Diseminasi Laporan Identifying Finance Needs For A Just Transformation of Indonesia’s Power Sector

Latar Belakang

Sebagai salah satu negara konsumen dan penghasil batubara terbesar, Indonesia menduduki peringkat ke-6 sebagai penghasil gas rumah kaca global dengan pangsa 3.11% dari total emisi global (Climatewatch, 2024). Pada tahun 2020 sendiri, sektor energi menjadi penyumbang emisi terbesar, menyusul sektor kehutanan dan lahan yang hampir selalu mendominasi pada dekade terakhir. Hal ini dipengaruhi masih tingginya konsumsi energi fosil yang masih didominasi oleh energi fosil 80% selama dekade terakhir (IEA, 2023). Menyadari akan hal tersebut, Indonesia telah menetapkan target untuk mencapai nol bersih setidaknya pada tahun 2060 atau sebelumnya, serta menaikan target sektor energi pada National Determined Contribution (NDC) menjadi 31.89% atau setidaknya menurunkan sebesar 915 MtonCO2. Pemerintah pun saat ini sudah menetapkan untuk tidak lagi membangun PLTU baru dan berencana untuk mempensiunkan beberapa PLTU yang tercantum pada Perpres 112/2022. Langkah ini menjadi sinyal bagi Indonesia untuk mempersiapkan dampak dari ketergantungan energi fosil sesegera mungkin.

Berkembangnya narasi transisi energi menimbulkan kekhawatiran akibat adanya risiko transisi yang ditimbulkan. Bukan lagi hanya kendala teknis maupun keekonomian yang menjadi perbincangan, namun juga mempertimbangkan aspek sosial, lingkungan, dan ekonomi terhadap pihak yang terdampak dari adanya transisi. Dari hal tersebut, diskusi narasi transisi energi pun menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan dari prinsip berkeadilan. Hal ini sejalan dengan Perjanjian Paris yang mendorong adanya transisi berkeadilan, khususnya pada sektor tenaga kerja yang sesuai dengan agenda pembangunan prioritas (EBRD, 2024). Diskursus global dan nasional terkait transisi energi dalam beberapa tahun terakhir sangat intens, terutama terkait pemberhentian pembangkit listrik tenaga fosil erat sekali dengan praktik transisi berkeadilan bagi masyarakat dan komunitas yang berada di sekitar PLTU maupun di daerah tambang batubara. Selain itu, transisi energi juga membutuhkan pendekatan yang berkeadilan di daerah-daerah yang nantinya juga terdampak untuk mendukung transisi tersebut, misalnya daerah tambang batu bara, tambang dan kawasan industri mineral kritis, serta wilayah pembangunan PLT EBT. Hal ini semakin diperkuat pada COP 28 tahun 2023 lalu dimana pada pertemuan tingkat menteri disebutkan bahwa transisi tidak akan terjadi kecuali dilakukan dengan secara berkeadilan. Momentum tersebut menjadikan agenda transisi berkeadilan menjadi fokus perbincangan baik di level nasional dan internasional.

 

Tujuan

Adanya kegiatan ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut 

  • Menjaring informasi terkait kebijakan dalam membangun kerangka transisi berkeadilan yang sesuai aspek pembangunan ekonomi nasional dan daerah untuk dimasukkan ke dalam rencana pembangunan jangka menengah; 
  • Mengidentifikasi tantangan dan peluang yang dihadapi oleh berbagai pemangku kepentingan, terutama CSO, think tank dan akademia dalam membawa isu transisi berkeadilan;
  • Membangun kemitraan dengan CSO, think tank, mitra pembangunan, dan akademisi untuk penyelarasan pesan yang disampaikan.

Presentasi

Identifying finance needs for a just transformation of Indonesia’s power sector : An analysis using the Just Energy Transition Finance Needs tool // JET-FIN – Reena Skribbe and Farah Vianda

IndonesiaJETP_FinanceNeeds_NewClimate_IESR_FGD_30042024

Download

Energi Terbarukan Perlu Merajai Asia Tenggara

Jakarta, 27 Maret 2024– Asia Tenggara tergolong kawasan dengan perekonomian yang menduduki peringkat ke-5 terbesar di dunia pada 2022. Aktivitas ekonomi yang tinggi di kawasan Asia Tenggara, membuat proyeksi emisi gas rumah kaca (GRK) yang dikeluarkan mencapai 60 persen pada 2050. Penurunan emisi kawasan akan berdampak signifikan terhadap upaya pengurangan emisi global. Sayangnya, upaya penurunan emisi dengan pemanfaatan energi terbarukan di Asia Tenggara belum sejalan dengan Persetujuan Paris untuk membatasi suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) pada Konferensi Internasional Revision 2024 di Tokyo (14/3) menyebutkan negara yang tergabung dalam ASEAN mempunyai target untuk mencapai bauran energi terbarukan di kawasan sebesar 23 persen pada 2025. Namun, menurutnya, target ini tidak selaras dengan Persetujuan Paris.

“Agar memenuhi Persetujuan Paris, bauran energi terbarukan harus mencapai 55 persen, dengan energi terbarukan variabel (variable renewable energy, VRE) berkontribusi sebesar 42 persen. Kecuali Vietnam, Kamboja, dan Filipina, negara-negara lain belum mencapai penetrasi energi terbarukan sebesar 5 persen. Kabar baiknya, pada tahun 2023, negara-negara ASEAN akan memiliki lebih dari 28 GW kapasitas pembangkit listrik tenaga surya dan angin yang beroperasi, atau meningkat 20 persen dari kapasitas yang beroperasi sejak tahun lalu. Saat ini, kapasitas tersebut mencapai 9 persen dari total kapasitas listrik negara-negara ASEAN. Namun, agar negara-negara ASEAN dapat mencapai target tersebut, mereka perlu memasang lebih banyak energi terbarukan,” jelas Fabby.

Fabby melanjutkan, sumber daya energi terbarukan di Asia Tenggara tergolong melimpah , dengan 40-50 kali lebih besar dari kebutuhan energi tahun ini. Pemanfaatan PLTS terapung dapat menjadi salah satu pilihan strategis dalam dekarbonisasi sistem energi di kawasan. Ia mengurai, setidaknya terdapat potensi teknis PLTS terapung sebesar 134 hingga 278 GW untuk waduk, 343 hingga 768 GW untuk permukaan air alami seperti sungai, danau, laut. Potensi teknis ini bervariasi di setiap negara. Ia menilai, penghitungan yang rinci mengenai potensi teknis pasar dan ekonomi, serta  potensi tekno-ekonomi spesifik lokasi harus dilakukan untuk mengembangkan PLTS terapung.

Ia juga menyoroti kawasan Asia Tenggara perlu mempunyai kebijakan yang lebih ambisius, memberikan dukungan anggaran dan insentif yang kuat, dan menciptakan lebih banyak kebijakan yang menarik investasi. Investasi tahunan rata-rata dalam kapasitas energi terbarukan harus ditingkatkan hingga lima kali lipat menjadi USD 73 miliar per tahun.

Fabby menegaskan negara-negara di Asia Tenggara harus meningkatkan ambisi mereka untuk memenuhi target Persetujuan Paris. Sebagai langkah dekat, ASEAN perlu mencapai 23 persen bauran energi terbarukan pada 2025, dan 40 persen pada 2030.

“Banyak kajian menunjukkan Asia Tenggara punya potensi energi terbarukan yang besar dan cukup untuk dekarbonisasi. Namun secara kebijakan dan aksi saat ini dinilai masih kurang untuk mencapai dekarbonisasi pada 2050.  Investasi yang sangat besar untuk energi terbarukan mengharuskan setiap negara untuk mereformasi kebijakan dan mengelola risiko yang terkait dengan proyek energi terbarukan, agar dapat menarik dan memobilisasi investor,” imbuh Fabby.

Lebih jauh, ia mendorong agar tidak meneruskan narasi yang menitikberatkan pada mempertahankan energi fosil sebagai pembangkit beban puncak (baseload), dan mengaitkannya dengan upaya menjaga ketahanan energi, serta mengesampingkan energi terbarukan. Menurutnya, narasi semacam ini justru mengganggu dan tidak sejalan dengan semangat Persetujuan Paris.

Webinar Perkembangan Transisi Energi Asia Tenggara

Untuk mendukung proses transformasi rendah karbon, sangat penting untuk memperkuat kerja sama di antara para pemangku kepentingan utama di negara-negara Asia Tenggara. Pencapaian tujuan ini akan menghadapi tantangan yang berbeda karena beberapa negara lebih maju dalam hal infrastruktur energi terbarukan dan instrumen keuangan dibandingkan dengan negara lain.

Continue reading

Invasi Rusia Dapat Mempengaruhi Transisi Energi di ASEAN

Jakarta, 5 April 2022 – Invasi Rusia ke Ukraina selama sebulan terakhir memicu beragam reaksi global, terutama pada masalah keamanan energi. Rusia dikenal sebagai eksportir minyak dan gas global, dengan invasi yang terjadi, para pemimpin global mengambil sikap untuk memberikan sanksi untuk tidak membeli gas dari Rusia. Apakah ini baik atau buruk? Mungkin membutuhkan waktu yang lebih lama untuk melihat dampaknya, namun satu hal yang pasti, sanksi Rusia menjadi salah satu pemicu bagi negara-negara Uni Eropa (UE) untuk mempercepat transisi energinya dan memastikan energy security serta mengurangi ketergantungannya pada bahan bakar fosil.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), mengatakan bahwa tindakan UE untuk memastikan keamanan energi mereka mempercepat transisi.

“Negara-negara UE mencoba mengurangi ketergantungan mereka pada bahan bakar fosil dengan mengembangkan teknologi seperti hidrogen hijau untuk memastikan keamanan energi mereka. Ini adalah kabar baik bagi kawasan UE namun memiliki efek domino karena negara-negara seperti Jerman berkomitmen untuk mendukung transisi energi di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Situasi saat ini dapat mempengaruhi kecepatan dan pendanaan untuk transisi energi di negara-negara berkembang,” jelasnya.

Pendanaan yang cukup sangat penting untuk dekarbonisasi seluruh sistem energi. Pendanaan yang cukup berarti pemerintah akan mampu membangun infrastruktur energi rendah karbon yang modern. Karena sebagian besar negara berkembang terletak di kawasan Asia Tenggara, daerah ini telah menjadi hotspot untuk dekarbonisasi. Sebagai salah satu wilayah terpadat, permintaan energi di Asia Tenggara terus meningkat. Memastikan kawasan memiliki pendanaan yang cukup untuk mengubah sistem energinya menjadi sistem yang lebih bersih akan menjadi salah satu faktor penentu dekarbonisasi global.

Terdiri dari sepuluh negara, ASEAN memiliki karakteristik yang berbeda dalam mengembangkan mekanisme transisi energi berdasarkan prioritas nasional masing-masing negara. Berbagai situasi tersebut menciptakan peluang yang berbeda, satu kesamaannya adalah sumber energi terbarukan, terutama surya, tersedia melimpah. Fabby menambahkan, energi surya dalam waktu dekat akan menjadi komoditas seperti minyak dan gas saat ini.

“Oleh karena itu, penting bagi ASEAN untuk memiliki fasilitas manufaktur (untuk panel surya). Untuk memastikan transfer teknologi operasional bagi fasilitas manufaktur dari produsen utama adalah suatu keharusan, ”kata Fabby.

Sara Jane Ahmed, Founder, Financial Futures Center Advisor, Vulnerable 20 Group of Finance Ministers, menambahkan bahwa kemitraan akan menjadi kunci bagi negara-negara ASEAN dalam mempercepat transisi energi.

“Saat ini, Cina sebenarnya dapat berperan lebih besar dengan menyediakan dana dan mentransfer teknologinya ke negara-negara ASEAN,” ujarnya.

Transisi Energi yang Berkeadilan Membutuhkan Kebijakan Atraktif, Regulasi, dan Akses Pembiayaan

Jakarta, 29 Maret 2022 – Transisi energi yang berkeadilan menjadi salah satu isu prioritas Kepresidenan G20 Indonesia 2022. Mencermati isu transisi energi yang berkeadilan, Yudo Dwinanda Priaadi, ketua Energy Transition Working Group, menjelaskan ada tiga isu terkait transisi energi yang akan didorong yaitu akses energi, teknologi, dan pembiayaan.

Transisi energi adalah perubahan seluruh sistem energi dari yang berbasis bahan bakar fosil menjadi berbasis energi terbarukan. Hal ini melibatkan reformasi multi-sektor untuk sampai ke sana. Memastikan akses energi disediakan dengan biaya dan cara yang terjangkau adalah penting sebagaimana disebutkan dalam Sustainable Development Goals (SDGs) 7 yaitu energi yang terjangkau dan bersih. Oleh karena itu penyediaan infrastruktur energi bersih sebagai langkah awal transisi energi menjadi sangat penting.

Dalam konteks Indonesia, semua teknologi energi bersih saat ini dikembangkan oleh negara lain. Untuk menghindari Indonesia hanya menjadi pasar bagi negara lain yang ‘menjual’ teknologinya, kita membutuhkan pengetahuan tentang teknologi dan bahkan harus mampu memproduksi teknologi itu sendiri.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, menilai isu terpenting transisi energi saat ini adalah memastikan tersedianya pembiayaan yang cukup.

“Jika kita memiliki pembiayaan yang cukup, kita dapat mengakses teknologi dan membangun infrastruktur energi bersih. Pada saat yang sama kita juga akan menciptakan sistem ekonomi rendah karbon di dalam negeri,” ujarnya.

Luiz de Mello, Direktur Departemen Ekonomi OECD, menambahkan bahwa ada peluang untuk membuat kemajuan dalam ekonomi rendah karbon ketika dunia berusaha keluar dari situasi pandemi. Menurut dia, setidaknya ada tiga hal yang harus dilakukan pemerintah, antara lain memobilisasi investasi untuk infrastruktur rendah karbon, menetapkan regulasi dan standarisasi, serta mengelola investasi tenaga kerja termasuk pelatihan dan pelatihan ulang bagi mereka yang sebelumnya bekerja di industri fosil.

“Di tingkat internasional kita juga membutuhkan koordinasi kebijakan karena kita menangani masalah global, maka kita juga membutuhkan solusi global,” tambah Luiz.

Pemerintah juga harus menyediakan regulasi dan perencanaan yang dapat diprediksi untuk menarik investor berinvestasi dalam proyek energi terbarukan. Frank Jotzo, Head of Energy, Institute for Climate Energy and Disaster Solutions, Australia National University, menekankan pentingnya menyediakan instrumen pengurangan risiko (de-risking instrument) untuk mempercepat transisi energi.

“Kami menyadari bahwa investasi yang dibutuhkan (untuk transisi energi) sangat besar, namun ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk mencari cara membiayai transisi tersebut. Perlu dipahami bahwa, pembiayaan ini adalah investasi yang produktif di mana sebagian besar uang digunakan untuk biaya awal, dan nantinya kita dapat menikmati energi bersih tanpa terlalu banyak mengeluarkan biaya,” jelas Frank.

Sebagai Presiden G20, proses transisi energi Indonesia menjadi sorotan. Masyita Crystallin, Penasihat Khusus Menteri Keuangan Bidang Kebijakan Makroekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan Indonesia, menyampaikan bahwa Pemerintah Indonesia mengupayakan transisi energi yang berkeadilan.

“Tentu kita bertujuan untuk transisi energi yang berkeadilan, artinya aset yang terlantar harus dijaga dan pekerja yang dulu bekerja di industri fosil atau pertambangan terlindungi,” jelasnya.

Masyita juga menekankan bahwa mekanisme kebijakan global harus siap juga untuk mendukung transisi yang terjadi di tiap negara.

Sektor Komersial dan Industri Siap Dorong Penggunaan PLTS Atap

Jakarta, 15 Maret 2022 – Perkembangan PLTS atap di Indonesia dalam tiga tahun terakhir sangat pesat. Mengutip catatan Kementerian ESDM, terdapat kenaikan kapasitas terpasang yang cukup signifikan dari kurang dari 1,6 MW pada tahun 2018 menjadi 48,79 MW pada tahun 2021. Hal ini tentu merupakan hal yang menggembirakan. Tenaga surya telah menjadi energi bersih yang biayanya salah satu yang termurah saat ini. Penggunaan energi surya secara masif menjadi strategi pemerintah Indonesia untuk mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025. Selain proyek PLTS skala besar, pemerintah mencanangkan PLTS atap sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) sebesar 3,6 GW.

Selain memanfaatkan potensi teknis energi surya di daerah tempatnya beroperasi, terdapat kebutuhan di sektor komersial dan industri untuk menggunakan energi yang bersih dalam produksi maupun operasional bisnisnya. Nurul Ichwan, Deputi Perencanaan Penanaman Modal – BKPM dalam webinar “Business Going Green” yang diselenggarakan Kementerian ESDM dan Institute for Essential Services Reform, menyebutkan bahwa sebanyak 349 perusahaan multinasional yang beberapa anak perusahaannya juga di Indonesia, telah mengeluarkan komitmen untuk menggunakan 100% energi terbarukan dalam aktivitas bisnisnya (RE100). 

“Selain itu, aturan lain seperti carbon border adjustment mechanism yang akan mulai diterapkan di Uni Eropa tentu mendorong perusahaan untuk beralih pada energi terbarukan supaya dapat kompetitif dengan tuntutan pasar, yang paling mudah ya PLTS atap,” jelas Ichwan.

Ichwan juga menambahkan bahwa sebagai offtaker, PLN memegang peran penting dalam proses transisi energi ini. 

“Pertimbangan besarnya ada di PLN, jika mereka tidak bisa menerima pasokan energi terbarukan dengan maksimal, proses transisi ini juga tidak akan berjalan cepat,” jelasnya.

Kebutuhan sektor industri untuk mengurangi emisi karbon dibenarkan oleh Karyanto Wibowo, Direktur Sustainable Development DANONE, yang menjelaskan bahwa perusahaannya terus berupaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari aktivitas bisnisnya, mulai dari efisiensi energi, carbon offsetting, dan pemasangan PLTS atap pada fasilitas pabrik.

“Kami berencana untuk menggunakan 100% energi terbarukan (RE100) pada tahun 2030, saat ini kami sudah memasang PLTS atap dengan total kapasitas sebesar 6,2 MWp di 5 lokasi. Dengan instalasi ini, energi bersih yang dihasilkan baru sebesar 15%, kami masih harus mengejar 85% lainnya sampai 2030,” jelas Karyanto.

Karyanto melanjutkan inovasi regulasi untuk skema power wheeling akan sangat membantu sektor industri dalam pemanfaatan energi terbarukan. 

Dari sisi pengembang, George Hadi Santoso, Vice President Marketing Xurya Daya menyoroti beberapa kendala pemasangan PLTS atap terkait perizinan dari PLN.

“Kendala banyak kami temui di Jawa Barat dan Jawa Tengah. PLN tidak responsif, dan belum menjalankan regulasi yang dikeluarkan Kementerian ESDM. Pernah juga kami diminta untuk menjadi konsumen premium terlebih dahulu,” jelas George.

Ketersediaan kWh ekspor impor juga masih menjadi permasalahan lambatnya alur pemasangan PLTS atap. 

Aries, Divisi APP PLN, yang juga hadir secara daring mengklarifikasi bahwa untuk aturan yang saat ini dijalankan PLN masih mengacu pada Peraturan Menteri ESDM 49/2018 yang diturunkan dalam Peraturan Direksi PLN nomor 18 dan 49. Aturan turunan untuk Peraturan Menteri ESDM nomor 26/2021 yang merupakan pembaruan Permen 49/2018 tentang PLTS atap masih dalam proses penyusunan oleh PLN. 

“Pelayanan di unit-unit PLN sangat dipengaruhi dengan kondisi antrian. Memang perlu diatur lagi mekanisme pelayanan di tiap unit supaya semua konsumen dapat dilayani dengan baik,” terang Aries.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dan Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia mengingatkan bahwa Permen ESDM nomor 26/2021 sudah resmi berlaku per 22 Januari 2022, jadi mestinya per tanggal tersebut sudah dilaksanakan.

“Harapan saya kondisi ini bisa segera diselesaikan sehingga ada kejelasan untuk pengurusan perizinan dari awalnya 15 hari menjadi 5 hari,” tukas Fabby.

Industri yang bergerak di bidang jasa yang hadir dalam forum ‘Business Going Green’ ini membagikan kiatnya untuk ikut ambil bagian dalam upaya dekarbonisasi ini. Antonius Augusta, Direktur Eksekutif Deloitte Indonesia, menyatakan bahwa di lembaganya aksi pengurangan emisi diturunkan pada aksi individual.

“Secara global, kami berkomitmen untuk menggunakan 100% energi terbarukan pada 2030 di gedung kantor dan menggunakan kendaraan listrik sebagai kendaraan operasional. Di Indonesia sendiri, aksi sustainability dilakukan dengan melihat lagi metode kerja untuk mengurangi perjalanan dinas. Beberapa karyawan juga sudah ada yang menggunakan PLTS atap sebagai inisiatif pribadi untuk ikut mengurangi emisi,” jelas Augusta.

Pemilihan vendor dan supplier yang juga memiliki komitmen sustainability yang kuat menjadi salah satu strategi Pricewaterhouse Coopers (PwC) Indonesia. Marina Mallian, Human Capital Business Partner PwC Indonesia menjelaskan bahwa pihaknya lebih menitikberatkan sustainable action yang terintegrasi dalam aktivitas sehari-hari karyawan, seperti mengutamakan destinasi pertemuan lokal juga melakukan carbon offsetting.

“Untuk instalasi energi terbarukan seperti PLTS kami agak sulit ya karena gedung (kantor) bukan milik kami. Untuk penggantian kendaraan ke EV (electric vehicle) pun, ada kekhawatiran di kami akan ketersediaan infrastruktur pengisian baterai.”