Apakah Rencana Indonesia dalam Melepas PLTU Batubara Cukup Ambisius?

Pada awal tahun 1990-an, fenomena padam listrik menjadi hal yang umum di Indonesia. Pada banyak kesempatan, hal ini terjadi tanpa ada pemberitahuan lebih lanjut dari perusahaan utilitasnya, yakni PLN. Kondisi seperti ini terjadi lebih buruk di luar pulau Jawa dan Sumatra. Lahir dan dibesarkan di Kalimantan, saya mengamati fenomena ini di lingkungan sekitar rumah. Hampir setiap rumah memiliki generator listrik yang dijadikan sebagai cadangan ketika pemadaman listrik terjadi. Akan tetapi, situasi ini berubah ketika pemerintah mulai meningkatkan kapasitas terpasang pembangkit listrik sepanjang akhir tahun 90-an, yang dipelopori oleh pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

Pengembangan pembangkit listrik yang masif ini didukung oleh tersedianya batubara lokal yang melimpah dan harganya yang murah. Akibatnya, biaya pembangkit listrik ini lebih murah dibandingkan pembangkit listrik jenis lainnya. Pengembangan pembangkit listrik ini diperkuat dengan Undang-Undang (UU) Ketenagalistrikan No. 30 Tahun 2009, menggantikan UU sebelumnya Nomor 15 Tahun 1985, yang memberikan izin kepada pihak swasta dalam sektor ini. Di Indonesia, pengembangan PLTU dilaksanakan melalui tiga program yang didukung oleh pemerintah, yakni 35.000 MW dan Program Jalur Cepat Fase 1 & 2. Sampai saat ini, listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik ini berkontribusi sebesar 65% bagi ketersediaan listrik. Tidak mengeherankan jika sepertiga emisi CO2 Indonesia berasal dari sektor tersebut.

Ditambah dengan menurunnya harga pembangkit listrik energi terbarukan, PLTU akan kehilangan daya saingnya secara ekonomis. Ini merupakan situasi yang tidak asing lagi baik dalam konteks global maupun Indonesia. Studi oleh BNEF dan IESR baru-baru ini telah memproyeksikan penurunan harga dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) bahkan jauh di bawah dari harga PLTU di tahun 2023. Di tahun 2040, harga PLTS akan lebih terjangkau daripada biaya jangka pendek PLTU (short marginal running cost). Dalam merealisasikan hal itu, pemerintah telah mengeluarkan sebuah rencana untuk mempensiunkan 9.2 GW PLTU pada tahun 2030. Sebesar 5.5 GW darinya akan dipensiunkan lebih awal, sementara sisanya, dengan perkiraan sebesar 3,7 GW, akan digantikan dengan energi terbarukan. Rencana tersebut memang akan melepaskan PLTU dari bauran energi Indonesia pada tahun 2060. Walaupun inisiatif pemerintah sangat diapresiasi, rencana ini masih jauh dari kata sepadan dengan ketetapan pencapaian 1.5°C dalam Perjanjian Paris. Pertanyaan saat ini adalah bagaimana agar rancangan tersebut dapat sejalan dengan targetnya.

Berdasarkan analisis IESR, dengan mempertahankan rencana pemerintah, mempensiunkan PLTU tetap dapat dibuat sepadan dengan Perjanjian Paris. Mempertimbangkan seluruh dampak sosial dan ekonominya, jalur pensiun yang sepadan dengan 1.5°C akan membuat sekitar 21,7 GW PLTU, yang dimiliki oleh PLN dan IPP, akan dihentikan para tahun 2031-2040. Antara tahun 2041-2045, sekitar 12,5 GW dari PLTU akan dipensiunkan. Analisis ini juga menunjukkan bahwa percepatan dalam mempensiunkan PLTU merupakan hal yang dapat dilaksanakan juga menguntungkan. Dengan perginya PLTU dari campuran pembangkit listrik di Indonesia secara cepat, analisis menemukan bahwa subsidi listrik batubara dan biaya kesehatan yang dapat dihindari bisa mencapai 2-3 kali lebih besar daripada biaya aset terdampar, penonaktifan, dan kerugian pendapatan batubara negara. Ini diperkirakan bahwa biaya pensiun dari percepatan pensiun PLTU berkisar 4.3 juta dolar AS di tahun 2030 dan 28 juta dolar ASdi tahun 2045. Potongan biaya yang tampaknya besar ini tentu akan membutuhkan dukungan internasional yang signifikan, terlepas dari manfaat yang diperoleh dalam jangka panjang akan lebih besar.

Mendefinisikan Ulang Akses Energi di Indonesia

Jakarta, 16 Juni 2022 – Energi merupakan kebutuhan primer bagi semua orang. Dengan memiliki akses energi yang layak, masyarakat mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan kualitas hidupnya melalui pendidikan, perkumpulan sosial, bahkan kegiatan ekonomi. Menyadari dampaknya terhadap peradaban manusia, hal ini perlu mendapat perhatian serius, terutama dalam hal pengukuran dan pemantauannya. Namun, pemerintah Indonesia memiliki metode yang perlu dipertanyakan untuk mengukur akses energi di seluruh negeri. Melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, pemerintah Indonesia menggunakan “rasio elektrifikasi” untuk menentukan apakah suatu daerah (desa, misalnya) memiliki akses energi atau tidak. Dengan kata lain, misalnya, sebuah desa mungkin terdiri dari lima puluh rumah, dan  satu rumah telah memiliki akses ke jaringan PLN maka seluruh desa telah dianggap ‘berlistrik’ atau sudah mengakses layanan listrik.

Fakta ini diungkapkan oleh Marlistya Citraningrum, Program Manager Akses Energi Berkelanjutan, IESR dalam webinar “Peeling the Onion: Monitoring, Evaluation, and Other Acronyms for Assessment and Learning in Energy Access” yang diselenggarakan oleh World Relief Institute (WRI) India.

Ia juga menambahkan, metode rasio elektrifikasi pemerintah hanya mengukur akses listrik minimum, seperti penerangan yang seringkali masih belum tersedia 24 jam. Tidak ada aspek teknis lain untuk mendefinisikan akses energi di Indonesia.

Rekomendasi yang dibawa oleh Institute for Essential Services Reform mengatakan bahwa pemerintah Indonesia harus mendefinisikan kembali persyaratan akses energi dengan memasukkan kualitas listrik yang diterima masyarakat untuk menentukan apakah suatu daerah dianggap berlistrik atau belum.

Pendekatan kerangka kerja multi-tier dapat digunakan untuk menentukan di mana kualitas listrik di Indonesia. Kerangka kerja multi-tier sendiri mengkategorikan listrik dari tier 0 hingga tier 5.

NoTierBesar BebanKeterangan
1Tier 00Tidak ada akses sama sekali
2Tier 13-49 WPencahayaan sederhana, pengisian daya ponsel, radio
3Tier 250 - 199 WPencahayaan umum multipoint, TV, komputer, printer, kipas angin
4Tier 3200 - 799 WPendingin udara, kulkas, freezer, food processor, pompa air, penanak nasi
5Tier 4800 - 1.999 WMesin cuci, setrika, pengering rambut, pemanggang roti, microwave
6Tier 52.000 W - ke atasAkses penuh, seperti AC, pemanas ruangan, penyedot debu, pemanas air, kompor listrik

Sumber: Dokumen Bank Dunia, Bhatia dan Angelou 2015

Metode yang lebih komprehensif untuk mendefinisikan status akses energi sangat penting untuk diterapkan di Indonesia karena jika metode yang digunakan tidak komprehensif, hasil pengukuran tidak mewakili kondisi sebenarnya dan dapat menyebabkan kesalahan identifikasi.

Proyek percontohan model penyediaan energi oleh Institute for Essential Services Reform di Boafeo, Nusa Tenggara Timur menemukan bahwa masyarakat membutuhkan lebih dari sekadar akses energi dasar. Masyarakat membutuhkan energi yang dapat meningkatkan taraf hidup dan ekonominya melalui produksi pertanian kopi, serta meningkatkan kualitas pendidikan bagi anak-anaknya.

“Jika kita mengacu pada rasio elektrifikasi Kementerian ESDM, kita tidak dapat melihat kebutuhan untuk meningkatkan produksi pertanian kopi atau harapan untuk meningkatkan output pendidikan, karena desa tersebut sudah terhubung ke jaringan listrik (PLN) pada awal tahun 2021,” Marlistya menjelaskan.

Marlistya kemudian menegaskan bahwa kesalahan mengidentifikasi suatu kondisi dapat menyebabkan solusi yang kurang tepat. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengidentifikasi masalah dan kondisi aktual secara komprehensif.

Mengupayakan Literasi Transisi Energi Sedari Dini

Tangerang Selatan, 23 Mei 2022 – Transisi energi merupakan sebuah agenda global yang dampaknya akan dirasakan dalam jangka waktu menengah-panjang. Melakukan riset, perjanjian, dan perumusan kebijakan merupakan berbagai upaya demi mendesak para pemangku kepentingan untuk melakukan sebuah aksi pada masa “sekarang” yang berdampak  dalam waktu dekat. Tentu dalam jangka panjang, transisi energi yang berkeadilan perlu terus didorong dan dilaksanakan sebagai  upaya mitigasi perubahan iklim.

Namun, pernahkah kita berpikir bahwa di masa depan, siapakah pihak yang paling terdampak dari pelaksanaan transisi energi? Tentu saja, generasi muda. Dengan demikian, adalah adil rasanya untuk sedari dini mengajarkan mereka untuk memahami konsep transisi energi. Sebab, kelak, para pembuat kebijakan  pada  2060, tahun di mana Indonesia menargetkan tercapainya net-zero emission, sekarang ini masih duduk di bangku sekolah.

Sebagai upaya nyata yang didasarkan pada pemahaman tersebut, proyek Clean, Affordable, and Secure Energy for Southeast Asia (CASE) di Indonesia mengadakan kegiatan bertajuk “Teaching for Future” yang dilakukan di Sekolah Santa Ursula BSD, tepatnya untuk murid-murid Kelas IX. Pada kegiatan ini, CASE berupaya untuk menanamkan pola pikir transisi energi dengan menginisiasi diskusi dan kegiatan belajar-mengajar aktif yang melibatkan siswa-siswi murid Sekolah Santa Ursula BSD. 

Hal yang dilakukan oleh CASE ini sejalan dengan upaya Sekolah Santa Ursula BSD dalam menanamkan pemahaman dan pendidikan mengenai perubahan iklim semenjak dini sebagaimana disampaikan oleh Ibu Irene Rosmawati, Kepala Sekolah Santa Ursula BSD. 

“Sekolah Santa Ursula secara aktif dan sistematis memberikan kegiatan belajar-mengajar terkait isu-isu perubahan iklim dan energi terbarukan. Hal ini diharapkan agar siswa-siswi memiliki pemahaman sebagai modal awal aksi nyata mereka di masa depan.”

Pada kegiatan Teaching for the Future tersebut, CASE mengundang George Hadi Santoso, Vice President Xurya Daya Indonesia, sebuah perusahaan penyedia jasa instalasi dan pengadaan sistem panel surya atap, untuk hadir secara langsung dan berdiskusi dengan siswa-siswi di Sekolah Santa Ursula. 

“Saya mengapresiasi secara khusus Sekolah Santa Ursula BSD dan CASE Project yang menginisiasi kegiatan ini dalam upaya mendukung proses transisi energi secara jangka panjang. Besar harapan saya, kehadiran saya disini bisa menjadi inspirasi untuk adik-adik dalam memilih karir dalam bidang green jobs di masa depan,” ujar George membuka sesi diskusi di dalam kelas.

Sekolah Santa Ursula BSD merupakan sekolah yang sudah berinisiatif dan sedang dalam proses instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap dengan kapasitas setidaknya lebih dari 1 Megawatt peak (MWp). CASE Indonesia melihat inisiatif ini sebagai aksi nyata sekolah dalam mendukung transisi energi di Indonesia. Selain itu, CASE Indonesia berharap inisiatif ini dapat menjadi contoh riil untuk siswa-siswi terkait pemanfaatan energi terbarukan dan bagaimana aktor non-pemerintah dapat berperan untuk mendukung transisi energi. Berangkat dengan semangat yang sama (aksi nyata memerangi perubahan iklim), CASE dan Xurya juga mengajak murid-murid untuk memahami hal-hal lain yang dapat dilakukan di usia mereka untuk mendukung transisi energi, misalnya kebiasaan hemat energi.

Temuan yang menarik selama kegiatan berlangsung disampaikan oleh Agus Praditya Tampubolon, Manajer Program CASE dari IESR.  

“Menarik sekali bagaimana murid-murid sekolah menengah pertama dapat berfikir jauh terkait implementasi energi terbarukan, contohnya kami ditanyakan mengenai resiko ketergantungan impor panel surya jika Indonesia memanfaatkan energi surya secara intensif. Temuan seperti ini, bahwa murid-murid dapat berfikir jauh kedepan kami harapkan menjadi pertanda baik atas upaya transisi energi di Indonesia pada masa mendatang,” jelas Agus di akhir acara.

Dukungan Sektor Finansial untuk Transisi Energi di Sektor Rumah Tangga

Jakarta, 9 Juni 2022 – Potensi pemanfaatan PLTS atap di sektor rumah tangga merupakan salah satu yang terbesar dalam mendorong transisi energi dan mencapai target bauran energi terbarukan Indonesia. Instrumen kebijakan yang tepat serta dukungan finansial yang menarik menjadi beberapa faktor pendukung dalam mendorong adopsi masif PLTS atap di Indonesia. 

Andriah Feby Misna, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan, menyatakan bahwa Indonesia memiliki beberapa target nasional yaitu pencapaian bauran energi terbarukan 23% pada 2025, penurunan emisi 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan luar negeri pada 2030, serta mencapai status netral karbon pada tahun 2060. 

“Untuk itu kementerian ESDM menyusun berbagai strategi seperti RUPTL hijau di PLN dan mendorong penggunaan PLTS atap di sektor rumah tangga dan memasukkannya dalam program strategis nasional. Sebagai dukungan (pada PLTS atap), kami mengeluarkan Permen ESDM No. 26/2021,” jelasnya.

Feby menambahkan bahwa jumlah pelanggan PLTS atap saat ini sebanyak 4.377 rumah tangga, dan terdapat pertumbuhan signifikan sejak dikeluarkannya peraturan menteri yang mengatur tentang pelanggan PLN yang memasang PLTS atap pada tahun 2018.  

Feby tidak memungkiri bahwa saat ini masih ada kendala dalam implementasi Permen ESDM 26/2021, namun ia mengatakan saat ini pihaknya sedang berusaha mencari win-win solution supaya aturan tersebut dapat segera berlaku.

Selain regulasi yang masih belum optimal, hambatan lain untuk pemanfaatan PLTS atap di sektor rumah tangga adalah investasi awal yang masih relatif besar bagi masyarakat. Meski demikian, masih terdapat potensi pasar yang cukup besar di sektor rumah tangga.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, menjelaskan, berdasarkan survei pasar bertahap yang dilakukan IESR sejak tahun 2019, menunjukkan potensi pasar PLTS atap sektor residensial di sejumlah kota besar Indonesia seperti Jabodetabek, Surabaya, Jawa Tengah dan Bali mencapai 34 – 116 GW.

“Potensi pasar transisi energi di sektor rumah tangga besar. Yang termasuk dalam kategori early followers dan early adopters ini perlu kita tangkap. Sebab mereka sudah cukup familiar dengan produknya (PLTS atap) dan sudah memiliki niat untuk pasang namun terkendala investasi awal yang cukup besar,” Fabby menjelaskan.

Masih dari hasil survei pasar yang sama, para responden berharap ada produk kredit dari bank dengan kisaran tenor 24 – 48 bulan dengan bunga rendah. 

Veronika Susanti, Digital Lending Division Head bank OCBC NISP menjelaskan bahwa sektor energi terbarukan menjadi salah satu perhatian dari pihak perbankan untuk mendapat pendanaan. 

“Saat ini kami memiliki program solar panel financing dengan dua skema. Pertama cicilan kartu kredit 0% dan Kredit Tanpa Agunan selama maksimal 36 bulan,” kata Veronika.

Ia menambahkan bahwa pihaknya bekerjasama dengan penyedia jasa panel surya untuk memudahkan pelanggan dalam mengakses skema pembiayaan PLTS atap ini juga untuk mempelajari teknologi sehingga makin memahami risiko dan peluang dari PLTS atap.

Fendi Gunawan Liem, pendiri dan CEO SEDAYU Solar juga menegaskan bahwa potensi sektor residensial untuk tumbuh dan berkembang sangat besar.

“Sektor residensial inikan sektor yang memiliki aturan pemasangan PLTS paling akhir, namun growth pelanggannya yang paling besar dibanding sektor lainnya,” jelas Fendi. 

Bank sebagai lembaga finansial perlu melihat PLTS atap sebagai aset berisiko rendah, untuk itu perlu mempelajari teknologi PLTS atap sehingga dapat membuat analisa risiko yang akurat. Dengan demikian bank dapat merancang skema kredit yang lebih ramah lagi dengan tenor yang lebih beragam dan suku bunga rendah.

Indonesia Tidak Hanya Butuh Transisi Energi, Namun Akselerasi Transisi Energi

Jakarta, 31 Mei 2022 – Konflik geopolitik yang terjadi beberapa bulan terakhir telah mempengaruhi sejumlah situasi global salah satunya kondisi pasokan energi. Negara-negara Uni Eropa yang merasakan imbas dari terganggunya pasokan energi mulai mencari berbagai alternatif baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Sebagai solusi jangka panjang, Uni Eropa mengeluarkan kebijakan energi baru bertajuk REpower EU. Dalam kebijakan ini, Uni Eropa berencana untuk menambah kapasitas energi terbarukannya hingga 740 GWdc hingga 2030 untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil Rusia dan memastikan ketahanan energinya. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, dalam acara MGN Media Summit yang diselenggarakan pada Selasa, 31 Mei 2022, menyatakan situasi geopolitik global saat ini memang kurang menguntungkan untuk transisi energi bukan hanya di Indonesia namun berbagai negara di dunia. Namun, setelah beberapa bulan tensi geopolitik ini masih berlanjut, sejumlah negara mulai menggunakan momentum ini untuk lepas dari ketergantungan energi fosil dan mengakselerasi energi terbarukannya. Indonesia pun harusnya dapat melakukan hal serupa dengan misalnya memastikan aturan yang dibuat untuk mendukung akselerasi energi terbarukan seperti Permen ESDM 26/2021 berjalan.

“Kelemahan negara ini adalah rencana sudah dibuat namun implementasi dan penegakannya masih lemah, misalnya Permen ESDM 26/2021 tentang PLTS atap,” Fabby menjelaskan.

Fabby menjelaskan Permen ESDM 26/2021 belum juga dilaksanakan oleh PLN sebab masih terganjal sejumlah isu salah satunya kompensasi Kementerian Keuangan untuk PLN yang aturannya belum dibuat. 

“Maka mungkin DPR RI dapat memanggil Menteri Keuangan dan Menteri ESDM untuk menjelaskan situasi dan meminta mereka untuk segera merancang skema kompensasi untuk PLN,” tambahnya.

Situasi transisi energi di Indonesia sendiri memang tidak terlalu menggembirakan. Memiliki target bauran energi baru sebesar 23% di tahun 2025, data Kementerian ESDM pada bulan Februari 2022 lalu menunjukkan target tersebut baru tercapai sekitar 11,5%. Sugeng Suparwoto, Ketua Komisi VII DPR RI yang menangani tentang energi, mengaku berat untuk mengejar target bauran energi terbarukan tersebut, namun hal itu bukan berarti tidak mungkin.

“Harus saya akui ini berat, namun dengan kerja ekstra keras kita bersama, saya masih optimis kita dapat mencapainya,” jelas Sugeng.

PLN sebagai aktor kunci terutama dalam akselerasi energi terbarukan menyatakan bahwa selain penyediaan energi, sisi demand (permintaan) energi juga harus dipastikan ada.

“Kita juga perlu memastikan bahwa demand untuk energi terbarukan ini tersedia. PLN sendiri akan sangat bergantung pada teknologi yang ada untuk mengejar net-zero emission (NZE) maupun target bauran energi,” Cita Dewi,  EVP Perencanaan & Enjiniring EBT PT PLN (Persero), menjelaskan.

Cita menambahkan bahwa pihaknya tidak dapat bekerja sendiri untuk mengeksekusi percepatan energi terbarukan sendiri. Butuh kolaborasi berbagai pihak untuk memastikan transisi energi ini berjalan. 

Daniel Purba, Senior Vice President, Strategy & Investment, PT Pertamina (Persero) menyatakan bahwa cadangan fosil kita sudah tak sebanyak dulu. Dari sisi konsumsi pun, meski saat ini fosil masih mendominasi, namun kedepannya pasti berganti.

“Walaupun sekarang misalnya, BBM mendominasi konsumsi masyarakat, kedepannya kendaraan listrik dan bahan bakar alternatif seperti hidrogen yang akan banyak digunakan,” katanya.

Dengan adanya fenomena ini, korporasi memiliki kebutuhan untuk mendiversifikasi bahkan mentransformasi bisnisnya supaya perusahaan dapat sustain, serta mendapat kepercayaan baik dari investor maupun konsumen.

“Pertamina sendiri mulai mendiversifikasi bisnisnya dengan mulai mengembangkan hidrogen dan menggunakan PLTS pada kantor operasional kami,” tambah Daniel.

Menyoroti mengenai kebijakan energi di Indonesia Djoko Siswanto, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional, menyatakan bahwa Indonesia memiliki instrumen kebijakan yang cukup lengkap mulai dari peta jalan, target, dan rencana. Namun menurutnya penting untuk mengukur  seberapa on-track dan tangguhnya  ketahanan energi dengan berbagai instrumen kebijakan yang ada di Indonesia.

“Berbagai skema kebijakan yang ada saat ini membuat indeks ketahanan energi kita berada dalam kategori ‘tahan’. Kita belum bisa mencapai kategori ‘sangat tahan’ karena beberapa hal antara lain impor energi (BBM) kita masih tinggi, infrastruktur energi (grid) kita masih harus ditingkatkan kualitasnya, dan bauran EBT kita masih rendah,” jelas Djoko.

Djoko menambahkan pemerintah perlu untuk menyelesaikan isu-isu tersebut untuk memastikan ketahanan energi Indonesia serta untuk menurunkan emisi GRK dari sektor energi. Dengan begitu komitmen Indonesia pada berbagai perjanjian Internasional terpenuhi.

Penggunaan CCS perlu pertimbangan yang matang

Penulis : Aditya Perdana Putra Purnomo (Research team intern 2022)
Editor: Pamela Simamora

 

Penggunaan bahan bakar fosil sejak awal revolusi industri terbukti meningkatkan emisi karbon dioksida antropogenik1

yang bertanggung jawab akan kenaikan suhu permukaan bumi sebanyak 1,07 °C dari tahun 1850 hingga 1990. Peningkatan temperatur tersebut memberikan pengaruh negatif pada lingkungan, menyebabkan peristiwa seperti, kekeringan, kebakaran hutan, banjir, dan erosi pada sejumlah garis pantai

Selain melalui penggunaan energi terbarukan, CCS dianggap mampu membantu usaha pengurangan emisi karbon dunia. Carbon Capture and Storage (CCS) merupakan teknologi yang digunakan untuk menangkap karbon dioksida dari gas buang, kemudian memindahkan serta menyimpan gas karbon dioksida tersebut pada lokasi penyimpanan tertentu (biasanya di bawah tanah) sehingga dampak negatifnya pada atmosfer dapat dihindari2

Gambar 1. Diagram Skematik CCS (Choudary,2016)

Hingga tahun 2021, terdapat 31 proyek CCS yang beroperasi secara komersial di seluruh dunia dan lebih dari 90 projek lainnya masih dalam tahap pengembangan. Angka ini terus meningkat dan merupakan yang tertinggi selama 5 tahun terakhir. Selain disebabkan oleh riset yang terus dilakukan, peningkatan jumlah proyek juga tidak terlepas dari dukungan berbagai negara terhadap teknologi CCS sebagai salah satu cara untuk mengurangi emisi karbon. 

Indonesia, sebagai salah satu negara penghasil emisi karbondioksida terbesar di dunia, juga mulai merencanakan penggunaan CCS terutama di sektor ketenagalistrikan. Strategi ini dipertanyakan mengingat harga CCS masih dan akan tetap tidak kompetitif terhadap energi terbarukan plus penyimpanan. Jika CCS dipasang, LCOE CFPP superkritis akan berlipat ganda dari EUR 40 per MWh menjadi EUR 80 per MWh (USD 92 per MWh) bahkan jika biaya transportasi dan penyimpanan CO2 tetap rendah sekitar EUR 10 per ton. Dalam hal ini, biaya CO2-eq yang dihindari lebih dari EUR 55 per ton (USD 64 per ton).

Gambar 2. Diagram Skematik CCS pada Pembangkit Listrik Fosil (Global CCS Institute, 20213 )

Salah satu proyek CCS di sektor ketenagalistrikan yaitu proyek Petra Nova di Amerika Serikat digadang-gadang sebagai pemantik pengembangan CCS di sektor ketenagalistrikan di seluruh dunia. Sayangnya, CCS pada PLTU berkapasitas 240 MW ini mengalami pemadaman selama 30% masa hidupnya sebelum akhirnya dihentikan pada tahun 2020. Sejak peresmiannya pada tahun 2017, dari target penangkapan 4,2 juta metrik ton karbondioksida selama 3 tahun masa operasi, proyek Petra Nova hanya berhasil menangkap 3,54 juta metrik ton CO2 atau 16% dari target. 

Analisis dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menunjukkan performa buruk tersebut sudah merugikan investor lebih dari $23 juta selama tiga tahun masa operasi proyek. Selain itu, selama masa operasinya, proyek Petra Nova juga menghasilkan lebih dari 1,1 juta metrik ton CO2 melalui penggunaan turbin gas untuk keperluan daya CCS. Belajar dari kasus ini, Indonesia perlu mempertimbangkan kembali penggunaan CCS di PLTU. 

Proyek lainnya, PLTU Boundary Dam di Kanada, juga menggunakan CCS untuk menangkap GRK yang dihasilkan dari produksi listrik PLTU berkapasitas 160 MW ini. Sama dengan proyek Petra Nova, proyek Boundary Dam juga tidak pernah beroperasi sesuai targetnya untuk menangkap 3200 metrik ton karbondioksida tiap tahunnya. Dilihat dari capaian penangkapan karbon tahunan, proyek tersebut hanya mampu menangkap emisi karbon sekitar 40 hingga 60% dari target. Bahkan pada tahun terproduktif, capaiannya masih jauh di dibawah target 3200 metrik ton per tahun. Rekor ini diperburuk oleh performa lesu tahun lalu yang disebabkan oleh pemadaman unit CCS selama 3 bulan. Pemadaman pertama berlangsung pertengahan bulan Juni hingga Juli karena pemeliharaan rutin, namun tidak lama kemudian, kegagalan kompresor4 menyebabkan proyek mati total dari bulan Agustus hingga September 2021.

Gambar 3. Capaian Tangkap Karbon, Projek Boundary Dam 2014-2021(Schissel, 2021)

Di sektor lain, seperti industri, CCS dianggap sebagai salah satu solusi jitu untuk mengurangi emisi GRK. Penggunaan CCS di sektor industri sendiri sudah dimulai sejak tahun 19712 dimana CCS komersial pertama di dunia dioperasikan di Terrell Gas Processing5 di Texas, Amerika Serikat. CCS yang bernilai 7.6 juta6 ini masih beroperasi hingga hari ini. Proyek berkapasitas 0,4 MTPA7 ini dioperasikan untuk menangkap emisi CO2 dari industri pengolahan gas setempat dan menggunakan hasil tangkapan ini untuk meningkatkan produksi sumur minyak melalui proses Enhanced Oil Recovery (EOR)8 .

Proyek CCS lainnya yang berada di Amerika Serikat ada di pabrik pupuk bernama Enid Fertilizer, yang telah beroperasi selama 40 tahun. Proyek ini memanfaatkan CO2 dari pembuatan pupuk/amonia untuk dijual pada sumur produksi migas di Oklahoma yang melakukan proses EOR. 

Dari studi kasus di atas, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh pengambil kebijakan di Indonesia untuk mengaplikasikan CCS di Indonesia. Pertama, penggunaan CCS di PLTU, selain mahal juga sering mengalami masalah teknis, yang kemudian berakibat tidak tercapainya target penangkapan CO2 yang dijanjikan oleh pengembang. Kedua, pendapatan dari penjualan CO2 untuk EOR merupakan pendorong utama proyek CCS di sektor industri di Amerika. Meskipun tidak ada data yang tersedia untuk umum, harga CO2 untuk EOR berkaitan erat dengan harga minyak. Misalnya, dengan harga minyak US$70 per barel, harga CO2 untuk EOR berada di angka sekitar US$30/tCO2 (Bliss, et al., 2010). Oleh karena itu, implementasi CCS di sektor industri (dan sektor lainnya) membutuhkan nilai karbon yang tinggi yang dapat memastikan bahwa nilai karbon ini menutupi biaya penangkapan dan pengangkutan CO2.*** 

 

Catatan kaki:

Korea Selatan Dukung Indonesia Capai Target Energi Terbarukan

Jakarta, 19 Mei 2022 – Energi terbarukan dipandang sebagai quick win untuk mengamankan kenaikan suhu global tidak lebih dari 2 derajat Celcius, menurut Perjanjian Paris. Indonesia yang target pengurangan emisinya 29% atas upaya sendiri dan 41% dengan bantuan internasional pada tahun 2030 secara aktif mencari cara yang lebih efektif untuk mengamankan targetnya. Waktu yang tersisa untuk mencapai target hanya sekitar 8 tahun. Yayan Mulyana dari Badan Strategi Kebijakan Luar Negeri Kementerian Luar Negeri Indonesia mengaku hal ini sulit namun Indonesia optimis bisa mencapainya.

Gandi Sulistiyanto, Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan, saat menyampaikan keynote speech dalam webinar “Meningkatkan Investasi dari Korea Selatan untuk Pengembangan Energi Terbarukan di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia pada Kamis, 19 Mei 2022, mengatakan bahwa kedua negara terus mengembangkan momentum dan kepentingan bersama dalam investasi energi terbarukan.

“Kedutaan Besar Indonesia di Seoul siap mendukung target Pemerintah untuk memiliki 23% energi terbarukan pada tahun 2025. Sementara Korea Selatan menargetkan 35% energi terbarukan pada tahun 2040. Kedua negara sedang menjalin komunikasi yang intens untuk mengembangkan produsen baterai mobil listrik untuk mendukung ekosistem kendaraan listrik yang mulai merambah pasar Indonesia,” kata Gandhi.

Ia menambahkan, sesuai dengan prinsip keberlanjutan dan pembangunan manusia, pihaknya fokus pada empat sektor yaitu pembangunan manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi, pembangunan keuangan berkelanjutan, dan ketahanan energi nasional.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR mengatakan bahwa transformasi energi merupakan inti dari mitigasi perubahan iklim.

“Konsumsi energi di Indonesia diproyeksikan meningkat 7-8 kali lipat dari saat ini sebagai konsekuensi dari elektrifikasi besar-besaran transportasi dan peralatan rumah tangga lainnya, kita memiliki konsekuensi ganda dari situasi tersebut yaitu mengganti energi fosil saat ini dengan yang terbarukan dan untuk memenuhi kebutuhan energi yang terus meningkat pada saat yang sama, ”katanya.

Dokumen LCCR LTS Indonesia memproyeksikan bahwa akan ada pengurangan emisi yang cepat setelah tahun 2030 jika pembangkit listrik dipasok oleh energi terbarukan 43% pada tahun 2050. Dokumen tersebut mencoba diterjemahkan ke dalam RUPTL PLN saat ini yang menunjukkan keinginan pemerintah untuk menyebarkan lebih banyak energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan di Indonesia. Sebuah studi menunjukkan bahwa Indonesia secara teknis layak dan layak secara ekonomi untuk mencapai nol emisi pada tahun 2050 dengan menggunakan 100% energi terbarukan.

“Studi IESR Deep decarbonization of Indonesia energy system menyajikan peta jalan langkah demi langkah untuk mencapai nol bersih pada tahun 2050 yang mencakup transportasi, sektor ketenagalistrikan, dan industri,” tambah Fabby.

Tenaga surya yang potensi pada sektor residensial mencapai hingga 655 GWp akan menjadi tulang punggung sistem energi berbasis terbarukan.

Minho Kim, perwakilan Komipo, Badan Usaha Milik Negara Korea mengatakan, sebagai pengusaha, pihaknya melihat Indonesia sebagai pasar potensial sekaligus mitra energi terbarukan mengingat sumber daya yang tersedia melimpah.

“Komipo sudah beroperasi di Indonesia untuk proyek panas bumi dan tenaga air. Nanti kami juga berencana untuk mengembangkan green hydrogen/ammonia,” kata Minho.

Minho menambahkan, munculnya pasar karbon menjadikan energi terbarukan sebagai komoditas panas baru karena dibutuhkan. “Semakin banyak perusahaan bergabung dengan inisiatif RE 100, permintaan energi bersih semakin tinggi, oleh karena itu penyediaan energi bersih bukan lagi pilihan tetapi keharusan karena merupakan kebutuhan industri dan permintaan pelanggan,” pungkasnya.

Faktor Kedaruratan Iklim Harus Menjadi Pertimbangan Utama Kebijakan Energi

Perlombaan untuk mengatasi perubahan iklim semakin ketat dan menantang. Setiap negara dituntut untuk meninjau kembali kebijakan energinya secara berkala dan menyelaraskannya dengan Persetujuan Paris yakni membatasi kenaikan suhu global tidak lebih dari 2 derajat Celcius pada tahun 2050. Sektor energi, sebagai salah satu sektor yang paling banyak menghasilkan polusi, mendapat sorotan, untuk mengurangi emisi gas rumah kacanya, salah satunya dengan memilih pembangkit listrik yang rendah emisi untuk memasok kebutuhan energi.

Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) berada dalam posisi yang diperdebatkan terkait dengan kemampuannya untuk menyediakan energi bersih. Selama bertahun-tahun, negara-negara seperti Prancis, Jerman, dan Jepang mengandalkan tenaga nuklir untuk memenuhi kebutuhan energi mereka. Namun, ada tantangan yang menghantui seperti masa konstruksi yang lama, biaya yang relatif tinggi, dan yang paling mengkhawatirkan adalah masalah keamanan generator jika terjadi kebocoran. Dunia mencatat setidaknya dua kecelakaan nuklir besar yaitu Chernobyl pada tahun 1986 dan Fukushima pada tahun 2011. Bahkan kecelakaan Chernobyl yang terjadi pada tahun 1986 masih membekas di benak kita karena dampaknya yang masih terasa sampai sekarang.

Memperingati kecelakaan Chernobyl, pada tanggal 26 April 2022, Unika Soegijapranata dan Masyarakat Rekso Bumi (Marem) menyelenggarakan webinar bertajuk “Refleksi Kecelakaan Chernobyl dan Opsi Nuklir untuk Sektor Ketenagalistrikan Indonesia”, merefleksikan kecelakaan tiga dekade lalu dan korelasinya dengan wacana Indonesia untuk memiliki PLTN untuk menyediakan pasokan energi yang andal dan untuk mencapai target emisi nol bersih pada tahun 2060.

Herman Darnel Ibrahim, anggota Dewan Energi Nasional Indonesia, menyatakan Indonesia masih mampu memenuhi target nol emisi bersih tanpa pembangkit listrik tenaga nuklir.

“Syaratnya dengan memaksimalkan semua jenis (variabel) energi terbarukan di Indonesia, terutama matahari dan angin yang biayanya terus menurun, dengan begitu kita tidak perlu nuklir untuk menjadi net-zero,” kata Herman.

Herman lanjut menjelaskan bahwa kapasitas tenaga nuklir global terus menurun. PLTN baru yang online lebih sedikit daripada yang dinonaktifkan. Selain itu, ada juga faktor keterlambatan konstruksi yang terus terjadi.

“Umumnya ada keterlambatan pembangunan PLTN hingga 3 tahun, bahkan lebih, ini tentu menambah biaya konstruksi dan LCOE.”

Masa konstruksi yang panjang juga menjadi perhatian Mycle Schneider, konsultan nuklir internasional, yang menekankan urgensi waktu dalam memutuskan kebijakan energi.

“Ingat bahwa kita sekarang berada di situasi darurat iklim, yang berarti kita berpacu dengan waktu. Untuk mengatasi hal ini tentunya kita membutuhkan solusi yang cepat dan relatif murah,” kata Mycle.

Dibandingkan dengan opsi lain seperti energi terbarukan atau efisiensi energi, pembangunan PLTN dianggap sebagai opsi yang paling lambat, sehingga tidak relevan untuk mengatasi penyediaan energi bersih agar selaras dengan target nol bersih yang harus dilakukan dengan cepat.

Mycle menambahkan bahwa bahkan industri nuklir sendiri tidak dapat benar-benar meramalkan masa depan PLTN. Satu dari delapan reaktor nuklir yang selesai dibangun tidak pernah berhasil masuk dalam jaringan (grid). 30 dari 55 reaktor nuklir yang sedang dibangun terlambat dari jadwal. Secara umum, ada kesenjangan persepsi yang terus meningkat antara energi nuklir dan realitas industri (nuklir).

“Pada tahun-tahun mendatang, pengambilan keputusan untuk kebijakan energi tidak boleh hanya didasarkan pada pertimbangan ekonomi, tetapi harus didasarkan pada kelayakan teknologi dan realitas industri,” pungkas Mycle dalam presentasinya.

Jateng Solar Series – Green Healthcare Forum: Jawa Tengah Dorong Adopsi PLTS di Fasilitas Kesehatan

Jakarta, 26 April 2022– Kementerian Kesehatan melalui Direktorat Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan telah mengeluarkan Pedoman Rumah Sakit Ramah Lingkungan (Green Hospital) di Indonesia pada tahun 2018. Jawa Tengah memiliki potensi power output energi surya yang cukup tinggi, yaitu 4,05 kWh/kWp (keluaran harian). Untuk itu, perkembangan kebijakan, manfaat, dan skema pembiayaan PLTS atap yang tersedia untuk fasilitas kesehatan didiskusikan dalam Webinar “Energi Surya Atap untuk Sektor Fasilitas Kesehatan”. Kegiatan ini terselenggara atas kerjasama Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah dan IESR yang berlangsung secara daring.

Membuka diskusi, Mustaba Ari Suryoko, Koordinator Pelayanan dan Pengawasan Usaha Aneka EBT, Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM menyatakan bahwa Indonesia memiliki setidaknya 3 target yaitu 23% energi terbarukan di 2025, penurunan emisi di tahun 2030, dan net zero emission tahun 2060. Menurutnya, target penetrasi energi terbarukan, khususnya PLTS atap yakni sebesar 3,6 GW hingga 2025 cukup tinggi, namun implementasinya masih minim. 

Beberapa upaya yang telah dilakukan Kementerian ESDM untuk percepatan penggunaan energi surya khususnya di sektor kesehatan meliputi penerbitan Permen PLTS atap untuk mempercepat penetrasi PLTS atap, peningkatan sosialisasi ke sektor kesehatan, seperti pembangunan PLTS atap Rumah Sakit Bali Mandara 2020, kapasitas 100 kWp. Ari menginformasikan bahwa saat ini, sekitar 15 rumah sakit di Indonesia telah memasang PLTS atap.

“Pembangunan rendah karbon sudah menjadi kesepakatan global, dan kita termasuk di dalamnya. Sektor kesehatan memiliki kebutuhan energi yang cukup besar, bahkan ada unit yang harus beroperasi 24 jam. Untuk itu, diperlukan efisiensi energi, bukan hanya penghematan, namun juga bagaimana kita menghasilkan dan menggunakan energi dengan efektif dan efisien,” ucap Sujarwanto Dwiatmoko, Kepala Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah.

Sujarwanto mengatakan bahwa audit energi, penggantian sistem penerangan yang hemat energi, serta sistem pemisahan jalur operasi listrik yang non–stop dan stop  perlu dilakukan pada rumah sakit. Untuk mendukung konsep green hospital, rumah sakit dapat menggunakan energi terbarukan, salah satunya yakni PLTS atap. Menurut Sujarwanto, untuk mengoptimalkan penggunaan PLTS atap, perlu dilihat kebutuhan penggunaan listrik, seperti alat apa saja yang beroperasi pada siang atau malam serta menentukan sistem PLTS (offgrid/ongrid) yang akan digunakan. Mendukung transisi energi, ESDM Jateng akan menerbitkan penghargaan khusus untuk upaya hemat energi dan green building. 

Menambahkan, Romadona, Ketua Tim Sarana Prasarana Fasyankes Rujukan Direktorat Fasilitas Pelayanan Kesehatan menyebutkan bahwa prinsip rumah sakit yang ramah lingkungan di antaranya bangunan yang aman dan menjamin keselamatan pasien, memperhatikan berbagai kondisi pasien (seperti difabel), menyesuaikan dengan perkembangan ilmu kedokteran, hemat energi dan ramah lingkungan. Romadona menjabarkan bahwa kriteria ramah lingkungan sendiri dibedakan menjadi dua jenis yakni desain dan konstruksi, serta kriteria operasional. sayangnya penerapan kriteria sempat terputus saat pandemi. 

Di lain sisi, Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan, IESR menyebutkan beberapa keunggulan energi surya seperti potensinya melimpah dan teknologi PLTS atap mudah diakses, tidak memerlukan lahan, perawatannya mudah, dan ukurannya dapat disesuaikan dengan luasan rumah, secara hukum legal–dapat secara on grid maupun off-grid. Marlistya mengatakan bahwa pengembalian modal rata-rata PLTS atap di Indonesia untuk skala kecil adalah 10-12 tahun. 

“PLTS atap dapat bertahan selama 25-30 tahun, dan setelahnya tetap bisa dipakai namun dengan daya yang sedikit menurun,” ungkapnya.

Marlistya menjelaskan bahwa terdapat beberapa skema pembiayaan PLTS atap seperti beli-putus tunai, cicilan/kredit, dan performance-based renting. Marlistya menginformasikan bahwa di Balaikota Semarang, pemanfaatan PLTS Atap mampu menurunkan tagihan hampir 50% dari Rp13 juta menjadi Rp 6,5 juta. Di lain sisi, untuk rumah kecil, penghematannya bisa mencapai 60%.

Penghematan biaya listrik sebesar Rp 810 juta/tahun, serta perawatan PLTS yang sangat mudah dan minim merupakan salah satu testimoni penggunaan 327,6 kWp PLTS atap di RS Pertamina Cilacap. Muhidi, Bidang Rumah Tangga, RS Pertamina Cilacap mengutarakan pemasangan PLTS atap di RSnya merupakan upaya efisiensi dan penghematan serta bentuk dukungan pada pemerintah untuk mencapai bauran energi 23% tahun 2025.

Turut mendukung pengembangan PLTS di Indonesia, UNDP sedang menggarap program Sustainable Energy Fund (SEF) dengan total insentif PLTS Atap sebesar Rp 23 miliar.

“Skemanya seperti performance based; memasang terlebih dahulu baru mengajukan permintaan insentif,” jelas Verania Andria, Senior Advisor for Sustainable Energy UNDP.

Verania menerangkan bahwa persyaratan pengajuan insentif yakni pelanggan PLN yang sudah atau sedang memasang PLTS atap per 1 Desember 2021, hanya bisa mengajukan satu kali permohonan, tidak berlaku untuk PLTS yang didanai pemerintah melalui APBN/APBD, serta pemasangannya tidak dilakukan sendiri karena UNDP ingin menjamin kualitas pemasangan PLTS atap yang diinstal. Di samping itu, pengajuan modal dapat diakses melalui aplikasi dan situs daring https://isurya.mtre3.id. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa sejauh ini, sudah tersalurkan insentif sebesar Rp 155 juta.

Ing. Eko Supriyanto, Ketua Umum Perkumpulan Teknik Perumahsakitan Indonesia yang hadir pada kesempatan yang sama menginformasikan bahwa green healthcare terdiri atas berbagai aspek; salah satunya konservasi energi dan pengurangan emisi. Ia mengatakan bahwa digitalisasi rumah sakit penting untuk mengatasi beberapa isu di rumah sakit seperti arsitektur bangunan, metode pengolahan limbah, penggunaan energi yang tidak ramah lingkungan, over-use energi listrik. Salah satu contoh digitalisasi, terang Eko yakni Smart Integrated Electricity System, sistem digital yang dapat memantau perencanaan sampai penggunaan energi di rumah sakit.

“RS masih melihat sisi ekonomis untuk memasang PLTS atap. RS juga memiliki prioritas pelayanan yang mengutamakan pasien dan pelayanan kesehatan maka keputusan untuk menggunakan PLTS atap perlu pertimbangan yang komprehensif. Dengan teknologi dan biaya PLTS atap saat ini sudah saatnya RS mulai mempertimbangkan untuk memasang PLTS atap,” ungkap Eko.