Mencecar Komitmen Iklim Usai COP 28

Jakarta, 20 Desember 2023 – KTT Iklim COP 28 di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA) telah berakhir pada Rabu (13/12/2023) siang, dengan menghasilkan beberapa kesepakatan diantaranya  menyerukan peralihan dari transisi bahan bakar fosil, serta meningkatkan kapasitas energi terbarukan global sebanyak tiga kali lipat. Selain itu, COP 28 berhasil menggalang pendanaan senilai USD 85 miliar serta 11 janji dan deklarasi yang berkomitmen terhadap aksi iklim. 

Sicha Alifa Makahekum, Staff Program Ekonomi Hijau, Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai adanya berbagai kesepakatan tersebut sebaiknya diiringi dengan komitmen pendanaan yang kuat. Menurutnya, tanpa dukungan finansial yang memadai, pencapaian target-target tersebut mungkin akan sulit dilakukan. Pendanaan USD 85 miliar dari hasil COP 28 dapat menjadi langkah awal yang signifikan. Namun, perlu adanya komitmen lebih lanjut baik dari pemerintah maupun sektor swasta untuk memastikan bahwa angka tersebut tidak hanya menjadi angka nominal, tetapi benar-benar tersalurkan untuk mendukung aksi iklim. 

“Seiring kesepakatan tersebut, Indonesia sendiri juga memiliki target untuk mencapai 44% bauran energi terbarukan pada 2030 dalam kerangka Just Energy Transition Partnership (JETP). Pemerintah Indonesia perlu fokus juga untuk mengejar target JETP, melakukan reformasi kebijakan dan peningkatan komitmen pembuat kebijakan untuk mengejar target JETP,” ujar Sicha di X Space IESR dengan topik “After COP28, What’s Next?pada Rabu (20/12).

Arief Rosadi, Koordinator Proyek Diplomasi Iklim, IESR menyatakan, untuk pertama kalinya COP 28 membahas hasil dari Global Stocktake atau Inventarisasi Global. Dari penilaian tersebut, Indonesia tidak bisa mencapai target pada Persetujuan Paris 2015 dan perlu mengejar ketertinggalannya. 

“Indonesia perlu melakukan penguatan komitmennya melalui  second NDC yang akan lebih ambisius dan akan lebih selaras pada upaya-upaya untuk menjaga agar kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi tidak lebih dari 1,5°C. Saya berharap NDC terbaru nantinya dapat merefleksikan untuk mengejar target kapasitas energi terbarukan global sebanyak tiga kali lipat serta meningkatkan efisiensi energi juga serta mampu mengakomodir konsep just transition secara jelas,” papar Arief Rosadi.

Arief menekankan, second NDC juga perlu merefleksikan isu lainnya berkaitan dengan perubahan iklim di tingkat tapak. Misalnya saja, gender dan inklusi sosial, indikatornya harus terukur detail dan perlu membuat peta jalan yang selaras dari kebijakan iklim serta strateginya. Lebih lanjut, berkaitan dengan sektor energi, Arief menyatakan, diperlukan komunikasi yang intens di tingkat pemerintah nasional serta harmonisasi kebijakan yang sudah ada dengan dokumen kebijakan iklim terbaru. 

“Apabila kita melihat lima tahun terakhir, proses updating kebijakan iklim di Indonesia sangat cepat. Hanya saja, tantangannya yakni proses harmonisasi di tingkat pemerintah memerlukan waktu yang lebih banyak. Semua sektor terkait perubahan iklim pasti akan diarahkan untuk pemenuhan target NDC,” ujar Arief. 

Menjelang Pemilu 2024, Arief dan Sicha berharap agar calon presiden serta calon legislatif yang terpilihnya dapat meningkatkan urgensi dalam menangani perubahan iklim. Salah satunya dengan menggencarkan isu perubahan iklim dan transisi energi. 

“Polarisasi terhadap isu perubahan iklim iklim makin parah akibat efek ruang gema (echo chamber) dalam media sosial, di mana paparan informasi hanya menggemakan satu suara penyangkalan dan kebal koreksi dari penjelasan ilmiah. Selain itu, terkadang hanya kalangan tertentu saja yang membahasnya. Kita harus bisa membuat orang awam juga mengerti urgensi perubahan iklim dan transisi energi. Selain itu, kita juga perlu mengintensifkan pendekatan bilateral untuk melakukan dekarbonisasi, tidak hanya aktif di dalam forum internasional semata,” tegas keduanya. 

Memacu Industri Baterai Kendaraan Listrik Secara Berkelanjutan

Farid Wijaya, Analis Senior Bahan dan Energi Terbarukan, Institute for Essential Services Reform (IESR)

Jakarta, 19 Desember 2023 – Dalam beberapa tahun terakhir, transisi energi telah menjadi fokus utama di berbagai negara, termasuk Indonesia. Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mempromosikan peralihan dari sumber energi konvensional ke energi terbarukan. Salah satu langkah strategis yang ditekankan adalah pengembangan kendaraan listrik. Dukungan ini diwujudkan melalui berbagai insentif, termasuk keringanan pajak, untuk mempercepat pertumbuhan industri kendaraan listrik serta perluasan pasar.

Farid Wijaya, Analis Senior Bahan dan Energi Terbarukan, Institute for Essential Services Reform (IESR) memaparkan, salah satu komponen utama dalam kendaraan listrik yang memungkinkan kinerja dan efisiensi tinggi adalah baterai. Untuk itu, nikel menjadi bahan baku kunci dalam pembuatan baterai kendaraan listrik. Berdasarkan International Energy Agency (IEA), tren transisi energi akan meningkatkan permintaan nikel di pasar global. Apalagi dengan adanya permintaan kendaraan ramah lingkungan yang menggunakan baterai listrik. Pada tahun 2040 mendatang, kendaraan listrik diproyeksi akan menguasai 58 persen kendaraan global.

“Sayangnya, peningkatan permintaan nikel dapat mengakibatkan ketergantungan yang lebih besar pada sumber daya alam. Proses penambangan dan pemurnian nikel dapat menimbulkan dampak lingkungan yang signifikan, termasuk deforestasi, pencemaran air, dan kerusakan ekosistem. Untuk itu, kita perlu memperhatikan pengelolaannya agar memenuhi analisis dampak lingkungan (AMDAL) dan standar lingkungan hidup, serta unsur keadilan sosial,” ujar Farid Wijaya di Forum Group Discussion (FGD) dengan judul “Rantai Pasok Baterai Kendaraan Listrik: Bekerjasama Membangun Rantai Pasok yang Berkelanjutan” yang diselenggarakan oleh Traction Energy Asia pada Selasa (19/12). 

Farid menuturkan,  industri pertambangan dan pemurnian nikel sarat dengan pelanggaran hak asasi manusia dan kerusakan lingkungan. Untuk itu, berdasarkan analisis IESR terdapat beberapa hal perlu dipertimbangkan dalam mengoptimalkan hilirisasi nikel melalui industrialisasi ramah lingkungan. Pertama, perizinan dari tata kelola pertambangan dan pemurnian nikel perlu ditinjau ulang dan berlaku pencabutan izin beserta denda. Misalnya, masalah administrasi, lingkungan dan ketidakadilan sosial. 

“Kedua, pembuatan peta jalah oleh masing-masing industri untuk melakukan dekarbonisasi. Ketiga, pengembangan dan implementasi Standar Industri Hijau (SIH) untuk pertambangan dan pemurnian nikel,” tegas Farid Wijaya. 

Lebih lanjut, Farid menekankan peningkatan yang perlu dilakukan untuk mengoptimalkan hilirisasi nikel melalui industrialisasi ramah lingkungan, seperti penggunaan teknologi bersih ramah lingkungan, konservasi energi dan kepatuhan terhadap standar lingkungan hidup serta analisis mengenai AMDAL. Tidak hanya itu, perlu pula perhatian terhadap  keamanan dan keselamatan pekerja serta konsultasi pemangku kepentingan. 

Di lain sisi, Farid juga memaparkan, dunia akan dibanjiri dengan baterai lithium ion besar yang sudah habis masa pakainya dan perlu dibuang seiring peningkatan jumlah kendaraan listrik di jalan raya secara global. Untuk itu, proses daur ulang dibutuhkan untuk memulihkan sebagian besar bahan aktif baterai. Pada tahun 2040, IEA memperkirakan 10% permintaan dapat dipenuhi dengan mendaur ulang baterai bekas. 

“Apabila baterai lithium ion (LIB) bekas dibuang begitu saja dan ditimbun dalam jumlah besar bisa menyebabkan infiltrasi logam berat beracun ke dalam air bawah tanah, yang mengakibatkan pencemaran lingkungan. Begitu juga LIB bekas dibakar sebagai limbah padat, hal tersebut akan menghasilkan sejumlah besar gas beracun. Misalnya hidrogen fluorida (HF) dari elektrolit di dalam LIB, yang dapat mencemari atmosfer. Oleh karena itu, penanganan limbah dari baterai bekas ini sangat dibutuhkan. Tak hanya itu, daur ulang menjadi penting untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor luar negeri,” tukas Farid Wijaya.

Penguatan Komitmen Pemerintah dalam Mitigasi Perubahan Iklim

Jakarta, 15 Desember 2023 – Pemerintah Indonesia terus berbenah dalam hal penguatan komitmen mitigasi perubahan iklim. Sejak mulai gencar komitmen mitigasi iklim pada tahun 2021, Pemerintah Indonesia terus melakukan tindak lanjut melalui berbagai penjajakan komitmen pendanaan dan pembuatan peta jalan dekarbonisasi di setiap sektor.

Nurcahyanto, Analis Kebijakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menuturkan dalam peluncuran laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2024 yang diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform bahwa salah satu upaya yang saat ini sedang dilakukan pemerintah melalui Kementerian ESDM adalah dengan melakukan revisi Kebijakan Energi Nasional (KEN). Diharapkan hasil revisi KEN akan lebih relevan dengan upaya Indonesia saat ini untuk melakukan dekarbonisasi secara menyeluruh utamanya pada sektor ketenagalistrikan.

“Revisi target (KEN) hanya sebuah cara dari angka namun dari sisi implementasi harus didukung regulasi dan perlu kita optimalkan. Misalnya dalam melakukan pensiun dini PLTU, perlu disiapkan peta jalan, serta konsolidasi dengan K/L terkait,” katanya.

Terbitnya Perpres 112/2022 menjadi salah satu dokumen pedoman dekarbonisasi Indonesia sektor ketenagalistrikan, dengan poin utama percepatan penghentian PLTU batubara.

August Axel Zacharie, Head of Energy Cooperation, Kedutaan Denmark mengungkapkan bahwa dalam konteks global, posisi Indonesia sebagai negara berkembang (emerging economies) menjadi daya tarik investasi tersendiri, namun Indonesia perlu menyiapkan ekosistem yang suportif. 

“Kebutuhan investasi untuk transisi energi yang mencapai kira-kira 1 triliun USD hingga 2050, harus dipandang bukan sekedar membangun infrastruktur namun dalam kebutuhan biaya ini terdapat aspek komunitas, transisi pekerjaan, kualitas hidup, dan aspek non-fisik lainnya,” tambah August. 

Masih terkait dengan kebutuhan investasi energi terbarukan yang tinggi, dan kewajiban pemerintah untuk menjamin ketahanan energi, Pemerintah Indonesia menggelontorkan subsidi energi. Namun kebijakan ini bukanlah kebijakan yang berkelanjutan.

Evita Herawati Legowo, Senior Fellow PYC, menyatakan bahwa perlu dipikirkan metode yang lebih tepat sasaran untuk pemberian subsidi energi ini. 

“Perlu keterlibatan seluruh pihak dalam hal ini, bukan hanya kolaborasi namun pembagian tugas yang jelas siapa melakukan apa, mulai dari industri, penelitian, energi, juga investor,” kata Evita.

Komitmen Pemerintah Indonesia untuk melakukan dekarbonisasi menjadi suatu panduan mengikat. Disampaikan oleh Unggul Priyanto, Perekayasa Ahli Utama, BRIN utamanya setelah tahun 2060, seluruh sumber energi harus berasal dari sumber energi bersih.

“(Penggunaan-red) LNG, atau gas alam merupakan salah satu opsi selama transisi. Namun setelah 2060 mau nggak mau harus diganti dengan (sumber energi-red) yang benar-benar bersih,” katanya.

Tukar Wawasan Pengembangan Manufaktur Industri Surya Lokal di Indonesia dan Vietnam

Ha Noi, 14 Desember 2023 – Kementerian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Vietnam menyelenggarakan acara tahunan: Forum Teknologi dan Energi 2023, bekerja sama dengan Kementerian Perindustrian dan Perdagangan dan proyek Clean, Affordable and Secure Energy for Southeast Asia di Vietnam. Dalam beberapa tahun terakhir, tren transisi energi di Vietnam mengalami perkembangan yang besar, terutama pada PLTB dan PLTS. Pada akhir tahun 2022, total kapasitas dari PLTB dan PLTS mencapai 20.165 MW, yang berkontribusi 25,4% dari total kapasitas daya dalam sistem.

Namun, terlepas dari kemajuan tersebut, 90% peralatan untuk proyek energi terbarukan di Vietnam diimpor dari negara-negara seperti Cina, Jerman, India, dan Amerika Serikat. Ketergantungan ini disebabkan oleh terbatasnya kemampuan negara untuk melakukan tugas-tugas spesifik selama fase penilaian dan pengembangan proyek dan ketergantungan yang tinggi pada teknologi impor. Faktor yang berkontribusi terhadap situasi ini, di antaranya kapasitas teknologi lokal yang tidak memadai, tingkat produksi yang tidak memenuhi persyaratan, dan kurangnya dukungan dari kebijakan dan mekanisme industri untuk mendorong listrik terbarukan.

Akibatnya, perusahaan-perusahaan Vietnam dan rantai pasokan lokal mengalami partisipasi yang terbatas. Demikian pula, Indonesia menghadapi tantangan yang sama dalam pengadaan energi terbarukan, khususnya tenaga surya. Meskipun kedua negara ini memiliki potensi tenaga surya yang sangat besar, pasar domestik mereka belum siap untuk manufaktur tenaga surya. Kekurangan ini berasal dari ketidakpastian dalam permintaan lokal dan kurangnya daya saing dalam rantai pasokan lokal.

Fabby menjelaskan mengenai regulasi konten lokal yang dapat meminimalisir ketergantungan pada produk impor.

“Indonesia saat ini sedang menghadapi masalah pasar domestik, produk-produk lokal ini menghadapi kesulitan untuk masuk ke pasar. Kurangnya jalur pengembangan yang kredibel membatasi kelayakan finansial untuk fasilitas manufaktur modul surya baru. Untuk PLTS atap, PLN membatasi kapasitas instalasi hingga 15%. Peraturan ini semakin menghambat pasar modul surya dalam negeri,” kata Fabby.

Fabby kemudian menyoroti beberapa pelajaran yang dapat dipetik dari penerapan Tingkat Kemampuan Dalam Negeri di Indonesia (TKDN), yang berpotensi mempercepat pengembangan konten lokal energi surya Vietnam. Pertama, terlepas dari proyeksi pertumbuhan tenaga surya, tersedianya jalur distribusi modul surya yang jelas akan mengirimkan sinyal pasar yang cukup kuat untuk mendorong pertumbuhan industri modul surya. Kedua, ketidakkonsistenan dalam kebijakan di seluruh badan pemerintah dapat menghambat investasi di pasar tenaga surya karena meningkatnya ketidakpastian. Ketiga, dukungan untuk industri modul surya dalam negeri harus mencakup industri bahan baku hilir untuk mengurangi ketergantungan impor dan meningkatkan daya saing produk akhir. Terakhir, pemerintah harus memberikan insentif, baik fiskal maupun non-fiskal, untuk mendorong pengembangan fasilitas manufaktur modul surya. Fabby menekankan bahwa TKDN, tanpa iklim investasi yang kondusif untuk industri, mungkin akan menghambat, bukannya mendorong pengembangan tenaga surya.

Persiapan Transisi Energi di Sumatera Selatan bagi Kaum Muda

Palembang, 5 Desember 2023 – Meningkatnya intensitas bencana hidrometeorologi dalam satu dekade terakhir mengindikasikan perubahan iklim sedang berlangsung saat ini. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres, menyebut bahwa di tahun 2023 bumi telah memasuki era pendidihan global (global boiling), di mana bulan Juli 2023 tercatat sebagai hari terpanas sepanjang sejarah.

Perubahan iklim terjadi akibat tingginya emisi gas rumah kaca. Sektor energi termasuk penghasil emisi tertinggi, terutama dengan penggunaan energi fosil seperti batubara. Indonesia merupakan salah satu negara dengan produsen batubara, dengan 80% hasil batubaranya untuk kebutuhan ekspor. Produksi batubara Indonesia terkonsentrasi pada empat provinsi di Indonesia yaitu Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, dan Sumatera Selatan. Sumatera Selatan merupakan lumbung pangan dan energi untuk pulau Sumatera. Batubara yang dihasilkan Sumatera Selatan akan digunakan untuk membangkitkan listrik yang memasok seluruh kebutuhan listrik di pulau Sumatera bahkan menurut proyeksi akan mengekspor listrik hingga ke Singapura.

Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam kuliah umum di Universitas Sriwijaya mengutip survey terkait fenomena perubahan iklim yang sedang terjadi ini, orang muda dengan rentang usia 24-39 tahun memiliki kekhawatiran tinggi terhadap krisis iklim dan dampaknya.

“Transisi energi menjadi suatu upaya sistematis untuk memitigasi dampak krisis iklim yang semakin sering kita rasakan,” ujar Marlistya Citraningrum yang akrab disapa dengan Citra.

Perubahan sistem energi ini juga membawa dampak ikutan lainnya yaitu tumbuhnya kebutuhan tenaga kerja yang memiliki skill dan wawasan keberlanjutan. 

Namun antusiasme anak muda untuk terjun di bidang pekerjaan hijau terbentur beberapa hal, salah satunya masih terbatasnya informasi tentang pekerjaan hijau dan lowongan kerja di bidang pekerjaan hijau. 

“Dalam proses transisi energi, anak-anak muda dapat mengambil peran sesuai dengan keahlian masing-masing, tidak terbatas pada bidang teknik engineering saja. Jurusan sosial seperti ekonomi, hubungan internasional juga dapat berkontribusi pada proses transisi energi,” kata Citra.

Citra menambahkan bahwa saat ini sejumlah tantangan masih dihadapi pengembangan pekerjaan hijau di Indonesia, salah satunya terkait sertifikasi. Saat ini sertifikasi pekerjaan hijau masih terbatas pada sektor teknis yang terkait dengan pembangkitan listrik berbasis energi terbarukan. 

Di sisi lain, pengurangan dan penghentian penggunaan batubara dan beralih ke energi terbarukan akan berdampak pada aspek sosial dan ekonomi di daerah penghasil batubara di Indonesia. Hari Wibawa, Kepala Bidang Perekonomian dan Pendanaan Pembangunan Bappeda Sumatera Selatan, dalam kesempatan yang sama, mengatakan cadangan batubara di provinsi Sumatera Selatan akan habis dalam 12 tahun, sehingga diversifikasi ekonomi menjadi sangat penting untuk menghindari guncangan ekonomi yang besar saat sektor batubara sudah berhenti.

“Prioritas kami (pemerintah) saat ini adalah integrasi rencana transisi energi ke dalam RPJPD sehingga setiap aksi atau aktivitas sudah memiliki payung legalitas yang kuat,” kata Hari.

Aksi Komprehensif untuk Transisi Energi Indonesia

Jakarta, 12 Desember 2023 – Perjalanan transisi energi Indonesia pada tahun 2023 memasuki fase konsolidasi, yang berarti sejumlah kebijakan yang muncul dalam kurun waktu 2020-2023 perlu untuk disinkronisasi agar pelaksanaannya dapat mempercepat langkah menuju satu tujuan besar yaitu membatasi peningkatan suhu bumi pada level 1,5 derajat celcius sesuai Persetujuan Paris.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam media briefing (12/12) yang diselenggarakan oleh IESR secara daring menyatakan terdapat sejumlah kondisi pendukung (enabling condition) yang menentukan keberhasilan transisi energi.

“Ada 4 enabling condition supaya transisi energi sukses yaitu, kerangka kebijakan dan regulasi, dukungan pendanaan dan investasi, aplikasi teknologi, serta dampak sosial dan dukungan masyarakat,” kata Fabby.

Fabby juga menambahkan bahwa terdapat sejumlah inisiatif transisi energi sejak tahun 2020 seperti RUPTL 2021, kesepakatan Energy Transition Mechanism (ETM), hingga Just Energy Transition Partnership (JETP). Adanya berbagai kesepakatan ini baik mengingat hingga 2020, tidak ada aturan terkait transisi energi, namun yang paling penting adalah implementasi dari berbagai kebijakan tersebut.

Pintoko Aji, analis energi terbarukan IESR, menyampaikan bahwa transisi energi (Indonesia) harus dilakukan secara menyeluruh pada semua sektor tidak terbatas pada sektor ketenagalistrikan saja.

“Tujuan akhir (ultimate goal) dari transisi energi ini adalah penurunan emisi maka upaya transisi energinya harus menyeluruh tidak terbatas pada sektor energi saja. Industri dan transportasi misalnya juga perlu mulai digarap karena saat ini belum banyak kebijakan yang konkret (actionable) pada sektor tersebut,” kata Pintoko.

Yunus Saefulhak, Kepala Biro Fasilitasi Kebijakan Energi dan Persidangan, Dewan Energi Nasional (DEN), dalam forum yang sama juga menjelaskan bahwa saat ini pihaknya sedang mengerjakan revisi Kebijakan Energi Nasional (KEN) untuk menyelaraskan berbagai target nasional dengan perkembangan komitmen transisi energi secara internasional dan strateginya.

“Revisi ini urgent untuk dilakukan karena kebijakan energi perlu selaras dengan kebijakan perubahan iklim, juga telah tersusun grand strategi energi nasional sebagai masukan pembaruan KEN & RUEN,” kata Yunus.

Salah satu poin pembaruan KEN adalah bauran energi baru terbarukan di tahun 2025 mencapai 17 – 19 persen, dan tahun 2060 mencapai 70-72 persen.

Berbagai perkembangan kebijakan maupun target-target yang disesuaikan perlu untuk terus dipantau dan dikawal. Institute for Essential Services Reform melakukan pemantauan berbagai perkembangan di sektor energi Indonesia sejak tahun 2017 dan menuangkannya dalam laporan utama bertajuk Indonesia Energy Transition Outlook. Pada tahun 2023 ini IESR kembali akan dan meluncurkan laporan Indonesia Energy Transition Outlook 2024, pada tanggal 15 Desember 2023. Ikuti peluncurannya baik secara langsung (kapasitas terbatas) maupun melalui daring dengan melakukan registrasi di s.id/IETO2024

Menyongsong Transisi Energi di Sumatera Selatan

Podcast Ruang Redaksi RMOL Sumsel

Palembang, 6 Desember 2023 –  Sumatra Selatan (Sumsel) merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki potensi ekonomi yang besar. Untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, perlu adanya transisi energi yang berfokus pada sumber energi terbarukan. Transisi ini tidak hanya akan memberikan manfaat lingkungan, tetapi juga akan memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan sektor ekonomi di Sumsel.

Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan, Institute for Essential Services Reform (IESR) memaparkan, Indonesia perlu mengantisipasi sejak awal proses transisi energi dilakukan agar kesejahteraan masyarakat dan perekonomian tetap berjalan. Marlistya menilai, pandangan transisi energi apabila dilihat menggunakan kaca mata global, nasional maupun lokal belum tentu sama. Misalnya saja, beberapa negara di dunia telah mulai menggunakan energi terbarukan dan siap dengan pembiayaannya. Sementara itu, Indonesia baru mulai sekitar 10 tahun terakhir dalam proses transisi energi dan beberapa daerah penghasil batubara perlu melakukan perencanaan jangka panjang sehingga dalam melakukan transformasi daerah tersebut perlu melihat sudut pandang berbeda, seperti dari pengusaha, pekerja dan masyarakat di sekitarnya. 

“Salah satu keunggulan transisi energi yakni “demokrasi” energi dari sistem ekonominya. Energi terbarukan bisa diupayakan oleh banyak pihak. Seperti individu yang bisa mengupayakan penggunaan energi terbarukan (pemasangan panel surya di rumah, red). Hal ini membuka peluang banyak pihak untuk terjun ke industri energi terbarukan,” ujar Marlistya Citraningrum dalam Podcast Ruang Redaksi RMOL Sumsel pada Rabu (6/12).

Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan, IESR
Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan, IESR

Lebih lanjut, Marlistya menyatakan, dalam proses transisi energi juga perlu dibahas mengenai sektor ekonomi alternatif lainnya, khususnya pada daerah penghasil batubara. Marlistya menekankan bahwa Sumatra Selatan selain disebut sebagai lumbung energi, juga lumbung pangan. Yang artinya, terdapat komoditas pertanian dan perkebunan yang dapat menjadi nilai tambahan perekonomian. Dengan kondisi tersebut, maka bisa ditingkatkan kualitas, akses pembiayaan dan modalnya. 

“Ketika melakukan diversifikasi ekonomi dalam transisi energi membutuhkan persiapan, tidak hanya dari sisi regulasi, perlu juga kesiapan dunia usaha dan bagaimana nanti masyarakat menghadapinya. Diversifikasi usaha menjadi salah satu strategi bagi dunia bisnis khususnya yang bergerak pada energi fosil. Namun demikian, kita perlu menekankan juga keadilan sosial bagi masyarakat yang terdampak. Misalnya saja, apakah perlu adanya sertifikasi atau pelatihan bagi masyarakat untuk bekerja di ekonomi hijau,” terang Marlistya. 

Brilliant Faisal, Fungsional Perencana Ahli Madya, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sumatera Selatan (Sumsel) menuturkan, pihaknya berencana akan membuat berbagai jenis pelatihan baru yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam menghadapi proses transisi energi. Selain itu, Faisal menjelaskan pihaknya juga akan menyiapkan regulasi daerah terkait transformasi ekonomi untuk transisi energi berkeadilan. 

“Kami telah merencanakan delapan strategi utama yang akan direalisasikan pada 2024-2026. Delapan strategi tersebut di antaranya perwujudan transformasi ekonomi, peningkatan kondusifitas perekonomian wilayah, pemerataan pembangunan,serta peningkatan kualitas dan daya saing angkatan kerja. Hal ini perlu dilakukan karena Sumsel masih terpaku terhadap sektor unggulan semata, seperti batubara,” ujar Faisal.

Hermansyah Mastari, Ketua Umum Badan Pengurus Daerah (BPD) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) menerangkan, pihaknya selalu bersinergi dengan perusahaan yang akan berinvestasi di Sumatera Selatan. Namun, dukungan dari pemerintah daerah menjadi hal penting, khususnya dalam memberikan saran kepada perusahaan besar yang bergerak di energi fosil untuk mempersiapkan diri dan warga di lingkungan sekitar untuk beralih ke energi terbarukan.

“Beberapa waktu lalu ada fenomena di mana satu pabrik diserbu pencari kerja sejak subuh dan mereka rela mengantri sejak subuh. Peristiwa seperti ini seharusnya tidak terjadi. Untuk itu, sebaiknya perusahaan besar bukan hanya memberikan corporate social responsibility (CSR) semata, tetapi perlu didorong untuk bergerak membuat pelatihan kepada warga sekitar sehingga mereka memiliki keterampilan yang dapat digunakan untuk mencari uang serta berpartisipasi dalam menghidupkan perekonomian,” kata Hermansyah. 

Bermain Pintu Belakang di Solusi Pengurangan Emisi

Fabby Tumiwa dalam Konferensi Pers Climate Action Tracker

Jakarta, 6 Desember 2023 – Climate Action Tracker (CAT) kembali merilis laporan terbaru terkait ambisi dan aksi iklim 42 negara, termasuk Uni Eropa. Hasil penilaian CAT menunjukkan tidak ada perubahan yang signifikan sejak tahun lalu terhadap upaya penurunan suhu global. 

CAT memodelkan empat skenario peningkatan temperatur bumi berdasarkan kebijakan dan aksi saat ini, target penurunan emisi pada 2030, target net zero emission (NZE) dan skenario optimis. Keempat skenario tersebut berujung pada naiknya suhu bumi, sekitar 1,8℃ hingga 2,7℃ pada tahun 2100.

Bill Hare, CEO Climate Analytics mengatakan bahkan berdasarkan inventarisasi global atau global stocktake, dunia sudah keluar dari jalur untuk membatasi pemanasan global di bawah 1,5℃.

“Seharusnya emisi gas rumah kaca sudah menurun sekarang dan seharusnya menurun dengan cepat, tetapi justru terus meningkat. Isu utama dalam COP ini dan global stocktake adalah untuk mencapai kesimpulan tentang penghentian penggunaan bahan bakar fosil. Tanpa kesepakatan tersebut, saya ragu akan ada peningkatan terhadap upaya membatasi suhu bumi,” ungkap Bill Hare pada konferensi pers CAT di Dubai (5/12).

Senada, Claire Stockwell, Senior Climate Policy Analyst, Climate Analytics berpendapat, target penurunan emisi negara-negara pada 2030 justru sangat lemah.

“Kami memproyeksikan bahwa negara-negara yang kami analisis akan dengan sangat mudah memenuhi target tersebut dengan kebijakan yang ada saat ini, termasuk Indonesia,” tutur Claire.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) mengungkapkan turunnya peringkat indonesia menjadi sangat tidak memadai dalam hal kebijakan dan aksi iklim, disebabkan oleh peningkatan emisi Indonesia lebih dari 21% dibandingkan tahun lalu. Fabby menjelaskan naiknya emisi ini diakibatkan pembangunan PLTU baru dan pengoperasian PLTU yang sempat terjeda akibat Covid-19.

“Pemerintah Indonesia sebenarnya telah membuat beberapa kebijakan, misalnya, tahun lalu mengeluarkan peraturan presiden yang tidak mengizinkan penambahan pembangkit listrik tenaga batubara baru untuk perusahaan listrik, tetapi masih mengizinkan pembangunan PLTU captive dengan beberapa syarat. Jadi kami pikir peraturan-peraturan ini akan memiliki dampak, tetapi tidak sekarang, tetapi mungkin dalam waktu dekat,” kata Fabby.

Niklas Höhne, Ahli di New Climate Institute mengutarakan upaya pengurangan emisi yang tidak signifikan ini terjadi karena banyak negara mengusulkan pintu belakang untuk melanggengkan penggunaan energi fosil. Ia mencontohkan beberapa terminologi yang mencerminkan solusi pintu belakang, seperti unabated tenaga fosil atau tenaga fosil tanpa teknologi CCS/CCUS, mengalihkan fokus pada hanya emisi energi fosil, dan penurunan penggunaan namun tidak menghilangkan (phasing down) energi fosil. Sementara menurutnya, berdasarkan Persetujuan Paris, negara-negara telah bersepakat untuk menyeimbangkan emisi dan sumber, dan hal ini hanya bisa terjadi jika seluruh energi fosil diakhiri pengoperasiannya.

“Jika kita terus bertahan pada sesuatu yang tidak jelas, seperti istilah unabated, mengalihkan fokus pada emisinya saja, dan phasing down, maka hanya jadi langkah mundur dalam pengurangan emisi,” imbuhnya.

Lebih jauh, ia juga menyoroti solusi-solusi teknologi yang juga bertujuan memperpanjang umur energi fosil, seperti hidrogen hijau dan menggunakannya dalam boiler gas, atau menggunakan listrik ramah lingkungan untuk menghasilkan amonia dan menggunakannya di pembangkit listrik tenaga batubara. Menurutnya pilihan teknologi tersebut  merupakan solusi yang salah, tidak efisien dan mahal.  

Tiga Prinsip Keadilan dalam Transformasi Energi di Indonesia

Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan dalam Sustainability Media Academy pada Kamis (30/11).

Jakarta, 30 November 2023 – Indonesia, seperti banyak negara lain di dunia, berada di persimpangan yang krusial dalam menghadapi krisis iklim. Sebagai sebuah negara dengan sumber daya energi yang kaya, langkah menuju energi terbarukan telah menjadi keharusan, namun tak boleh terlepas dari prinsip keadilan. Transisi energi bukanlah semata soal perubahan sumber daya, tetapi juga tentang dampak sosial, ekonomi, dan keadilan bagi masyarakat yang terdampak. Di Indonesia, transisi ini bukan sekadar langkah teknis, melainkan juga kewajiban moral untuk memastikan bahwa setiap individu mendapatkan hak yang sama dalam perubahan ini.

“Kita perlu melihat tiga prinsip untuk mewujudkan prinsip keadilan dalam transisi energi. Pertama, keadilan di tingkat lokal, di mana kita perlu mengamati lebih dekat pihak mana saja yang mendapatkan manfaat langsung serta yang terdampak dari transisi energi di tingkat lokal. Misalnya, apakah masyarakat di sekitar pertambangan juga mendapatkan manfaatnya atau tidak,” ujar Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan dalam Sustainability Media Academy pada Kamis (30/11). 

Lebih lanjut,  Marlistya Citraningrum menjelaskan prinsip lainnya yakni keadilan dari perspektif kewenangan. Artinya, masyarakat perlu melihat bagaimana otoritas pemerintahan setempat dalam mengelola transisi. Hal ini berkaitan dengan kebijakan dan regulasi yang dikeluarkan untuk memastikan keadilan bagi semua pihak. Ketiga, keadilan dalam jangka panjang. Artinya, bagaimana masyarakat termasuk individu berperan dalam mengelola  masa depan setelah berakhirnya industri penambangan, dimana kesejahteraan masyarakat perlu diperhatikan dan perekonomian juga harus tetap berjalan.

Selain itu, akses energi yang terjangkau, berkelanjutan serta dapat diandalkan patut diperhatikan dalam proses transisi energi. Ketidakstabilan pasokan energi dapat menjadi hambatan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, dalam transisi energi, perlu dibangun sistem energi yang dapat diandalkan. Hal ini melibatkan investasi dalam teknologi penyimpanan energi, jaringan distribusi yang handal, dan diversifikasi sumber daya energi. 

“Untuk itu, transisi energi yang sukses memerlukan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Program pendidikan dan pelibatan masyarakat dapat meningkatkan pemahaman tentang pentingnya akses energi yang terjangkau, berkelanjutan, dan dapat diandalkan. Dengan memberdayakan komunitas untuk mengambil peran aktif dalam perubahan ini, dampak positif dapat dirasakan di tingkat lokal,” kata Marlistya. 

Marlistya juga menekankan agar pemerintah melibatkan pemangku kepentingan yang lebih luas, misalnya, masyarakat adat, perempuan, pemuda, dan kelompok marginal lainnya, serta memastikan keterlibatan mereka dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan. Kesetaraan dan inklusi sosial menjadi penting untuk memastikan bahwa tidak ada kelompok masyarakat yang ditinggalkan dan kelompok rentan memiliki akses yang adil terhadap peluang yang diciptakan dalam transisi berkeadilan.

“Selain mengedepankan kebijakan berbasis bukti, perlu pula empati, pelibatan dalam proses pengambilan keputusan serta penerapan prinsip energi berkeadilan melalui  pendekatan gender, disabilitas dan inklusi sosial (GEDSI),” papar Marlistya.