IESR Menerima Penghargaan dari Solar Week Indonesia 2023 Leadership Awards

Jakarta, 8 Juni 2023 – Institute for Essential Services Reform (IESR) menerima Honorary Award dari Solar Week Indonesia 2023 Leadership Awards untuk kontribusinya terhadap pengembangan energi terbarukan di Indonesia, khususnya pembangkitan pasar energi surya di Indonesia pada Kamis (8/6/2023). Pemberian plakat diwakili oleh Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian ESDM, Andriah Feby Misna. 

IESR merupakan lembaga think tank yang berfokus pada isu energi dan lingkungan yang mendorong transformasi sistem energi di Indonesia. Transformasi sistem energi menuju sistem energi yang rendah karbon perlu didukung dan disuarakan oleh banyak kelompok masyarakat. Untuk itu, IESR mempublikasikan berbagai riset mengenai potensi energi terbarukan di Indonesia dan melakukan diplomasi terhadap berbagai pemangku kebijakan. 

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menekankan pentingnya penggunaan energi surya di Indonesia dalam pembukaan acara The Solar Week Indonesia 2023 Leadership Awards. Selain itu, Fabby mengajak pemangku kebijakan untuk mulai menggunakan panel surya dalam penurunan emisi karbon.

“Saya yakin bahwa energi surya memiliki peran penting dalam proses dekarbonisasi sektor energi Indonesia dan untuk mencapai target net zero emission. Berdasarkan laporan IESR berjudul Deep Decarbonization of Indonesia’s Energy System, energi surya akan menyediakan lebih dari 80% pasokan energi untuk ketenagalistrikan karena harga yang kompetitif dan teknologi yang fleksibel”, ujar Fabby.

Dalam kesempatan yang sama, Fabby juga mewakili pihak Solar Week Indonesia untuk memberikan penghargaan bagi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang diwakilkan oleh Andriah Feby Misna, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan dan bagi Perusahaan Listrik Negara (PLN) Icon Plus yang diwakilkan oleh Rahmat Handono, Wakil Presiden Layanan Ketenagalistrikan, PLN ICon Plus untuk kontribusi kedua pihak dalam percepatan transisi energi di Indonesia.

Suara Anak Muda untuk Pengakhiran Operasional PLTU Batubara

Jakarta, 5 Juni 2023 – Advokasi pemuda menjadi salah satu cara yang paling efektif untuk mengusung perubahan. Untuk menggalang kesadaran dari pemuda, isu yang diperjuangkan harus dekat dan menarik diikuti. Misalnya saja menyambungkan topik dengan kegemarannya. Hal ini yang kemudian dilakukan oleh komunitas pemuda Kpop 4 Planet, yang berjuang untuk melawan krisis iklim dengan mengemasnya dengan musik pop korea (K-Pop). Berangkat dari kesamaan tujuan tersebut, Institute Essential Services Reform (IESR) mengundang Kpop 4 Planet untuk berbincang santai di Twitter Space mengenai PLTU batubara pada Senin (5/6/2023). 

Ketertarikan yang sama antara Nurul Sarifah, aktivis Kpop4Planet  dan koordinator kampanye di Jakarta, serta rekannya di Korea Selatan membawa mereka untuk membuat wadah untuk pemuda penikmat Kpop yang peduli iklim. Nurul memaparkan, sama seperti penggemar musik lain, penggemar Kpop juga ekspresif dalam mengungkapkan kegemarannya. Sehingga, perjuangan ini tidak terbatas pada penggemar Kpop saja. Ia juga menyatakan bahwa pemuda harus mulai awas, terutama dengan adanya dampak perubahan iklim nyata yang disebabkan oleh PLTU batubara. 

“Di tahun saya lahir, hitungan partikel karbon dioksida di udara (parts per million) mencapai 368 ppm sementara sekarang sudah mencapai 416 ppm. Sedih untuk membayangkan bahwa seumur hidup kita harus merasakan kualitas udara yang tidak baik, dan bahkan akan memburuk jika kita terus menggunakan PLTU baru atau tidak memulai transisi energi,” jelas Nurul.

Untuk kedepannya, Kpop4Planet berharap bahwa salah satu pabrikan mobil Korea Selatan tidak lagi berencana untuk membangun PLTU baru sebesar 1,1 GW untuk menambang aluminum mereka selagi menunggu tenaga hidro yang baru mulai digunakan pada tahun 2029. Dengan tidak dipenuhinya tuntutan tersebut, pabrikan berpotensi untuk melakukan greenwashing pada konsumen. 

Di sisi lain, terkait urgensi pemensiunan PLTU sendiri, Dr. Raditya Wiranegara, peneliti senior IESR, mengatakan bahwa kenaikan temperatur global saat ini sudah mencapai 1.1℃ dari ambang batas 1.5℃ yang berpotensi bencana. Untuk mengikuti komitmen menjaga kenaikan suhu di bawah 1.5℃ derajat tersebut, diperlukan pengurangan emisi sekitar 19-27 gigaton. Pengurangan ini bisa dimulai dengan mengurangi ketergantungan kita dengan bahan bakar fosil. Pilihan ini tentu memiliki imbas ekonomi. Misalnya saja ketenagakerjaan akan terdampak berikut dengan biaya yang diperlukan untuk mengalihfungsikan pekerja ke lapangan kerja baru. Sementara itu, tantangan terbesarnya justru terletak pada keperluan pendanaan yang besar.

“Pengakhiran operasional PLTU bisa mengikuti jadwal yang kompatibel dengan peta jalan IPCC. Pada tahap pertama, kita perlu memensiunkan 9.2 GW PLTU batubara, dilanjutkan dengan 21 GW PLTU di periode berikutnya, sehingga di 2045 bisa memensiunkan 12 GW. Selain itu, perlu dipikirkan juga pembangkit yang akan menggantikan dan proses pembangunannya sehingga tetap memenuhi kebutuhan energi. Kuncinya ada di perencanaan,” ungkap Raditya.

Di akhir diskusi, Raditya dan Nurul meyakini kemampuan pemuda dalam mengubah masa depan. Raditya menekankan perlunya generasi muda untuk terus mempertahankan semangat dan mengasah kemampuan untuk mempersiapkan diri untuk menyambut era energi bersih. Sementara, Nurul mengatakan bahwa generasi muda bisa mencari gerakan iklim yang sesuai dengan minat mereka masing-masing, karena melakukan apa yang kita pedulikan dan juga kita sukai akan menjadi kombo yang kuat untuk perjuangan iklim. Harapan keduanya, pemerintah dapat segera membuat peta jalan untuk memensiunkan PLTU dan suara pemuda juga didengar dalam keinginannya untuk bumi yang lebih asri.

Gambar oleh Markus Spiske di Unsplash

Menanti Implementasi JETP di Indonesia

Raden Raditya Yudha Wiranegara

Pakistan, 31 Mei 2023 – Transisi energi menjadi pembahasan di banyak negara, termasuk di Pakistan. Beberapa tantangan yang dihadapi oleh Pakistan dalam mengadopsi energi terbarukan di antaranya adalah infrastruktur ketenagalistrikan dan integrasi jaringan yang belum mumpuni. Mirip dengan Pakistan, Indonesia pun menghadapi tantangan yang serupa namun gerak cepat pemerintah diperlukan untuk mengurangi penggunaan energi fosil sebagai langkah nyata penurunan emisi gas rumah kaca.

Raden Raditya Yudha Wiranegara, Peneliti Senior Institute for Essential Services Reform (IESR) memaparkan,   sektor ketenagalistrikan menyumbang sekitar 40 %  dari emisi gas rumah kaca di Indonesia berdasarkan laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2023. Demi selaras dengan ambisi 1,5°C dan mencapai net zero emission 2060 atau lebih cepat, Raditya menuturkan, perlu dilakukan transisi di seluruh pasokan energi. Salah satunya dengan  mengubah sektor ketenagalistrikan dengan menurunkan bahan bakar fosil (fossil fuel) pada PLTU secara bertahap. Menurut Raditya, PLTU batubara perlu segera dikurangi ataupun dipensiunkan dini secara bertahap hingga tahun 2045 untuk selaras dengan ambisi 1,5°C.

“Fase pertama dilakukan dengan menutup 18 PLTU batubara dengan total kapasitas 9,2 GW hingga 2030, lalu 39 PLTU batubara dengan total kapasitas 21,7 GW, dan 15 PLTU batubara dengan total kapasitas 12,5 GW,” terang Raditya dalam acara Symposium on “Accelerating the Just Energy Transition in Pakistan” yang diselenggarakan oleh Sustainable Development Policy Institute (SDPI) pada Rabu (31/5/2023).

Dalam memenuhi ambisi 1,5°C, keberadaan Kemitraan Transisi Energi yang Adil (Just Energy Transition Partnership/JETP) di Indonesia menjadi salah satu pendorongnya.  Raditya memaparkan, kemitraan tersebut mencakup target puncak emisi pada 2030 untuk sektor listrik Indonesia, termasuk dari sistem pembangkit listrik on-grid, off-grid, dan captive, menggeser proyeksi puncak emisi sekitar tujuh tahun lebih awal. Selain fokus pada pengurangan emisi yang signifikan, JETP  juga pada mendorong pembangunan berkelanjutan dan pertumbuhan ekonomi, serta melindungi mata pencaharian masyarakat dan pekerja di sektor yang terkena dampak.

Untuk mengimplementasikan target tersebut, lanjut Raditya, saat ini Sekretariat JETP Indonesia sedang mengembangkan  rencana investasi komprehensif (comprehensive investment plan/CIP) untuk program pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP). Meski demikian, Raditya menegaskan, Sekretariat JETP Indonesia hanya memiliki waktu terbatas untuk menyelesaikannya mengingat dokumen tersebut perlu dipublikasikan pada Agustus 2023. Berkaitan dengan pengerjaan dokumen rencana investasi komprehensi, Raditya menegaskan, diharapkan hasil analisis yang dilakukan dalam kelompok kerja bisa dimasukkan ke dalamnya pada Juli 2023. Adapun kelompok kerja dalam JETP Indonesia terdiri dari 4 kelompok kerja yang mewakili berbagai pihak termasuk pemerintah Indonesia, lembaga nasional dan internasional serta unsur masyarakat sipil yang memiliki kepakaran pada bidang masing-masing. Kelompok kerja tersebut membidangi: Teknis, Kebijakan, Pendanaan serta Transisi Berkeadilan.

“Berkaca dari kondisi tersebut, transparansi dan ketersediaan data menjadi sebuah masalah tersendiri di dalam kelompok kerja. Hal ini perlu menjadi perhatian mengingat kondisi tersebut bisa menghambat setiap individu dalam kelompok untuk melaksanakan tugas yang diberikan,” ujar Raditya. 

Dokumen CIP akan memuat informasi teknis, pendanaan, kebijakan serta sosio ekonomi mengenai investasi transisi energi di sektor ketenagalistrikan sampai dengan tahun 2030 yang akan melandasi implementasi kemitraan USD 20 miliar di bawah JETP Indonesia. Berdasarkan Joint Statement JETP Indonesia, mobilisasi pendanaan ditargetkan terjadi di tahun ke 3 sampai tahun ke 5 setelah kemitraan pendanaan JETP Indonesia disepakati. Selain itu, area investasi yang sudah disepakati dalam CIPP terdiri atas pengembangan jaringan transmisi dan distribusi, pemensiunan dini PLTU batubara, percepatan pemanfaatan energi terbarukan tipe baseload, percepatan pemanfaatan energi terbarukan tipe variable,membangun rantai pasok energi terbarukan

 

Kesiapan Ketenagakerjaan untuk Energi Terbarukan di Indonesia

Jakarta, Mei 2023 – Indonesia telah membuat komitmen penting untuk mencapai target iklim dan pembangunan, dan mulai memperhatikan pengurangan emisi karbon sekaligus memperkuat ketahanan ekonomi dan sosial. Sebagai negara berkembang, komitmen untuk melakukan dekarbonisasi pembangunan sambil mempertahankan pertumbuhan ekonomi sangatlah penting, terutama bagi Indonesia yang telah menetapkan target pertumbuhan ekonomi tahunan sebesar 5,7% dalam rencana jangka panjangnya, Visi Maju 2045. Belum ada negara yang beralih ke status sebagai negara berpenghasilan tinggi sekaligus mengurangi emisi, terlepas dari fakta bahwa ini adalah tantangan implisit dari transisi rendah karbon (Bank Dunia, 2023). Memisahkan pertumbuhan ekonomi dari emisi karbon akan memerlukan perbaikan yang signifikan dan berkelanjutan dalam banyak aspek di luar masalah lingkungan, yang mencakup kebijakan ekonomi, sosial, inovasi, dan fiskal, untuk mendorong perubahan menyeluruh (Fankhauser & Jotzo, 2017; OECD, 2022). Kondisi ketenagakerjaan Indonesia, sebagai salah satu indikator sosial ekonomi dan kesejahteraan, juga akan dipengaruhi oleh berbagai perubahan akibat dekarbonisasi, termasuk peningkatan penggunaan energi terbarukan dan pengurangan penggunaan bahan bakar fosil. Perubahan ini akan menggeser permintaan akan lapangan kerja ke arah aktivitas ekonomi dan sumber energi yang lebih bersih.

Bagaimana lapangan kerja energi dan sektor terkait di masa depan?

Secara global pada tahun 2019, lebih dari 65 juta orang dipekerjakan di sektor energi dan sektor terkait, dengan pangsa hampir 2% dari pekerjaan formal di seluruh dunia, di mana setengah dari tenaga kerja sektor energi dipekerjakan di teknologi energi bersih (IEA, 2019). Jumlah pekerja yang dipekerjakan di sektor energi pada tahun 2030 secara global dapat meningkat menjadi 139 juta di bawah skenario 1,5°C, termasuk lebih dari 74 juta di bidang efisiensi energi, kendaraan listrik, sistem/fleksibilitas daya, dan hidrogen; sementara saat ini lapangan kerja dunia dalam energi terbarukan mencapai 12,7 juta pada tahun 2021 (IRENA & ILO, 2022). Dengan demikian, masih banyak pekerjaan potensial dalam energi terbarukan secara global, termasuk di Indonesia, di mana kerugian di sektor bahan bakar fosil akan terkompensasi atau lebih oleh keuntungan energi terbarukan dan teknologi transisi energi lainnya.

Indonesia dapat melihat baik perubahan dalam potensi pekerjaan ramah lingkungan baru maupun perubahan dalam sifat pekerjaan yang ada – di mana tidak semua pekerjaan hijau di Indonesia memiliki persyaratan keterampilan yang tinggi, namun tren di negara-negara berpenghasilan tinggi menunjukkan bahwa permintaan akan keterampilan yang berkaitan dengan ramah lingkungan tingkat lanjut akan meningkat, sehingga membutuhkan perubahan yang sepadan dalam pelatihan dan pendidikan (Bank Dunia, 2023). Sekitar 40 persen dari perusahaan Indonesia dilaporkan memiliki strategi hijau; 58 persen perusahaan melaporkan memiliki tim atau personel energi khusus. Sementara sekitar 37 persen perusahaan yang disurvei menunjukkan bahwa mereka memantau emisi dari penggunaan energi, hanya 15 persen yang menetapkan target energi dan emisi (IRENA & ILO, 2022), sedangkan kesempatan kerja juga muncul dengan meningkatnya jumlah perusahaan terkait energi terbarukan dan efisiensi energi di Indonesia. Pekerjaan energi terbarukan di Indonesia diperkirakan akan meningkat selama masa transisi, dari 0,63 juta saat ini menjadi 0,74 juta pada tahun 2030 dan 1,07 juta pada tahun 2050, dengan bioenergi dan teknologi surya mendominasi pekerjaan energi terbarukan di Indonesia pada dekade pertama transisi ini (IRENA, 2023). Namun, di sisi penyiapan sumber daya manusia pada tahun 2022, belum ada perbaikan yang berarti dari tahun lalu, dan pemerintah belum menetapkan strategi yang jelas untuk mempersiapkan tenaga kerja yang dibutuhkan dalam transisi energi apalagi mempersiapkan tenaga kerja yang ada untuk beralih dari pembangkitan energi berbasis fosil ke yang terbarukan (IESR, 2022a).

Apa yang dapat kita lakukan untuk meningkatkan kesiapan kerja?

Seiring muncul dan berkembangnya sektor energi terbarukan, tenaga kerja energi terbarukan yang terampil perlu muncul, dan untuk menutup kesenjangan keterampilan, diperlukan serangkaian kebijakan pasar tenaga kerja yang dirancang dengan baik serta program pendidikan dan pelatihan berwawasan modern (IRENA, 2023). Khususnya di Indonesia, tidak akan ada satu strategi yang cocok untuk semua guna meningkatkan kesiapan sumber daya manusia; dengan demikian, pendekatan umum dengan pemahaman dan tindakan lokal akan lebih kuat dalam konteks ini karena kondisi ketenagakerjaan dan demografi berbeda-beda. Pertimbangan kebijakan berdasarkan wilayah geografis atau spesifik dampak dan potensi perlu dipikirkan secara hati-hati dalam transisi energi di Indonesia, dengan mempertimbangkan beberapa hal dalam kebijakan hijau antara lain kebijakan industri dan perusahaan, kebijakan pengembangan keterampilan, kebijakan pasar tenaga kerja aktif, keselamatan dan kesehatan kerja kebijakan, dan kebijakan perlindungan sosial (ILO, 2023). Dalam gambaran yang lebih besar, kesiapan lapangan kerja merupakan salah satu aspek penting yang menentukan keberhasilan transformasi ekonomi dalam pembangunan rendah karbon. Selain itu, intervensi pemerintah, pendekatan transformasi, revitalisasi masyarakat, dan keunggulan komparatif diperlukan untuk memastikan pembangunan ekonomi yang lebih berkelanjutan di wilayah yang terkena dampak transisi (IESR, 2022b).

Penerjemah: Regina Felicia Larasati

Foto oleh Heri Susilo di Unsplash

Bermain Ular Tangga Sambil Hitung Jejak Karbon di Alun-Alun Eropa

Jakarta, 16 Mei 2023 – Jejakkarbonku bersama dengan Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit GmbH atau GIZ berpartisipasi dalam Festival Alun-Alun Eropa. Sebuah gelaran yang diselenggarakan oleh Uni Eropa pada 6 Mei 2023 lalu. Festival ini sebagai bagian dari perayaan Hari Eropa (Europe Day), yang merupakan ‘hari nasional’ Uni Eropa.
Pada festival tersebut, Jejakkarbonku menyuguhkan pengalaman menghitung karbon dengan permainan ular tangga. Banyak pengunjung yang antusias menjajal permainan tersebut. Mulai dari anak-anak hingga orang tua, sangat bersemangat dan terhibur saat melakukan permainan bersama dengan kelompok.
Dalam permainan ular tangga terdapat beberapa tantangan berupa pertanyaan dan edukasi tentang jejak karbon. Saat bermain peserta permainan diminta untuk melemparkan dadu dan berjalan menyusuri blok ular tangga sesuai nomor yang didapat. Kemudian jika peserta permainan berada di blok yang terdapat tantangan, mereka diminta untuk menjawabnya dan mendapatkan poin tambahan. Tapi ada juga jebakan, dengan blok-blok yang menyatakan peserta tidak menghemat energi maka peserta harus turun ke nomor blok yang lebih rendah. Sehingga sambil bermain peserta permainan juga bisa menambah pengetahuan mereka terkait aktivitas jejak karbon.
Selain itu Jejakkarbonku juga memberikan sosialisasi untuk mengetahui jejak karbon dari pengunjung melalui scan barcode kalkulator jejak karbon. Ada sekitar 100-an orang pengunjung yang mampir untuk berinteraksi dengan tim Jejakkarbonku.id. Dari banyaknya pengunjung tersebut, ada juga yang baru mengetahui kalau aktivitas mereka menyumbang banyak karbon. 

Mereka cukup antusias untuk menanyakan aktivitas harian mereka, dan penggunaan kendaraan atau alat-alat rumah tangga yang menyumbang jejak karbon. Selain itu, para pengunjung juga terlihat bersemangat dalam memainkan permainan rumah tangga secara berkelompok. 

Jejakkarbonku.id merupakan alat penghitung emisi/jejak karbon berbasis platform. Masyarakat bisa mulai rutin menghitung aktivitas jejak karbon harian mereka dengan simpel dan mudah melalui platform ini. Sehingga kedepannya, masyarakat bisa mengukur tingkat pengurangan karbon harian mereka sehari-hari.

Insentif Perlu untuk Dorong Pasar Kendaraan Listrik

Jakarta, 11 Mei 2023 – Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa memaparkan, pemberian insentif kendaraan listrik dilakukan Pemerintah Indonesia sebagai salah satu strategi untuk membuka atau mengembangkan industri kendaraan listrik itu sendiri. Meski demikian, Fabby menekankan, pemberian insentif kendaraan listrik ini bukanlah solusi untuk mengatasi masalah kemacetan. Hal ini dikatakan Fabby Tumiwa saat menjadi narasumber di program acara Mining Zone, CNBC Indonesia TV pada Kamis (11/5/2023). 

“Kita sudah punya kebijakan hilirisasi, tidak boleh ekspor bijih nikel. Untuk itu, nikelnya harus diproduksi di Indonesia dan dari nikel kita sudah tahu diolah di smelter untuk menjadi baterai. Dengan kebijakan tersebut, saat ini terdapat beberapa perusahaan global yang menanamkan investasinya di Indonesia, di antaranya Korea dan China. Nah, tahapan berikutnya membangun kendaraan listrik. Misalnya jenis baterainya seperti Nickel-metal hydride (NiMH),” terang Fabby Tumiwa. 

Lebih lanjut, Fabby menuturkan, untuk menarik investasi pada kendaraan listrik, maka perlu diciptakan permintaan pasar (demand). Mengingat, saat ini permintaan kendaraan listrik di Indonesia masih kecil. Menurut Fabby, penjualan kendaraan listrik tidak lebih dari 25 ribu unit sejak dikeluarkan Peraturan Presiden (Perpes) No 55 Tahun 2019. Berkaca dari hal tersebut, pemerintah perlu mengatur strategi agar bisa menumbuhkan permintaan kendaraan listrik.

“Dengan adanya demand, maka diharapkan produsen kendaraan listrik bisa berinvestasi di Indonesia. Namun demikian, patut diingat apabila kita ingin mendorong investasi di sisi hulu maka jenis insentifnya akan berbeda. Di lain sisi, apabila kita membangun pasar dari produknya, insentifnya juga berbeda. Makanya, insentif yang ada saat ini tidak bisa dibilang salah karena kita perlu melihat konteksnya,” ujar Fabby Tumiwa. 

Selain itu, Fabby menyatakan, dalam konteks penggunaan energi perlu ada substitusi impor bahan bakar minyak (BBM). Seperti diketahui, produksi minyak Indonesia terus menurun setiap tahunnya. Dengan kondisi seperti ini, kata Fabby, apabila tidak ada upaya untuk mengurangi konsumsi BBM maka sekitar lebih dari 60% kebutuhan BBM akan diimpor. Hal ini menjadi masalah cukup serius karena mengancam ketahanan pasokan energi nasional. 

“Dengan kondisi seperti itu, insentif kendaraan listrik menjadi juga bagian dari strategi mengurangi permintaan pertumbuhan BBM dengan cara teknologi kendaraannya yang digeser. Mengingat listrik bisa bersumber dari mana saja, termasuk energi terbarukan,” tegas Fabby Tumiwa. 

Tidak hanya itu, dalam konteks transisi energi, kata Fabby, industri otomotif cepat atau lambat akan mengalami perubahan. Apabila Indonesia berhasil dalam kendaraan listrik, maka produksi kendaraan konvensional akan turun dan hal ini bisa berimbas terhadap pengurangan lapangan pekerjaan. Seiring minat pasar yang menurun terhadap kendaraan konvensional, maka akan tercipta lapangan pekerjaan hijau (green jobs).

Mempersiapkan Sumber Daya Manusia untuk Transisi Energi

Jakarta, Mei 2023 – Dunia bergerak ke ekonomi rendah karbon. Akibatnya, pasokan energi untuk perekonomian juga bergeser dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan. Tahun lalu, untuk pertama kalinya, investasi global dalam teknologi energi rendah karbon (termasuk teknologi produksi non-energi seperti transportasi listrik, panas yang dialiri listrik, dan material berkelanjutan) melampaui USD 1 triliun dan menyamai tingkat investasi bahan bakar fosil. Peningkatan investasi dalam teknologi rendah karbon menghasilkan peningkatan lapangan kerja di lapangan. Secara global, lapangan kerja dalam produksi energi terbarukan terus meningkat dari 7,3 juta pada tahun 2012 menjadi 12,7 juta pada tahun 2021.

Meski terlihat lebih lambat dari kecepatan global, Indonesia tidak terkecuali dalam tren ini. Khususnya selama setahun terakhir, Indonesia telah menunjukkan komitmen transisi energi yang semakin baik. Presiden mengeluarkan peraturan yang menempatkan moratorium pembangkit listrik tenaga batu bara (dengan beberapa pengecualian) dan merombak peraturan penetapan harga yang tidak menarik yang menghambat investasi energi terbarukan sejak 2017. Dua bulan kemudian, tonggak penting dalam perjalanan transisi energi Indonesia diumumkan dalam bentuk Just Energy Transition Partnership (JETP) selama KTT G20 di Bali. Komitmen JETP tidak cukup untuk menjaga kenaikan suhu global di bawah 1,5°C, tetapi komitmen ini jauh lebih ambisius daripada NDC. JETP berkomitmen untuk memobilisasi investasi senilai USD 20 miliar selama 3-5 tahun ke depan untuk mempercepat transisi energi di Indonesia.

Semua investasi yang dilakukan untuk transisi energi akan diterjemahkan menjadi kebutuhan sumber daya manusia. Hal ini terutama berlaku untuk investasi energi terbarukan yang umumnya lebih padat karya daripada industri fosil. IESR memperkirakan bahwa investasi untuk mencapai emisi net-zero pada tahun 2050 akan menghasilkan sekitar 800.000 pekerjaan baru pada tahun 2030 hanya di sektor ketenagalistrikan (tidak termasuk pekerjaan di kendaraan listrik, material berkelanjutan, dll.). Lapangan kerja akan meningkat menjadi 3,2 juta lapangan kerja pada tahun 2050. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan lapangan kerja saat ini di sektor ketenagalistrikan yang berjumlah 270.000.Namun, Indonesia tampaknya agak tidak siap menghadapi transisi angkatan kerja. Pemerintah tidak memiliki strategi yang jelas untuk mengembangkan kapasitas tenaga kerja yang dibutuhkan dan penelitian tentang energi terbarukan cenderung menurun. Instansi pemerintah yang bertanggung jawab atas perencanaan tenaga kerja, seperti Kementerian Ketenagakerjaan, sejauh ini tidak disertakan dalam pembahasan transisi energi. Ketidaksiapan ini bahkan lebih krusial bagi ratusan ribu orang yang saat ini bekerja di industri pasokan bahan bakar fosil. Tidak semua dari mereka memiliki keterampilan yang dapat dialihkan yang dapat digunakan di sektor energi terbarukan, misalnya operator alat berat yang sebagian besar menyerap tenaga kerja di industri fosil. Suatu perangkat kebijakan yang lebih komprehensif dan koordinasi yang lebih baik di antara para pembuat kebijakan, terutama untuk melibatkan badan-badan yang bertanggung jawab atas pengembangan tenaga kerja, sangat diperlukan. Jika tidak, Indonesia mungkin kehilangan manfaat ekonomi (tenaga kerja) dari transisi energi.

Penerjemah: Regina Felicia Larasati

Foto milik Verhalenhuys di Unsplash

Memahami Konteks Transisi yang Adil di Daerah Penghasil Batubara

Jakarta, 10 Mei 2023 – Upaya global untuk beralih dari sumber daya listrik berbasis fosil akan mengarah pada peralihan dari batu bara. Transisi ini tidak hanya membawa perubahan drastis pada sektor hulu yaitu produksi batubara, tetapi juga mata pencaharian dan aktivitas ekonomi di daerah penghasil batubara.

Srestha Banerjee, direktur program Just Transition iForest India, selama webinar berjudul “The Just Transition Toolbox for Coal Regions — Knowledge needs in the South-East-Asian context” menekankan bahwa masalah transisi lebih merupakan masalah politik daripada masalah teknis.

“India telah menunjuk gugus tugas untuk merancang solusi yang berpusat pada manusia untuk transisi batubara. Selain menggali kebutuhan masyarakat melalui dialog dan diskusi, kita perlu contoh praktik transisi yang baik untuk meningkatkan kepercayaan diri masyarakat,” jelas Srestha.

Indonesia, negara eksportir batu bara terbesar, mengalami ketidakpastian transisi batu bara yang mendukung agenda transisi energi berkeadilan. Seiring melonjaknya harga batubara dunia tahun lalu, Indonesia menghadapi dilema antara mengurangi produksi batubara atau tetap menjalankan bisnis seperti biasa.

Marlistya Citraningrum, manajer program Akses Energi Berkelanjutan, Institute for Essential Services Reform mengatakan, sejak tahun lalu pemerintah Indonesia mulai lebih mengandalkan energi terbarukan dalam perencanaan ketenagalistrikan PLN yaitu dokumen RUPTL, namun implementasinya masih menghadapi tantangan.

“Meninggalkan batu bara secara total dipandang sebagai pilihan yang jauh lebih sulit karena secara langsung akan berdampak pada situasi ekonomi dan pendapatan daerah,” katanya.

Citra, demikian ia biasa disapa, menambahkan bahwa pada tahap perencanaan, pemerintah perlu memahami konteks transisi dan dampaknya terhadap aspek sosial ekonomi. Mendengarkan secara aktif diperlukan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif.

Chalie Charoenlarpnopparut, associate professor, Sirindhorn International Institute of Technology, Thammasat University Thailand sepakat bahwa dialog akan menjadi kunci untuk menjembatani kesenjangan antara kebutuhan untuk mencapai target pengurangan emisi dan dampak sosial ekonomi dari meninggalkan batubara.

“Kita perlu memberi tahu masyarakat bahwa perubahan ini mutlak akan terjadi, dan kita perlu bersiap atau kita akan mengalami dampak negatif yang lebih besar dari transisi batubara,” kata Charlie.

Menyadari bahwa transisi energi dan transisi batubara khususnya merupakan masalah yang banyak bersifat teknis dan teknokratis, pengarusutamaan gender selama proses tersebut menjadi sangat penting. Chalie menambahkan, di Thailand, keterlibatan perempuan dalam masa transisi sudah mulai terlihat.

“Perempuan lebih memiliki sense of sustainability sehingga mereka lebih bersemangat untuk terlibat dalam suatu aksi. Sedangkan laki-laki lebih banyak terlibat dalam sisi penelitian dan akademik dalam transisi ini,” ujarnya.

Potensi Indonesia jadi Pemain Utama Kendaraan Listrik di ASEAN

Jakarta, 12 Mei 2023 – Pada Konferensi Tingkat Tinggi ke-42 yang diselenggarakan di Labuan Bajo, NTT,  ASEAN bertekad untuk membangun ekosistem kendaraan listrik. Di ASEAN sendiri, sudah terdapat negara-negara yang memiliki industri kendaraan listrik, seperti Thailand dan Indonesia. Indonesia memproduksi 1,2 juta kendaraan listrik per tahun, dan sudah mampu melakukan ekspor dan impor di pasar ASEAN. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan untuk mendukung berkembangnya ekosistem kendaraan listrik, salah satunya adalah industri untuk menghasilkan komponen kendaraan listrik, terutama baterai yang harganya mencapai 40% dari harga kendaraan listrik. Menurutnya, membahas baterai artinya harus membahas mengenai industri critical mineral, seperti lithium, nikel, mangan, dan kobalt. Tidak semua negara di ASEAN memiliki critical mineral ini, sehingga Indonesia sebagai pemilik nikel dan kobalt berpotensi menjadi pusat jaringan pengembangan industri baterai. 

“Namun, negara lain seperti Thailand memiliki keuntungan strategis yang berbeda, yaitu iklim investasinya yang lebih mendukung akan perkembangan kendaraan listrik. Sehingga, tidak heran bahwa China lebih memilih untuk membangun pabrik di Thailand dibandingkan Indonesia,” terang Fabby.

Selain baterai, Fabby melihat potensi bahwa Indonesia dapat memasok mesin kendaraan listrik, dan material lain seperti baja. Baja seperti alloy diperlukan untuk rangka kendaraan listrik, yang Indonesia bisa pasok karena memiliki industri bijih besi. Secara domestik pula, industri otomotif Indonesia sudah lumayan menyerap tenaga kerja, sehingga diharapkan apabila kendaraan bahan bakar fosil sudah mulai ditinggalkan, Indonesia tidak akan menjadi pengimpor kendaraan listrik. Melihat situasi pasar Indonesia, Fabby beranggapan bahwa kendaraan tipe menengah (sekitar Rp 400-600 juta) akan paling cocok dan berpotensi di pasar Indonesia. 

“Selain itu, besar pula kemungkinan Indonesia memiliki peran dalam global supply chain kendaraan listrik, karena kita memiliki keuntungan strategis seperti sumber daya alam, sudah mengembangkan industri kendaraannya, dan industri menengahnya seperti sel baterai,” jelas Fabby.

Fabby juga berpendapat bahwa insentif yang kini perlu digelontorkan adalah untuk riset dan pengembangan dalam membuat baterai jenis baru. Ia menimbang bahwa nikel akan habis jika terus digali untuk baterai, dengan cadangannya tidak sampai 20 tahun, begitu pula dengan lithium. 

Lebih jauh Fabby menjelaskan bahwa strategi yang dapat dilakukan adalah upaya mencari baterai generasi baru yang memakai jenis metal yang banyak tersedia di Indonesia. Insentif juga diperlukan untuk industri hilir demi menstimulasi pasar kendaraan listrik di Indonesia hingga 2030. Sehingga, dengan meningkatnya pembelian kendaraan listrik, diharapkan Indonesia akan menarik investor yang dapat meningkatkan rantai pasok domestik. 

“Harapan kedepannya, kita memiliki rangkaian industri dari hulu ke hilir yang lengkap, terintegrasi tidak hanya dari produksi baterai, namun juga manufaktur kendaraan. Maka dari itu, stimulus perlu diberikan di sisi permintaan,” tutup Fabby.

Foto oleh dcbel di Unsplash