisipasi lebih banyak pihak adalah pertama, regulasi yang jelas dan mendukung serta dikomunikasikan dengan baik sehingga masyarakat mendapatkan informasi terkait aturan PLTS dengan mudah dan tidak simpang siur. Kedua, adanya contoh pengguna dan akses yang mudah pada penyedia layanan; ketiga, memberikan insentif dan perbanyak akses pembiayaan.

Dalam forum yang sama, Dedi Rustandi, Perencana Ahli Madya Koordinator Bidang EBT Kementerian Bappenas menyatakan bahwa capaian energi surya masih di bawah RUPTL.

“Terdapat sejumlah penyebab utama ya antara lain pandemi yang membuat demand listrik tidak tumbuh signifikan, ada ketidakpastian iklim investasi bagi dunia usaha, juga adanya keterlambatan pengadaan proyek (terkait tata kelola),” kata Dedi.

Dedi mengakui bahwa di sisi pemerintah sejumlah kebijakan masih belum efektif berjalan sehingga mengakibatkan belum optimalnya pemanfaatan energi surya di Indonesia.

Polusi Udara: Dampak Ekonomi dan Langkah-langkah Menuju Udara Bersih

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa

Jakarta, 5 Oktober 2023 –  Polusi udara menjadi salah satu tantangan lingkungan terbesar yang dihadapi masyarakat saat ini. Dalam beberapa dekade terakhir, peningkatan aktivitas industri, pertumbuhan populasi, dan mobilitas manusia telah menyebabkan peningkatan kadar polutan di udara, yang memiliki dampak serius terhadap kesehatan manusia dan ekosistem. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa memaparkan, polusi udara merupakan persoalan besar yang memiliki dampak ekonomi. Misalnya saja, ketika orang sakit dan tidak bisa bekerja maka kehilangan kesempatan penghasilan dan ketika orang tersebut harus ke dokter maka akan kehilangan uang yang banyak. 

“Secara nasional, kita bisa melihat polusi udara ini berdampak terhadap ekonomi. Di Jakarta, kita bisa menghitung jari seberapa banyak hari-hari di mana kita melihat langit berwarna biru dalam 10 tahun terakhir. Sayangnya, kita belum pernah melakukan studi nasional. Untuk itu, saya berharap hal tersebut bisa dilakukan pemerintah. Studi tersebut diharapkan bisa menunjukkan hari produktif yang hilang ketika orang sakit terpapar polusi udara dan dampak ekonominya,” terang Fabby Tumiwa dalam acara Special Stage berjudul Upaya Sinergis dalam Mengatasi Polusi Udara yang ditayangkan TV One pada Kamis (5/10/2023). 

Mengutip data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), lanjut Fabby, sumber polusi udara terdiri dari 44% kendaraan, 34% PLTU yang berada di sekitar Jakarta, dan sisanya termasuk pembakaran rumah tangga. Menurut Fabby, aktivitas tersebut menghasilkan polutan yang berbeda-beda. Misalnya saja Particulate Matter (PM2.5) ataupun PM 10 yang sumber terbesarnya dari transportasi. Aktivitas pertanian dan pembakaran terbuka juga berkontribusi cukup besar untuk PM tersebut.  Selain itu, ada juga sulfur dioksida (SO2) yang dihasilkan dari 93% pembangkit listrik.

“Jadi kalau mau kita bedah, kita bisa melihat polutan yang dihasilkan berbeda-beda. Tetapi, keseluruhan hal tersebut yang mempengaruhi kualitas udara. Kita perlu melihat akar masalah dari polusi udara seperti asap yang keluar dari knalpot kendaraan. Artinya apabila kita ingin menyelesaikan sumber polusi udara dari transportasi maka kita harus mengurangi bahan bakar tersebut agar polutan yang keluar semakin sedikit. Cara menguranginya yakni kita perlu mendorong masyarakat menggunakan transportasi umum dan menggunakan kendaraan yang tidak pakai bahan bakar minyak (BBM), seperti penggunaan sepeda ke kantor. Selain itu, kualitas bahan bakar juga perlu diperbaiki agar mengurangi polutan yang keluar. Indonesia masih di bawah EURO 4 dalam kualitas bahan bakarnya,” papar Fabby Tumiwa. 

Peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI), Erlina Burhan menuturkan, angka kasus infeksi saluran pernapasan akut atau ISPA dilaporkan meningkat seiring dengan peningkatan kadar polutan PM 2.5 di wilayah Jabodetabek. Erlina mengklaim, peningkatan tersebut juga dapat dilihat dari pasien yang dirawat di tempat ia bekerja di RS Persahabatan, di mana peningkatan sekitar 20%, bahkan bisa meningkat 30% dalam periode tertentu. Untuk itu, Erlina Burhan menekankan pentingnya kualitas udara yang bersih karena berkaitan langsung dengan kehidupan. 

“Kita tidak bisa memilih udara mana yang bisa dihirup sama yang tidak. Jika memang udara tersebut mengandung polutan tertentu, itu memang berdampak terhadap kesehatan. Sistem pernafasan kita sebenarnya bisa melakukan filter terhadap benda-benda yang tidak seharusnya masuk. Terkadang ada kotoran menumpuk di hidung, hal tersebut filter. Namun demikian, ada partikel meter yang ukurannya sangat kecil sekali dan tidak bisa terfilter sehingga bisa langsung masuk ke saluran pernafasan,” jelas  Erlina Burhan. 

Erlina Burhan menghimbau agar masyarakat lebih memperhatikan kesehatannya, terutama yang berkaitan dengan polusi udara. Seperti melihat indeks kualitas udara ketika akan beraktivitas di luar ruangan. Apabila indeks kualitas udara menunjukkan warna merah, sebaiknya menghindari aktivitas di luar ruangan. Dalam mengatasi polusi udara, kata Erlina Burhan, sebaiknya dilakukan secara menyeluruh. Hal ini mengartikan bahwa bukan hanya dari satu sektor saja, misalnya dari transportasi yang melakukan uji emisi ataupun mendorong penggunaan kendaraan listrik, tetapi juga kebijakan yang lebih konkret serta menggandeng seluruh pihak dalam mengatasi polusi udara. 

“Banyak regulasi yang sudah buat, tetapi implementasinya yang tidak konkret. Misalnya saja regulasi merokok yang sudah lama dibuat, namun demikian kita masih sering melihat masyarakat merokok di tempat umum. Hal ini menunjukkan monitoring dan evaluasi dari regulasi yang tidak berjalan,” ujar Erlina Burhan. 

Sosialisasi Isu Transisi Energi Bersama Jurnalis Sumatera Selatan

Palembang, 26 September 2023 – Dalam upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan melindungi planet kita, Indonesia bersama dengan negara-negara lainnya menandatangani Persetujuan Paris pada tahun 2015. Persetujuan ini telah menetapkan landasan yang kuat untuk melawan perubahan iklim, dengan salah satu fokus utamanya adalah transisi energi, yang mengacu pada peralihan dari menggunakan energi fosil, yang terbatas dan merusak lingkungan, ke energi terbarukan yang bersih dan ramah lingkungan. Indonesia, sebagai negara yang telah menandatangani Persetujuan Paris, memiliki tanggung jawab besar untuk memimpin perubahan ini. Dalam menghadapi perubahan iklim global, transisi energi menjadi kunci untuk memastikan keberlanjutan sumber daya alam dan ekonomi Indonesia.

Sehubungan dengan hal tersebut, Institute for Essential Services Reform (IESR) mengadakan acara Media Briefing berjudul “Transisi Energi dan Studi IESR di Kabupaten Muara Enim” pada 26 September 2023. Dalam acara Media Briefing yang dihadiri oleh 18 jurnalis dari berbagai media cetak dan online di Sumatera Selatan tersebut, IESR memberi paparan mengenai hasil kajian di Kabupaten Muara Enim untuk memberi gambaran komprehensif mengenai dampak transisi energi di sektor sosial dan ekonomi.

Perwakilan program Akses Energi Berkelanjutan IESR, Reananda Permono menjelaskan kegiatan Media Briefing digelar untuk meningkatkan wawasan jurnalis di Sumatera Selatan terhadap isu transisi energi. Selain itu, IESR hendak mendekatkan jurnalis kepada para narasumber kompeten terkait isu energi terbarukan dengan menghadirkan empat panelis dari beragam latar belakang, yakni pemerintah provinsi (ESDM Sumsel), pemerintah kabupaten (Bappeda Muara Enim), akademisi (Unsri), dan CSO (HaKI). 

“Transisi energi tidak dapat berjalan sendiri, tetapi juga perlu melibatkan partisipasi aktif masyarakat dan berbagai pihak, seperti jurnalis. Dengan menyampaikan informasi yang akurat, menyuarakan berbagai perspektif, dan menjaga akuntabilitas, mereka membantu membentuk pandangan masyarakat tentang energi dan memberikan dorongan yang diperlukan pada pemangku kepentingan untuk bergerak menuju masa depan yang lebih bersih dan berkelanjutan,” papar Reananda.  

Peneliti Bidang Sosial dan Ekonomi dari IESR, Martha Jessica Mendrofa menjelaskan, transisi energi global yang dilakukan oleh negara-negara tujuan ekspor batubara Indonesia, seperti China, India, dan Vietnam, akan berdampak pada perekonomian nasional karena lebih dari 70% batubara produksi batubara Indonesia diekspor. Perekonomian Sumatera Selatan, dengan cadangan batubara tertinggi kedua di Indonesia dengan 9.345,57 juta ton, juga akan terdampak mengingat sektor pertambangan batubara dan lignit menyumbang 15,78% PDRB provinsi di tahun 2022. Sehubungan hal tersebut, IESR telah melakukan kajian dampak transisi energi dan ekonomi di Muara Enim selama 2021-2023. Muara Enim menjadi sasaran kajian karena menjadi dua besar produsen batubara tertinggi di Sumatera Selatan dalam lima tahun terakhir, dengan produksi di atas 20 juta ton per tahun. 

“Berdasarkan analisis IESR, sektor pertambangan di Kabupaten Muara Enim tidak memberikan multiplier impact tertinggi dalam hal pendapatan dan tenaga kerja, dimana sektor jasa, perdagangan, dan pertanian masih memberikan dampak yang lebih tinggi terhadap perekonomian. Selain itu, industri batubara tidak memberi nilai tambah tinggi pada upah tenaga kerja karena perusahaan meraup porsi pendapatan yang lebih besar, perbandingannya sekitar 20% banding 78%”, jelasnya.

Kepala Bidang Energi dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sumatera Selatan Dr. Aryansyah menerangkan tren transisi energi dunia akan berdampak ke kondisi dalam negeri.  Untuk itu, pihaknya telah melakukan beberapa hal untuk melanggengkan transisi energi seperti mengeluarkan Perda khusus pengembangan sektor energi terbarukan, Pergub kendaraan berbasis listrik, dan kajian energi terbarukan di seluruh kabupaten/kota Sumatera Selatan.

“Saat ini Sumsel menjadi lumbung energi. Kita surplus listrik 1,000 MW dan listrik itu diekspor ke provinsi-provinsi lain seperti Jambi dan Bengkulu. Harus ada sumber pembangkit untuk menggantikan itu. KIta sudah siap dengan transisi energi. Contohnya kita ada pembangkit listrik minihidro untuk supply listrik Pagar Alam,” terang Aryansyah. 

Perwakilan Bappeda Kabupaten Muara Enim, Fajrin Ulinnuha menuturkan, pihaknya telah menyiapkan Kawasan Industri Muara Enim (KITE), untuk menghadapi pengurangan produksi batubara di masa depan, yang perkembangannya telah mencapai 80% per Juni 2023. Kawasan industri ini melingkupi usaha CPO (crude palm oil atau minyak kelapa sawit) dan industri hilirisasi batubara. Muara Enim juga memiliki PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) milik Supreme dan Pertamina.

“Kita perlu memastikan ketersediaan akses energi bersih bagi semua kalangan, khususnya di sektor elektrifikasi karena mayoritas sumber listrik berasal dari batubara. Sumber pendanaan juga menjadi isu penting karena transisi energi membutuhkan banyak proyek baru, sehingga perlu dana besar. Pemerintah daerah juga butuh dukungan riset dan teknologi dari lembaga lain, serta pelatihan SDM handal agar siap menghadapi transisi energi,” ujar Fajrin.

Dosen ekonomi pembangunan Universitas Sriwijaya Dr. Muhammad Subardin mengingatkan kembali tujuan pembangunan adalah untuk mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Sehingga, perlu dipastikan apakah sebuah sektor industri bisa mengangkat perekonomian sebuah wilayah atau tidak. Subardin memperkenalkan istilah Dutch Disease (penyakit Belanda, red), dimana wilayah yang memiliki kekayaan alam tinggi cenderung mempunyai tingkat perekonomian rendah. Melalui riset yang dilakukannya sendiri, kondisi ini berhasil Subardin buktikan di Sumatera Selatan dengan membandingkan kondisi perekonomian di “kabupaten mineral” dan “kabupaten non-mineral”.

“Saya identifikasi ada delapan kabupaten mineral di Sumatera Selatan, termasuk Muara Enim. Hampir seluruh daerah Muara Enim itu termasuk dalam area konsesi batubara. Berdasarkan riset yang saya lakukan, terbukti tingkat perekonomian kabupaten mineral tidak lebih baik dari kabupaten non-mineral di Sumatera Selatan. Hal ini membuktikan industri pertambangan tidak bisa meningkatkan kesejahteraan sebuah wilayah karena industri ini padat modal, bukan padat karya,” jelas Subardin.

Direktur Eksekutif Perkumpulan Hutan Kita Institute (HaKI) Deddy Permana menyatakan, selain masalah perekonomian, kesenjangan pengetahuan dan informasi menjadi hal penting dalam aktivitas transisi energi. Disinilah jurnalis bisa memainkan peran untuk menyebarkan informasi kepada masyarakat luas.

“Seringkali terjadi kesenjangan informasi antara masyarakat lokal dan kalangan elite karena masyarakat hanya tahu kondisi yang terjadi di lapangan. Contohnya, perusahaan sebenarnya sudah memahami tren transisi energi ini karena beberapa dari mereka sudah fokus mengembangkan bisnis di luar batubara. Masalah lain adalah kadang dana CSR tidak tersalurkan pada pos-pos yang bisa menunjang aktivitas transisi energi,” terang Deddy.

Menuju Masa Depan Hijau, Rencana Aksi Sumatera Selatan untuk Kurangi Emisi Gas Rumah Kaca

Palembang, 25 September 2023 – Untuk mencapai target ambisius dalam mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sesuai Perjanjian Paris, Indonesia merilis dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC) yang menyebutkan target pengurangan emisi sebesar 31,89% (dengan upaya sendiri) dan 43,2% (dengan dukungan internasional) pada tahun 2030. Secara lebih detail, Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) juga mendukung target ini dengan menyatakan Indonesia bisa mencapai penurunan emisi GRK sebesar 27,3% pada 2024.

Sebagai provinsi pengguna dan pemakai batubara skala besar, hingga mampu mengekspor listrik ke provinsi di sekitarnya, Sumatera Selatan menjadi salah satu penyumbang GRK terbesar secara nasional. Sehubungan dengan hal tersebut, Institute for Essential Services Reform (IESR) mengadakan acara peningkatan kapasitas berjudul Lokakarya (Workshop) Perhitungan Emisi GRK dan Budget Tagging bersama Badan Perencanaan Daerah (Bappeda) Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sumatera Selatan pada 25 September 2023.

Dalam lokakarya yang dihadiri sekitar 25 perwakilan Bappeda Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sumatera Selatan tersebut, IESR menghadirkan dua narasumber yang berasal dari Badan Kebijakan Fiskal dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Mewakili tim Akses Energi Berkelanjutan IESR, Reananda Permono menjelaskan bahwa IESR berkomitmen untuk mengadakan empat kali event lokakarya dalam rangka capacity building Bappeda Sumatera Selatan dalam menghadapi isu transisi energi berkeadilan dan transformasi ekonomi di Sumatera Selatan. Dalam konteks daerah, kegiatan peningkatan kapasitas ini dibutuhkan karena Bappeda merupakan salah satu stakeholder penting dalam kegiatan transisi energi.

Kepala Bidang Perekonomian dan Pendanaan Pembangunan Bappeda Provinsi Sumatera Selatan, Hari Wibawa, mengingatkan pentingnya wawasan emisi GRK dan budget tagging bagi rekan-rekan Bappeda. Terlebih lagi, perekonomian Sumatera Selatan banyak ditunjang oleh industri pertambangan, dibuktikan dengan banyaknya kabupaten di Sumatera Selatan yang menggantungkan PDRB dari sektor pertambangan batubara.

Analis Kebijakan dari Badan Kebijakan Fiskal, M. Zainul Abidin menjelaskan pentingnya Penandaan Anggaran (Budget Tagging) dalam memantau dampak perubahan iklim di Indonesia. Aktivitas penandaan anggaran langsung terkoneksi dengan APBN, sehingga dapat mendukung agenda pembangunan dan kebijakan fiskal nasional. Zainul juga menyebutkan tiga fungsi APBN sebagai instrumen stimulus ekonomi, yakni sebagai shock absorber (fungsi stabilisasi), agen pembangunan  (fungsi alokasi), dan solusi kesejahteraan rakyat (fungsi distribusi).

“Hasil penandaan anggaran dimanfaatkan dalam sistem pemantauan pencapaian NDC (Nationally Determined Contribution) dalam Sistem Registri Nasional (SRN) KLHK, dan diupayakan mampu mendukung sistem pemantauan pembangunan rendah karbon dalam sistem AKSARA Bappenas. Pemanfaatan budget tagging cukup banyak, misalnya dijadikan sebagai dasar untuk membentuk kerja sama dalam aksi perubahan iklim dan sebagai landasan bagi pemerintah daerah untuk memperoleh pembiayaan inovatif,” terang Zainul.

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Rohmadi Ridlo menyatakan pentingnya menyusun strategi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim untuk mengurangi emisi GRK di Provinsi Sumatera Selatan. Informasi mengenai GRK selanjutnya dapat digunakan dalam identifikasi strategi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, merumuskan kebijakan lingkungan yang berkelanjutan, bahkan sebagai landasan dalam menyusun anggaran khusus untuk mengurangi GRK di level provinsi.

“Secara umum, ada lima sektor penghasil emisi GRK, yakni energi, limbah, IPPU (Industrial Process and Product Uses), agrikultur, dan FOLU (Forestry and Other Land Uses). Sektor energi masih menjadi sumber penghasil emisi GRK terbesar secara nasional dengan 453,2 Mton CO2. Untuk kasus Sumatera Selatan, salah satu contoh strategi penurunan emisi GRK di sektor energi adalah teknologi co-firing biomassa untuk menghasilkan listrik di PLTU batubara,” jelas Ridlo.