Apa itu Energi Surya dan Bagaimana Pengembangannya di Indonesia?

PLTS Atap

Jakarta, 19 Desember 2022 – Peranan energi menjadi penting untuk peningkatan kegiatan ekonomi dan ketahanan nasional. Untuk itu, pengelolaan energi meliputi penyediaan, pemanfaatan, dan pengusahaannya harus dilaksanakan secara berkeadilan, berkelanjutan, optimal, dan terpadu. Terlebih Indonesia telah berkomitmen sesuai Persetujuan Paris untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, dengan target sebesar 31,89% pada tahun 2030 dengan kemampuan sendiri dan target sebesar 43,2% dengan bantuan internasional. 

Berdasarkan studi Deep Decarbonization of Indonesia’s Energy System yang dikeluarkan oleh IESR, Indonesia mampu untuk mencapai target Persetujuan Paris netral karbon pada 2050. Dekade ini menjadi penting, karena Indonesia harus segera mencapai puncak emisi di sektor energi pada tahun 2030 dan mendorong bauran energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan mencapai 45%.

Pembangunan sektor energi terbarukan menjadi aksi mitigasi untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) dan mendukung energi yang berkelanjutan. Untuk itu, Indonesia terus menggencarkan penggunaan energi terbarukan. Energi surya menjadi salah satu pilihan jenis energi terbarukan yang terus didorong penggunaannya di Indonesia. 

Melansir Modul Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan Konversi Energi Surya dan Angin, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, energi surya adalah energi yang didapat dengan mengubah energi matahari melalui peralatan tertentu menjadi sumber daya dalam bentuk lain. Teknik pemanfaatan energi surya pertama kali ditemukan oleh peneliti asal Prancis, Edmund Becquerel pada tahun 1839. Meskipun letak matahari sekitar 149 juta kilometer dari bumi, namun pancaran sinarnya bisa digunakan menjadi sumber energi terbarukan. Sinar matahari tersebut dikonversikan menjadi energi listrik menggunakan teknologi fotovoltaik (photovoltaic/pv) yang terdapat di dalam panel surya.

Panel surya merupakan kumpulan sel surya yang ditata sedemikian rupa agar efektif dalam menyerap sinar matahari. Sedangkan yang bertugas menyerap sinar matahari adalah sel surya. Konversi energi surya menjadi listrik berawal saat sel surya menyerap cahaya, maka akan ada pergerakan antara elektron di sisi positif dan negatif. Adanya pergerakan ini menciptakan arus listrik sehingga dapat digunakan sebagai sumber energi untuk alat elektronik. 

Berdasarkan laporan Indonesia Solar Energy Outlook 2023 yang dikeluarkan IESR, tenaga surya memainkan peran penting dalam dekarbonisasi mendalam di Indonesia pada tahun 2060 atau lebih cepat pada 2050, setidaknya 88% dari kapasitas daya terpasang akan berasal dari tenaga surya pada 2050. Sayangnya, penggunaan tenaga surya di Indonesia baru mencapai 0,2 GWp dari kapasitas terpasang dan hanya menghasilkan kurang dari 1% dari total pembangkit listrik pada akhir tahun 2021.

Namun demikian, kemajuan energi surya Indonesia terlihat dari turunnya harga listrik PLTS yang diperoleh melalui perjanjian pembelian tenaga listrik (power purchase agreement (PPA)) yang dilakukan oleh PT PLN (Persero) dengan pengembang listrik swasta. Harga PPA PLTS telah turun sekitar 78% dari US$0,25/kWh menjadi US$0,056/kWh antara rentang 2015 dan 2022. Untuk itu, IESR memprediksi setidaknya dengan bertambahnya proyek PLTS skala besar, turunnya harga modul surya, dan membaiknya iklim investasi, harga investasi PLTS per unit akan terus turun, mendekati trend harga di dunia. Selain itu, dari sisi perkembangan project pipeline untuk PLTS skala besar, saat ini terdapat delapan proyek dengan total kapasitas 585 MWp (telah dilelangkan).

Pilihan untuk PLTU di Tengah Pengembangan Energi Terbarukan

Transisi energi telah menjadi kebutuhan global sebagai upaya mitigasi perubahan iklim. Pembakaran energi fosil terbukti berkontribusi besar pada kenaikan emisi gas rumah kaca (GRK) yang menyebabkan naiknya rata-rata suhu global. Bagi negara-negara yang sistem energinya banyak ditopang oleh energi fosil, hal ini memerlukan perhatian khusus, sebab mereka juga harus  mengambil langkah yang tepat di tengah  pilihan-pilihan yang tersedia untuk melakukan dekarbonisasi sistem energi yang berarti berujung pada pengakhiran masa operasional PLTU batubara.

Raditya Wiranegara, peneliti senior Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam webinar bertajuk “Financing Indonesia’s Coal Phase-Out: A Just and Accelerated Retirement Pathway to Net-Zero” Sabtu, 19 November 2022, menjelaskan dua skenario yang dapat diambil untuk PLTU batubara. Kedua skenario ini bertujuan untuk memberikan ruang yang lebih lega pada energi terbarukan supaya dapat masuk pada jaringan PLN.

Pilihan yang pertama adalah dengan mempensiunkan PLTU-PLTU yang sudah tua dan tidak lagi efektif dan efisien secara operasional. Untuk mengkaji pilihan ini, IESR bekerjasama dengan Center of Global Sustainability, University of Maryland, Amerika Serikat. 

“Hasil penelitian kami menunjukkan, terdapat 9,2 GW PLTU batubara yang dapat segera dipensiunkan mulai dari 2022-2030,” kata Raditya.

Dengan melakukan pensiun pada seluruh pembangkit batubara, dan membangun pembangkit berbasis energi terbarukan, Indonesia dapat mencapai status net zero emission pada tahun 2050 sesuai dengan Persetujuan Paris. 

Selain itu terdapat berbagai dampak sosial-ekonomi serta lingkungan yang dapat dihindari. Hingga tahun 2050 diperkirakan akan ada 168.000 kematian yang dapat dihindari dengan skenario pensiun seluruh PLTU.

Pilihan kedua yaitu dengan mengoperasikan PLTU secara fleksibel. Operasi PLTU fleksibel adalah pengubahan pola operasi PLTU dari yang awalnya beroperasi 24 jam dalam sehari untuk menopang beban dasar sistem ketenagalistrikan (baseload), menjadi hanya menopang beban puncak pada jam-jam tertentu saja (peak load).

“Pola operasi fleksibel ini memungkinkan penambahan pasokan energi terbarukan, terutama sumber energi yang bergantung pada kondisi tertentu seperti surya dan angin,” jelas Raditya.

Ditambahkan oleh Raditya, pola operasi fleksibel ini cocok untuk PLTU yang masih berusia muda seperti yang banyak terdapat di Indonesia. Dalam laporan studi “Flexible Thermal Power Plant: An Analysis of Operating Coal-fired Power Plant Flexibly to Enable the High-Level Variable Renewables in Indonesia’s Power System” dijelaskan bahwa secara teknis PLTU-PLTU yang berada di sistem Sumatra, Jawa-Bali, dan Sulawesi dapat dioperasikan secara fleksibel. Akan terdapat perbedaan level efisiensi, besaran emisi, serta biaya investasi yang dibutuhkan dari satu unit PLTU ke PLTU yang lain tergantung pada usia PLTU. PLTU yang berusia muda relatif membutuhkan biaya retrofit yang lebih rendah karena infrastrukturnya masih relatif kuat untuk mendukung pola operasional PLTU fleksibel.

Untuk itu, diperlukan perencanaan matang untuk mengoperasikan PLTU secara fleksibel maupun melakukan pensiun PLTU dan menambah kapasitas energi terbarukan dalam jaringan. Pemerintah melalui PLN juga dapat memasukkan pola operasi PLTU fleksibel dalam dokumen perencanaan penyediaan tenaga listrik untuk memberikan kepastian regulasi pada investor.

Paparan tentang operasi PLTU fleksibel dapat disaksikan melalui kanal berikut ini.

Menggenjot Aksi Iklim Ambisius dari Pelaku Ekonomi

Direktur Eksekutif IESR

Jakarta, 30 November 2022 – Pemerintah Indonesia perlu menunjukkan perhatian kuat terhadap upaya mitigasi iklim. Salah satu caranya yakni meningkatkan komitmen terhadap penurunan emisi gas rumah kaca secara signifikan. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa memaparkan, kenaikan temperatur global yang lebih tinggi bisa menyebabkan krisis iklim yang semakin sulit untuk diatasi. Hal tersebut disampaikannya pada acara Astra Green Energy Summit 2022 dengan tema Aksi Nyata Perjalanan Transisi Energi Menuju Lingkungan Berkelanjutan.

“Sejak disepakati dokumen United Nations Framework on Climate Change Conference (UNFCCC) tahun 1992, kemudian diratifikasi sebagian besar oleh negara di dunia pada tahun 1994, maka seluruh negosiasi perubahan iklim diarahkan untuk mencegah kenaikan temperatur bumi,” tegas Fabby Tumiwa. 

Mengutip data Climate Action Tracker 2022, kata Fabby, kebijakan iklim Indonesia di sektor energi dinilai belum cukup untuk dapat menahan kenaikan rata-rata suhu bumi di bawah 1,5°C sebagaimana disepakati pada KTT COP 26 di Glasgow pada 2021. Untuk itu, Fabby menilai emisi gas rumah kaca (GRK) global harus mencapai puncaknya pada tahun 2030 dan kemudian turun, apabila Indonesia ingin mencegah kenaikan temperatur di atas 2°C yang punya implikasi luas.

“Yang artinya, aksi ambisius diperlukan, khususnya untuk negara G20 yang berkontribusi besar menghasilkan emisi GRK. Penurunan emisi GRK juga harus dilakukan pelaku ekonomi, apabila hanya dilakukan pemerintah, saya kira akan sulit,” jelas Fabby Tumiwa. 

Menurut Fabby, proses dekarbonisasi perlu dilakukan secara komprehensif karena berkaitan dengan struktur pasokan energi Indonesia. Saat ini energi fosil masih menjadi penyumbang utama pembangkit listrik di Indonesia. Kenaikan konsumsi BBM juga cukup tinggi, ditandai dengan kenaikan jumlah kendaraan bermotor. 

“Sejak 10 tahun terakhir konsumsi BBM mulai disubtitusi sedikit dengan biofuel. Sampai dengan 2021 lalu, proporsi jumlah bahan bakar yang disubstitusi ke biofuel mencapai 14%. Untuk itu, penggunaan bahan bakar rendah karbon (low carbon fuel) perlu ditingkatkan sampai 40-60% di tahun 2040. Artinya, kita perlu mendorong penggunaan bahan bakar sintetik selain biofuel,” papar Fabby Tumiwa.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menuturkan, badan usaha diharapkan dapat terlibat dalam percepatan transisi energi, dengan meningkatkan kontribusi dalam melakukan akselerasi transisi energi. Misalnya saja penerapan efisiensi energi di seluruh rantai bisnis dan mengembangkan inovasi teknologi serta industri bersih. Badan usaha juga diharapkan melakukan mitigasi dampak dari transisi energi di sektor usaha dan supply chain

“Untuk mengatasi adanya kendala transisi energi dibutuhkan sinergi antara pemangku kepentingan, baik pemerintah, media, NGO serta swasta demi tercapainya emisi nol bersih,” papar Arifin. 

Memahami Keadilan Iklim dalam Aksi Iklim Global dan Penerapannya di Indonesia

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa

Keadilan iklim menjadi urgensi yang diperjuangkan antar generasi manusia. Terutama bagi mereka yang mempunyai misi membebaskan Indonesia dari ancaman krisis iklim dan krisis ekologi dalam tatanan politik yang demokratis yang berdasarkan pada prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM). Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL menekankan pentingnya untuk memahami keadilan iklim yang termuat dalam dokumen Persetujuan Paris 2015, Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), Laporan Penilaian Keenam (AR6), Kelompok Kerja 2 yang berjudul Dampak, Adaptasi dan Kerentanan. Torry memaparkan, laporan penilaian keenam (AR 6) telah memperluas perhatian pada ketidakmerataan terkait kerentanan, respon, kuasa, partisipasi dan keadilan iklim. 

“Di dalamnya juga menjelaskan adanya pandangan tentang masyarakat yang adil akan berhasil beradaptasi. Sebaliknya, adaptasi yang berhasil akan menghasilkan masyarakat yang adil,” tegas Torry dalam diskusi yang dilaksanakan Yayasan Madani, Walhi, Kemitraan, Pikul dan Institute for Essential Services Reform (IESR), pada Senin (3/10/2022).

Torry menuturkan, isu pembangunan berketahanan iklim perlu diperhatikan untuk memperkecil ketimpangan, mensinergikan adaptasi dan mitigasi serta memberikan manfaat bagi kelompok miskin dan rentan. Keadilan iklim menjadi prasyarat adaptasi efektif dan mencegah maladaptasi rekognisi, keadilan prosedural, keadilan distributif dan institusi yang kuat tetapi fleksibel. 

“Setidaknya ada empat hal yang harus dikerjakan yaitu rekognisi terhadap agensi yang mewakili kelompok rentan, perlu ada prosedur kelompok rentan bisa bersuara dan solusinya serta mendistribusikan keadilan,” ujar Torry. 

Torry memaparkan, keadilan distributif memiliki prinsip yaitu pihak yang lebih rentan itu harus mendapatkan keadilan lebih banyak. Untuk menerapkan keadilan iklim, setidaknya Indonesia harus memiliki institusi yang kuat dan fleksibel.  Sementara itu, Bivitri Susanti, Pendiri dan Peneliti Senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menekankan bahwa setiap pihak termasuk masyarakat memiliki peran penting dalam keadilan iklim, sehingga partisipasi akar rumput dan anak muda dalam diskusi menjadi hal penting dilakukan. 

“Tiga hal yang harus disoroti (untuk pelaksanaan keadilan iklim di Indonesia,red) yakni pembuatan keputusan politik, peradilan, dan masyarakat sipil. Kita perlu melibatkan lebih banyak masyarakat sipil agar mereka juga bisa memahami konteks perubahan iklim,” ucap Bivitri. 

Diskusi Keadilan Iklim
Diskusi keadilan iklim dilaksanakan oleh Yayasan Madani, Walhi, Kemitraan, Pikul dan Institute for Essential Services Reform (IESR), di Jakarta, pada Senin (3/10/2022)

Perubahan iklim akan membawa dampak buruk yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia, terutama masyarakat pesisir. Menurut  Parid Ridwanuddin Manajer Kampanye Pesisir dan Laut, Walhi sebanyak 199 kabupaten/kota pesisir di Indonesia akan terkena banjir rob tahunan pada 2050, sekitar 118.000 hektar wilayah akan terendam air laut, 23 juta warga terdampak dan kerugian diperkirakan mencapai Rp1.576 triliun. 

“Kita juga perlu menyadari dalam satu tahun nelayan hanya bisa melaut selama 6 bulan. Setiap tahun rata-rata 100 nelayan hilang/meninggal di laut akibat melaut pada saat cuaca buruk,” terang Parid. 

Perubahan iklim, lanjut Parid, berdampak pula terhadap peningkatan suhu yang membuat ikan berpindah dari wilayah tropis. Dengan demikian, kondisi ini bisa mengurangi pendapatan nelayan tradisional.  Berkaca dari berbagai perubahan iklim dan peran masyarakat, Parid menekankan, pentingnya RUU Perubahan Iklim sebagai satu cara untuk mendorong keadilan iklim di Indonesia.

“RUU ini harus menjadi prioritas Gerakan masyarakat sipil di Indonesia, dan mengajak jejaring internasional,” tegas Parid. 

 

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa di diskusi keadilan iklim pada Senin (3/10/2022).

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa memaparkan, dampak dari memburuknya iklim kian terasa saat ini.  Berdasarkan Data Informasi Bencana Indonesia (DIBI)-BNPB periode 2005-2017, kejadian bencana di Indonesia memang lebih banyak terkait hidrometeorologi. Pada tahun 2016, kejadian bencana hidrometeorologi sekitar 2.287 kejadian, sedangkan bencana geologi sebanyak 26 kejadian. Pada tahun 2017, ada 2.139 kejadian bencana hidrometeorologi dan 18 kejadian bencana geologi. 

“Ini menjadi konteks penting, siapa yang membayar dampak dari kejadian tersebut? Hal ini juga berkaitan dengan reformasi keadilan pajak. Misalnya pihak yang memproduksi emisi lebih besar seharusnya dikenakan biaya yang lebih karena krisis iklim,” tegas Fabby. 

Suara Pemuda untuk Transisi Energi

Transisi energi menjadi kata yang semakin populer pada tahun 2022. Hal ini merupakan suatu pertanda baik untuk menyebarkan isu transisi energi pada semakin banyak orang. Saat ini kita hidup di masa yang membutuhkan aksi cepat untuk penanganan krisis iklim yang sudah terjadi di depan mata. Transisi energi merupakan suatu solusi sistematik untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) yang menjadi penyebab kenaikan suhu bumi sehingga menyebabkan krisis iklim.

Berbagai kelompok ilmuwan seperti Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) telah memperingatkan bahwa waktu kita untuk menahan laju kenaikan suhu bumi semakin sempit. Saat ini suhu bumi telah naik 1,1 derajat celcius dari masa pra-industri, dan seluruh dunia sedang berupaya untuk menahan laju kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 1,5 derajat.

Untuk mencapai tujuan tersebut, hingga tahun 2030 kita harus memangkas 45% emisi GRK global. Sebagai negara penghasil emisi terbesar di dunia, Indonesia mendapat tuntutan untuk mengurangi emisi terutama sektor energi dan penggunaan lahan.

Dari sektor energi, untuk menekan emisi GRK dan selaras dengan tujuan 1,5 derajat, Indonesia harus mempensiunkan 9,2 GW PLTU hingga 2030 dan secara bertahap memensiunkan seluruh kapasitas PLTU pada 2045. Penurunan jumlah kapasitas PLTU ini juga harus dibarengi dengan peningkatan pembangkit energi terbarukan secara masif serta peningkatan kualitas jaringan transmisi dan distribusi. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, dalam forum Muda Bersuara yang diselenggarakan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) menyatakan bahwa jika Indonesia tetap mengembangkan energi fosil maka emisi dari sektor energi akan terus meningkat.

“Jika kita terus mengembangkan energi fosil, emisi kita akan naik hingga 3 kali lipat. Untuk menghindari hal itu maka PLTU harus dihentikan dan energi terbarukan harus terus ditambah,” jelas Fabby.

Kuki Soejachmoen, Co-Founder dan Executive Director Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) menyoroti tentang kebijakan transisi energi yang belum harmoni di berbagai level.

“Ada beberapa kebijakan yang tidak saling mendukung. Contohnya, di forum internasional kita komitmen mau transisi, tapi kebijakan pendukung dan enabling environment-nya tidak ada. Jadi komitmennya tidak bisa dijalankan,” jelas Kuki.

Kuki juga menambahkan bahwa Indonesia sedang dalam masa pembangunan yang berarti permintaan akan energi diprediksi akan terus naik, jika pembangunan energi masih berbasis bahan bakar fosil tentu hal ini akan membuat emisi Indonesia terus naik.

Melissa Kowara, aktivis Extinction Rebellion Indonesia, menilai bahwa, meskipun terminologi transisi energi sudah semakin populer digunakan, namun secara kebijakan masih belum terlihat.

“Walaupun pemerintah Indonesia dan negara-negara di dunia sudah menjadikan transisi energi sebagai isu prioritas namun dalam pelaksanaannya masih belum mewujudkan transisi energi bahkan beberapa cenderung ‘salah arah’ seperti adanya rencana penggunaan CCS/CCUS untuk PLTU,” tutur Melissa.

Menanggapi hal ini Fabby Tumiwa mengatakan memang dibutuhkan dorongan publik supaya terjadi reformasi kebijakan untuk transisi energi. 

“Saat ini ada beberapa perubahan kebijakan, yang jika dilaksanakan dengan baik dapat membantu kita menjalankan transisi energi. Di sini salah satu peran publik dapat menjadi pengawas bagaimana pemerintah melaksanakan aturan-aturan tersebut dan ikut mengingatkan saat ada kelalaian,” pungkas Fabby.

Penerbitan Studi IESR: Financing Indonesia’s Coal Phase Out: A Just and Accelerated Retirement Pathway to Net Zero

Jakarta, 3 Agustus 2022– Pensiun dini PLTU perlu dilakukan untuk mencapai bebas emisi di 2050 sesuai komitmen Persetujuan Paris. Kajian Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama Center for Global Sustainability (CGS), Universitas Maryland dan didukung oleh Bloomberg Philanthropies menemukan bahwa Indonesia dapat mempercepat penghentian pengoperasian PLTU pada 2045 untuk meraup manfaat sosial, ekonomi dan lingkungan yang lebih luas. Beberapa manfaat yang dijelaskan dalam kajian berjudul “Financing Indonesia’s coal phase-out: A just and accelerated retirement pathway to net-zero” diantaranya: meningkatkan proporsi energi terbarukan dalam bauran energi, meningkatkan kualitas lingkungan dan ekonomi, mengurangi polusi, meningkatkan kualitas udara, dan menurunkan biaya kesehatan. 

Ailun Yang Head of International Program of  Climate and Environment Bloomberg Philanthropies menyatakan bahwa penghapusan batubara bukanlah tugas yang mudah bagi setiap negara. Ailun menyatakan bahwa dibutuhkan kerangka kerja yang konsisten dan  strategi paling efektif untuk menghentikan penggunaan batubara. 

“Untuk itulah studi ini penting untuk melihat skenario yang tepat untuk diterapkan di Indonesia,” ucap Ailun. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menginformasikan bahwa studi ini merupakan investigasi pertama di Indonesia tentang rencana pensiun batubara dan program pembiayaannya. Di samping itu, Fabby menyampaikan informasi bahwa tahun lalu, IESR dan BNEF menghasilkan laporan yang menunjukkan bahwa pada tahun 2027, kapasitas penyimpanan baterai PLTS akan menghasilkan biaya listrik yang 25% lebih murah daripada pembangkit batubara baru. Pada tahun 2032, biaya pembangkitan pembangkit batubara dapat dilampaui oleh PLTS yang dikombinasikan dengan penyimpanan baterai 100%.

“Percepatan pensiun bertahap PLTU pada akhirnya akan memberi PLN peluang untuk mengubah aset coklatnya dengan cepat menjadi aset bersih dan terbarukan, meningkatkan produktivitas, dan menurunkan risiko aset terlantar,” ungkap Fabby.

Fabby berharap bahwa studi ini dapat membantu Pemerintah Indonesia dan PLN untuk mempersiapkan program transisi energi, terutama dalam pembentukan Just Energy Transition Partnership (JETP).

Nathan Hultman, Direktur Global Sustainability Center, Universitas Maryland. Nathan menjelaskan bahwa setiap negara mempunyai strategi berbeda, tetapi terdapat kemungkinan untuk lebih cepat beralih ke energi yang lebih bersih. 

“Dengan menjauhi energi tak terbarukan, kita akan mendapatkan lebih banyak manfaat di bidang kesehatan, ekonomi, dan pembangunan,” jelasnya

Menambahkan, Ryna Yiyun Cui, Assistant Research Professor, Center for Global Sustainability, University of Maryland menyebutkan bahwa agar kompatibel dengan emisi nol bersih dan target global 1,5 C, Indonesia harus mengurangi PLTU sebesar 11% pada tahun 2030, sebesar 90% pada tahun 2040, dan sepenuhnya dihapus pada tahun 2045. Lebih jauh, ia menyatakan dibutuhkan biaya mempensiunkan PLTU sekitar USD4,6 miliar hingga 2030 dan 27,5 miliar USD hingga 2050. “Membatalkan perjanjian pembelian tenaga listrik atau power purchase agreement (PPA) atau pembangunan PLTU dapat menghemat hingga USD18,7 miliar yang dapat diinvestasikan secara alternatif dalam energi terbarukan,” jelasnya.

Andriah Feby Misna, Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan menginformasikan bahwa pensiun dini PLTU sudah menjadi perhatian pemerintah untuk menuju Net Zero Emission tahun 2060. Ia menjelaskan bahwa masih perlu kajian mendalam untuk waktu implementasinya. Ia menambahkan bahwa menurut modelling pemerintah, PLTU masih akan beroperasi hingga 2056 dan jika ingin mendorong pensiun batubara pada tahun 2045, diperlukan pertimbangan yang lebih mendalam lagi.

“Pemerintah sedang merancang peta jalan pensiun dini PLTU batubara. Harapannya jika ada bantuan internasional, diharapkan akan terjadi lebih cepat,” tambah Andriah.

Di lain sisi, Sinthya Roesly, Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko, PT PLN Persero mengatakan bahwa dari sisi finansial, perlu dilihat sejauh mana APBN Indonesia bisa menyerap biaya yang diperlukan. Ia menambahkan bahwa perlu kesiapan pasar dan pertimbangan sejauh mana investor swasta akan berinvestasi.

“(Biaya pensiun dini PLTU-red) barangkali yang musti kita hitung dan kita lihat secara seksama di tengah kondisi over supply yang ada saat ini. Jadi kita sekarang kita handle dulu over supply dan take or pay serta (dicarikan) solusikan agar tambahan dari EBT ini tidak menambah ongkos,” ungkap Sinthya.

Memadukan aspek sosial dalam pendanaan transisi energi untuk mencapai transisi yang berkeadilan

Perubahan sumber energi membutuhkan transformasi sistem secara besar-besaran. Dalam hal ini, tidak hanya pembangunan infrastruktur baru dan aspek teknologi yang diperlukan, tetapi juga menyangkut masyarakat sebagai pembuat keputusan dan juga sebagai pihak yang akan terdampak oleh transisi energi. Gagasan mengenai transisi energi seringkali hanya berfokus pada aspek teknologi, sehingga aspek lain seperti aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan menjadi cenderung terabaikan. Misalnya, ketika membicarakan mengenai kebutuhan pendanaan untuk membangun infrastruktur energi terbarukan, biaya untuk mitigasi risiko sosial seringkali tidak masuk dalam perhitungan. Jika tujuan utamanya adalah mencapai transisi energi yang berkeadilan, maka sudah saatnya untuk mulai mempertimbangkan dimensi sosial dari transisi energi.

Dalam G20 Forum on International Policy Levers for Sustainable Investment, Brian Motherway sebagai perwakilan dari IEA menyampaikan bahwa investasi memang krusial dikarenakan tingginya biaya modal awal untuk proyek energi terbarukan. Namun, menurut Brian, tidak dapat dipungkiri bahwa transisi energi berkeadilan yang berorientasi terhadap kepentingan masyarakat juga tidak kalah penting. Seiring dengan berjalannya proses transisi energi, masyarakat juga akan bertransformasi. Apakah nantinya transformasi tersebut akan menimbulkan disrupsi atau justru dapat menjadi pemberdayaan bagi masyarakat tergantung pada pilihan kebijakan untuk memitigasi risiko dari transisi energi. Biaya untuk memberikan perlindungan terhadap risiko tersebut juga harus diperhitungkan dalam pendanaan proyek energi terbarukan sebagai jaminan bahwa pembangunan rendah karbon dapat memberikan manfaat bagi semua lapisan masyarakat, bukan justru menjadikan masyarakat sebagai ‘penanggung’ biaya transisi.

Namun demikian, ada beberapa tantangan dalam memahami risiko sosial transisi energi dan mengukur jumlah pendanaan yang dibutuhkan. Gagasan mengenai transisi yang berkeadilan baru muncul belakangan ini, demikian juga dengan wacana perhitungan pembiayaan non-proyek (non-project financing). Tantangan pertama adalah mendefinisikan apa yang dimaksud dengan ‘biaya sosial’ dalam transisi energi. Setiap proyek transisi energi memiliki derajat perbedaan kompleksitas dan juga cakupan masing-masing, sehingga setiap proyek akan memiliki pengertian yang berbeda mengenai biaya sosial tersebut. Secara umum, biaya sosial biasanya dikaitkan dengan jaminan pekerjaan atau jaring pengaman sosial, sedangkan pengertian lain merujuk pada gagasan mengenai keadilan energi–distribusi biaya dan manfaat yang merata bagi komunitas yang terdampak oleh perubahan sistem energi. Tanpa mengabaikan keberagaman konteks pada level lokal dan regional dalam perencanaan sistem energi, kerangka kebijakan yang komprehensif dapat menjadi acuan bagi perusahaan swasta maupun institusi keuangan dalam mendesain alokasi dana untuk pembiayaan non-proyek. 

Kedua, kurangnya data yang dapat menggambarkan kalkulasi risiko sosio-ekonomi dari proyek transisi energi. Sebagai contoh, Bappenas memperkirakan akan ada 1,8 juta sampai 2,2 juta pekerjaan di sektor energi terbarukan pada tahun 2060 jika ada intervensi pemerintah yang cukup kuat pada sektor ini. Di sisi lain, data dari laporan IESR ‘Ensuring Just Energy Transition in Indonesia’ mengatakan bahwa ada 1 juta pekerjaan yang bergantung pada sektor batu bara di Indonesia. Sepintas, kedua data ini memberikan informasi bahwa akan ada lebih banyak pekerjaan yang tumbuh ketimbang pekerjaan yang ditinggalkan. Namun, data ini hanya merepresentasikan transisi pekerjaan pada level makro, sedangkan realitanya proses transisi lebih banyak terjadi pada level lokal maupun regional. Data yang dapat menggambarkan dampak transisi pekerjaan pada level lokal atau regional, terlebih pada area yang memiliki ketergantungan terhadap industri batu bara, dapat memberikan informasi yang lebih rinci pada institusi keuangan dalam memperhitungkan biaya untuk jaring pengaman sosial, pelatihan kerja, dan juga penyediaan alternatif pekerjaan lain. Transisi energi kini sudah tidak dapat dihindari. Maka dari itu, pemerintah harus siap untuk merespon adanya risiko meningkatnya angka pengangguran, terutama dalam industri padat karbon

Selain di sektor ketenagakerjaan, kurangnya informasi bagi masyarakat lokal mengenai transformasi energi juga menjadi salah satu tantangan dalam memobilisasi jumlah pendanaan yang dibutuhkan untuk menghalau dampak transisi. Terutama di area yang bergantung dengan keberadaan industri bahan bakar fosil, kurangnya informasi dan pengetahuan dapat meningkatkan kerentanan sosio-ekonomi pada masyarakat, ketika sumber pendapatan utama mereka tidak lagi beroperasi karena berkurangnya permintaan bahan bakar fosil di masa mendatang. Dalam hal ini, lagi-lagi data menjadi aspek krusial untuk memvisualisasikan bagaimana perputaran ekonomi di daerah yang bergantung pada industri bahan bakar fosil menjadi terdistorsi dengan adanya transisi energi. Dengan data yang komprehensif, mengalihkan pendapatan utama dari industri bahan bakar fosil ke industri lain dapat dilakukan dengan lebih adil dan mudah.

Para pemerintah dalam forum G20 memiliki tugas untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Tidak bisa diragukan lagi bahwa pendanaan menjadi salah satu aspek penting dalam transisi energi. Namun, pembiayaan untuk ‘biaya sosial’ selama ini kurang menjadi perhatian para pembuat kebijakan. Instrumen pendanaan seharusnya dapat dimobilisasi untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat dan daerah yang terdampak oleh transisi energi. Rumusan kebijakan yang berdasarkan data–terutama pada skala regional–menjadi penting untuk memitigasi dampak transisi energi. Pada akhirnya, transisi berkeadilan adalah sebuah gagasan yang mengkombinasikan tujuan pembangunan ekonomi dan keberlanjutan iklim. Sudah saatnya bagi pembuat kebijakan untuk menjelajahi aspek ‘keadilan’ dalam transisi energi yang berkeadilan dengan mendorong mekanisme pendanaan yang lebih inklusif. 

IESR: Akselerasi Energi Bayu Butuh Ekosistem Pendukung

Jakarta, 25 Juli 2022 – Indonesia memiliki potensi teknis energi bayu (angin) yang cukup besar. Kementerian ESDM mencatat total potensi tenaga bayu mencapai 155 GW yang terdiri dari 94,2 GW lepas pantai (offshore wind) dan 60,6 GW daratan (onshore wind). Hingga kini pemanfaatan energi bayu baru sebesar 131 MW atau hanya sekitar 0,1% dari potensi yang ada. Pemerintah sendiri melalui green RUPTL menargetkan pengembangan energi bayu akan terpasang hingga 597 MW hingga tahun 2030.

Cita Dewi, EVP Perencanaan dan Enjiniring EBT PLN menyatakan bahwa salah satu tantangan pengembangan energi bayu adalah persiapannya yang harus matang dan lokasinya yang banyak berada di daerah terpencil sehingga membutuhkan dukungan infrastruktur tersendiri baik untuk survey pengukuran kecepatan angin maupun pengembangannya.

“Pengembangan PLT bayu ini membutuhkan satu akurasi yaitu data angin. Untuk melihat berapa banyak energi yang dapat dibangkitkan. Pengukuran angin ini minimal satu tahun di satu lokasi untuk melihat kecepatan angin selama musim tertentu juga saat pergantian musim,” jelas Cita Dewi pada acara Green Talk di Berita Satu. 

Agung Hermawan, Ketua Umum Asosiasi Energi Angin Indonesia, menjelaskan satu kondisi yang menghambat pengembangan energi bayu adalah mekanisme lelang proyek yang harus terpusat melalui PLN.

“Sebelum tahun 2017, asal kita sudah punya data angin yang komprehensif, kita tinggal negosiasi dengan PLN terkait harga dan kita dapat langsung membangun. Nah, sejak 2017 pengadaan dilakukan melalui mekanisme tender PLN, jadi meski kami sudah memiliki data pengukuran namun jika mekanisme pengadaan belum dimulai, kami tidak bisa apa-apa,” jelas Agung.

Agung menambahkan bahwa pihaknya menyadari posisi PLN yang sulit sebagai offtaker yang harus mengatur pengadaan energi bayu ini sembari tetap menjaga ketersediaan listrik di seluruh Indonesia. Namun dirinya menegaskan bahwa dibutuhkan keterbukaan untuk saling berkolaborasi untuk mendorong akselerasi energi bayu di Indonesia.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), menekankan beberapa hal yang akan menjadi ekosistem pengembangan energi angin, pertama perlunya berinvestasi pada data pengukuran angin yang akurat di lokasi-lokasi potensial sehingga saat PLN akan membuka lelang sudah ada data tersedia.

Kedua, perlu adanya perbaikan dari sisi regulasi. Fabby menegaskan Perpres tentang harga energi baru terbarukan sangatlah dinanti-nanti. Sebab aturan ini akan memberikan sinyal positif bagi investor dan pengembang energi terbarukan.

Ketiga, harus ada penguatan atau pembangunan infrastruktur di tempat-tempat yang akan menjadi lokasi PLTB seperti akses jalan, dan pelabuhan. Hal ini membutuhkan koordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait di luar kementerian ESDM.

Keempat, perlu dirancang skema low financing untuk memudahkan pengembang PLTB mengakses pendanaan. Misalnya dengan melibatkan bank lokal untuk menyediakan pendanaan ini.

Kelima, mekanisme lelang di PLN perlu dibuat transparan dan terjadwal sehingga pengembang dan semua pihak tahu kapan lelang selanjutnya akan dilaksanakan.

“Tantangan pengembangan energi bayu ini salah satunya biaya logistik yang cukup besar, jadi butuh lebih dari sekedar reformasi kebijakan dan reformasi sistem lelang,” pungkas Fabby.

Apakah Rencana Indonesia dalam Melepas PLTU Batubara Cukup Ambisius?

Pada awal tahun 1990-an, fenomena padam listrik menjadi hal yang umum di Indonesia. Pada banyak kesempatan, hal ini terjadi tanpa ada pemberitahuan lebih lanjut dari perusahaan utilitasnya, yakni PLN. Kondisi seperti ini terjadi lebih buruk di luar pulau Jawa dan Sumatra. Lahir dan dibesarkan di Kalimantan, saya mengamati fenomena ini di lingkungan sekitar rumah. Hampir setiap rumah memiliki generator listrik yang dijadikan sebagai cadangan ketika pemadaman listrik terjadi. Akan tetapi, situasi ini berubah ketika pemerintah mulai meningkatkan kapasitas terpasang pembangkit listrik sepanjang akhir tahun 90-an, yang dipelopori oleh pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

Pengembangan pembangkit listrik yang masif ini didukung oleh tersedianya batubara lokal yang melimpah dan harganya yang murah. Akibatnya, biaya pembangkit listrik ini lebih murah dibandingkan pembangkit listrik jenis lainnya. Pengembangan pembangkit listrik ini diperkuat dengan Undang-Undang (UU) Ketenagalistrikan No. 30 Tahun 2009, menggantikan UU sebelumnya Nomor 15 Tahun 1985, yang memberikan izin kepada pihak swasta dalam sektor ini. Di Indonesia, pengembangan PLTU dilaksanakan melalui tiga program yang didukung oleh pemerintah, yakni 35.000 MW dan Program Jalur Cepat Fase 1 & 2. Sampai saat ini, listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik ini berkontribusi sebesar 65% bagi ketersediaan listrik. Tidak mengeherankan jika sepertiga emisi CO2 Indonesia berasal dari sektor tersebut.

Ditambah dengan menurunnya harga pembangkit listrik energi terbarukan, PLTU akan kehilangan daya saingnya secara ekonomis. Ini merupakan situasi yang tidak asing lagi baik dalam konteks global maupun Indonesia. Studi oleh BNEF dan IESR baru-baru ini telah memproyeksikan penurunan harga dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) bahkan jauh di bawah dari harga PLTU di tahun 2023. Di tahun 2040, harga PLTS akan lebih terjangkau daripada biaya jangka pendek PLTU (short marginal running cost). Dalam merealisasikan hal itu, pemerintah telah mengeluarkan sebuah rencana untuk mempensiunkan 9.2 GW PLTU pada tahun 2030. Sebesar 5.5 GW darinya akan dipensiunkan lebih awal, sementara sisanya, dengan perkiraan sebesar 3,7 GW, akan digantikan dengan energi terbarukan. Rencana tersebut memang akan melepaskan PLTU dari bauran energi Indonesia pada tahun 2060. Walaupun inisiatif pemerintah sangat diapresiasi, rencana ini masih jauh dari kata sepadan dengan ketetapan pencapaian 1.5°C dalam Perjanjian Paris. Pertanyaan saat ini adalah bagaimana agar rancangan tersebut dapat sejalan dengan targetnya.

Berdasarkan analisis IESR, dengan mempertahankan rencana pemerintah, mempensiunkan PLTU tetap dapat dibuat sepadan dengan Perjanjian Paris. Mempertimbangkan seluruh dampak sosial dan ekonominya, jalur pensiun yang sepadan dengan 1.5°C akan membuat sekitar 21,7 GW PLTU, yang dimiliki oleh PLN dan IPP, akan dihentikan para tahun 2031-2040. Antara tahun 2041-2045, sekitar 12,5 GW dari PLTU akan dipensiunkan. Analisis ini juga menunjukkan bahwa percepatan dalam mempensiunkan PLTU merupakan hal yang dapat dilaksanakan juga menguntungkan. Dengan perginya PLTU dari campuran pembangkit listrik di Indonesia secara cepat, analisis menemukan bahwa subsidi listrik batubara dan biaya kesehatan yang dapat dihindari bisa mencapai 2-3 kali lebih besar daripada biaya aset terdampar, penonaktifan, dan kerugian pendapatan batubara negara. Ini diperkirakan bahwa biaya pensiun dari percepatan pensiun PLTU berkisar 4.3 juta dolar AS di tahun 2030 dan 28 juta dolar ASdi tahun 2045. Potongan biaya yang tampaknya besar ini tentu akan membutuhkan dukungan internasional yang signifikan, terlepas dari manfaat yang diperoleh dalam jangka panjang akan lebih besar.