Peluncuran Laporan Identifying Finance Needs For A Just Transformation of Indonesia’s Power Sector

Latar Belakang

Sebagai salah satu negara konsumen dan penghasil batubara terbesar, Indonesia menduduki peringkat ke-6 sebagai penghasil gas rumah kaca global dengan pangsa 3.11% dari total emisi global (Climatewatch, 2024). Pada tahun 2020 sendiri, sektor energi menjadi penyumbang emisi terbesar, menyusul sektor kehutanan dan lahan yang hampir selalu mendominasi pada dekade terakhir. Hal ini dipengaruhi masih tingginya konsumsi energi fosil yang masih didominasi oleh energi fosil 80% selama dekade terakhir (IEA, 2023). Menyadari akan hal tersebut, Indonesia telah menetapkan target untuk mencapai nol bersih setidaknya pada tahun 2060 atau sebelumnya, serta menaikan target sektor energi pada National Determined Contribution (NDC) menjadi 31.89% atau setidaknya menurunkan sebesar 915 MtonCO2. Pemerintah pun saat ini sudah menetapkan untuk tidak lagi membangun PLTU baru dan berencana untuk mempensiunkan beberapa PLTU yang tercantum pada Perpres 112/2022. Langkah ini menjadi sinyal bagi Indonesia untuk mempersiapkan dampak dari ketergantungan energi fosil sesegera mungkin.

Berkembangnya narasi transisi energi menimbulkan kekhawatiran akibat adanya risiko transisi yang ditimbulkan. Bukan lagi hanya kendala teknis maupun keekonomian yang menjadi perbincangan, namun juga mempertimbangkan aspek sosial, lingkungan, dan ekonomi terhadap pihak yang terdampak dari adanya transisi. Dari hal tersebut, diskusi narasi transisi energi pun menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan dari prinsip berkeadilan. Hal ini sejalan dengan Perjanjian Paris yang mendorong adanya transisi berkeadilan, khususnya pada sektor tenaga kerja yang sesuai dengan agenda pembangunan prioritas (EBRD, 2024). Diskursus global dan nasional terkait transisi energi dalam beberapa tahun terakhir sangat intens, terutama terkait pemberhentian pembangkit listrik tenaga fosil erat sekali dengan praktik transisi berkeadilan bagi masyarakat dan komunitas yang berada di sekitar PLTU maupun di daerah tambang batubara. Selain itu, transisi energi juga membutuhkan pendekatan yang berkeadilan di daerah-daerah yang nantinya juga terdampak untuk mendukung transisi tersebut, misalnya daerah tambang batu bara, tambang dan kawasan industri mineral kritis, serta wilayah pembangunan PLT EBT. Hal ini semakin diperkuat pada COP 28 tahun 2023 lalu dimana pada pertemuan tingkat menteri disebutkan bahwa transisi tidak akan terjadi kecuali dilakukan dengan secara berkeadilan. Momentum tersebut menjadikan agenda transisi berkeadilan menjadi fokus perbincangan baik di level nasional dan internasional.

 

Tujuan

Adanya kegiatan ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut 

  • Menjaring informasi terkait kebijakan dalam membangun kerangka transisi berkeadilan yang sesuai aspek pembangunan ekonomi nasional dan daerah untuk dimasukkan ke dalam rencana pembangunan jangka menengah; 
  • Mengidentifikasi tantangan dan peluang yang dihadapi oleh berbagai pemangku kepentingan, terutama CSO, think tank dan akademia dalam membawa isu transisi berkeadilan;
  • Membangun kemitraan dengan CSO, think tank, mitra pembangunan, dan akademisi untuk penyelarasan pesan yang disampaikan.

Membuat Proses Global Stocktaking Lebih Relevan dengan Asia Tenggara

Jakarta, 25 April 2024 – Upaya global untuk menekan laju perubahan iklim dengan mengurangi emisi memasuki babak konsolidasi global. Sejak 2023, Independent Global Stocktake (iGST), sebuah konsorsium aktor masyarakat sipil yang berkumpul untuk mendukung Global Stocktake yang pertama dalam rangka menilai progress progress Persetujuan Paris (2015)

Dalam webinar bertajuk Navigating the Outcomes of the First Global Stocktake in Southeast Asia, Arief Rosadi, Koordinator Diplomasi Iklim Institute for Essential Services Reform (IESR) menyatakan bahwa hasil dari GST yang pertama belum banyak berpengaruh pada proses transisi energi di kawasan Asia Tenggara.

“Hal yang paling penting dari proses GST ini adalah harus dapat diterjemahkan pada kebijakan iklim yang lebih ambisius. Transisi energi adalah low hanging fruit bagi Asia Tenggara, meningkatkan target energi terbarukan dan ambisi iklim tidak hanya berkontribusi terhadap penurunan emisi namun memberi sinyal positif untuk mendorong transformasi menuju ekonomi rendah karbon (low carbon economy) di kawasan” kata Arief. 

Arief menekankan upaya untuk meningkatkan efisiensi energi dua kali lipat dan tiga kali lipat energi terbarukan (Double Down, Triple Up) pada tahun 2030 merupakan tahapan krusial untuk mendorong transisi energi di kawasan Asia Tenggara. Dirinya juga menambahkan bahwa periode dua tahun kedepan merupakan momen krusial bagi Asia Tenggara mengingat ASEAN sedang menyusun ASEAN Post Vision 2025 dan dokumen kebijakan energi APAEC (ASEAN Plan of Action on Energy Cooperation) terbaru. Poin GST pertama mengenai efisiensi energi dua kali lipat dan tiga kali lipat energi terbarukan perlu tercermin di kedua dokumen tersebut.

Di tingkat perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi kebijakan, peran tenaga ahli atau lembaga riset independen penting untuk memberikan pandangan serta masukan alternatif bagi perumus kebijakan. Serta perlu memastikan adanya partisipasi yang bermakna (meaningful participation) oleh seluruh pihak yang terlibat dan berpotensi terimbas kebijakan tersebut.

Danize Lukban, analis kebijakan iklim Institute for Climate and Sustainable Cities (ICSC), mengingatkan pentingnya kebijakan (iklim) berbasis data ilmiah dalam proses transisi ini.

“Dalam proses perencanaan kebijakan (turunan iGST), peran tenaga ahli  iklim dan lembaga yang melakukan riset krusial untuk memberikan pandangan dan masukan alternatif bagi pembuat kebijakan,” katanya.

ASEAN sebagai suatu badan konsolidasi negara-negara di Asia Tenggara diharapkan dapat menjadi wadah konsolidasi bagi negara-negara anggotanya untuk menghasilkan aksi iklim yang lebih ambisius dan kolaboratif dengan cakupan kawasan Asia Tenggara.

IESR: Second NDC Indonesia Perlu Cerminkan Target Ambisius Penurunan Emisi

press release

Jakarta, 25 April 2024Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tengah menyusun dokumen kontribusi nasional penurunan emisi kedua (Second Nationally Determined Contribution, SNDC). Berbeda dengan dokumen Peningkatan Target NDC (Enhanced NDC) yang diterbitkan pada 2022, penetapan target penurunan emisi pada dokumen SNDC tidak lagi diukur berdasarkan penurunan emisi dari skenario pertumbuhan dasar (business as usual). SNDC akan membandingkan pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) terhadap tahun rujukan (reference year) 2019, yang berbasis inventarisasi GRK. Pemerintah menganggap metode penetapan emisi ini akan lebih akurat dan berkontribusi terhadap target pengurangan emisi GRK global sebesar 43 persen pada 2030 dibandingkan emisi pada tahun 2019. 

Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai pemutakhiran skenario yang tidak lagi berdasar pada business as usual dan beralih ke skenario yang mengacu pada reduksi emisi historis sebagai rujukan penetapan target, merupakan langkah maju. Pendekatan ini sesuai dengan rekomendasi yang disampaikan IESR tahun lalu.

“Target penurunan emisi di SNDC Indonesia harus selaras dengan target Persetujuan Paris (Paris Agreement). Temuan Inventarisasi Global (Global Stocktake) pertama di COP 28 yang menunjukan bahwa masih terdapat kesenjangan target penurunan emisi global 20,3-23,9  gigaton setara karbon dioksida, harus menjadi pertimbangan target penurunan emisi di 2030 yang lebih ambisius,” ungkap Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Fabby menambahkan salah satu aksi mitigasi yang dapat meningkatkan target penurunan emisi di SNDC berasal dari peningkatan bauran energi terbarukan. Supaya selaras dengan jalur 1,5 derajat Celcius maka bauran energi terbarukan dalam energi primer perlu mencapai  55 persen di 2030. Sayangnya, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang sedang disusun oleh Dewan Energi Nasional (DEN) hanya membidik target bauran energi terbarukan 19-21 persen pada 2030. Tidak hanya itu, secara target penurunan emisi, untuk sektor energi RPP KEN mengisyaratkan target tingkat emisi di sektor energi yang masih besar yaitu 1.074-1.233 juta ton setara karbon dioksida di 2030.

Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, IESR mengungkapkan jika target pengurangan emisi sektor energi di SNDC mengacu pada RPP KEN, maka bisa dipastikan bahwa target tersebut masih tidak selaras dengan Paris Agreement. Padahal menurutnya, sektor energi, terutama sektor kelistrikan dapat menjadi sektor paling strategis dalam meningkatkan level ambisi mitigasi emisi Indonesia dengan adanya opsi energi terbarukan yang sudah tersedia luas dengan keekonomian yang kompetitif.

“Hanya kurang dari 7 tahun menuju 2030, jadi aksi mitigasi emisi di sektor energi perlu difokuskan pada strategi yang bisa diimplementasi dan akselerasi sekarang. Energi terbarukan perlu secara masif dibangun di sektor kelistrikan sehingga dapat mengoptimalkan penurunan emisi melalui elektrifikasi baik sektor transportasi melalui kendaraan listrik, maupun boiler listrik dan pompa panas (heat pump) di sektor industri. Semua opsi di atas sudah tersedia komersial dan biayanya kompetitif. Pemerintah sebaiknya jangan terlena dengan opsi lain seperti nuklir dan CCS yang baru bisa operasi setelah 2030, sehingga strategi yang nyata bisa mengurangi emisi jadi tersendat implementasinya” jelas Deon.

Delima Ramadhani, Koordinator Kebijakan Iklim IESR, menyampaikan bahwa proyeksi emisi terbaru oleh  Climate Action Tracker (CAT) terhadap Enhanced NDC menunjukan kenaikan emisi hingga 1,7- 1,8 giga ton setara karbon dioksida pada tahun 2030; 70-80 persen lebih tinggi dari emisi tahun 2019. Jumlah emisi ini belum termasuk emisi dari sektor kehutanan dan lahan. Indonesia perlu menargetkan reduksi emisi 2030 pada kisaran 829-859 juta ton setara karbon dioksida untuk sejalan dengan target 1,5 derajat Celcius atau  970-1060 juta ton setara karbon dioksida (kedua kisaran level emisi, diluar emisi sektor kehutanan dan lahan) untuk target dibawah 2 derajat Celcius. 

“Pemerintah perlu memasukan aspek keadilan (fairness) dan memberikan alasan mengapa target reduksi emisi yang tertera dalam SNDC ini dinilai sebagai bagian yang adil (fairshare) dari kontribusi Indonesia dalam upaya mitigasi iklim global. Dengan demikian, dapat terlihat apabila SNDC sudah mencerminkan “ambisi tertinggi paling memungkinkan” (highest possible ambition) dalam pengurangan emisi,” imbuh Delima.

Di sisi lain, IESR menyoroti perlunya penekanan aspek keadilan dan tata kelola yang baik pada dokumen SNDC. Aspek keadilan dan transparansi ini perlu tercermin pada proses penyusunan SNDC yang memuat di antaranya praktik baik, relevan dengan keadaan nasional, keterlibatan institusi dalam negeri dan partisipasi publik.

Menghadapi Eskalasi Konflik Iran-Israel: Tantangan dan Solusi bagi Stabilitas Energi Indonesia

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa

Jakarta, 24 April 2024 – Eskalasi konflik antara Iran dan Israel telah menciptakan ketegangan yang berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi global, termasuk di Indonesia. Faktor utama kekhawatiran adalah potensi gangguan pasokan dan kenaikan harga minyak, terutama karena Selat Hormuz di Iran merupakan jalur perdagangan vital untuk ekspor minyak dunia.  Hal ini dikatakan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa dalam Talk show Ruang Publik KBR – Harga Minyak Dunia Naik, Apa Kabar Kendaraan Listrik? pada Rabu (24/4/2024). 

“Untuk itu, kita perlu mewaspadai dinamika harga energi fosil tersebut dengan mengurangi risiko impor minyak mentah dan mencari cara diversifikasi impor energi. Selain itu, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga menjadi faktor penting yang akan berdampak pada biaya produksi bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia,” ujar Fabby.

Berkaca dari hal ini, Fabby menegaskan, sebaiknya Pemerintah Indonesia lebih agresif mendorong pengembangan energi terbarukan untuk mensubstitusi BBM. Misalnya saja pembangkit listrik diesel di daerah Tertinggal, Terdepan dan Terluar (3T) dapat diganti dengan pembangkit energi terbarukan. Kemudian, Indonesia juga dapat meningkatkan penggunaan bahan bakar nabati (BBN) dengan memperhatikan kelestarian lingkungan dalam produksinya. 

“Tidak hanya sawit, Indonesia juga kaya sumber bahan bakar nabati lainnya seperti  jarak pagar, nyamplung, kemiri sunan, dan mikroalga. Saat ini Indonesia juga tengah mengembangkan bioetanol sebagai campuran pada BBM jenis bensin. Apabila Indonesia berhasil mengembangkan bioetanol sebagai campuran pada BBM jenis bensin, maka hal tersebut akan berdampak pada menurunnya impor produk BBM,” kata Fabby. 

Namun demikian, Fabby mengatakan, terdapat beberapa tantangan yang dihadapi dalam pengembangan energi terbarukan. Pertama, faktor kepentingan dari kalangan tertentu. Kedua, adanya berbagai inkonsistensi dalam kebijakan dan regulasi sehingga membuat pelaku usaha ragu berinvestasi dalam energi terbarukan. Misalnya saja dalam sektor ketenagalistrikan, energi terbarukan terkendala karena hanya PLN saja yang bisa membeli listrik dari pengusaha listrik swasta (Independent Power Producer, IPP) dan pengusaha listrik swasta tersebut tidak bisa menjualnya ke konsumen. Ketiga, aspek bisnis energi terbarukan dengan mempertimbangkan resiko. 

“Dengan kondisi tersebut, yang menjadi kunci ialah kemauan politik (political will) pemerintah dan berbagai pihak lainnya sehingga dapat mengembangkan energi terbarukan secara lebih agresif. Perlunya transisi energi merupakan bagian dari Persetujuan Paris untuk mencapai net-zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat,” kata Fabby. 

Request for Proposal (RFP) Strategic Communication and Advocacy Plan in Promoting Low Carbon Solutions Adoption for Indonesia’s Large Industries & Small-Medium Industries

Latar Belakang

Pencapaian target pembangunan ekonomi nasional pada tahun 2045 akan mendorong perluasan kapasitas di beberapa industri utama di Indonesia, seperti industri besi dan baja, semen, amonia, pulp dan kertas, dan tekstil. Menurut studi terbaru IESR, kelima industri tersebut bertanggung jawab atas sekitar sepertiga emisi industri nasional pada tahun 2020 atau sekitar 102 MtCO2. Hal ini disebabkan karena banyak dari pelaku industri tersebut menggunakan teknologi produksi yang sudah ketinggalan zaman dan tidak efisien serta mengkonsumsi bahan bakar fosil baik sebagai bahan baku maupun bahan bakar. Dalam kasus lain, industri tersebut merencanakan ekspansi kapasitasnya dengan menggunakan teknologi padat karbon yang dapat menyebabkan penguncian emisi selama beberapa dekade ke depan. Selain itu, rendahnya penggunaan bahan baku yang berkelanjutan pada industri semen, besi dan baja, serta industri pembuatan kertas mendorong peningkatan emisi sebesar 50 MtCO2 per tahun pada tahun 2050, dan secara kolektif dengan subsektor industri lainnya, akan meningkatkan emisi sektor ini menjadi dua kali lipat pada tahun yang sama.

Selain itu, dengan lanskap industri dan sektor komersial di Indonesia yang didominasi oleh usaha kecil sekitar 99%, maka sangat penting untuk mempertimbangkan peran usaha kecil dalam portofolio emisi Indonesia. Dari studi IESR, terungkap bahwa dengan jumlah UMKM yang mencapai 65 juta usaha di tahun 2021, perkiraan paling tidak dari total estimasi emisi terkait energi dapat mencapai 216 MtCO2 per tahun di tahun 2023, atau sekitar separuh dari emisi sektor industri, termasuk emisi yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar, proses industri, dan limbah. Tingginya emisi CO2 ini sebagian besar disebabkan oleh rendahnya pemahaman pelaku UMKM mengenai cara menerapkan langkah-langkah efisiensi energi serta kurangnya kapasitas finansial dan teknis untuk memanfaatkan bahan bakar dan listrik terbarukan untuk mendukung bisnis mereka.

Memahami urgensi yang tepat waktu untuk mendekarbonisasi industri dari semua skala, Institute for Essential Services Reform (IESR) bermaksud untuk merumuskan rencana komunikasi dan advokasi strategis untuk meningkatkan kesadaran publik tentang topik ini dan mendorong perubahan transformasional industri serta meningkatkan adopsi teknologi rendah karbon dan praktik-praktik berkelanjutan di kalangan industri besar dan UKM. Diharapkan konsultan mengembangkan rencana komunikasi dan advokasi sesuai dengan prinsip Specific, Measurable, Achievable, Relevant, and Time-Bound (SMART) dengan jangka waktu setidaknya satu tahun. Konsultan yang terpilih akan memberikan masukan mengenai metode, konten, dan strategi implementasi. Strategi tersebut harus mencakup penggunaan alat bantu online dan media baru, termasuk akun media sosial dan situs web IESR yang sudah ada.

Syarat dan Ketentuan

  1. Proposal
  2. Dokumen wajib yang diperlukan
    • Surat Pernyataan Kepatuhan terhadap Ketentuan Prakualifikasi
    • Surat Pernyataan Tidak Terlibat dalam Organisasi Terlarang
    • Surat Pernyataan Tidak Menuntut Ganti Rugi
    • Formulir Isian Kualifikasi Badan Usaha
    • Surat Pernyataan Tidak Dalam Pengawasan Pengadilan
    • Pernyataan Minat
    • Surat Pernyataan Kesediaan Mengerahkan Personil dan Peralatan
    • Pernyataan Komitmen Keseluruhan
    • Surat Pernyataan Kesanggupan Lapangan
    • Surat Pernyataan Keaslian Dokumen
    • Pakta Integritas

Seluruh dokumen yang diperlukan dapat diunduh melalui tautan berikut (s.id/documentsrfpcommsiesr), dan diharapkan dapat diterima oleh IESR hingga pukul 22. 00 WIB pada hari Jumat, 19 April 2024. Proposal yang diterima setelah tanggal dan waktu tersebut tidak akan diterima. Semua proposal harus ditandatangani oleh tenaga ahli, agen resmi, atau perwakilan perusahaan yang mengajukan proposal.

Proposal akan diterima hingga pukul 22.00 WIB pada hari Jumat, 19 April 2024. Untuk pertanyaan lebih lanjut, silakan hubungi Program Manager Transformasi Energi IESR di deon@iesr.or.id dan Koordinator Proyek Dekarbonisasi Industri di faricha@iesr.or.id.

Untuk lebih detail, silakan baca berkas berikut :

RFP-IESR-Strategic-Communication-and-Advocacy-Plan-in-Promoting-Low-Carbon-Solutions-Adoption-for-Indonesias-Large-and-Small-Medium-Industries.docx-1

Unduh

Membangun Kota Rendah Emisi di Indonesia

Jakarta, 2 April 2024 – Kawasan perkotaan merupakan pusat aktivitas padat karbon. Populasi yang tinggi, rapatnya bangunan dan penggunaan energi yang intensif berkontribusi pada peningkatan emisi gas rumah kaca. Climate Transparency 2022 mencatat emisi langsung dan emisi tidak langsung dari sektor bangunan di Indonesia masing-masing menyumbang 4,6 persen dan 24,5 persen dari total emisi karbon dioksida terkait energi pada 2021. Untuk itu, dekarbonisasi kawasan perkotaan menjadi salah satu upaya krusial untuk mengurangi emisi karbon serta mewujudkan kawasan yang berkelanjutan, sesuai dengan Persetujuan Paris untuk mencapai target nir emisi karbon.

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang bekerja sama dengan Kementerian Federal Jerman untuk Urusan Ekonomi dan Aksi Iklim (Bundesministerium für Wirtschaft und Klimaschutz/BMWK) serta didukung oleh berbagai kementerian lain sesuai rekomendasi Kementerian ESDM sepakat untuk mendukung upaya dekarbonisasi kawasan perkotaan melalui program Sustainable Energy Transition in Indonesia (SETI). Program ini melibatkan anggota konsorsium yang terdiri dari Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) di Indonesia, Yayasan Indonesia Cerah, Institute for Essential Services Reform (IESR), dan WRI Indonesia.

Manajer Program Sustainable Energy Transition in Indonesia (SETI), Institute for Essential Services Reform (IESR), Malindo Wardana menjelaskan, salah satu inisiatif penting dari SETI adalah Urban Energy Lab. Urban Energy Lab bertujuan untuk mengembangkan ekosistem energi lokal yang berkelanjutan di lingkup perkotaan, khususnya di beberapa kota yang terpilih. Ini bertujuan untuk mendukung lingkungan binaan yang lebih baik dan berkelanjutan.

“Kriteria pemilihan kota-kota yang akan menjadi proyek SETI meliputi potensi energi terbarukan di wilayah tersebut, program keberlanjutan yang sudah ada, serta kesediaan kota-kota tersebut untuk mengimplementasikan dekarbonisasi energi di sektor bangunan,” ujar Malindo.

Malindo dalam acara Focus Group Discussion Urban Energy Lab SETI yang diselenggarakan pada Selasa (2/4/2024) menuturkan, proses penentuan kota percontohan (pilot) untuk program SETI melalui tahap membentuk jaringan (network) kota-kota yang berpotensi. Kota-kota yang tergabung dalam jaringan kota berpotensi tersebut, kemudian akan dipilih oleh Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM & konsorsium SETI sebagai kota pilot. Kota-kota pilot ini akan mendapatkan dukungan tambahan berupa kegiatan mempertemukan (matchmaking) antar pemilik/pengelola bangunan dengan perusahaan layanan energi (energy service company), pengembangan kapasitas seperti sertifikasi manajer energi/auditor energi, pembuatan model perencanaan energi terintegrasi, dan pelatihan manajemen data energi.

Koordinator Kelompok Bimbingan Teknis dan Kerjasama Konservasi Energi, Kementerian ESDM, Hendro Gunawan mengatakan, pemerintah telah merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2009 menjadi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33 Tahun 2023 tentang Konservasi Energi yang menjadi langkah konkret pemerintah untuk mengatur penggunaan energi yang hemat, rasional dan bijaksana. Dalam aturan ini, sektor bangunan dengan batas penggunaan energi lebih dari atau sama dengan 500 TOE (Ton Oil Equivalent) per tahun  termasuk wajib untuk melakukan manajemen energi. 

“Pemerintah daerah turut memiliki kewajiban untuk menerapkan manajemen energi pada bangunan yang dimiliki, dikelola dan dibiayai melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) maupun anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD),” kata Hendro. 

Hendro juga menyinggung adanya aturan yang menguatkan kewenangan daerah provinsi dalam memanfaatkan energi terbarukan di daerah melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 11 Tahun 2023 tentang Urusan Pemerintahan Konkuren Tambahan di Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada Sub Bidang Energi Baru Terbarukan. 

Ia berharap, keberadaan peraturan tersebut dan pelaksanaan program SETI akan dapat mendukung pemerintah daerah dalam menerapkan efisiensi energi pada bangunan, serta upaya peningkatan pemanfaatan energi terbarukan pada bangunan/gedung, sehingga dapat mengurangi dampak perubahan iklim dan membangun lingkungan berkelanjutan.

 

Cermat Merancang Kerangka Kebijakan Energi Indonesia

Jakarta, 28 Maret 2024 – Dewan Energi Nasional (DEN) berencana untuk melakukan penyesuaian target bauran energi terbarukan. Saat ini dalam draf Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN), DEN berencana untuk menurunkan target bauran energi terbarukan nasional menjadi 17-19 persen pada tahun 2025. Sebelumnya target bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada tahun 2025.

Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai langkah ini merupakan suatu langkah mundur dari komitmen pemerintah Indonesia dalam mengawal transisi energi.

Raditya Wiranegara, Manajer Riset IESR, dalam audiensi dengan Dewan Energi Nasional menyampaikan keresahannya di balik penetapan target bauran energi terbarukan. 

“Sebelumnya IESR telah melakukan pemodelan yang sudah dipublikasikan di dalam laporan tahunan kami, Indonesia Energy Transition Outlook (IETO). Hasil pemodelan kami menunjukkan adanya perbedaan dengan hasil pemodelan yang menjadi landasan perumusan RPP KEN. Hal ini terutama terlihat di dalam pertumbuhan energi final, di mana di dalam pemodelan untuk IETO kami menggunakan asumsi pertumbuhan GDP-nya Bappenas untuk Indonesia Emas 2045,” kata Radit.

Hal ini diklarifikasi oleh Retno Gumilang Dewi, tim modeling ITB, yang membantu DEN dalam membuat modeling, bahwa angka yang saat ini beredar merupakan angka penyesuaian.

“Model yang kita hasilkan dapat dikatakan model ideal. Modeling itu kemudian dibawa untuk FGD (focussed group discussion) dan menerima berbagai masukan, sehingga disesuaikan,” kata Retno Gumilang.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam kesempatan yang sama menyampaikan bahwa dalam menyusun perencanaan energi suatu negara, penting untuk memastikan pilihan teknologi yang paling relevan dan teruji dengan perkembangan teknologi terkini.

“Langkah ini penting dan krusial untuk menghindari kita berada pada situasi lock-in oleh teknologi-teknologi yang tinggi karbon,” kata Fabby.

Fabby menambahkan jika terlanjur terjebak pada pilihan teknologi tinggi karbon, dibutuhkan investasi yang lebih besar lagi untuk keluar dari teknologi tinggi karbon tersebut. IESR juga mendorong tercapainya target-target energi terbarukan yang telah ditetapkan dalam RUPTL maupun proyek strategis nasional sebagai pendorong tumbuhnya industri energi terbarukan di dalam negeri.